Pada zaman dulu sekitar tahun 1597 sebutlah seorang bangsawan Demak
bernama Raden Aryo Hadiningrat yang merasa jenuh dengan keadaan,
kehidupan keraton yang seringkali terjadi konflik perang saudara dan
persaingan perebutan tahta di antara sesama saudara dalam lingkup
keraton. Keadaan itu membuat Raden Aryo Hadiningrat merasa jenuh dan
berniat meninggalkan keraton.
Akhirnya dia berangkat meninggalkan keraton dengan mengajak istrinya
yang kemudian dikenal dengan Nyai Tumbu, selang beberapa tahun kemudian
dia sempat mengabdi di Keraton Mataram pada zaman kejayaan Sultan Agung
Hanyorokusumo kemudian dia sempat pula ditugaskan oleh Sultan Agung
untuk berangkat ke Cirebon pada masa itu.
Kemudian dia kembali mengembara hingga sampai di lereng Gunung Slamet
sebelah utara dan dia menetap di daerah tersebut . Dia orang pertama
yang membuka lahan perkampungan di tempat itu sampai banyak orang
berdatangan ke daerah itu untuk berguru kepada Raden Aryo Hadiningrat
dan akhirnya menetap di daerah tersebut. Oleh karenanya Raden Aryo
Hadiningrat memberi nama tempat itu “ Kampung Keputihan “, (daerah yang
masih asli tak terjamah peradaban agama selain Islam).
Suatu saat datanglah pengembara dari Pesantren Gunungjati yang merupakan
santri Syech Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunungjati) bernama Kyai Elang
Sutajaya bermaksud menyebarkan agama Islam dan kemudian Raden Aryo
Hadiningrat dan pengikutnya berkenan mendalami ajaran agama islam untuk
lebih memantapkan keimanan para pengikutnya.
Pada saat itu kampung keputihan sedang dilanda wabah pageblug seperti
banyak tanah longsor dan penyakit gatal – gatal (gudigen, bahasa
setempat)sehingga Kyai Elang Sutajaya mengajak Raden Aryo Hadiningrat
dan warganya untuk berdoa kepadaAlllah SWT dengan ritual yang sekarang
dikenal sebagai ruwat bumi dengan menyembelih kambing Kendit dan
menyajikan hasil bumi seperti Pala Pendem dan sayur mayur yang akan
disedekahkan kepada fakir miskin. Acara ritual tersebut terjadi pada
bulan Asyuro atau bulan Muharom dan turun temurun sampai sekarang.
Pada saat berdoa dengan tasyakuran Tahlilan dan Manaqib kala itu,Kanjeng
Sunan memakai media air yang di tempatkan di sebuah guci dan dalam
kesempatan itu pula Sunan Gunungjati berkenan mendo’akan sumber air
panas di kampung Kaputihan agar bisa di pergunakan untuk menyembuhkan
segala penyakit.
Semenjak itu karena Guci yang berisi air yang sudah di do’akan Sunan
Gunungjati di tinggal di kampong Kaputihan dan selalu di jadikan sarana
pengobatan,maka sejak saat itu masyarakat menyebut-nyebut
Guci-Guci.Sehingga Kyai Klitik selaku Kepala Dukuh Kaputihan merubahnya
menjadi Desa Guci. Dan Beliau sebagai Lurah pertamanya.
Sehingga pada saat Raden Aryo Hadiningrat berkeliling bersama Kyai Elang
Sutajaya dia menemukan sumber mata air panas dibawah sebuah Gua yang
sekarang terkenal dengan namaPancuran 13.
Adapun guci sakti tersebut ditempatkan di sebuah dukuh tempat Raden Aryo
Hadiningrat biasa semedi, daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama
Telaga Ada di Dukuh Engang Desa Guci, sehingga karena kekeramatan guci
tersebut maka Kampung Keputihan dapat pulih kembali, bebas dari
pageblug.
Untuk mengenang peristiwa tersebut maka Kampung Keputihan diubah namanya
menajadi Desa Guci. Adapun guci sakti tersebut sekarang ada di Museum
Nasional karena pada zaman Adipati Cokroningrat dari Brebes
memindahkannya dari Desa Guci ke pendopo Kadipaten Brebes yang kala itu
Desa Guci adalah bagian dari Kabupaten Brebes.
Untuk lebih membaur dengan warga, Raden Aryo Hadiningrat menggunakan
nama samaran yaitu Kyai Ageng Klitik atau untuk lebih akrab dengan
sebutan Kyai Klitik. Selain itu penyamaran tersebut juga mengandung
maksud lain, sebab keturunan darah biru atau bangsawan dari keraton
banyak yang diburu penjajah Belanda .
Sampai sekarang tidak diketahui maksud dan asal muasal makna yang
sesungguhnya, dia juga menemukan tuk atau mata air panas lain yang
sekarang terkenal dengan Pemandian Kasepuhan dan Pemandian Pengasihan
yang berkasiat untuk sababiyah berbagai penyakit kulit dan tulang dan
sarana mengabulkan khajat tertentu bagi yang meyakininya.
Konon kabarnya Pemandian tersebut adalah tempat untuk penjamasan atau
memandikan keris Kyai Klitik agar pamornya menjadi sepuh sehingga tempat
itu dinamakan Kasepuhan dan tempat untuk memandikan pusaka – pusaka
lain yang berpamor welas asih, sehingga tempat tersebut dinamakan
Pengasihan. Tempat tersebut sekarang dipergunakan untuk pemandian umum
yang didatangi pengunjung dari berbagai tempat.
Setelah Desa Guci semakin ramai maka datanglah seorang pengembara
bernama Mbah Segeong dan bertapa di dalam Gua, yang sekarang terkenal
dengan Gua Segeong terletak di sebelah selatan Pos I Retribusi sekitar
350 m jaraknya. Pada saat Kyai Elang Sutajaya mensyiarkan agama islam
dia sering melakukan semedi di atas sebuah bukit. Di sekitar tempat itu
banyak terdapat hewan badak ( warak, dalam bahasa jawa ), maka Kyai
Elang Sutajaya menyebutnya dengan Kandang Warak yang sekarang nama
tersebut digunakan sebagai nama sebuah dukuh di sebelah timur Desa Guci
yaitu Dukuh Pekandangan.