Diantara kita semua mungkin belum tau sejarah kaitannya antara Air Tiris
dengan Makam Datuk Panglima Khotib yang terletak lebih kurang 1 KM dari
Pasar Air tiris dan juga dengan Kerajaan Gunung Sahilan yang terletak
di Kampar Kiri.
Dahulu, Air Tiris adalah Ibu Kota Kecamatan Kampar, Kabupaten
Kampar-Riau, yang sekarang bernama Koto Pukatan. Menurut cerita, di
suatu kampung ada seorang pemuda yang tampan memiliki kesaktian dan
keberanian. Karena kehebatannya, pemuda yang bernama Khotib tersebut
sangat disegani oleh orang kampungnya. Ayah Khotib adalah seorang guru
agama Islam yang berasal dari Aceh. Beliau termasuk salah seorang yang
berjasa dalam mengembangkan agama di daerah Limo Koto. Karena jasa dan
kebaikannya,maka ia berjodoh dengan seorang gadis asal daerah Koto
Pukatan yang kemudian melahirkan Khotib.
Dari kecil hingga dewasa Khotib dididik dengan ilmu agama. Orang tua
Khotib tidak melarang anaknya menuntut ilmu kebatinan selama tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Khotib juga menguasai
ilmu pemagar diri serta mahir dalam beladiri. Suatu hari Khotib
mendapati bahwa dirumahnya sudah tidak ada lauk untuk dimakan.
Dilihatnya neneknya termenung karena tidak ada lauk untuk dimasak.
Khotib kemudian pergi ke suatu tempat di desanya yang bernama Ayiu Lului
(yang dalam bahasa Ocu disebut juga ayiu tiri), dimana terdapat banyak
ikan. Setelah beberapa lama mengamati lubuk dan lubang ikan di Ayiu
Lului, tiba-tiba Khotib melihat seekor ikan Tapa yang sangat besar.
Masyarakat Koto Pukatan telah mengenali ikan tersebut karena ekornya
yang buntung. Karena ukurannya yang besar, masyarakat menjadi takut dan
mengira ikan tersebut memangsa manusia. karena Khotib memang seorang
yang pemberani dan sakti, ia tidak merasa takut kepada ikan tapa raksasa
tersebut. Khotib bahkan merasa tertantang untuk menaklukkan ikan
raksasa tersebut dan menyantap dagingnya.
Khotib meminta temannya yang mengendalikan perahu agar menempatkan
perahu tepat berada di atas tapa tersebut, karena ia ingin menombak ikan
besar tersebut. Dengan secepat kilat Khotib menombak dan menusuk tepat
di punggung Tapa raksasa itu. Tapa Buntung tersebut lari
sekencang-kencangnya karena menahan sakit, sehingga Khotib ikut tercebur
kedalam air dan diseret ikan Tapa kesana-kemari. Khotib sengaja tidak
melepaskan tali tombak yang terikat ditangannya karena ia memang berniat
ingin menyantap Tapa raksasa itu. Selain itu, dengan manaklukkan Tapa
raksasa tersebut ia telah memberi rasa aman kepada penduduk Koto Pukatan
yang hendak mencari ikan di Sungai Kampar.
Telah berhari-hari Khotib diseret hilir-mudik oleh Tapa raksasa, dan
ikan tersebut telah merasa kelelahan. Karena tarikan Tapa tidak lagi
kuat, Khotib memiliki kesempatan untuk naik kepermukaan air untuk
melihat kemana ikan tersebut telah membawanya. Tidak lama kemudian,
tibalah mereka di sebuah lubuk yang dalam, dan di sana terdapat sebuah
batang kayu yang besar. Tapa raksasa tersebut beristirahat di dalam
rongga kayu tersebut. Karena merasa kelelahan setelah 12 hari diseret
Tapa, Khotib juga merasa lapar, maka ia memutuskan untuk meninggalkan
Tapa tersebut dan berenang menuju tepian.
Ketika sampai di tepian Khotib tidak mengetahui nama daerah dimana ia
berada, yang jelas baginya hari masih pagi karena matahari terlihat
belum terlalu tinggi. Khotib ingin segera mencari makan, namun ia malu
karena ia sudah tidak mengenakan sehelai kainpun. Dilihatnya sekeliling
tak ada orang, ia pun merangkak memasuki semak-semak di hulu tepian itu.
Untuk menutupi tubuhnya digunakan daun kayu yang agak lebardan
diikatkan dengan akar kepinggangnya, ia berharap ada orang yang mau
meminjamkan kain.
Tidak lama kemudian, Khotib melihat seorang gadis turun ke tepian hendak
mencuci kain. Dengan suara yang serak Khotib memanggil “Gadi, Gadi,
Oiiiii Gadiii….!” Mendengar panggilan tersebut, sang gadis mendekati
semak-semak. Dari balik semak samar-samar terlihat olehnya sosok
manusia. Khotib memanggil kembali seraya mengacungkan tangannya kepada
perempuan tersebut “Oiii gadi, bulio pinjam kain solai?” (bolehkah saya
meminjam sehelai kain?).
Melihat seorang pemuda tanpa pakaian dan hanya dibalut dedaunan,
perempuan tersebut sangat ketakutan. Tanpa menghiraukan kain cuciannya
gadis itu lari berteriak-teriak ke atas tebing “Hantuuuuu, hantuuuuuuu
ada hantu di tepian” teriaknya. Kebetulan saat itu hulu balang sedang
berada di sekitar tepian, ia datang lalu bertanya apa yang terjadi.
Gadis itu berkisah “begini tuanku, sewaktu saya ingin mencuci di tepian
sungai, tiba-tiba saya mendengar orang memanggil-manggil.
Setelah diamati ternyata suara itu berasal dari semak di hulu tepian.
Karena suaranya parau dan kurang jelas, maka saya dekati semak tersebut,
dan samar-samar saya melihat orang yang kepala dan badannya dipenuhi
lumut, pinggang hingga kaki ditutupi daun-daun. Melihat sosok itu saya
jadi ketakutan, saya menduga mahkluk itu bukan manusia melainkan hantu.
Sewaktu saya hendak pergi mahkluk itu melambai-laimbai dan berseru minta
kain. Karena semakin takut maka saya lari kesini”.
Hulu balang berkata “ kalau begitu mari kita lihat kesana!”. “jangan
tuanku saya takut, panggillah bantuan tuanku” sahut perempuan itu.
“kalau begitu baiklah, saya beritahukan kepada baginda Raja Gunung
Sahilan agar baginda ikut menyaksikan serta dapat mengambil keputusan
mengenai hal ini” jawab hulu balang, dan iapun bergegas menuju istana.
Tidak lama kemudian Raja,hulubalang dan pembesar kerajaan Gunung Sahilan
lainnya diikuti oleh serombongan rakyat berbondong-bondong menuju
tepian sungai dimana mahkluk itu berada.
Raja beserta robongan kemudian tiba di tepian yang dimaksud. Baru saja
hulu balang mendekati semak tersebut, Khotib pun berkata “Tuanku tolong
pinjamkan aku kain, aku dalam keadaan telanjang”. “mahkluk itu bicara”
ucap hulubalang. “apa katanya” tanya baginda raja. “dia hendak meminjam
kain, tuan ku”. “raja memerintahkan hulubalang “coba selidiki, apakah
dia manusia atau bukan”. Mendengar pembicaraan itu, Khotib langsung
menyahut “saya manusia, tuanku”.
Sang Raja merangkul hulubalang agar mendekat kepadanya sambil berbisik
“mendengar ucapannya, mungkin ia manusia, tapi melihat rupanya yang
berlumut aku jadi ragu, mari kita lihat lebih dekat”. “jangan mendekat
tuanku, saya tidak berkain” cegah si Khotib. Khotib menunduk malu sambil
menutupi pangkal pahanya dengan kedua tangannya. Hulubalang berkata
kepada raja “tuanku, saya kira dia benar-benar manusia”. “pendapatku
juga demikian, baiklah berikan ia pakaian” perintah sang raja. Tidak
lama kemudian Datuk bendahara tiba di dekat raja sambil berbisik kepada
raja “tuanku, sebaiknya terlebih dahulu kita beri dia pakaian, lalu baru
kita beri dia pisang. Jika pisang itu langsung dimakannya berarti dia
orang hutan atau hantu, tetapi jika kulit pisang itu dikupasnya 4 belah,
maka ia adalah orang yang beradat, sama seperti kita”. “itu cara yang
cerdik tuanku” sahut hulubalang. “kalau begitu coba Datuk Bendahara
berikan kain sarung dan baju kepada mahkluk itu” perintah raja.
Datuk bendahara kemudian memberikan kedua helai kain tersebut kepada
Khotib, sambil berkata “nah, pakailah pakaian ini”. Khotib menerima kain
tersebut dengan perlahan dipakainya kain sarung dan baju, baru kemudian
ia berani berdiri. Hulubalang maju beberapa langkah lalu berkata “
makanlah pisang ini” sambil memberikan 2 buah pisang raja setali. Khotib
menyambut pisang pemberian hulubalang itu dengan menggigil karena
lapar. Khotib mengupas kulit pisang tersebut menjadi empat bagian, lalu
memakannya sepotong demi sepotong. Keempat orang yang menyaksikan
menjadi terheran-heran, dab timbul keyakinan di dalam hati mereka bahwa
Khotib benar-benar manusia yang beradat. Raja kemudian kembali ke istana
dan memerintahkan hulubalang memeriksa Khotib di Balairung kerajaan.
Setibanya di istana Khotib menceritakan kisahnya “Tuanku, nama saya
Khotib, berasal dari dusun Ranah di negeri Koto Pukatan, karena takdir
tuhanlah saya sampai kedaerah ini”. “bagaimana kamu bisa sampai di
daerah Gunung Sahilan ini?” tanya hulubalang keheranan. “panjang
kisahnya tuanku, lagi pula tidak masuk diakal, mungkin tuanku tidak akan
percaya” jawab Khotib. “kalau begitu, hal ini perlu diketahui oleh
raja, mari kita menghadap raja” kata hulubalang. Setibanya di depan
singgasana hulubalang mengatur sembah “ampun patik tuanku, kalau
digantung patik tinggi, kalau dipancung patik mati, tuanku juga yang
akan rugi”. Raja menjawab “kabar apa yang hendak engkau sampaikan
hulubalang? katakanlah” titah baginda raja. “ampun tuanku, apa yang
tuanku titahkan kepada patik tadi telah patik laksanakan. Meskipun hanya
sebagian kecil kisah anak muda tadi yang patik dengarkan, tahulah patik
bahwa ia adalah pemuda yang baik budi.
Karena kisahnya amatlah panjang, tentunya memerlukan pemahaman yang
mendalam, menurut hemat patik sebaiknya baginda langsung mendengar dan
memberikan pertimbangan” hulubalang memberikan saran. “Kalau itu yang
terbaik menurut mu, baiklah, beta setuju. Bawalah anak itu ke sini”
perintah sang raja. Hulubalang dan Khotib datang sambil mengatur sembah
di hadapan raja. Raja mempersilahkan keduanya duduk dan bertitah “aku
berkenan mendengar kisah mu anak muda, mulailah, biar kami
mendengarkan”. Khotib menjawab “baiklah, titah tuanku patik junjung”.
Khotib kemudian menceritakan kisanya kepada raja bahwa ia berasal dari
Koto Pukatan, ayahnya adalah orang Aceh dan dikenal dengan nama Tuanku
Syeh Aceh, sedangkan ibunya asli keturunan Koto Pukatan. “ jadi negeri
mu terletak di pinggir Sungai Kampar kanan?” tanya raja. “benar tuanku”
jawab Khotib. “apakah di sini daerah Kampar Kiri?” balas Khotib
bertanya. “ya benar” jawab hulubalang. “bagaimana kisah mu hingga sampai
ke sini” tanya raja?. Khotib menceritakan kisahnya menangkap Tapa
Buntung raksasa, kemudian ia diseret ikan tersebut selama 12 hari
melalui terowongan air bawah tanah, dan akhirnya sampai di Gunung
Sahilan. Raja kemudian bertanya “dari lubuk ayiu lului, kamu ditarik
Tapa Buntung melalui terowongan bawah air selama 12 hari, dan sampai di
sini, lantas bagaimana kamu bisa bernafas?”. “ampun patik tuanku, bukan
maksud hati hendak berbangga diri, dari beberapa ilmu dunia yang patik
pelajari, ada salah satunya ilmu Piwang Ayiu. Dengan ridho Allah, jika
kita menyelam dengan ilmu itu, kita mampu bertahan di dalam air selama
40 hari tuanku” jawab Khotib. “jadi selama itu kamu tidak makan
apa-apa?” tanya raja lagi. “Khotib menjawab “boleh dikatakan tidak ada
tuanku, kecuali air, berkat pertolongan Allah SWT saya mampu bertahan”.
“hebat engkau Khotib, lengkap ilmu dunia dan akhirat mu” puji baginda
raja.
Raja memaklumi Khotib yang sudah letih bercerita, sedangkan ia masih
ingin mendengar kisah perjalanan Khotib dari Ayiu Lului ke Gunung
Sahilan, maka raja mengajak Khotib menyantap makanan dan minuman.
Setelah selesai bersantap dan sejenak melepas lelah, atas permintaan
raja dan hulubalang, Khotibpun melanjutkan ceritanya. “Barangkali tuanku
dan hulubalang ingin mengetahui mengapa hampir dua minggu saya di dalam
air baru muncul di Kampar Kiri, sedangkan melalui jalan darat hanya
memakan waktu selama dua hari, bukan begitu tua ku?” tanya Khotib. “ya,
malah bunyi meriam di Limo Koto terdengar sampai kesini” jawab sang
raja. Khotib melanjutkan ceritanya. “Jika jalannya lurus dan tidak ada
penghalang, mungkin tidak akan terasa jauh dan dapat ditempuh dalam
waktu singkat, tetapi terowongan yang saya lewati bersama Tapa Buntung
Raksasa itu berkelok-kelok, kadang arah ke hulu dan kadang arah ke
hilir. Ada bagian yang lapang, tetapi banyak bagian yang sempit.
Ditambah pula si Ikan Tapa itu berenang tidak pilih jalan, malah ia suka
mencari tempat yang sulit untuk dilalui. Sering tali tombak saya
tersangkut pada batang kayu, atau batu runcing yang ada di dalam
terowongan itu. Tidak hanya itu, di sana juga banyak terdapat binatang
buas seperti ular dan buaya, menambah lama perjalanan saya”.
“lalu dimana Tapa Buntung itu sekarang?” tanya raja kepada Khotib. “Tapa
Buntung itu terus memasuki lubuk, sembunyi di bawah batang kayu yang
dipenuhi duri. Karena merasa sangat lelah, saya membuka ikatan tali
tombak di pergelangan tangan saya dan mengikatkannya pada salah satu
akar kayu besar itu. Sayapun berenang ke tepian, karena seluruh pakaian
saya sudah hancur karena diseret Tapa, maka saat naik ke darat saya
tidak berkain, hingga akhirnya bertemu dengan baginda” jawab Khotib.
“sungguh kisah mengagumkan dan merupakan pengalaman yang sangat
berharga. Hanya orang-orang yang bercita-cita mulia, istiqomah dan
memiliki kesaktian luar biasa yang mampu melalui perjalanan tersebut”,
puji sang raja sekaligus menutup perbincangan itu.
Sesaat kemudian, terdengar suara hingar bingar diselingi alunan suara
gong di luar istana. Khotib merasa penasaran, dan bertanya kepada
hulubalang. “ampun tuanku, bolehkah hamba tahu apa yang terjadi di luar
sana?”. Hulubalang menjawab, “beberapa minggu yang lalu ada seseorang
mendapatkan barang aneh. Tidak ada seorangpun yang mengetahui nama dan
kegunaan barang itu. Karenanya, pihak istana mengadakan sayembara, bagi
siapa yang dapat mengetahui nama dan guna barang itu, baginda raja akan
memberikan hadiah yang besar”. Raja menambahkan “maksud beta, bagi siapa
saja yang berhasil menyebutkan nama serta kegunaan benda tersebut,
kepadanya akan dianugerahkan beberapa hadiah berupa benda berharga,
pangkat dan fasilitas yang mewah. Jika berminat, kamu juga boleh
mengikuti sayembara tersebut”, raja menawarkan kepada Khotib. “ampun
patik tuanku, bolehkah patik melihat benda itu?” tanya Khotib penasaran.
“bagaimana pendapatmu Hulubalang?” tanya sang raja.
Hulubalang menjawab “ampun tuanku,menurut hemat patik, memang sebaiknya
begitu. Jika Khotib mampu menerka nanti secara resmi dilakukan di depan
khalayak ramai”. Kemudian raja menyuruh hulubalang untuk mengambil benda
yang dimaksud. Setelah kembali, hulubalang memperlihatkan benda aneh
tersebut di hadapan Khotib. Benda aneh itu dibungkus tiga lapis dan
diikat dengan benang bencono. Ketika Khotib melihatnya, ia tersenyum dan
berkata “oooh, saya tahu nama dan kegunaan benda ini baginda”, ucap
Khotib. “Kamu tahu nama dan kegunaannya?, kalau begitu coba sebutkan”,
titak raja.
“Ampun tuanku, benda ini umum dipakai petani di daerah Limo Koto,
namanya sangkal bajak(mata bajak). Alat ini ditarik oleh satu atau dua
ekor kerbau untuk mencangkul sawah”. Mendengar penjelasan Khotib raja
berkata “astagfirullah….,hampir saja kita melakukan hal yang tidak
patut, untunglah ada Khotib yang mengetauinya. Atas keterangan yang
diberikan Khotib, raja merasa yakin bahwa nama benda aneh tersebut
adalah sangkal bajak dan digunakan untuk membajak tanah. Setelah
berfikir sejenak, raja kemudian berkata “sekarang waktunya untuk mulai
sayembara”. Hingar-bingar di luar istana semakin jelas terdengar. Musik
gong dan calempong semakin lantang, bunyi tabuh pun bertalu-talu
pertanda sayembara akan dimulai.
Dalam pada itu Datuk bendahara datang menghadap raja, dan melaporkan
bahwa seluruh rakyat kerajaan Gunung Sahilan telah berkumpul untuk
menyaksikan perhelatan besar yang akan dilangsungkan selama tujuh hari
tujuh malam, dengan menyembelih seekor kerbau. Setelah Datuk Bendahara
selesai menyampaikan laporannya, baginda raja memerintahkan hulubalang
untuk mempersiapkan segala keperluan sayembara tersebut. Sebelum raja
pergi untuk melangsungkan pembukaan sayembara tersebut ia berpesan
kepada Khotib “nanti sesudah pembukaan sayembara beta lakukan, semua
rakyat dipersilahkan untuk menjelaskan nama dan kegunaan benda itu, beta
yakin tidak seorangpun yang akan tahu. Namun biarkanlah dulu beberapa
orang memberikan jawaban mereka, setelah beberapa lama berselang dan
tidak ada lagi yang akan tampil memberikan jawaban, barulah kamu tampil
ke hadapan khalayak dengan jawaban yang paling sempurna, dan kamulah
yang menjadi pemenang sayembara besar ini, sehingga sayembara ini tidak
kelihatan enteng. Pahamkah kamu maksud beta?” tanya sang raja kepada
Khotib.
Khotib menjawab “hamba maklum tuanku, hamba akan berupaya memenuhi
segala sesuatu yan tuanku titahkan”. Setelah baginda raja dan Khotib
selesai mengenakan pakaian, hulubalangpun datang menjemput. Baginda raja
diiringi Permaisuri, Khotib dan pembesar kerajaan berjalan menuju
balairung dimana rakyat telah berkumpul. Kedatangan raja disambut meriah
oleh para hadirin. Lelo(meriam dari bambu) dibunyikan sebanyak tiga
kali sebagai pertanda pembukaan sayembara telah dimulai. Dalam pidato
pembukaan, baginda raja sengaja memperkenalkan Khotib kepada seluruh
pembesar kerajaan, para undangan dan seluruh rakyat. Raja mengatakan
bahwa Khotib adalah tamu kerajaan, karenanya ia berhak mengikuti
sayembara tersebut.
Sayembara segera berlangsung, beberapa peserta telah tampil dan
memberikan jawabannya. Diantara mereka ada yang mengatakan nama benda
itu sejenis beliung, ada yang mengatakan sabit, senjata untuk berburu,
alat pengupas kelapa dan lain-lain. Baginda raja yang bertindak sebagai
hakim menyatakan bahwa jawaban para peserta belum ada yang sempurna.
Sesuai dengan rencana semula, maka untuk giliran terakhir tampillah
Khotib yang dengan lancar menjelaskan perihal benda tersebut. Khotib
malah menambahkan kemungkinan benda tersebut dihanyutkan dari daerahnya
Ayiu Lului Kampar, melewati terowongan bawah air hingga sampai di Gunung
Sahilan.
Semua yang hadir dapat menerima jawaban Khotib, dan dengan demikian
Khotib keluar sebagai pemenang sayembara. Sesuai dengan perjanjian,
baginda raja mengumumkan hadiah yang akan dianugerahkan kepada pemenang.
Kepada Khotib dianugerahi gelar Panglima kerajaan, diberi tanah ulayat
yang luas dan dicarikan calon isteri yang sepadan. Hadiah yang diberikan
oleh raja ditolak oleh Khotib, kecuali gelar kebesaran “Panglima”.
Khotib menolak jabatan, harta dan pendamping hidup yang diberikan raja,
karena ia tidak ingin lama tinggal di Gunung Sahilan, dan ingin segera
kembali ke Koto Pukatan. Khotib teringat kepada orang tuanya yang
mungkin menggap Khotib telah meninggal dunia ketika ia dilarikan ikan
Tapa Buntung itu.
Baginda raja menghendaki supaya Khotib tetap tinggal di Gunung Sahilan
selama 70 hari karena masih banyak yang perlu dikerjakannya. Setelah
mempertimbangkan kepentingan raja yang baik itu, maka Khotib menyetujui
untuk tinggal selama 70 hari. Raja sangat bersuka cita, sehingga baginda
mengadakan upacara pulang sana (tradisi mengangkat saudara yang berlaku
dalam masyarakat Kampar).
untuk Khotib yang berlangsung selama 7 malam berturut turut. Selesai 70
hari, tibalah waktunya bagi Khotib untuk pulang ke kampungnya. Dengan
berat hati rajapun melepas kepergian Khotib pulang ke Koto Pukatan.
Untuk kepulangan Khotib, pihak kerajaan telah mempersiapkan sebuah
perahu yang cukup besar dengan ukiran yang indah. Setelah bermaaf-maafan
Khotibpun mulai berlayar meninggalkan Gunung Sahilan diiringi beberapa
perahu kerajaan. Lelo dibunyikan tujuh kali melepas kepergian Khotib.
Setelah 6 hari menyusuri Sungai Kampar tibalah Khotib di kampungnya Koto
Pukatan. Di tepian sungai Khotib melihat banyak perempuan yang sibuk
bekerja. Sebagian mengupas dan mencincang cempedak muda, sebagian lagi
membersihkan ayam dan ikan yang telah dipotong. Khotib yang telah
bergelar panglima itu merasa penasaran, lalu ia menegur
perempuan-perempuan tersebut dengan bertanya “sepertinya masyarakat desa
ini akan melakukan kenduri besar?”. Salah seorang dari mereka menjawab
“benar Tuk, kami akan mengadakan perhelatan besar”. “perhelatan untuk
apa?” tanya Panglima Khotib. Mereka menjawab “kami hendak mengadakan
upacara peringatan seratus hari meninggalnya pemuda desa sini”. Panglima
Khotib termenung sejenak, lalu ia bertanya kembali “apa penyebab
kematiannya?”. Perempuan itu menjawab “dia dilarikan Ikan Tapa Buntung”.
Panglima Khotib berkata “oh begitu, apakah pemuda itu bernama Khotib?”
Semua perempuan yang bekerja di tepian sungai tersebut terkejut
mendengar nama pertanyaan Khotib. “dari mana orang asing ini mengetahui
nama si Khotib” pikir mereka.
Paglima Khotib kemudian mengatakan bahwa dirinya adalah pemuda yang
disangka telah meninggal sejak seratus hari yang lalu.
Perempuan-perempuan itu terkejut dan mengamati Panglima Khotib dengan
seksama. Salah satu dari mereka kemudian berkata “iko ocu Khotib go,
indak tio mati ocu do? Syukur Alhamdulillah (apakah anda ini bang
Khotib, berarti bang Khotib tidak meninggal)”. Panglima Khotib kemudian
berjalan kerumahnya meninggalkan perempuan-perempuan itu dalam
kebingungan.
Dari kejauhan Panglima Khotib dapat mendengar suara gaduh dari rumahnya.
Anggota keluarganya telah mendapat kabar bahwa ia masih hidup dan
sedang berada di tepian. Sesampainya di halaman rumah, Panglima Khotib
bergegas naik ke rumah sambil mengucapkan salam. “Assalamualaikum”
ucapnya. “waalaikumsalam” jawab orang seisi rumah. Melihat Panglima
Khotib, seluruh keluarga segera menghampirinya, tangisan dan ratapan
semakin menjadi-jadi. Untuk mengatasi situasi yang demikian, Panglima
Khotib berkata “Bapak, Ibu, sanak saudara sekalian harap tenang dan
jangan meratap lagi. Syukur Alhamdulilah saya telah kembali, memang
benar pepatah orang tua-tua : indak gowuo bapantang luko, indak ajal
bapantang mati (kalau tidak ada sebab tidak akan luka, kalau tidak ajal
tidak akan mati).
Sekonyong-konyong nenek Panglima Khotib mendekat dan menepuk bahu
Panglima Khotib, dengan suara keras ia berkata “itu lah cu….. bukankah
nenek tidak menyuruh kamu menombak Tapa Buntung? Akhirnya kami
kehilangan kamu seratus hari, kami kira kamu sudah mati, inilah upacara
seratus hari kematian mu, orang kampung sudah diundang untuk datang
malam ini".
Panglima Khotib segera memegang tangan neneknya yang mulai ingin
meratap, dan berkata “sabar nek, coba nenek denarkan cerita saya,hal ini
terjadi bukan karena salah siapa-siapa, ini terjadi karena memang sudah
suratan hidup saya nek. Peristiwa ini adalah takdir Allah, kita hanya
menjalani saja. Kita harus bersyukur saya masih diselamatkan Allah yang
maha pengasih dan penyayang. Karena kenduri seratus hari ini sudah
terlanjur dilaksanakan, maka sebaiknya kita ganti dengan doa selamat
atas kepulangan saya ke Koto Pukatan”. “lalu bagaimana cara kita
memberitahukan hal ini kepada para undangan?” sahut anggota keluarganya
yang lain. “masalah itu tidak usah dirisaukan, orang kampung tentu ingin
mengetahui perihal kisah hilangnya saya selama seratus hari, oleh
karena itu, nanti malam setelah semua undangan hadir, saya sendiri yang
akan mengumumkan bahwa acara ini telah berubah menjadi doa selamat atas
kepulangan saya” jawab Panglima Khotib.
Setelah selesai sholat magrib, orangpun berdatangan ke rumah Panglima
Khotib. Sebelum upacara peringatan seratus hari kematiannya
dilangsungkan, Panglima Khotib memberikan kata sambutan. Ia menceritakan
bagaimana ia diseret Ikan Tapa Buntung hingga sampai ke Gunung Sahilan,
mengikuti dan memenangkan sayembara di sana, ia menerima gelar panglima
dan menolaksemua hadiah lainnya dan proses kembali ke Koto Pukatan.
Sebelum mengakhiri sambutannya Panglima Khotib menjelaskan tentang
keadaan ayiu lului yang sebenarnya merupakan jalan tembus menuju Sungai
Kampar Kiri. Panglima Khotib juga mengatakan bahwa tidak hanya dirinya,
tetapi sebuah mata bajak dari Koto Pukatan juga pernah ditemukan orang
di sungai Kampar Kiri, dan diperkirakan Panglima Khotib, mata bajak
tersebut terseret arus terowongan bawah air di Ayiu Lului. Sejak
peristiwa yang menakjubkan itu, daerah Koto Pukatan tempat terdapatnya
ayiu lului perlahan-lahan dikenal orang dengan nama air tiris.