Surutnya pembuatan keris tak sebatas oleh pola pewarisan yang tertutup. Ini tak luput dari datangnya kapitalisme.
Menurut perspektif Barat, pembuatan senjata khususnya pada orang-orang
Timur—dengan porsi utama segi estetika—adalah salah satu pemenuhan
kebutuhan manusia, yaitu pamer. Sungguh sebuah pandangan yang ganjil.
Pembuatan senjata (keris) memakan proses panjang dan teknik-teknik
khusus. Selain itu, keris juga mengandung makna-makna filosofis nan
simbolis dari setiap lekuknya. Dalam banyak kebudayaan di Nusantara, ia
dianggap bagian integral dari pemiliknya, misalnya bagi orang-orang
Bugis, Makassar, Bima, keris dianggap sebagai pengganti dari rusuk
sebelah kiri yang hilang
Pamor Keris
Bahkan senjata yang berpamor, tidak pernah ada dalam sejarah India.
Bentuk senjata yang menyerupai keris pun tidak pernah dijumpai di negeri
itu. Dalam kitab Mahabarata dan Ramayana yang ditulis pujangga India,
tidak ditemukan satu pun senjata yang bernama keris. Jenis senjata yang
ada dalam buku epos agama Hindu itu adalah gendewa dan panahnya, gada,
pedang, dan cakra. Tetapi tidak keris! Keris baru dijumpai setelah kedua
cerita itu diadaptasi oleh orang Jawa dan menjadi cerita wayang!
Beberapa buku yang ditulis orang Barat menyebutkan bahwa di Persia (kini
Iran) dulu juga pernah ada pembuatan senjata berpamor yang serupa
dengan keris yang ada di Indonesia. Ini pun keliru!
Beberapa jenis senjata kuno buatan Persia memang dihiasi dengan semacam
lukisan atau kaligrafi pada permukaan bilahnya. Namun penerapan teknik
hiasan itu beda benar dengan pamor. Teknik menghias gambar pada
permukaan yang dilakukan bilah senjata yang dilakukan di Iran adalah
dengan menggores permukaan bilah itu sehingga timbul alur, kemudian ke
dalam alur goresan itu dibenamkan (dijejalkan) kepingan tipis logam emas
atau kuningan.
Jadi, teknik hias yang digunakan orang Iran adalah teknik inlay, yang
oleh orang Jawa disebut sinarasah. Tetapi hiasan sinarasah itu sama
sekali bukan pamor, melainkan hanya merupakan hiasan tambahan atau
susulan. Sedangkan pamor adalah hiasan yang terjadi karena adanya
lapisan-lapisan dari dua (atau lebih) jenis logam yang berbeda nuansa
warna dan penampilannya, yaitu besi, baja, serta bahan pamor. Besinya
berwarna kehitaman, bajanya agak abu-abu, sedangkan pamornya cemerlang
keperakan. Padahal semua senjata buatan Iran, praktis hanya terbuat dari
satu macam logam, yakni baja melulu.
Memang teknik pembuatan pamor pada bilah keris agak serupa dengan teknik
pembuatan baja Damaskus. Pedang Damaskus atau baja Damaskus juga
terbuat dari paduan dua logam yang mempunyai nuansa beda. Pedang itu pun
menampilkan gambaran semacam pamor pada permukaan bilahnya.
Tetapi meskipun teknik pembuatannya hampir sama, niat dan tujuan
pembuatan kedua benda itu jauh berbeda. Pedang Damaskus dibuat dengan
tujuan utama membunuh lawan, senantiasa diasah tajam. Sedangkan keris
dibuat untuk benda pusaka, untuk mendapat kepercayaan diri (sipat kandel
- Bhs. Jawa), diharapkan manfaat gaibnya, serta tidak pernah diasah
setelah keris itu jadi.
Keris berdapur Tilamsari dengan hiasan kinatah emas Di Indonesia, keris
yang baik pada umumnya selain berpamor juga diberi hiasan tambahan dari
emas, perak, dan juga permata. Hiasan ini dibuat untuk memuliakan keris
itu, atau sebagai penghargaan Si Pemilik terhadap kerisnya. Pemberian
emas dapat juga sebagai anugrah dari raja atas penghargaan terhadap jasa
Si Pemilik keris itu.
Hiasan yang dinilai paling tinggi derajatnya adalah bilamana sebilah
keris diberi kinatah atau tinatah. Permukaan bilah keris dipahat dan
diukir denga motif tertentu sehingga membentuk gambar timbul (relief)
dan kemudian dilapisi dengan emas. Terkadang, di sela-sela motif hiasan
berlapis emas itu masih ditambah lagi dengan intan atau berlian.
Jika hiasan kinatah itu menutup sepertiga bagian panjang bilah atau lebih, disebut kinatah kamarogan.
Jenis motif kinatah juga banyak ragamnya. Yang paling terkenal adalah,
pada bilah keris adalah kinatah lung-lungan, dan pada ganja kinatah
gajah singa.
Hiasan sinarasah emas seperti yang dilakukan orang Persia kuno,
tergolong lebih sederhana dibandingkan dengan kinatah. Teknik sinarasah,
selain digunakan untuk menghias permukaan bilah, juga sering digunakan
untuk membuat motif rajah. Yaitu gambaran yang dianggap memiliki
pengaruh gaib. Misalnya rajah Kalacakra, rajah Bintang Soleman, dll.
Ditinjau dari cara dan niat pembuatannya keris dapat dibagi atas dua
golongan besar. Yaitu yang disebut keris ageman, yang hanya mementingkan
keindahan lahiriah (eksoteri) keris itu. Golongan dua adalah keris
tayuhan, yang lebih mementingkan tuah atau kekuatan gaibnya (isoteri
atau esoteri).
Ditinjau dari bentuk dan kelengkapan bagian-bagiannya, keris terbagi
atas 240 dapur keris. Dari jumlah yang ratusan itu, secara umum dapat
dibagi atas dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan yang
berkelok-kelok bilahnya. Yang berkelok-kelok bilahnya itu disebut keris
luk. Jumlah kelokan atau luknya, mulai dari tiga sampai dengan 13. Keris
yang luknya lebih dari 13, dianggap sebagai keris yang tidak normal
(tetapi bukan berarti tidak baik), dan disebut keris Kalawija. Sedangkan
motif hiasan pamor pada bilahnya, lebih dari 150 ragam pamor.
Keris yang dibuat dalam lingkungan keraton oleh para empu keraton,
umumnya diberi gelar Kyai, Kanjeng Kyai, dan Kanjeng Kyai Ageng, Selain
gelar, keris juga diberi nama. Gelar dan nama keris itu tercatat dan
disimpan dalam arsip keraton. Sedangkan keris milik keraton biasanya
disimpan dalam ruangan khususyang disebut Gedong Pusaka.
Keris-keris yang terkenal dan disebut-sebut dalam legenda atau cerita
rakyat, yang paling terkenal adalah keris Empu Gandring pada zaman
Kerajaan Singasari. Keris itu konon dibuat oleh Empu Gandring atas
pesanan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Keris
terkenal lainnya adalah Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat, pusaka Keraton
Majapahit yang konon pernah dicuri oleh Adipati Blambangan. Ada lagi
keris Kyai Setan Kober yang dipakai oleh Arya Penangsang, sewaktu
berperang melawan Danang Sutawijaya, pada awal berdirinya kerajaan
Pajang.
Sedangkan di pantai timur Sumatra dan Semenanjung Malaya, yang terkenal adalah keris Si Ginje.
Cara Memakai
Cara mengenakan keris sewaktu seseorang memakai pakaian adat, berbeda
antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Selain itu dalam
satu daerah, kadang-kadang cara pemakaian itu juga berbeda antara
lapisan masyarakat yang satu dengan lainnya, tergantung pada tingkat
sosialnya. Dan itu pun harus disesuaikan, pada situasi apa keris itu
akan dikenakan. Mengenai tata cara mengenakan keris ini pada setiap
daerah, setiap suku bangsa, memang ada aturannya, ada etikanya.
Di Pulau Jawa, misalnya, cara mengenakan keris pada suatu pesta, tidak
sama dengan kalau keris itu dikenakan untuk menghadiri suatu acara
kematian dan penguburan.
Di Pulau Jawa pada umumnya keris dikenakan orang dengan cara
menyelipkannya di antara stagen sejenis ikat pinggang, di pinggang
bagian belakang. Yang paling umum, keris itu diselipkan miring ke arah
tangan kanan, namun pada situasi yang lain, lain pula posisi keris itu.
Umpamanya, pada situasi perang, kalau yang mengenakan keris itu seorang
ulama - keris akan diselipkan di bagian dada, miring ke arah tangan
kanan. Misalnya seperti yang dikenakan oleh Pangeran Diponegoro pada
gambar-gambar yang dapat kita lihat di buku sejarah.
Di Pulau Bali keris dikenakan dengan cara menyelipkannya pada lipatan
kain, di punggung dengan posisi tegak atau miring ke kanan. Tetapi pada
situasi yang khusus, cara pemakaiannya juga lain lagi.
Di daerah Minangkabau, Bangkinang, bengkulu, Palembang, Riau, Malaysia,
Brunai Darussalam, Pontianak, Sambas, Kutai, Tenggarong, Banjar, Bugis,
Goa, Makassar, Luwu, dll, keris biasanya dikenakan dengan cara
menyelipkannya pada lipatan kain sarung, di bagian dada atau perut Si
Pemakai, dengan kedudukan serong ke arah tangan kanan. Pada sebagian
suku bangsa di Indonesia, mengenakan pakaian adat tanpa keris adalah
sesuatu yang aneh, janggal, tidak masuk akal. Barangkali seperti melihat
orang Eropa mengenakan jas dan dasi tetapi tanpa sepatu.
Perjodohan
Sebagai benda antik yang banyak penggemarnya, nilai sebilah keris selain
ditentukan oleh keindahannya, mutu, dan jenis bahan bakunya, juga oleh
umurnya. Pada umumnya, makin tua keris itu, senjata pusaka itu akan
makin dihargai. Namun penilaian terhadap mutu sebilah keris bukan hanya
berdasar umur, juga keutuhan, serta beberapa faktor lainnya.
Para penggemar keris pada umumnya mempunyai pedoman umum dalam menilai
sebuah keris. Pedoman itu adalah tangguh, sepuh, dan wutuh. Yang
dimaksudkan adalah, perkiraan asal pembuatan keris itu (tangguh),
relatif sudah tua (sepuh), dan belum ada cacat, gripis, aus, atau lepas
salah satu bagiannya (wutuh). Selain itu ada pula penggemar keris yang
menambah tiga kriteria di atas dengan memperhatikan bahan besinya, bahan
pamornya, keindahan bentuknya, serta kebenaran pakem pembuatannya dan
wibawa atau pengaruh yang terpancar dari bilah keris itu.
Di beberapa kota di Pulau Jawa ada perhimpunan penggemar dan pecinta
tosan aji, terutama keris. Di Surakarta, namanya Boworoso Tosan Aji,
setelah itu ada Boworoso Panitikadga. Di Yogyakarta dan Jakarta ada
Pametri Wiji, singkatan dari Paheman Memetri Wesi Aji. Kemudian pada
tahun 1990, di Jakarta, ada lagi Damartaji, singkatan Persaudaraan
Penggemar Tosan Aji. Secara berkala, para pecinta tosan aji dan keris
itu mengadakan sarasehan dan diskusi untuk membahas budaya keris dari
berbagai segi.
Jual beli dalam dunia perkerisan biasanya diistilahkan dengan
perjodohan. Sedangkan harganya, pada umumnya disebut mas kawin. Bilamana
sebilah keris diberikan kepada seseorang tanpa mas kawin, Si Penerima
keris itu harus memberikan petukan atau jemputan kepada Si Pemberi. Di
Malaysia dan Brunai Darussalam, tradisi yang demikian disebut mahar atau
imbal, sedangkan di Riau dan Kalimantan Barat juga menggunakan istilah
jemputan.
Istilah perjodohan dalam dunia perkerisan timbul karena anggapan
sebagian besar pecinta keris bahwa tidak sembarang keris dapat cocok
dengan seseorang. Keris yang dianggap sesuai dan cocok bagi Si A,
mungkin tidak cocok dipakai oleh si B. Keris yang cocok dan sesuai tuah
atau isoterinya, disebut jodoh. Sedangkan istilah mas kawin, timbul
karena anggapan bahwa istilah jual beli terlalu rendah dan kasar bila
digunakan untuk menyebut adanya transaksi pada sebilah keris. Jadi, jika
seseorang akan menanyakan berapa harga sebilah keris, maka ia harus
berkata: "Boleh saya tahu berapa mas kawinnya?".
Bahkan, dulu bilamana seseorang menginginkan keris milik orang lain, ia
bukan menyatakan hasratnya ingin membeli, melainkan mengatakan ingin
melamar keris itu. "Jika diperkenankan, saya ingin melamar keris bapak
yang ber-dapur Jalak Sangu Tumpeng dan berpamor Wos Wutah itu..."
Itu semua dilakukan oleh orang yang hidup pada masa dulu, yakni nenek
moyang kita, sebagai suatu etika, pengakuan dan penghargaan masyarakat
atas tingginya kedudukan di mata masyarakat itu sendiri.
Persinggungan Religi
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa terdapat 5 hal yang menjadi pegangan
yaitu:Turangga (kuda), Wanita (perempuan),Curiga (senjata), Wisma
(rumah) dan Kukila(burung perkutut). Kesemua hal tersebut mewakili
prinsip hidup yang menjadi pegangan dalam budaya Jawa.
Keris—dalam konsep curiga—dipandang mempunyai suatu daya mistis yang
lebih besar dari pada jenis senjata yang lain, sehingga memerlukan
perlakuan yang berbeda pula. Keris dan senjata lain keramat lainnya atau
sebagai pusaka harus dibersihkan (jamasan) setiap periode tertentu
dengan upacara-upacara yang khusus pula. Senjata keramat tersebut
dianggap mempunyai suatu daya magis, mempunyai roh yang dapat
mempengaruhi kehidupan sang pemilik dan bahkan lingkungan sosial di
lingkup kekuatan benda keramat tersebut.
Hampir tiap keris sebagai senjata keramat mempunyai kesejarahannya
masing-masing. Legenda Si Ginje, dua buah keris yang dijadikan sebagai
pengikat perjanjian hubungan antara Mataram dan Kesultanan Jambi. Di
masa itu, Kesultanan Jambi harus memberi upeti kepada Mataram. Keris Si
Ginje harus terbuat dari besi yang bersumber dari sembilan benda dan
tempat yang berbeda yang namanya harus diawali huruf P. Besi, bahan
untuk keris harus didapatkan dari hasil curian dan pada saat
pembuatannya hanya boleh ditempa setiap Jum’at pertama
G.A.J. Hazeu dalam tulisannya tentang legenda keris mencatat tentang
Kyai Tjondong, salah satu pusaka kerajaan Majapahit yang setiap malam
keluar sendiri dari sarungnya untuk meminum darah manusia. Sampai pada
akhirnya perbuatan keris tersebut diketahui oleh tiga keris pusaka
lainnya. Atas titah Raja, para Mpu kemudian dikembalikan ke asalnya.
Setelah itu, keris tersebut menyatu dengan lintang kemukus (bintang
berekor). Dalam kepercayaan Jawa munculnya lintang kemukus adalah tanda
akan terjadinyapageblug (bencana).
Lalu tentang keris Mpu Gandring, ditulis oleh J. Brandes, yang merupakan
cikal-bakal hegemoni keris sebagai suatu legitimasi atas sebuah
kekuasaan. Keris yang digunakan Ken Arok (pendiri Singosari) untuk
membunuh Akuwu Tunggul Ametung dari Tumapel dan merebut istrinya (Ken
Dedes). Diawali kejadian Ken arok saat melihat pancaran sinar dari yoni
Ken Dedes sebagai pertanda bahwa Ken Dedes bakal menurunkan raja-raja di
Jawa. Dari sini terlihat bahwa keris berperanan penting dalam
pembentukan falsafah dan kepercayaan Jawa yang pada era Majapahit
menguasai hampir seluruh wilayah di Nusantara sehingga falsafah ini
kemudian menyebar pula di berbagai wilayah Nusantara lainnya.
Sepeninggal Mpu
Pada perkembangannya, seni membuat keris kian berkurang sebab para Mpu
kebanyakan tidak mewariskan ilmunya. Di Yogyakarta dan Solo, sebenarnya
masih terdapat beberapa Mpu yang ahli dalam membuat keris, tapi mereka
hanya membuat keris hanya ketika raja atau bangsawan yang memesannya. Di
Madura, empo (mpu) juga telah punah. Mpu terakhir di sana adalah Mpu
Bratama dari Sumenep yang meninggal sekitar 50 tahun yang lalu (dihitung
dari tahun 1930an).
Para bupati sebelum masa itu banyak yang mempunyai pandai besi maupun
Mpu yang dikhususkan untuk membuat keris yang akan dipersembahkan pada
raja. Tapi akhirnya, mereka beralih profesi menjadi pembuat perkakas di
bidang pertanian sebab dibutuhkan banyak orang dan pembuatannya pun
cenderung lebih praktis.
Di Magetan Jawa Timur, terdapat Mpu terakhir yang terkenal yakni Mpu
Kyai Guna dengan ciri khas mempunyai banyak garis dalam pamornya. Di
Madiun, masih terdapat Mpu yang dapat memperbaiki pamor, tepatnya dari
Desa Batoe di wilayah Tjaruban, tapi sebagaimana di Yogyakarta dan Solo,
ia bergantung pesanan. Demikian juga yang terjadi di Jawa Tengah,
kantong-kantong pembuat keris seperti Tegal, Pemalang, dan Banyumas,
perlahan memunah.
Begitupun di luar Jawa. Berbagai kemunduran merupakan hal yang
menggejala, antara lain di daerah Tulangbawang (kala itu berada di
residen Lampung). Di Jambi gejala ini melanda di Dusun Merlung (bagian
wilayah Tungkal) yang terkenal dengan seni tempanya. Sementara di
Palembang di mana pada masa itu paling tidak masih terdapat dua orang
yang ahli dalam tempa pamor, yakni Akim dari kampnng 21 Ilir dan Anang
dari kampung 18 Ilir yang pada akhirnya juga mengalami kemunduran. Juga
di daerah Malaka, Aceh, maupun Celebes (Sulawesi).
Setidaknya pada era awal abad ke-19 sampai masa tahun 30an inilah
kemungkinan terjadi transisi dan tranformasi keris yang cukup mendasar.
Revolusi industri di Eropa dan Amerika yang memunculkan era kapitalis
membawa pengaruh yang cukup signifikan dalam mengubah paradigma
kehidupan masyarakat Hindia Timur yang kala itu berada di bawah
pemerintahan Belanda. Perubahan iklim dari tradisional ke modern
otomatis mempengaruhi paradigma masyarakat tak terkecuali para pandai
besi maupan para mpu yang kemudian lebih berorientasi ekonomi.