Gunung Tugel adalah tempat bersemayamnya kyai singoprono yang terletak
di daerah nglembu kecamatan sambi kabupaten Boyolali. Kyai singoprono
adalah putra dari kyai Ageng Wongsoprono II yang berdiam di daerah desa
Manglen, sekarang desa Manglen adalah Kelurahan Walen kecamatan Simo
Boyolali. Beliau adalah Putra Raden Djoko Dandun (Syaikh Bela Belu)
Putra Raja Majapahit ( Brawijaya V)
Kyai Singoprono adalah anak tunggal, kyai Singoprono mempunyai istri
bernama Tasik wulan, mereka tetap tinggal di daerah tersebut, kyai
Singoprono adalah sosok yang berbudi luhur, suka menolong dan sakti
mandraguna, pekerjaan nya adalah bercocok tanam, berjualan nasi dan
dawet dipinggir jalan ± 4 km dari rumahnya. Sifat baik hatinya terlihat
apabila ada orang yang membutuhkan pertolongan, pasti beliau akan
menolong , makanan yang dijualpun tidak sekedar di jual, tetapi juga
diberikan kepada orang yang membutuhkan , walaupun demikian tak membuat
beliau gulung tikar, begitu pula dengan hasil bercocok tanam nya pun
melimpah ruah. Sehingga banyak orang yang datang untuk meminta kepada
Kyai Singoprono. Kyai Singoprono pun memberi tanpa mengharapkan kembali
atas apa yang sudah diberikan
Demikianlah kebaikan Kyai Singoprono tersebar sampai di seluruh daerah
sekitar, tetapi ada yang tidak suka atas kebaikan dan kemurahan hati
Kyai Singoprono karena disanjung – sanjung dan terkenal ke dermawannanya
sampai keseluruh daerah sekitar. Yang tidak suka Kyai Singoprono adalah
Kyai Rogo runting, Kyai Rogo runting iri dengan keberhasilan Kyai
Singoprono, sebenarnya mereka berdua adalah sahabat baik.
Pada suatu saat kyai Rogo runting ingin menunjukkan kekuatannya kepada
Kyai singoprono, dengan cara mengaitkan benang dari pegunungan Rogo
Runting ke selatan ( sekarang kelurahan Nglembu, kecamatan Sambi
Boyolali ) diatas benang dililitkan sebutir telur, kemudian itu
digulirkan di atas benang tersebut dan ajaibnya telur tersebut tidak
jatuh, telur tersebut terus menggelinding diatas benang, lalu telur
tersebut akhirnya membentur gunung sebelah selatan. Sehingga terdengar
suara keras dan menggelegar dan mengakibatkan gunung tersebut tugel /
putus puncaknya.
Sehingga gunung tersebut dinamakan Gunung Tugel, nama itu masih terkenal
sampai sekarang . Secara tidak langsung kejadian tersebut sebagai alat
untuk menunjukkan kesaktian Kyai Rogo runting kepada Kyai Singoprono,
namun Kyai Singoprono tidak tergerak hatinya untuk membalas perbuatan
Kyai Rogo runting tersebut.
Namun setelah di diamkan Kyai Rogo runting semakin menjadi – jadi,
kemudian secara halus Kyai Singoprono mengiyakan hal tersebut. Maksudnya
menanggapi Kyai rogo runting, tetapi Kyai Rogo runting mengaggap hal
tersebut sebagai balasan dari Kyai singoprono. Kyai singoprono pun
akhirnya marah, beliau menggunakan cara yang sama untuk membalas Kyai
Rogo runting, dengan cara mengaitkan benang dari pegunungan tugel ke
utara, di atas benang juga diletakkan sebuah telur, kemudian telur
tersebut menggelinding tanpa terjatuh dan akhirnya membentur pegunungan
Rogo runting, sehingga mengeluarkan suara keras dan menggelegar, tetapi
kejadian tersebut tidak mengakibatkan gunung tersebut rusak. Namun Kyai
Rogo runting tubuhnya tercerai berai atau tubuhnya terontang – anting.
Jasad Kyai Rogo runting kemudian dimakam kan di daerah perbatasan
kecamatan Klego dan kecamatan Simo yang dikenal sebagai Pegunungan Rogo
runting.
Hati Kyai Singoprono yang begitu baik memberikan kesan bagi penduduk
setempat bahwa mungkin Kyai itu sebenarnya salah seorang Wali.
Pembicaraan demikian makin meluas sehingga wilayah tempat tinggal Kyai
Singoprono sampai sekarang disebut Walen.
Kesaktian dan kebaikan hati Kyai Singoprono tersebar luas ke mana-mana
sehingga Sultan Bintara di Demak pun tertarik mendengar cerita punggawa
tentang Kyai itu. Tidak mengherankan jika Bintara ingin mengunjungi Kyai
Singoprono untuk membuktikan seberapa jauh kesaktian Kyai itu.
Agar kedatangannya tidak mencurigakan, Sultan Bintara menyamar sebagai
pengemis. ketika tiba di depan rumah Kyai Singoprono , pada saat Sultan
datang Kyai Singoprono sedang menjalankan Sholat di pelepah daun pisang.
Dan tdk lama dari itu Kyai Singoprono pun masuk ke rumah. Segera
pengemis bertemu dan pengemis itu disambut dengan penuh hormat, bahkan
disilakan duduk di balai-balai. Kyai Singoprono sendiri duduk di lantai
tanah, bagaikan menghadap Raja. Setiap kali pengemis itu bertanya,
dijawabnya dengan bahasa tinggi penuh hormat, serta dimulai dan diakhiri
dengan sembah.
Setelah tiga kali berturut-turut Kyai Singoprono menyembah, pengemis
itu tidak tahan lagi. Dia turun dari balai-balai dan Kyai Singoprono
dipeluk serta dipuji sebagai Kyai yang Waskitha (tajam pengamatannya)
Bersamaan dengan itu, Demak mengemukakan bahwa ia akan menghajar Kebo
Kenanga, Adipati Pengging yang congkak. Kyai Singoprono tidak menyetujui
gagasan itu karena Kebo Kenanga adalah orang yang sakti. Kenyal
kulitnya, tidak bisa dilukai oleh senjata; keras tulangnya bagaikan
besi; dan kuat ototnya bagaikan kawat baja serta Adipati Pengging
tersebut adalah pejabat yang jujur serta Kyai yang mempunyai Karomah dan
berjuang di Kadipaten. Kyai Ageng Pengging hanya difitnah oleh orang yg
mempunyai dendam. Untuk mengalahkannya harus diusahakan suatu cara
tertentu. Pendeknya, Sultan Bintara harus bersabar.
Saran ini ditafsirkan Sultan Bintara sebagai usaha Kyai Singoprono untuk
menghalangi maksudnya, bahkan Sultan menuduhnya bersekutu dengan Kebo
Kenanga. Kyai pun menunduk, sedih, lalu menggeiengkan kepala tiga kali.
Untuk menghindari perdebatan yang berkepanjangan, Kyai Singoprono
segera berkata agar Sultan membuktikan ucapannya. Caranya sebagai
berikut. Jika menjelang penyerangan nanti pasukan Demak memukul bendhe
(gong kecil) sebagai tanda penyerbuan dan bunyinya pelan, itu tanda
serangan mereka akan gagal total. Jika berbunyi keras, akan lancar
gempuran pasukan Demak, dan kemenangan jelas pada pihak Bintara.
Dengan agak jengkel, Sultan keluar dari rumah. la berjalan lebih tegap,
tidak lagi sebagai pengemis. Akan tetapi, alangkah terkejut hatinya
ketika tiba di suatu desa. Di sana ia menjumpai pasukan Demak bersiaga.
Karena tidak tega, Pasukan Demak mengikuti perjalanan Sultan dari
belakang sambil berlatih perang-perangan. Kesetiaan pasukan itu dipuji
Sultan. Sebagai tanda terima kasih, desa itu dinamakannya dusun
Manggal. Kata ini berasal dari kata manggala, yang artinya pimpinan
pasukan.
Tibalah saatnya bagi Sultan untuk membuktikan kata-kata Kyai
Singoprono. Bendhe yang tergantung di pohon duwet diperintahkan untuk
dipukul. Sultan heran, yang terdengar hanya suara goyangan bendhe
bergesekan dengan ranting pohon duwet. Pukulan kedua menghasilkan bunyi
aum, suara harimau.
Penduduk yang tinggal di desa lain, tidak jauh dari peristirahatan
pasukan Demak, berteriak bahwa mereka mendengar suara simo (harimau).
Oleh karena itu, desa itu hingga kini disebut desa Simo.
Suara aum dari gong akhirnya meyakinkan Sultan Bintara bahwa Kyai
Singoprono memang benar-benar sakti dan membenarkan jika masalah Kyai
Kebo Kenongo hanya difitnah oleh orang yang punya dendam. Dan Beliau pun
bertitah kepada pasukannya agar kembali ke Demak bersamanya.
Tidak lama kemudian, Kyai Singoprono, yang sebenarnya sudah tua, merasa
bahwa ajalnya hampir tiba. la berpesan kepada istrinya, Nyai Singoprono
jika ia meninggal agar dikuburkan di gunung yang putus karena ledakan
benturan panah Kyai Nogorunting.
Demikianlah, Kyai Singoprono akhirnya dimakamkan di Gunung Tugel. Oleh
penduduk setempat, Kyai Singoprono juga disebut Kyai Singoprono
Simowalen. Perlu diketahui, desa Simo yang terletak di sebelah timur
dan desa Walen yang terletak di sebelah barat berjarak empat kilometer.
Gunung Tugel dijadikan tempat bersemedi atau bertapa orang – orang,
barang siapa bersemedi di Gunung Tugel tapi orang tersebut tidak boleh
mempunyai nafsu olo. Pasti akan mendapat berkah dari Kyai Singoprono.
Tetapi istri Kyai singoprono meninggal dan dimakamkan disebelah timur
makam / Gunung Kyai Singoprono, kemudian makam tersebut di tendang oleh
Kyai Sinoprono dan jatuh di Desa Krisik. Karena kyai Singoprono tidak
mau disejajarkan denga istrinya , karena istri kyai Singoprono mempunyai
watak yang tidak baik.
Cerita tentang Gunung Tugel memang lebih tepat disebut legenda karena
kisahnya menjelaskan adanya peninggalan. Dari legenda ini kita dapat
mengambil hikmah bahwa dengki, dendam, dan iri hati dapat menghancurkan
diri sendiri, bahkan lebih dari itu. Sementara itu, kesabaran,
keikhlasan, dan kebaikan hati kepada sesama, mendatangkan pahala dan
ketenteraman serta kebahagiaan untuk diri sendiri maupun orang lain.