MANUSIA memecahkan masalah-masalah hidupnya dengan akal dan sistem
pengetahuan. Tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin
sederhana kebudayaan manusia, makin sempit lingkaran batas akalnya.
Persoalan hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal, dipecahkannya
dengan magis, ilmu gaib, yaitu tindakan manusia untuk mencapai suatu
maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam, serta seluruh
kompleks anggapan yang ada di belakangnya. Magis dapat dikatakan suatu
ritus dalam bentuk do’a dan mantera yang diucapkan manusia untuk
menegaskan hasrat seseorang terhadap alam dan kekuatan-kekuatan gaib
atas dasar kepercayaan pada daya yang menguasai manusia untuk suatu
maksud yang nyata.
Mula-mula manusia hanya mempergunakan ilmu gaib atau magis untuk
memecahkan masalah-masalah hidup yang ada di luar batas kemampuan dan
pengetahuan akalnya. Pada waktu itu religi belum ada dalam kebudayaan
manusia. Lambat laun terbukti bahwa dengan magis tidak ada hasilnya,
maka mulailah ia yakin bahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk halus
yang lebih berkuasa daripadanya dan mencoba berhubungan dengan
makhluk-makhluk halus itu. Dengan demikian timbullah religi.
Religi timbul dari sikap sentimen rasa kesatuan terhadap alam misteri
supranatural yang menguasai dunia. Rasa kesatuan inilah yang menjamin
ketenangan (kepuasan) yang biasanya dilakukan manusia dengan berusaha
mengadakan hubungan melalui berbagai cara seperti sembahyang dan
upacara-upacara suci lainnya. Dengan demikian, religi merupakan alam
kepercayaan (believe), yaitu opinion atau idea, sedangkan
upacara-upacara (ritus) merupakan modes of action.
Upacara-upacara semacam itu pada dasarnya merupakan usaha untuk
memelihara dan memperkuat kesakralan, agar kontak dengan alam
supranatural tetap berlangsung yang kemudian akan menimbulkan keteagan
hidup manusi. Salah satu perilaku spiritual dalam upaya memelihara
hubungan tersebut terwujud dalam sikap “sumerah” atau dalam istilah
tradisi dikenal dengan istilah “ngaawi-bitung”, mengosongkan diri untuk
mendapatkan kekuatan Illahi, Yang Maha Kuasa.
Sikap “kesumerahan” pada kekuatan Illahi itu, menurut Koentjaraningrat,
merupakan wujud dari emosi keagamaan (religions emotion), yaitu getaran
jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam
waktu hidupnya, walaupun getaran itu hanya berlangsung beberapa waktu
saja. Emosi keagamaan ada di belakang setiap kelakkan serba religi,
sehingga menyebabkan timbulnya sikap keramat, baik pada kelakuan manusia
itu sendiri maupun pada tempat kelakuan itu diungkapkan.
Berbicara mengenai sikap keramat, terdapat suatu anggapan di kalangan
masyarakat bahwa tempat-tempat keramat adalah tempat bersemayamnya arwah
leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib. Tempat keramat yang didukung oleh
keberadaan tokoh mitos yang kharismatik, umumnya dijadikan tempat ziarah
bagi masyarakat dengan maksud dan tujuan tertentu.
Ziarah pada hakekatnya menyadarkan manusia bahwa hidup di dunia hanya
sementara dan manusia merupakan pengembara yang hanya singgah. Ziarah
dengan mengunjungi tempat-tempat keramat, makam leluhur, maksudnya
bervariasi dan salah satunya adalah memperoleh “restu” dari leluhur yang
dianggap “telah lulus dalam ujian hidup”.
Kunjungan atau ziarah ke makam, terutama makam leluhur atau nenek
moyang, merupakan tindakan yang dianggap penting bagi sebagian
masyarakat. Di Kabupaten Bandung, penyebaran makam keramat hampir merata
di setiap wilayah kecamatan. Tapi, hanya beberapa saja yang sangat
ramai dikunjungi, misalnya Makam Keramat Pamudar di Kecamatan Cikancung,
Makam Keramat Pasirmiri-miri di Kecamatan Paseh, makam Keramat Mahmud
di Kecamatan Soreang, Makam Keramat Cijambe di Kecamatan Pacet. Makam
keramat Ranggawulungsari Gunung Wayang di Kecamatan Kertasari, Makam
Keramat Eyang Sepuh dan Eyang Anom, Makam Keramat Mundingkawati, dan
lain-lain.
Makam-makam yang diziarahi oleh masyarakat umum karena dianggap keramat,
terdiri dari makam tokoh agama, makam para leluhur suatu wilayah, makam
tokoh-tokoh penting dalam sejarah, serta makam tokoh mitos.
Berikut beberapa tempat makam Keramat yang di wilayah Bandung
1. Situs Gua Hawu Pasirjambu
Gua Hawu terletak di kompleks makam Sangadipati Kertamanah. Kawasan ini
kerap pula disebut pasarean Cikabuyutan Pasir Jambu. Letaknya di
Ciwidey, Kabupaten Bandung. Di tempat ini lima karuhun (leluhur) tatar
Sunda disemayamkan. Pada salah satu bagian di lokasi ini, terdapat Gua
Hawu yang sering dijadikan barometer sukses tidaknya masa depan
seseorang.
2. Huluwotan Citarum
Wilayah Huluwotan Citarum sejak dulu memang dipercaya sebagai salah satu
lokasi yang dianggap memiliki kekuatan spiritual yang sangat lekat.
Maka tidak mengherankan, bagi sebagian masyarakat lokasi ini menjadi
salah satu tujuan yang paling diminati oleh para peziarah, karena selain
terdapat makam yang dianggap keramat, yaitu makam keramat Rangga Wulung
Sari dan makam petilasan Eyang Dipati Ukur, juga terdapat sumber mata
air yang dianggap sebagai cikahuripan.
Kedua makam ini letaknya cukup berjauhan, akan tetapi tidak memakan
waktu lama. Kedatangan mereka ke makam-makam tersebut, dimotivasi karena
berbagai kebutuhan.
3. Situs Bukit Cula
Peradaban batu yang berlangsung sejak 40.000 tahun lalu masih
menyiratkan perjalanan panjang sejarah manusia. Batu merupakan sumber
kekayaan alam yang tak pernah habis, meskipun secara terus-menerus
dieksploitasi untuk berbagai kepentingan. Bahkan dari batu inilah timbul
suatu peradaban di masyarakat purba yang dikenal dengan budaya batu.
Sisa-sisa peradaban batu inilah yang kemudian menyisakan berbagai
tanggapan dan persepsi oleh sebagian masyarakat yang dikait-kaitan
dengan kehidupan masa lampau. Sebagai contoh, ketika orang menemukan
seonggok batu yang menyerupai benda-benda tertentu, maka secara serta
merta muncul gambaran yang dikaitkan dengan apa yang pernah didengar
tentang masa lalu, baik yang bersumber dari cerita turun-temurun, atau
bahkan timbul idea untuk merentang kembali kisah-kisah lama.
Di Kecamatan Ciparay, tepatnya di Desa Gunungleutik terdapat sebuah
situs yang dikenal dengan nama Situs Bukit Cula. Situs ini terletak
tidak jauh dari Kadaleman yang nantinya akan dijadikan areal waduk untuk
penampungan air irigasi.
4. Situs Batu Candi Tanggulun
Situs Batu Candi Tanggulun terdapat di Kampung Talun, Desa Tanggulun,
Kecamatan Ibun. Batuan berbentuk bujur sangkar dengan ketinggian 50 cm
dan lebar sekitar 40 cm. Pada bagian pinggir-pinggirnya terdapat sogatan
yang teratur. Sekarang berada di kompleks pemakaman umum. Ada yang
beranggapan batu ini merupakan bagian dari kaki sebuah candi. Ada juga
yang mengatakan sebuah batu lumpang atau sebuah yoni. Lainnya lagi
menyebutkan bagian dari sebuah bangunan sanggah, dan berasal dari abad
ke-12. Tapi, sebagian orang lagi merasa beryakinan sebagai tanda batas
suatu wilayah pada masau lampau. Secara pasti, méang sampai saat ini
belum terungkap.
5. Mahkota Kerajaan Kelang
Mahkota Kerajaan Kendan atau Kerajaan Kelang ditemukan di sekitar situs
Kerajaan Kendan, di Kampung Kendan, Desa Citaman, Kecamatan Nagreg.
‘Mahkota’ ini terbuat dari bahan logam kasar, dan ditemukan dalam sebuah
kotak bersama benda-benda lainnya yang telah terkubur dalam tanah
sekitar ratusan tahun yang lampau. Kini tersimpan di rumah salah seorang
penduduk sebagai benda pusaka
6. Situs Bumi Alit Lebak Wangi
Situs Rumah Adat Sunda atau Bumi Alit Kabuyutan Lebakwangi-Batukarut,
terletak di Kampung Kabuyutan, Desa Lebakwangi, Kecamatan Arjasari.
Areal situs terletak di sebuah lahan dengan luas 112 tumbak. Material
bangunan yang tersedia terdiri dari pintu gerbang, bale panglawungan,
dan sebuah bangunan utama berupa rumah panggung dengan tiga buah
ruangan, terdiri dari pajuaran, pangcalikan dan dapur. Di dalam pajuaran
tersimpan berbagai benda pusaka, berupa keris, gobang, kujang, badi,
sekin, tumbak, sumbul dan perangkat gamelan kabuyutan yang disebut
Gamelan Embah Bandong.
7. Batu Tapak Candi Bojongemas
Batu Tapak Candi Bojongemas berasal dari Situs Candi Bohjongemas,
Kecamatan Solokanjeruk. Kini, tersimpan di salah saeorang warga kampung
Sapan, Desa Sumbersai, Kecamatan Ciparay. sebagi koleksi pribadi.
Disebut batu tapak, karena batu ini memiliki gambar tapak kaki orang
dewasa pada salah satu bagian muka batu. Gambar tapak kaki tersebut
menggunakan téknik garis berpola bintik-bintik
8. Situs Batu Nanceb
Situs Batu Nanceb berada di kawasan Bukit Joglo, Kecamatan Kertasari.
Memiliki tinggi kurang lebih sekitar 2,5 m dan lebar 1 m. Batu ini
dipercaya sebagai pasak bumi yang telah berumur ribuan taun. Bahkan,
dipercaya pula sebagai batas wilayah pantai Danau Bandung Purba di
bagian Selatan. Pada masa kerajaan kuno, batu ini merupakan batas
wilayah antara kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda.
9. Situs Candi Bojongmenje
itus Candi Bojongmenje terletak di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang,
Kecamatan Rancaekek. Lokasi berada pada ketinggian 675 m dpl, berhadapan
perbukitan di sebelah timur dan utara, yaitu G. Bukit Jarian, G.
Iwir-iwir, Pasir Sumbul, G. Kareumbi, G. Kerenceng, G. Pangukusan, Pasir
Sodok, Pasir Panglimanan, Pasir Dungus Melati, Pasir Serewen, G. Buyung
dan beberapa puncak lainnya. Denah candi berbentuk bujur sangkar
berukuran sekitar 6 X 6 m bila diukur dari sisi genta dan sekitar 7,5 X
7,5 m bila diukur dari batu paling bawah. Bahan utama yang dipergunakan
adalah batuan vulkanik berukuran antara tebal 9 cm, lebar 20 cm dan
panjang 40 cm. Disusun secara melintang. Pada situs ditemukan yoni,
lingga, fragmen tembikar serta wadah berbentuk kotak dari bahan batuan
tufa
10. Situs Batu Keramat Sukaraja
Situs Batu Keramat terdapat di Kampung Sukaraja, Desa Solokanjeruk,
Kecamatan Solokanjeruk. Konon, batu ini berkaitan dengan asal-muasal
berdirinya Kampung Sukaraja. Diperkirakan dilatarbelakangi oleh
peristiwa Perang Ganeas, yaitu perang antara 3 (tiga kekuatan) pasukan
domestik, terdiri dari pasukan Sumedanglarang, Banten dan Cirebon. yang
terjadi sekitar tahun 1618-1620 M?
Dinamakan Sukaraja karena pada saat itu salah seorang pemimpin pasukan
merasa senang atas keberhasilan memenangkan pertempuran. Dan untuk
meluapkan kegembiaraaanya Sang Pemimpin (sorang Raja) bersama seluruh
pasukanmya berpesta pora, bersuka-suka dengan menikmati hidangan. Konon,
batu lulumpang itulah yang digunakan untuk membuat bumbu hidangan yang
akan mereka makan.
11. Situs Makam Keramat Pasirmiri-miri
Pada sebuah bukit, tidak jauh dari jalan desa Cipedes, kecamatan Paseh,
terdapat kompleks makam keramat. Namanya Keramat Pasirmiri-miri. Setiap
hari, kompleks pemakaman ini selalu dikunjungi masyarakat, baik dari
wilayah masyarakat sekitar maupun dari luar daerah. Adakalanya, warga
yang datang dari jauh kerapkali menginap sampai beberapa hari lamanya.
Kompleks makam ini, bagi kalangan peziarah merupakan salah satu lokasi
yang “wajib diziarahi” dalam sebuah rute ziarah spiritual di Tatar
Sunda. Seorang peziarah asal Garut dan Cianjur yang kebetulan sempat
berbicara dengan penulis menyebutkan, makam keramat Pasirmiri-miri
dipandang sebagai lokasi tempat ‘pertemuan’ para wali di awal-awal
penyebaran Islam di tatar Sunda, sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad
ke-17. Pendapat ini dikuatkan oleh kuncen Makam Keramat Pasirmiri-miri.
Di kompleks makam keramat ini terdapat beberapa makam yang diduga
berasal dari awal abad ke-17 berbarengan dengan munculnya kekuasaan
Mataram atas beberapa wilayah di Tatar Sunda. Makam-makam itu dibatasi
sekelilingnya dengan benteng setinggi 2 meter. Dan makam-makam itu, ada
yang berada di dalam benteng, ada pula yang berada di luar benteng.
Makam yang berada di dalam benteng, yaitu makam Eyang Wali Pameget,
Eyang Wali istri. Patih Balung Tunggal, Eyang jampbrong, Eyang Janggot
dan Mama Raden. Sedang di bagian luar benteng terdapat makam Eyang
Raksasa, Eyang Sangkal Bolong, Sembah Dalem Waru Suta, Eyang Odas, Eyang
Aling-aling, Eyang Jaga Dora, Eyang Jaga Paksa dan Eyang Jiwa Guna.
Sekarang, lokasi makam itu telah dibangun dengan menggunakan alas
keramik, sehingga nilai kekunoannya menjadi hilang. Padahal, sebelum
dibangun, makam yang terletak di lahan seluas 700 tumbak, itu bercirikan
batu-batu di bawah pohon yang usianya ratusan tahun. Sayang, sampai
sekarang pun, tidak ada yang mau menjelaskan siapa sebenarnya Eyang Wali
Pameget dan Eyang Wali Istri, sebab hanya dua makam inilah yang
betul-betul dikeramatkan. Kuncen Pasirmiri-miri mengaku, ‘pamali’ untuk
menyebutkan namanya. Kepada para peziarah, Kuncen hanya menyebutkan
Eyang Wali Pameget dan Eyang Wali Istri.
Informasi yang didapat pun memang sangat minim. Kuncen lain menyebutkan,
Eyang Wali Pameget berasal dari Mataram, dan memiliki tunggangan
khusus, yaitu seekor macan putih yang menandakan bahwa ia seorang yang
sakti. Biasanya makam ini akan terasa ramai diknjungi pada hari-hari
tertentu, seperti Hari Jum’at Kliwon, dan hari-hari besar agama Islam.
Tetapi, ada juga beberapa pantangan, diantaranya tidak boleh berkunjung
pada hari Rabu dan dilarang merokok di dalam kompleks makam Eyang
Pameget dan Eyang Istri.
Kalau mendengar keterangan dari kuncen, dan nama-nama orang dalam
kompleks pemakaman Pasirmiri-miri, terdapat beberapa jabatan yang
disandang oleh tokoh-tokoh tersebut. Seperti Patih Balung Tunggal,
Sembah Dalem Waru Suta, serta Jaga Dora dan Jaga Paksa. Pasirmiri-miri
pun akhirnya mirip sebuah wilayah kekuasaan yang selalu dilalui orang
secara wara-wiri.
Bangunan-bangunan yang terdapat di lokasi Makam Keramat Pasirmiri-miri,
terdiri dari 2 buah bale, mushola, benteng dan sumur. Jalan menuju makam
selebar 1 meter dengan panjang sekitar 50 meter terbuat dari teras
semen. Seluruh pembangunan infrastruktur ini diperoleh dari sumbangan
pengunjung.
12. Situs Makam Keramat Pangudar
Sekitar abad ke-18, semasa kedudukan Belanda atas Indonesia, wilayah
Kabupaten Bandung rupanya menjadi sebuah kawasan rebutan adu pengaruh
untuk berbagai kepentingan dan tujuan. Jika Belanda hanya berniat
mengeksploitasi lahan-lahan produktif untuk kepentingan ekonomi melalui
pengembangan produkdi-produksi unggulan seperti kina, teh dan kopi untuk
mengusai perdagangan dunia di Eropa, maka berbeda dengan Cirebon,
Banten dan Mataram. Politik ekspansi kolonisasi di wilayah Priangan
dalam upaya perlawanan terhadap imperialisme Belanda diwarnai pula
dengan penyebaran Agama Islam yang dimulai sejak abad ke-16 hingga abad
ke-18.
Dalam kurun waktu selama kurang lebih dua abad itu, pengaruh Agama Islam
begitu cepat merebak hingga ke pedalaman, termasuk di wilayah pedalaman
Kabupaten Bandung. Kompleks makam keramat Pasirmiri-miri di Kecamatan
Paseh merupakan bukti penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Eyang
Wali Pameget beserta istrinya, Eyang Wali Istri yang berasal dari
Mataram berbarengan dengan masa kolonisasi Mataram di Tatar Ukur.
Sementara itu, di Kampung Cinangka, Desa Mandalasari, Kecamatan
Cikancung, juga dapat ditemukan makam keramat Pangudar, seorang tokoh
penyebar agama Islam yang berasal dari Cirebon.
Dikisahkan, sekitar abad ke-18, atas perintah Penguasa Kanoman telah
diutus salah seorang keturunannya yang bernama R. H. Pangeran Panji
Argaloka atau Saca Wadana untuk menyebarkan agama Islam di wilayah
Cicalengka.
Beliau datang sendirian ke wilayah Cicalengka dengan meninggalkan
keluarga di Cirebon. Oleh sebab itu, beliau pun seringkali bolak-balik
antara Cirebon dan tempat yang baru ditempatinya. Kehadiran R.H.
Pangeran Panji Argaloka di tempat baru itu, rupanya dapat diterima oleh
masyarakat sekitar karena memperlihatkan sikap dan perilakunya yang
baik. Ditambah dengan pengetahuan agama Islam yang cukup luas, serta
keahlian lainnya, terutama dalam bidang pengobatan lahir maupun bathin,
hal ini semakin membuat warga merasa simpati. Bahkan, dalam waktu yang
relatif singkat, telah banyak yang menjadi pengikut setia untuk
mendalami ajaran Agama Islam.
Pengaruhnya makin lama semakin luas dan besar sehingga tidak
memungkinkan lagi untuk bolak-balik ke Cirebon, karena harus melayani
warga yang begitu antusias terhadap ajaran agama Islam. Akhirnya, atas
idzin keluarga di Cirebon, beliau pun menetap di Cinangka dengan
menikahi seorang perempuan warga setempat.
Setelah menjadi warga Cinangka, R.H. Pangeran Panji Argaloka semakin
memberikan pengaruh yang sangat kuat dengan pendukung dan pengikut yang
dari tahun ke tahun terus meningkat. Keadaan ini membuat gentar
Pemerintah Hindia Belanda karena ada kecurigaan munculnya sebuah gerakan
perlawanan yang kerapkali dilakukan oleh kalangan pesantren terhadap
ketidakadilan yang dilakukan pihak Belanda sebagai kaum imperialis
terhadap kaum pribumi.
Karena rasa ketakutan itulah, pada akhirnya pihak Belanda berencana
menyergap R.H. Pangeran Panji Argaloka. Rencana itu, sebenarnya sudah
tercium, akan tetapi beliau tidak bergeming maupun berusaha untuk
menghindarinya. Sehingga pada akhirnya, beliau pun benar-benar ditangkap
dengan cara diborgol untuk dibawa ke markas kompeni. Anehnya pada saat
mau diberangkatkan, mendadak R.H. Pangeran Panji Argaloka hilang (tilem)
tanpa berbekas.
Tapi, sebelum tilem beliau sempat memberi amanat dengan terlebih dahulu
membuka (ngudar) borgolnya melalui kesaktian yang dimilikinya. Itulah
sebabnya kemudian orang menjulukinya Eyang Pamudar.
Situs Budaya Makam keramat Eyang Pamudar atau R.H. Pangeran Panji
Argaloka terletak di Kampung Cinangka, Desa Mandalasari, Kecamatan
Cikancung memiliki luas 1,5 ha. Sarana/prasarana berupa mesjid, pos,
bangunan makam berukuran 12 X 14 m. Setiap hari rata-rata dikunjungi
sebanyak 15 peziarah domestik yang berasal Pulau Jawa maupun dari luar
Pulau Jawa.
13. Situs Makam Keramat Sembah Dalem Kalijaga
Makam keramat Sembah Dalem Kalijaga atau Eyang Paku Jaya terletak di
Kampung Ciwangi, Desa Cipaku, Kecamatan Paseh. Jaraknya hanya sekitar
500 m dari jalan raya Cipaku-Sayang. Sekarang berada di kawasan
pemakaman umum warga setempat.
Meskipun berada di kawasan pemakaman umum, kondisi makam Keramat Sembah
Dalem Kalijaga atau Makam Eyang Paku Jaya, tampak berbeda dengan
makam-makam umumnya. Makam ini berada di bawah pohon yang berumur
ratusan tahun. Di sekitar makam terdapat sebuah saung yang diperuntukan
bagi peziarah yang bermaksud menginap. Seputar makam, memang sudah tidak
terlihat lagi nilai kekunoannya karena pada sekitar tahun 1990-an,
kawasan ini dibangun secara permanen dengan menggunakan keramik.
Nilai kekunoan hanya masih terlihat dari batu-batu nisan yang berasal
dari batu alami yang terserak menutupi permukaan pekuburan. Dan yang
membedakan pula dengan dengan makam-makam lain, bahwa hampir setiap
minggu makam ini selalu saja ada yang berkunjung dengan berbagai
kepentingan. Ada yang berasal dari kalangan yang mengaku sebagai
keluarga, para peziarah dengan maksud-maksud tertentu dengan tujuan
ingin mendapatkan sugesti agar sukses dalam segala urusan.
Apalagi di kalangan peziarah ada yang menyakini, bahwa semasa hidupnya
Eyang Paku Jaya adalah sosok yang dianggap telah memberikan kenyamanan
dan perlindungan terhadap masyarakat sekitar. Sehingga banyak orang yang
berkunjung ke sana hanya unutuk mendapat karomah, menjadi orang yang
benar-benar jaya dalam mengarungi kehidupan ini.
Julukan Sembah Dalem Kalijaga sendiri uncul, karena semasa hidupnya
Eyang Paku Jaya adalah sosok yang senantiasa member perlindungan kepada
warga dengan banyak memberikan bantuan, baik bantuan berupa harta benda,
maupun bantuan berupa kesaktiaan di saat-saat warga mendapat ancaman
bahaya dari pihak luar.
Siapa sebenarnya sosok Eyang Paku Jaya sesungguhnya?
Berdasarkan hasil penelusuran dari berbagai sumber, ada yang berpendapat
bahwa Eyang Paku Jaya semasa hidupnya adalah seorang pemimpin besar
pewaris tahta kerajaan Timbanganten. Bahkan menurut sumber tersebut,
yang disebut dengan Eyang Paku Jaya adalah tidak lain dan tidak bukan
ternyata Ratu Cakrawati Wiranatakusumah.
Di Kampung Ciwangi, Désa Cipaku, Kecamatan Paséh kapanggih makam kuno ti
abad ka-17. Eta makam teh, katelahna makam Eyang Ratu. Tapi, ari ku
masarakat urang Ciwangi mah disebutna Makam Sembah Dalem Kali Jaga atawa
Paku Jaya.
Saenyana mah, ngaran Sembah Dalem Kali Jaga téh euweuh hubungan anu
natrat jeung Sunan Kali Jaga anu nyebarkeun agama Islam di Pulau Jawa.
Da ari maksud Sembah Dalem Kali Jaga di éta tempat téh ngan saukur
sesebutan urang dinya pédah baheulana salila dina alam penjajahan, ka
éta lembur tara kasorang ku kaum Penjajah. Aya ogé nu lunta-lanto ka
dinya, malah sok dilinglungkeun. Puguh jaman harita mah kaasup kénéh
leuweung geledegan.
Beuki dieu beuki dieu, aya diantarana anu panasaran, saha saenyana Éyang
Ratu téh?. Sok sanajan, masarakatna sorangan masih kénéh cangcaya, saha
atuh sabenerna makam anu kiwari disebut Sembah Dalem Kali Jaga anu aya
di lembur Ciwangi téh?
Mémang, cenah, éta makam téh nepi ka ayeuna sok pada ngadegdeg.
Pangpangna ku nu hayang ngalap berkah. Da kungsi kajadian, aya urang
Jakarta anu sok mindeng ka dinya bet diparengkeun maju usahana. Nepi ka