R. BAGUS ASSRAH PENDIRI BONDOWOSO
Berawal dari seorang anak yang bernama Raden Bagus Assra, ia adalah anak
Demang Walikromo pada masa pemerintahan Panembahan di bawah Adikoro IV,
menantu Tjakraningkat Bangkalan, sedangkan Demang Walikoromo tak lain
adalah putra Adikoro IV.
Tahun 1743 terjadilah pemberontakan Ke Lesap terhadap Pangeran
Tjakraningrat karena dia diakui sebagai anak selir. pertempuran yang
terjadi di desa Bulangan itu menewaskan Adikoro IV, Tahun 1750
pemberontakan dapat dipadamkan dengan tewasnya Ke Lesap.
Terjadi pemulihan kekuasaan dengan diangkatnya anak Adikoro IV, yaitu
RTA Tjokroningrat. Tak berapa lama terjadi perebutan kekuasaan dan
pemerintahan dialihkan pada Tjokroningrat I anak Adikoro III yang
bergelar Tumenggung Sepuh dengan R. Bilat sebagi patihnya.
Khawatir dengan keselamatan Raden Bagus Assra, Nyi Sedabulangan membawa
lari cucunya mengikuti eksodus besar-besaran eks pengikut Adikoro IV ke
Besuki. Assra kecil ditemukan oleh Ki Patih Alus, Patih Wiropuro untuk
kemudian di tampung serta dididik ilmu bela diri dan ilmu agama.
Semasa Pemerintahan Bupati Ronggo Kiai Suroadikusumo di Besuki mengalami
kemajuan dengan berfungsinya Pelabuhan Besuki yang mampu menarik minat
kaum pedagang luar. Dengan semakin padatnya penduduk perlu dilakukan
pengembangan wilayah dengan membuka hutan yaitu ke arah tenggara.
Kiai Patih Alus mengusulkan agar Mas Astrotruno, putra angkat Bupati
Ronggo Suroadikusumo, menjadi orang yang menerima tugas untuk membuka
hutan tersebut. usul itu diterima oleh Kiai Ronggo-Besuki, dan Mas
Astrotruno juga sanggup memikul tugas tersebut.
Kemudian Kiai Ronggo Suroadikusumo terlebih dahulu menikahkan Mas
Astotruno dengan Roro Sadiyah yaitu putri Bupati Probolinggo Joyolelono.
Mertua Mas Astrotruno menghadiahkan kerbau putih "Melati" yang dongkol
(tanduknya melengkung ke bawah) untuk dijadikan teman perjalanan dan
penuntun mencari daerah-daerah yang subur.
Pengembangan wilayah ini dimulai pada 1789, selain untuk tujuan politis
juga sebagai upaya menyebarkan agama Islam mengingat di sekitas wilayah
yang dituju penduduknya masih menyembah berhala. Mas Astrotruno dibantu
oleh Puspo Driyo, Jatirto, Wirotruno, dan Jati Truno berangkat
melaksanakan tugasnya menuju arah selatan, menerobos wilayah pegunungan
sekitar Arak-arak "Jalan Nyi Melas". Rombongan menerobos ke timur sampai
ke Dusun Wringin melewati gerbang yang disebut "Lawang Sekateng".
Nama-nama desa yang dilalui rombongan Mas Astrotruno, yaiitu Wringin,
Kupang, Poler dan Madiro, lalu menuju selatan yaitu desa Kademangan
dengan membangun pondol peristirahatan di sebelah barat daya Kademangan
(diperkirakan di Desa Nangkaan sekarang).
Desa-desa yang lainnya adalah disebelah utara adalah Glingseran, tamben
dan Ledok Bidara. disebelah Barat terdapat Selokambang, Selolembu.
sebelah timur adalah Tenggarang, Pekalangan, Wonosari, Jurangjero,
Tapen, Praje,kan dan Wonoboyo. Sebelah selatan terdapat Sentong, Bunder,
Biting, Patrang, Baratan, Jember, Rambi, Puger, Sabrang, Menampu,
Kencong, Keting. Jumlah Penduduk pada waktu itu adalah lima ratus orang,
sedangkan setiap desa dihuni, dua, tiga, empat orang. kemudian
dibangunlah kediaman penguasa di sebelah selatan sungai Blindungan, di
sebelah barat Sungai Kijing dan disebelah utara Sungai Growongan
(Nangkaan) yang dikenal sebagai "Kabupaten Lama" Blindungan, terletak
±400 meter disebelah utara alun-alun.
Pekerjaan membuka jalan berlangsung dari tahun 1789-1794. Untuk
memantapkan wilayah kekuasaan, Mas Astrotruno pada tahun 1808 diangkat
menjadi demang denga gelar Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno, dan
sebutannya adalah "Demang Blindungan". Pembangunan kotapun dirancang,
rumah kediaman penguasa menghadap selatan di utara alun-alun. Dimana
alun-alun tersebut semula adalah lapangan untuk memelihara kerbau putih
kesayangan Mas Astrotruno, karena disitu tumbuh rerumputan makanan
ternak. Lama kelamaan lapangan itu mendapatkan fungsi baru sebagai
alun-alun kota.
Sedangkan di sebelah barat dibangun masjid yang menghadap ke timur. Mas
Astrotruno mengadakan berbagai tontonan, antara lain aduan burung puyuh
(gemak), Sabung ayam, kerapan sapi, dan aduan sapi guna menghibur para
pkerja. tontonan aduan sapi diselenggarakan secara berkala dan mejdi
tontonan di Jawa Timur sampai 1998. Tas jasa-jasanya kemudian Astrotruno
diangkat sebagai Nayaka merangkap Jaksa Negeri.
Dari ikatan Keluarga Besar "Ki Ronggo Bondowoso" didapat keterangan
bahwa pada tahun 1809 Raden bagus Asrrah atau mas Ngbehi Astrotruno
dianggkat sebagi patih beriri sendiri (zelfstanding) dengan nama
Abhiseka Mas Ngabehi kertonegoro. Beliau dipandang sebagai penemu
(founder) sekaligus penguasa pemerintahan pertama (first ruler) di
Bondowoso. Adapau tempat kediaman Ki Kertonegoro yang semula bernama
Blindungan, dengan adanya pembangunan kota diubah namanya menjadi
Bondowoso, sebagi ubahan perkataan wana wasa. Maknanya kemudiandikaitkan
dengan perkataan bondo, yang berarti modal, bekal, dan woso yang
berarti kekuasaan. makna seluruhnya demikian: terjadinya negeri (kota)
adalah semata-mata karena modal kemauan kleras mengemban tugas
(penguasa) yang diberikan kepada Astrotruno untuk membabat hutan dan
membangun kota.
Meskipun Belanda telah becokol di Puger dan secara administrtatif
yuridis formal memasukan Bondowoso kedalam wilayah kerkuasaannya, namun
dalam kenyataannya pengangkatan personil praja masih wewenang Ronggo
Besuki, maka tidak seorang pun yang berhak mengkliam lahirnya kota baru
Bondowoso selain Mas Ngabehi Kertonegoro. Hal ini dikuatkan dengan
pemberian izin kepada Beliau untuk terus bekerja membabat hutan sampai
akhir hayat Sri Bupati di Besuki.
Pada tahun 1819 Bupati Adipati Besuki Raden Ario Prawiroadiningrat
meningkatkan statusnya dari Kademangan menjadi wilayah lepas dari Besuki
dengan status Keranggan Bondowoso dan mengangkat Mas Ngabehi Astrotruno
menjadi penguasa wilayah dengan gelar Mas Ngabehi Kertonegoro, serta
dengan perdikat Ronngo I. Hal ini berlangsung pada hari Selasa Kliwon,
25 Syawal 1234 H atau 17 agustus 1819. Peristiwa itu kemudian dijadikan
eksistensi formal Bondowoso sebgai wilayah kekuasaan mandiri di bawah
otoritas kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso. Kekuasaan Kiai Ronggo
Bondowoso meliputi wilayah Bondowoso dan Jember, dan berlangsung antara
1829-1830.
Pada 1830 Kiai Ronggo I mengundurkan diri dan kekausaannya diserahkan
kepada putra keduanya yang bernama Djoko Sridin yang pada waktu itu
menjabat Patih di Probolinggo. Jabatan baru itu dipangku antar 1830-1858
dengan gelar M Ng Kertokusumo dengan predikat Ronggo II, berkedudukan
di Blindungan sekarang atau jalan S Yododiharjo (jalan Ki Ronggo) yang
dikenal masyarakat sebagi "Kabupaten lama".Setelah mengundurkan diri,
Ronggo I menekuni bidang dakwah agama Islam dengan bermukim di
Kebundalem Tanggulkuripan (Tanggul, Jember), Ronggo I wafat pada 19
Rabi'ulawal 1271 H atau 11 Desember 1854 dalam usia 110 tahun.
Jenazahnya dikebumikan disebuah bukit (Asta Tinggi) di Desa Sekarputih.
Masyarakat Bondowoso menyebutnya sebagai "Makam Ki Ronggo".