Ki Ageng Pandanaran (Ki Ageng Pandan Arang) adalah Adipati pertama
Semarang dan tanggal diangkatnya beliau sebagai adipati dijadikan hari
jadi Kota Semarang. Ki Ageng Pandanaran lantas dianggap sebagai pelopor
berdirinya kota Semarang. Kota Semarang waktu itu merupakan salah satu
pusat penyiaran agama Islam dan menjadi bagian dari Kerajaan Demak.
Dengan adanya penyiaran agama Islam menarik orang untuk juga berdatangan
baik untuk bermukim maupun berdagang di Semarang sehingga wilayah ini
menjadi ramai.
Meskipun Ki ageng Pandanaran hidup dalam masa yang sama dengan para Wali
Sanga, namun beliau tidak termasuk ke dalamnya. Beliau mendirikan
Pesantren dan menyiarkan agama Islam di wilayan yang semakin subur itu.
Disela-sela kesuburan itu terdapat pohon asam yang jarang ( bahasa Jawa :
asem arang ) yang lantas wilayah itu diberi nama Semarang. Ki Ageng
Pandanaran meninggal pada tahun 1496.
Kyai Ageng Pandanaran 1 adalah putra Pangeran Suryo (Gusti Made Pandan) Putra Sultan Fatah Demak.
Tempat ini banyak dikunjungi oleh peziarah terutama pada acara khol
meninggalnya beliau. Makam Ki Ageng Pandanaran berada di Jl. Mugas Dalam
II / 4 kelurahan Randusari Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang.
Ki Ageng Pandanaran atau bernama asli Pangeran Mangkubumi dengan gelar
Sunan Bayat atau Sunan Tembayat adalah Bupati Kedua Semarang (kini Kota
Semarang), Jawa, Tengah Indonesia. Selain sebagai kepala pemerintahan,
ia juga dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam yang sakti. Bagaimana
sepak terjang Ki Ageng Pandanaran menjalankan tugas-tugas pemerintahan
sekaligus menyebarkan agama Islam ke masyarakat Jawa Tengah? Ikuti
kisahnya dalam cerita Ki Ageng Pandanaran berikut!
Alkisah, hiduplah seorang bupati yang bernama Pangeran Mangkubumi yang
memerintah di daerah Semarang. Ia adalah putra dari Bupati Pertama
Semarang Harya Madya Pandan (Pandan Aran 1) Sepeninggal ayahandanya,
Pangeran Mangkubumi menggantikan kedudukan sang ayah sebagai Bupati
Kedua Semarang dengan gelar Ki Ageng Pandanaran. Ia diangkat menjadi
kepala pemerintahan Semarang 2 Mei 1498 M atas hasil perundingan antara
Sutan Demak dengan Sunan Kalijaga.
Sebagai kepala pemerintahan, Ki Ageng Pandanaran melanjutkan usaha yang
telah dirintis oleh sang ayah. Di sela-sela kesibukannya mengurus
tugas-tugas pemerintahan, ia juga giat mengembangkan kegiatan-kegiatan
keagamaan untuk membina rakyatnya. Kegiatan tersebut di antaranya
mengadakan pengajian secara rutin, menyampaikan ceramah-ceramah melalui
khotbah Jumat, serta mengembangkan pondok-pondok pesantren dan
tempat-tempat ibadah. Dengan demikian, ia dianggap telah berhasil
menjalankan tugas-tugas pemerintahan dengan baik dan patuh kepada
ajaran-ajaran Islam seperti mendiang ayahnya, sehingga rakyatnya pun
hidup makmur dan damai.
Namun, sifat manusia dapat saja berubah setiap saat. Demikian pula Ki
Ageng Pandanaran sebagai seorang manusia. Keberhasilan yang telah
dicapai membuatnya lupa diri. Sifatnya yang dulu baik tiba-tiba berubah
menjadi congkak, sombong, dan kikir. Ia senang mengumpulkan harta untuk
kemewahan. Kehidupan mewah itu pun membuatnya lalai terhadap
tugas-tugasnya, baik sebagai kepala pemerintahan maupun pengembang agama
Islam. Ia tidak pernah lagi memberikan pengajian dan ceramah kepada
rakyatnya. Demikian pula, ia tidak pernah merawat pondok pesantren dan
tempat-tempat ibadah.
Mengetahui sikap dan perilaku Ki Ageng Pandanaran tersebut, Sunan
Kalijaga segera memperingatkannya dengan cara menyamar sebagai penjual
rumput. Dengan kecerdikannya, sang sunan menyisipkan nasehat-nasehat
kepada sang bupati pada saat menawarkan rumputnya.
Suatu hari, datanglah Sunan Kalijaga ke kediaman Ki Ageng Pandanaran
dengan mengenakan pakaian compang-camping layaknya seorang tukang
rumput. Di sela-sela menawarkan rumputnya, sang sunan menasehati Ki
Ageng Pandanaran agar tidak terbius oleh kemewahan dunia.
“Maaf, Tuan! Sebaiknya Tuan segera kembali ke jalan yang benar dan
diridhoi Allah SWT!” ujar Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai penjual
rumput.
“Hai, tukang rumput! Apa maksudmu menyuruhku kembali ke jalan yang
benar? Memang kamu siapa, sudah berani menceramahiku?” tanya Ki Ageng
Pandanaran dengan nada menggertak.
“Maaf, Tuan! Saya hanyalah penjual rumput yang miskin. Hamba melihat
Tuan sudah terlalu jauh terlena dalam kebahagiaan dunia. Saya hanya
ingin memperingatkan Tuan agar tidak melupakan kebahagiaan akhirat.
Sebab, kebahagiaan yang abadi adalah kebahagiaan akhirat,” ujar si
penjual rumput.
Mendengar nasehat itu, Ki Ageng Pandanaran bukannya sadar, melainkan
marah dan mengusir si penjual rumput itu. Meski demikian, si penjual
rumput tidak bosan-bosannya selalu datang menasehatinya. Namun, setiap
kali dinasehati, Ki Ageng Pandanaran tetap saja tidak menghiraukan
nasehat itu. Khawatir perilaku penguasa daerah Semarang itu semakin
menjadi-jadi, Sunan Kalijaga menunjukkan kesaktiannya.
“Wahai Bupati yang angkuh dan sombong! Ketahuilah, harta yang kamu
miliki tidak ada artinya dibandingkan dengan harta yang aku miliki,”
kata penjual rumput itu.
“Hai, tukang rumput! Kamu jangan mengada-ada! Buktikan kepadaku jika kamu memang orang kaya!” seru Ki Ageng Pandanaran.
Akhirnya, Sunan Kalijaga menunjukkan kesaktiannya dengan mencangkul
sebidang tanah. Setiap bongkahan tanah yang dicangkulnya berubah menjadi
emas. Ki Ageng Pandanaran sungguh heran menyaksikan kesaktian penjual
rumput itu. Dalam hatinya berkata bahwa penjual rumput itu bukanlah
orang sembarangan.
”Hai, penjual rumput! Siapa kamu sebenarnya?” tanya Ki Ageng Pandanaran penasaran bercampur rasa cemas.
Akhirnya, penjual rumput itu menghapus penyamarannya. Betapa terkejutnya
Ki Ageng Ki Ageng Pandanaran ketika mengetahui bahwa orang yang di
hadapannya adalah Sunan Kalijaga. Ia pun segera bersujud seraya
bertaubat.
“Maafkan, saya Sunan! Saya sangat menyesal atas semua kekhilafan saya
selama ini. Jika Sunan tidak keberatan, izinkanlah saya berguru kepada
Sunan!” pinta Ki Ageng Pandanaran.
“Baiklah, Ki Ageng! Jika kamu benar-benar mau bertaubat, saya bersedia
menerimamu menjadi murdiku. Besok pagi-pagi, datanglah ke Gunung
Jabalkat! Saya akan menunggumu di sana. Tapi ingat, jangan sekali-kali
membawa harta benda sedikit pun!” ujar Sunan Kalijaga mengingatkan.
Dengan tekad kuat ingin belajar agama, Ki Ageng Pandanaran akhirnya
menyerahkan jabatannya sebagai Bupati Semarang kepada adiknya. Setelah
itu, ia bersama istrinya meninggalkan Semarang menuju Gunung Jabalkat.
Namun, ia lupa mengingatkan istrinya untuk tidak membawa harta benda
sedikit pun. Naluri sebagai seorang wanita, sang istri memasukkan
seluruh perhiasan dan uang dinarnya ke dalam tongkat yang akan di
bawanya.
Dalam perjalanan, sang istri selalu tertinggal jauh di belakang suaminya
karena keberatan membawa tongkatnya yang berisi harta benda. Ki Ageng
Pandanaran pun baru menyadari hal tersebut setelah mendengar istrinya
berteriak meminta pertolongan.
“Kangmas, tulung! Wonten Tyang salah tiga!” artinya “Kangmas, tolong! Ada tiga orang penyamun!”
Mendengar teriakan itu, Ki Ageng Pandanaran segera berlari menolong
istrinya. Begitu tiba di dekat istrinya, ia mendapati tiga orang
penyamun sedang berusaha merebut tongkat istrinya. Dengan perasaan
marah, ia menegur ketiga penyamun itu.
“Hai, manusia! Mengapa kamu nekad seperti kambing domba!” seru Ki Ageng Pandanaran melihat sikap kasar penyamun itu.
Sseketika itu pula, wajah pemimpin penyamun yang bernama Sambangdalan
berubah menjadi wajah domba. Rupanya, sejak direstui menjadi murid Sunan
Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran memiliki kesaktian yang tinggi. Ucapan
yang keluar dari mulutnya menjadi sakti mandraguna. Melihat kesaktian
itu, para penyamun tersebut menjadi ketakutan. Sambangdalan pun
bertaubat dan meminta agar wajahnya dikembalikan seperti semula.
Akhirnya, Ki Ageng Pandanaran pun memaafkan mereka. Meski demikian,
wajah pemimpin penyamun itu tetap seperti domba dan kemudian menjadi
pengikut Ki Ageng Pandanaran yang dikenal dengan nama Syekh Domba.
Setelah itu, Ki Ageng Pandanaran bersama sang istri melanjutkan
perjalanan. Tak beberapa lama kemudian, tibalah mereka di Gunung
Jabalkat. Kedatangan mereka disambut baik oleh Sunan Kalijaga. Sejak
itulah, Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga.
Ki Ageng Pandanaran seorang murid yang cerdas dan rajin. Berkat
kecerdesannya, ia ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam di sekitar
daerah tersebut. Ia pun mendirikan sebuah perguruan di Gunung Jabalkat.
Ajaran Ki Ageng Pandanaran yang paling menonjol dikenal dengan istilah
Patembayatan, yaitu kerukunan dan kegotongroyongan. Setiap orang yang
datang untuk memeluk agama Islam harus mengucapkan Sahadat Tembayat.
Berkat ajaran Patembayatan, ia juga berhasil mendirikan sebuah masjid di
Bukit Gala.
Selain pengetahuan agama, Ki Ageng Pandanaran juga mengajarkan cara
bercocok tanam dan cara bergaul dengan baik kepada penduduk sekitarnya.
Setelah itu, ia pun menetap di Jabalkat hingga akhir hayatnya. Daerah
Jabalkat dan sekitarnya sekarang dikenal dengan nama Tembayat atau
Bayat. Itulah sebabnya ia diberi gelar Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.
Hingga kini, makam Ki Ageng Pandanaran dapat ditemukan di atas Bukit
Cakrakembang di sebelah selatan bukit Jabalkat, Desa Paseban, Kecamatan
Bayat, Kabupaten Klaten.
Demikian cerita Ki Ageng Pandanaran Cerita di atas termasuk kategori
cerita sejarah yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satunya adalah
bahwa jangan sampai kemewahan duniawi membuat kita lupa diri seperti Ki
Ageng Penandaran. Oleh karena sibuk mengejar kemewahan duniawi, akhirnya
ia lupa pada kehidupan akhirat yang kekal. Namun, sejelek-jelek
perbuatan seeorang, jika ia segera bertaubat, maka Tuhan akan mengampuni
dan manusia pun akan memaafkannya. Berkat kesadarannya ingin cepat
bertaubat, Ki Ageng Pandanaran direstui menjadi murid Sunan Kalijaga
hingga akhirnya menjadi seorang sunan penyebar agama Islam di Jawa
Tengah pada masa lalu dan terus dikenang hingga saat ini.