Taman Banjar
Taman Banjar, merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Cirebon.
Konon, taman ini merupakan tempat bertapa Pangeran Surya Negara, sekitar
tahun 1500an Masehi. Selain petilasan Pangeran Surya Negara yang
menjadi bukti peninggalan bersejarah, di taman ini juga terdapat monyet
yang berjumlah 41 ekor.
Taman Wisata Banjar , terletak di Desa Bulak Kidul Kecamatan Jati barang
Kabupaten Indramayu, tepatnya dipinggir Jalan raya
Jatibarang-Karangampel. Di tempat ini terdapat kelompok kera yang
sangat dikeramatkan. Bahkan jumlah monyet ini tidak pernah kurang atau
lebih dari 41 ekor. Tempat ini dijadikan sebagai tempat wisata yang
selalu ramai dikunjungi orang saat Hari Raya Idul Fitri ataupun Idul
Adha.
Konon, 41 ekor monyet penghuni Banjar tersebut adalah prajurit yang terkena kutukan.
Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, hiduplah seorang patih bernama
Pangeran Surya Negara. Suatu saat ia mendapat perintah dari Pangeran
Cakra Buana (pendiri Cirebon) untuk melihat dan sekaligus mengatasi
musibah banjir di kawasan Kali Longga Trisna. Ditemani oleh prajurit
dari Kerajaan Cirebon , Pangeran Surya Negara pun berangkat.
Setibanya di Kali Longga Trisna, Surya Negara melihat betapa parahnya
wilayah tersebut akibat dari banjir yang melanda kawasan tersebut.
Melihat hal tersebut Pangeran Surya Negara memutuskan untuk membuat
sebuah bendungan.
Namun ternyata jumlah pasukan yang ia bawa tidak sebanding bila
dibandingkan dengan pekerjaan pembuatan bendungan besar tersebut.
Pangeran Surya Negara pun berinisiatif meminta bantuan pada Pangeran
Karang Kendal (Syeh Magelung Sakti) yang masih termasuk dalam wilayah
kekuasaan Sunan Gunung Jati. Pihak Karang Kendal pun sepakat mengirimkan
bala bantuan ke lokasi pembangunan bendungan di tepi kali Logangga
Trisna. Sambil menantikan datangnya bala bantuan, Pangeran Surya Negara
bersama pasukannya memulai pekerjaan besarnya terlebih dahulu.
Sementara bala bantuan yang ditunggu tidak kunjung datang juga, barulah
ketika pekerjaan telah selesai bantuan yang ditunggu-tunggu itu pun
datang. Tentu saja Pangeran Surya Negara menjadi sangat kesal. Namun ia
masih menahan emosi untuk menghormati pihak Kadipaten Karang Kendal.
Pasukan bala bantuan yang datang itu tetap diterimanya dengan baik,
tetapi saat itu kebetulan waktu Shalat Ashar sudah tiba maka sang
Pangeran menitipkan sebuah bungkusan kepada kepala rombongan prajurit
dan berpesan agar tidak seorangpun diijinkan membuka bungkusan tersebut.
Namun kepala prajurit Karang Kendal dan anak buahnya tidak mengikuti
pesan Pangeran Surya Negara. Pimpinan rombongan akhirnya tergoda untuk
membuka bungkusan yang dititipkan kepadanya. Ternyata isi bungkusan itu
adalah buah kurma yang segar. Maka tanpa pikir panjang buah kurma
tersebut di makan beramai-ramai.
Disaat para prajurit tersebut tengah makan Pangeran Surya Negara datang
dengan marah karena mengetahui perintahnya telah dilanggar, sang
Pangeran pun mengutuk para prajurit seperti menjadi kera, karena tingkah
laku mereka mirip seekor kera yang suka mencuri dan tidak perduli pada
sesama.
Pada saat itu juga seluruh prajurit dari kerajaan Karang Kendal itu
langsung berubah wujud menjadi monyet yang berjumlah 41 ekor dan
kemudian oleh
Pangeran Surya Negara diberi nama Ki Buyut Banjar.
Itulah asal muasal kisah 41 ekor monyet yang kini dikeramatkan dan
menghuni komplek pekuburan Banjar di Desa Bulak Kecamatan Jati barang
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat atau yang sekarang dikenal dengan Taman
Wisata Banjar.
Meskipun terdapat kera yang mati, masyarakat sekitar percaya jumlah
anggota monyet Banjar tidak berkurang tetap 41 ekor. Keunikan lainnya
dalam
mencari makan. Kera-kera ini tidak pernah keluar dari pagar Taman Banjar seakan- akan telah dibatasi geraknya.
Dengan sedikit pembenahan, sebetulnya Taman Banjar bisa menjadi salah
satu alternatif tempat wisata yang menyenangkan. Tempatnya yang rimbun,
rindang pepohonan menjadi kenyamanan tersendiri di tengah-tengah terik
panas matahari. Menjadikannya semacam tempat melepas lelah untuk sesaat.
Taman Kera Kalijaga
Di Jalan Pramuka berjarak sekitar 1 km kearah barat daya Terminal Bus
Harjamukti pada sisi barat Kali Sipadu terdapat Petilasan Sunan
Kalijaga. Lokasi ini sangat mudah dicapai dengan berbagai kendaraan, ± 5
km dari pusat kota Cirebon dengan waktu tempuh ± 20 menit. Lokasi yang
berada di tengah pemukiman penduduk Kampung Kalijaga, Kelurahan
Kalijaga, Kecamatan Harjamukti ini tepatnya berada pada koordinat 06º
44' 891" Lintang Selatan dan 108º 33' 083" Bujur Timur.
Kawasan komplek Petilasan Sunan Kaligaga luasnya ± 20.000 m2. Kawasan
ini dilalui dua aliran sungai, yang masing-masing mempunyai dua sampai
tiga nama yang berbeda. Sungai dimaksud adalah Kali Simandung dan Kali
Mesjid, yang alirannya kemudian bertemu di Kali Cawang. Kali ini oleh
masyarakat setempat digunakan untuk mandi dam cuci pakaian, dahulu kali
ini juga dapat digunakan untu wudlu. Pada kawasan itu terdapat bangunan
patilasan, sumur kuno, mesjid keramat, makam dan selebihnya berupa
semacam hutan lindung yang dihuni kera.
Bangunan Petilasan Kalijaga oleh penduduk setempat disebut Pesarean
(dari kata Jawa yang berarti tempat beristirahat). Bangunan ini berdenah
bentuk huruf L terdiri tiga ruangan. Ruangan pertama merupakan tempat
bagi para penziarah untuk memanjatkan doa, yang dapat dimasuki melalui
pintu pertama yang disebut Pintu Bacem. Ruang kedua merupakan tempat
beberapa makam kuno, dan ruangan ketiga merupakan bekas tempat tidur
Sunan Kalijaga yang ditutup dengan kelambu.
Pada sebelah barat bangunan terdapat makam pengikut dan kerabat Sunan
Kalijaga. Bagian ini dibatasi dengan dengan kuta kosod (susunan bata
merah) setinggi ± 120 cm dan tebal ± 90 cm. Menurut cerita rakyat,
ketika Cirebon “dikuasai” VOC, lokasi ini pernah dijadikan tempat
pertemuan para panglima perang Kesultanan Kanoman, Kasepuhan, dan
Mataram untuk menyusun strategi melawan mereka.
Bangunan Mesjid Keramat di kompleks petilasan Sunan Kalijaga dahulu
dindingnya terbuat dari kayu dan aber atap daun kelapa (welit, blarak).
Sekarang sudah diganti dengan dinding bata diplester dan beratap
genting. Di pinggir kali dekat mesjid terdapat Sumur Kuno. Konon sumur
kuno ini umurnya sudah mencapai ratusan tahun. Sumur ini juga disebut
Sumur Wasiat. Di dekat Kali Simandung terdapat makam keramat dengan
tokoh yang dimakamkan adalah Syech Khotim. Beliau adalah kepercayaan
Sunan Kalijaga.
Hutan lindung di kawasan petilasan Sunan Kalijaga, ditumbuhi beberapa
jenis pohon besar, seperti bebang, repilang, rengas, dan albasia.
Kerimbunan pepohonan ini mendominasi pemandangan. Pada rindangnya
pepohonan tersebut akan tampak kera-kera yang saling bergelantungan dan
berkejaran. Pada pagi hari mereka turun, dan duduk berbaris di tepi
kali, ada juga diantaranya yang tampak mencari kutu. Mereka juga akan
turun, jika ada pengunjung, terutama yang terlihat membawa makanan. Pada
saat ini populasi mereka sekitar 72 ekor. Hutan lindung ini disebut
Taman Kera Kalijaga.
Kondisi sekarang ini, keberadaan pohon besar cenderung semakin
berkurang, tergusur permukiman dan tempat usaha. Akibatnya, kera-kera
penghuni kekurangan pangan, sehingga kerapkali memasuki rumah penduduk,
bahkan ada di antarannya dengan cara merusak atap. Kerusakan “habitat”
ini pula yang menyebabkan sebagian diantara mereka bermigrasi ke kampung
lain.
Salah satu keistimewaan kawasan ini juga memiliki beberapa legenda, di
antaranya legenda Si Lorong yang berhubungan dengan pembuatan kain
tenun, legenda satu orang raja dengan 11 punggawa, legenda si Mandung
(Syekh Khotim), legenda kera dan Legenda Jimat Layang Kalimursadat.
Menurut cerita tutur, Sunan Kalijaga pernah menetap beberapa kali di
Cirebon cukup lama dalam kurun waktu yang berbeda. Kedatangannya yang
pertama bertujuan untuk menimba ilmu. Kedatangan yang kedua dalam rangka
melaksanakan tugas sebagai wali. Kali terakhir Sunan Kalijaga menetap
di Cirebon dalam rangka merintis pembangunan Kerajaan Cirebon. Konon,
dahulu Sunan Kalijaga sempat mengajar membuat kain tenun pada masyarakat
setempat, sehingga hampir semua penduduk dapat melakukannya. Lambat
laun daerah itupun berkembang menjadi “sentra” jual beli kain tenun.
Akan tetapi, sejak kedatangan Belanda dan dilanjutkan oleh pendudukan
Jepang, aktifitas pembuatan kain tenun semakin menyurut, hingga tidak
nampak lagi. Masih menurut cerita tutur, Sunan Kalijaga terkenal sebagai
ahli membatik dan sempat mengajarkannya kepada masyarakat setempat. Nyi
Rupi’ah adalah orang terakhir yang mempertahankan pembuatan batik tulis
khas Kalijaga. Sangat disayangkan sekali mulai tahun 1972 masyarakat
setempat berhenti melakukan kegiatan membuat batik.