Penentuan titi mangsa lahirnya Blitar sebagai pusat pemerintahan
merupakan jawaban atas masalah hari pendirian Pemerintah Daerah yang
kemudian menjadi Kabupaten Blitar. Dari berbagi prasasti yang dipandang
sebagai bukti autentik seperti terurai atas, tidak terdapat sebuahpun
yang memuat nama Blitar sebagai nama tempat Pusat Pemerintahan.
Suatu hal yang pasti bahwa beberapa nama desa atau tempat yang
disebutkan dalam prasasti-prasasti itu berada atau termasuk wilayah
Kabupaten Blitar sekarang. Kenyataan itu membuktikan bahwa (sebagian)
daerah Blitar sejak sepuluh abad yang lalu telah menjadi pusat kehidupan
masyarakat yang penting. Berita agak pasti mengenai pertumbuhan Blitar
sebagai Pusat Pemerintahan mulai ada sejak awal pemerintahan Raja-raja
Majapahit. Sebagimana dapat dibuktikan dalam sejarah Kerajaan Majapahit
lahir setelah Raden Wijaya berhasil mengusir tentara Tartar Ku Bilai
Khan pada Tahun 1293 M.
Majapahit sebagai negara baru berpusat di dekat Mojokerta. Di bawah
pimpinan raden Wijaya sebagai Raja pertama, negara Majapahit tumbuh
dengan pesat. Suatu hal yang menarik dalam hubungan sejarah daerah
Blitar dari masa itu ialah adanya peningalan bangunan suci yang terletak
di Desa Kotes Kecamatan Gandusari.
Pada bangunan itu terdapat angka Tahun 1222 Saka dan 1223 Saka. Dengan
demikian bangunan tersebut berasal dari tahun 1300 dan 1301 Masehi.
Dengan perkataan lain, bangunan itu adalah sejaman dengan Pemerintah
Raja Pertama Majapahit. Kenyataan di atas membuktikan bahwa sejarah
Blitar pada awal abab ke – XIV masih menunjukkan wilayah yang penting.
Apakah hubungan pendirian bagunan suci itu dengan sejarah daerah ini ?
Suatu petunjuk yang dapat memberikan keterangan tentang hal itu antara
lain terdapat sejumlah Prasatti dari masa abad ke – XII Masehi di daerah
sepanjang lembah Gunung Kawi sebelah Barat.
Ini menunjukkan bahwa daerah ini masih dapat dibuktikan hingga sekarang
dengan adannya beberapa perkebunan. Faktor alamiah yang menguntungkan
ini menyebabkan adannya kehidupan masyarakat yang makmur. Kemakmuran itu
mendorong pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu singkat. Walaupun
tidak terdapat catatan tentang jumlah penduduk di daerah bagian Timur
ini, namun dapat diperkirakan bahwa dengan adanya men-power maka daerah
ini menjadi penting. Tersedianya tenaga manusia yang cukup besar,
merupakan salah satu jaminan pergerakan pasukan secara mudah untuk suatu
tujuan pertahanan maupun serangan.
Seperti halnya dalam prasati Tuhanyaru yang menyebutkan adanya anugrah
tanah kepada sejumlah pejabat kerajaan berhubung yang bersangkutan telah
berjasa kepada raja, maka prasasti Blitar pun memuat peryataan yang
sama. Dapat diketahui bahwa hubungan antara raja Jayanegara dengan
daerah Blitar mempunyai sifat yang istimewa. Hubungan yang istimewa itu
diperlihatkan pada penempatan sejumlah ha yang diberikan kepada para
pejabat, berhubungan dengan kesetiyaan desa Blitar kepada raja.
Dalam hubungan ini peristiwa apakah yang terjadi sehingga raja berkenan untuk memberikan anugrah kepada penduduk desa Blitar.
Seperti diketahui Raja Jayanegara menjadi raja majapahit yang kedua,
mengantikan ayahnya Kerjarajasa Jayawardhana yang meninggal pada tahun
1309 M. Tentang Pemerintahannya ini ada dua sumber yang memberikan
keterangan agak berbeda. Kedua sumber tadi adalah Negarakertagama, yang
ditulis oleh Prapanca dan Pararaton yang tidak dicantumkan nama
penulisnya. Secara singkat sekali Negarakertagama menceritakan tentang
masa Pemerintahannya yang berlangsung antara tahun 1309-1328 Masehi.
Didalam Pupuh XLVII Prapanca melukiskan yang terjemahan dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut:
Beliau meninggalkan Jayanegara sebagai raja Wilatikta dan keturunan
adiknya rajapadhi utama yang tiada bandingya, Dua puteri amat cantik,
bagai Ratih kembar mengalahkan Bidadari yang sulung rani di Jiwana,
sedangkan yang bungsu jadirani di Daha.
Tersebut pada Tahun Saka : Muti-guna-memaksa rupa bulan-madu, Baginda
Jayanegara berangkat menyirnakan musuh ke Lumajang, Katanya Pajarakan
dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan, Giris miris segenap jagad melihat
kepiawaian Sri Baginda.
Tahun Saka : bulatan memanah suryah beliau pulang, Segera dimakamkan
didalam pura, berlambang arca Wisnuparama. Di sela Petak dan Bubat
tertegak area Wisnuparama. Di sela Petak dan Bubat tertegak area
Wisnu-lambang-tara-inda. Di Sukalila arca Buda permai sebagai Amoga
sidi-menjilma.
Dari puppuh tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa sesama
Pemerintahan Jayanegara menghancurkan pemberontakan Nambi. Semua
pemberontakan itu dapat di padamkan.
Suatu pemberontakan pecah lagi pada Tahun 1316 dan 1317 dibawah pimpinan
Kuti dan Seni. Pemberontakan itu mengakibatkan raja jayanegara
menghindarkan diri ke Desa Bedander dengan pengawasan pasukan
Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah mada. Berkat siasat Gajah Mada,
Jayanegara berhasil naik tahta. Kuti dan Seni berhasil dibinasakan.
Kedua pemberitaan ini memberi petunjuk bahwa sesama bawahan semasa
Pemerintahan Jayanegara telah terjadi pemberontakan, tetapi berhasil
dipadamkan. Kenyataan diatas membuktikan bahwa Jayanegara menghadapi
masa yang sulit pada tahun pertama Pemerintahannya. Kenyataan ini yang
dapat memberikan keterangan , apa sebabnya jayanegara mengeluarkan
prasastinya tersebut diatas. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa penetapan
prasasti di Blitar ini merupakan perestiwa penting setelah Jayanegara
ini merupakan titik peresmian berdirinya swastanca Blitar dalam naungan
kekuasaan Majapahit dibawah Pemerintahan Jayanegara.
Dan peristiwa yang penting itu, sesuai dengan unsur penanggalan dalam
prasasti, terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246,
yang bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1324 M. Untuk masa-masa
selanjutnya Blitar disebutkan dalam kitab Negarakertagama dalam
hubungannya dengan perlawanan Raja Hayam Wuruk ke daerah-daerah Jawa
Timur. Beberapa puluh tahun yang membuat hal pemerintah hal itu
sepanjang menyangkut Blitar serta tempat-tempat lain di daerah
sekitarnya tertulis pupuh-pupuh.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa:
Tampilan Wilayah yang kini menjadi daerah Kabupaten Blitar, yang paling
tua tercatat dalam prasasti Kinewu dipahatkan pada belakang arca Ganesa
dari abab X. Prasasti itu memberikan petunjuk bahwa wilayah Kabupaten
Blitar, merupakan bagian dari kerajaan Balitung yang berpusat di Jawa
Tengah.
Ketika pusat Pemerintah pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sekitar
abad ke-X, sejarah daerah Kabupaten Blitar dapat diketahui berdasarkan
prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja dinasti Isana. Selama
Pemerintahan raja-raja ini berlangsung diantarannya awal abad ke-X
sampai dengan akhir abad ke-XII, beberapa tempat yang sekarang termasuk
Wilyah Kabupaten Blitar disebut dalam prasasti-prasasti Pandelegan I
1117, Panumbangan I 1120, Geneng I 1128, Talang 1136, Japun 1144,
Pandelegan II 1159, Mleri 1169, Jaring 1181, Semanding 1182, Palah 1197,
Subhasita 1198, Mleri I 1198 dan Tuliskriyo 1202.
Ketika kerajaan Singasari berkembang ada beberapa prasasti yang
berhubungan dengan daerah Kabupaten Blitar sekarang. Prasasti tersebut
dikeluarkan pada masa Pemerintahan Raja Kartanegara (1268-1292) yang
dikenal dengan prasasti Petung Ombo 1260 M. beberapa peningalan
purbakala yang berasal dari zaman Singasari seperti: patung Ganesa dari
Boro dan Candi Sawentar membuktikan bahwa semasa Pemerintahan raja-raja
Singasari, daerah Kabupaten Blitar telah memegang peranan yang penting.
Pada zaman majapahit kedudukan daerah Kabupaten Blitar menjadi sangat
penting. Hal itu terbukti dengan adanya candi Kotes yang didirikan pada
masa Pemerintahan Pendiri Kerajaan Majapahit yaitu Nararya Wijaya atau
Kerta Rajasa Jayawardana (1294-1309). Candi makam raja itu terletak di
desa Sumberjati dukuh Simping Kecamatan Suruhwadang.
Saat yang sangat penting bagi pertumbuhan sejarah Kabupaten Blitar
dewasa ini terdapat pada masa Pemerintahan Raja Jayanegara (1309-1328).
Salah satu prasastinya ditemukan di desa Blitar sekarang. Prasasti
tersebut dikenal dengan prasasti Blitar I yang bertarikah “Swasti
sakawarsatita 1246 Srawanamasa tithi pancadasi Suklapaksa wu para wara
….” atau 5 Agustus 1324 Masehi. Prasasti ini memuat saat berdirinya
Blitar sebagai daerah Swatantra.
Masa-masa pemerintahan Raja-raja Majapahut kemudian, nama Blitar
berkali0kali disebutkan dalam kitab nagarakertagama yang ditulis moleh
Pujangga : Prapanca. Naskah ini selesai ditulis bertepatan dengan 1
Oktober 1363 M. blitar dan tempat-tempat lain telah dikunjungi oleh raja
Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada dalam rangka perjalanan Raja Hayam
Wuruk ke Wilayah Jawa Timur yang dimulai pada Tahun 1357 M.
Beberapa peningalan yang berupa candi membuktikan bahwa sepanjang abad
XIV hingga akhir abad XV kedudukan Blitar semakin penting. Hal ini
terbukti dari adanya candi Penataran yang merupakan candi negara
sebagian besar berasal dari masa Pemerintahan Jayanegara hingga
Wikramawardhana (1389-1429).
Peninggalan dari raja terakhir ini sekarang terdapat di lereng Gunung
Kelud yang sekarang dikenal dengan nama Candi Gambar Wetan (1429M).
Maka berdasarkan uraian diatas diambil keputusan bahwa HARI LAHIR KABUPATEN BLITAR ialah 5 AGUSTUS 1324
Lodoyo
Nama Lodoyo sudah cukup popular di kalangan wong Blitar. Nama ini masih
biasa digunakan untuk menyebut daerah di selatan Sungai Brantas Blitar,
walau secara administratif tidak ada lagi daerah di Blitar selatan yang
bernama Lodoyo. Dahulu memang pernah ada Kawedanan Lodoyo, namun saat
ini kawedanan hanya mengambil peran sebagai pemangku budaya saja.
Nama Lodoyo merupakan nama kuno yang sudah dikenal sebelum adanya
kawedanan. Bahkan lebih kuno dari pada era Surakarta dan mitos-mitos
bentukannya yang menggambarkan Lodoyo sebagai daerah bromocorah.
Yang jelas, nama Lodoyo sudah ada dan disebut dalam Kakawin Desa
Warnnana/ Negara Krtagama (kakawin karangan Mpu Prapanca yang menyingkap
kejayaan Kerajaan Majapahit). Dalam kakawin tersebut terungkap bahwa
Maharaja Rajasa Nagara (Hayam Wuruk) pernah melakukan perjalanan dan
bermalam beberapa hari di Lodoyo.
Berikut Kutipan dari Kakawin Negara Krtagama tersebut:
Janjan sangke balitar angidul tut margga, sangkan poryyang gatarasa
tahenyadoh wwe, ndah prapteng lodhaya sira pirang ratryangher,
sakterumning jaladhi jinalah tut pinggir.
Terjemahan:
Tidak peduli dari Blitar menuju ke selatan sepanjang jalan, mendaki
kayu-kayu mengering kekurangan air tak sedap dipandang, maka Baginda
Raja tiba di Lodaya beberapa malam tinggal disana, tertegun pada
keindahan laut dijelajahi menyisir pantai.
Perjalanan yang dilakukan Maharaja tentunya bukan lah perjalanan yang
main-main. Karena perjalanan tersebut merupakan agenda orang nomor satu
di Majapahit, tentunya lokasi yang dikunjungi bukan lah lokasi yang
sembarangan. Lalu apakah ada peradaban yang kondusif sehingga sang
Maharaja berkenan tinggal beberapa malam di Lodoyo? Lalu apakah Lodoyo
itu? Apakah sebuah kota?
Petanyaan-pertanyaan tersebut telah menggantung dibenak kami, hingga
akhirnya menghantarkan kami pada sebuah perjalanan besar. Satu persatu
tempat-tempat bersejarah di tlatah Lodoyo kami kunjungi untuk menjawab
rasa penasaran yang kian memuncak. Candi Simping, Candi Bacem, dan
Kekunaan Jimbe yang kami kunjungi diawal perjalanan menunjukkan kesan
bahwa Lodoyo merupakakan daerah Padewan (diperuntukkan untuk dewa).
Daerah padewan biasanya tidak diperuntukkan sebagai pemukiman karena
tergolong tempat yang disucikan. Keyataan tersebut hampir menepis
anggapan awal kami terhadap Lodoyo. Namun ternyata hal yang
mencengangkan justru muncul pada perjalanan selanjutnya.
Situs Besole merupakan reruntuhan sebuah pintu gerbang yang tersusun
dari bata kuno. Situs ini pernah digali, dan ditemukan selasar yang
cukup panjang di kanan kirinya. Situs ini berada sangat dekat dengan
Sungai Brantas, sehingga kuat dugaan bahwa situs ini merupakan sisa-sisa
bandar kuno di Lodoyo. Meski masih terlalu awal, namun perjumpaan
dengan situs ini membuat kami semakin tertarik dan ingin menjelajahi
sudut-sudut Lodoyo dengan lebih seksama.Tak perlu jauh-jauh menuju
pelosok selatan Lodoyo, karena hal tersebut ada di sisi utara Lodoyo
yang berbatasan dengan Sungai Brantas.
Mungkin kini tepian Brantas merupakan daerah puritan, tapi dulu tepian
brantas merupakan pintu gerbang dari tlatah Lodoyo. Seperti yang kita
ketahui bahwa Brantas merupakan jalur transportasi kuno dan di tepiannya
tersebar bandar-bandar perdagangan yang penting. Dan jejak bandar
tersebut dapat dijumpai di Situs Besole.
Dan di perjalanan-perjalanan selanjutnya, kami berhasil menjumpai
jejak-jejak peninggalan lain di Lodoyo. Jejak-jejak tersebut semakin
memantapkan posisi Lodoyo sebagai kota kuno di Blitar selatan, meski itu
hanya ada di dalam benak dan pemikiran saja.
Sejarah Mengenai Upacara Tradisional Siraman Gong Kyai Pradah / Pusaka
Gong Kyai Pradah Di Kel. Kalipang Kec. Sutojayan Lodoyo Blitar
Tersebutlah dalam kisah, antara tahun 1704 – 1719 Masehi di Surakarta
bertahtalah seorang Raja bemama SRI SUSUHUN AM PAKU BUWONO I. Raja ini
mempunyai saudara tua yang lahir dari istri ampeyan (bukan Permaisuri)
bernama PANGERAN PRABU.
Pada saat penobatan SRI SUSUHUNAN PAKU BUWONO I sebagai Raja, hati
PANGERAN PRABU sangat kecewa karena sebagai saudara tua PANGERAN PRABU
tidak dinobatkan sebagai Raja di Surakarta sehingga timbullah
keinginannya untuk membunuh SRI SUSUHUNAN PAKU BUWOONO I
Namun akhirnya keinginun PANGERAN PRABU tersebut tercium oleh SRI
SUSUHUNAN PAKU BUWONO I dan sebagai hukumannya PANGERAN PRABU
diperintahkan untuk membuka hutan di daerah Lodoyo yang pada saat itu
merupakan hutan yang sangat lebat yang dihuni oleh binatang – binatang
buas serta hutan tersebut dianggap sebagai tempat yang sangat angker
dimana banyak rokh – rokh jahat berkeliaran disana.
Hukuman yang diberikan oleh Raja SRI SUSUHUNAN PAKU BUWONO I kepada
PANGERAN PRABU itu sebenarnya ialah agar PANGERAN PRABU menemui ajalnya
di tempat hukuman karena dimakan oleh binatang – binatang buas atau
sebab – sebab lain yang bisa terjadi di hutan yang masih liar tersebut
PANGERAN PRABU mengakui akan kesalahannya serta bersedia melaksanakan
hukuman yang diberikan oleh Raja yaitu membuka hutan di daerah Lodoyo.
Keberangkatannya diikuti oleh istrinya yaitu Putri WANDANSARI serta abdi
kesayangannya bemama KI AMAT TARIMAN dengan membawa Pusaka berupa bende
yang disebut Kyai Becak. Pusaka tersebut akan digunakan untuk tumbal
hutan Lodoyo yang dianggap angker serta banyak dihuni oleh roh – roh
jahat.
Menurut beberapa cerita bahwa bende Kyai Becak pernah digunakan oleh
Demang Bocor untuk memadam- kan pemberontakan KI AGENG MANGIR seorang
sakti yang tidak setia kepada Raja.
PANGERAN PRABU beserta pengikutnya berangkat dari Surakarta menuju
kearah timur. Selang beberapa bulan mereka sampai di daerah Lodoyo.
Pertama – tama mereka datang di rumah seorang janda bemama NYI PARTASUTA di hutan Ngekul.
PANGERAN PRABU yang masih merasakan penderitaan dan kesedihan itu tidak
lama tinggal di rumah janda NYI PARTASUTA dan ingin bertapa di hutan
Pakel ( Wilayah Lodoyo bagian barat) dan untuk itu Pusaka Kyai Becak
dititipkan kepada NYI PARTASUTA dengan pesan agar:
Setiap tanggal 1 Syawal (bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri ) dan
setiap tanggal 12 Rabiulawal ( bertepatan dengan Hari Kelahiran Nabi
Muhammad SAW) Pusaka tersebut harus dimandikan dengan air bunga setaman.
Air bekas memandikan Pusaka tersebut dapat digunakan menyembuhkan
penyakit serta dapat menentram kan hati bagi siapa yang mau meminumnya.
Pada suatu waktu KI AMAT TARIMAN sangat kebingungan karena terpisah
dengan PANGERAN PRABU, sehingga akhirnya KI AMAT TARIMAN ingin mencoba
membunyikan Gong Kyai Becak sebanyak tujuh kali dengan maksud agar
apabila PANGERAN PRABU Mendengar bunyi bende / Gong tersebut tentu akan
mencari kearah sumber suara itu.
Tetapi yang datang ternyata bukan PANGERAN PRABU seperti yang diharapkan
namun beberapa ekor harimau besar. Anehnya harimau – harimau itu tidak
mengganggu kepada KI AMAT TARIMAN bahkan memberikan petunjuk dimana
PANGERAN PRABU berada sehingga Kyai Becak juga disebut Kyai Macan atau
Kyai Pradah.
Di pesanggrahan hutan Pakel hati PANGERAN PRABU tetap tidak dapat tenang
sehingga PANGERAN PRABU akan meninggalkan tempat itu namun pakaiannya
tetap ditinggalkan di Padepokan hutan Pakel dan sampai sekarang tempat
itu masih dikeramatkan oleh penduduk setempat dan sekitarnya.
Dari Pesanggrahan Pakel PANGERAN PRABU menuju kearah barat namun tidak
lama berselang mereka bertemu dengan para prajurit – prajurit utusan
dari Kerajaan Surakarta yang akhimya timbul perselisihan dan terjadilah
peperangan yang di menangkan oleh PANGERAN PRABU. Setelah keadaan
dianggap aman PANGERAN PRABU masih menunggu di bukit Gelung kemungkinan
masih ada perajurit Surakarta yang datang kembali.
Setelah dirasa sudah betul – betul aman PANGERAN PRABU melanjutkan
perjalanannya menuju kearah barat yaitu kehutan Keluk yang sekarang di
sebut Desa Ngrejo. Di tempat ini PANGERAN PRABU memangkas rambutnya dan
ditanam bersama – sama dengan mahkota kebangsawanannya. Tempat
penanaman itu sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk setempat
dan sekitarnya.
PANGERAN PRABU melanjutkan perjalannya menuju hutan Dawuhan. Di tempat
itu PANGERAN PRABU membuka ladang pertanian dengan menanami padi Gaga.
Namun karena tanahnya pusa sehingga tanaman padi Gaga tersebut tidak
dapat dipanen dan akhirnya tempat itu diberi nama Gagawurung.
Dari Gagawurung PANGERAN PRABU melanjutkan perjalanan menuju kearah
timur dan sampailah mereka di hutan Darungan. Di tempat ini istrinya
melahirkan seorang putra namun putra tersebut tidak berumur panjang
karena meninggal dunia dan dimakamkan di gunung Pandan disebelah utara
gunung bebek.
Perjalanan PANGERAN PRABU dilanjutkan lagi menuju kearah timur melewati
Jegu dan sampailah di hutan Kedungwungu. Beberapa bulan di tempat ini
NY I WANDANSARI akhimya mengalami hamil tua. Oleh PANGERAN PRABU, NYI
WANDANSARI diajak naik ke gunung di Kaulon dan disinilah NYI
WANDANSARI melahirkan putra kembar namun putra kembar tersebut juga
tidak ber umur panjang dan meninggal dunia.
Semua itu karena tidak adanya piranti atau alat yang dapat digunakan
untuk membantu dalam melahirkan anaknya. Sampai sekarang gunung tersebut
di kenal dengan nama gunung Peranti.Sampai disini putuslah kisah
PANGERAN PRABU dan tidak diketahui bagaimana kelanjutannya.
Kembali kepada janda NYI PARTASUTA dimana sepeninggal PANGERAN PRABU
selalu melak- sanakan segala yang pernah dipesankan oleh PANGERAN PRABU
kepadanya tentang Pusaka Kyai Becak. Setelah NYI PARTASUTA meninggal
dunia, Pusaka Kyai Becak diserahkan kepada KI REDIBOYO di Ngekul.
Dari KI REDIBOYO, pusaka Kyai Becak diturunkan kepada KI DALANG REDIGUNO
di Kepek. Dari KI DALANG REDIGUNO Pusaka Kyai Becak diturunkan kepada
KYAI IMAM SAMPURNA.
Pada suatu ketika, karena KYAI IMAM SAMPURNA dipanggil ke istana
Surakarta, maka Pusaka Kyai Becak atau Kyai Pradah diserahkan kepada
adiknya bemama KYAI IMAM SECO yang berdiam di Sukoanyar (sekarang
disebut Desa Sukorejo), yang pada waktu itu menjabat sebagai wakil
Pengulu di Blitar.
Pada tahun 1793 KYAI IMAM SECO meninggal dunia dan Kyai Pradah dirawat
dan dipelihara oleh RadenRONGGOKERTAREJO dan ditempatkan di Desa
Kalipang Lodoyo sampai sekarang. (pada waktu itu Sukoanyar masih berawa –
rawa).
Bentuk Kyai Pradah berupa Gong (kempul) laras lima yang dahulu dibalut/
ditutup dengan sutera Pelangi / Cinde dan disamping itu masih ada juga
beberapa wayang krucil, kecer dan beberapa benda lainnya.
Sampai sekarang pesan PANGE RAN PRABU untuk memelihara Pusaka Kyai
Pradah tetap dilaksanakan dengan baik serta menjadi suatu Upacara Adat /
Tradisional Siraman Pusaka Kyai Pradah setiap tanggal 1 Syawal dan
setiap tgl. 12 Rabiulawal dan Upacara yang terakhir ini biasanya
dikunjungi oleh puluhan ribu manusia baik dari dalam maupun luar daerah.
Demikian sejarah ringkas Pusaka Kyai Pradah di Lodoyo yang dikutip dari
ceritera Babat Pusaka Kyai Pradah di Lodoyo menurut Serat Babat Tanah
Jawi.