Hari Jadi Kabupaten Sragen ditetapkan dengan Perda Nomor 4 Tahun 1987,
yaitu pada hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746 Tangal dan waktu
tersebut adalah dari hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah,
ketika Pangeran Mangkubumi yang kemudian hari menjadi Sri Sultan
Hamengku Buwono ke I , menancapkan tonggak pertama melakukan perlawanan
terhadap Belanda menuju bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu
pemerintahan lokal di Desa Pandak Karangnongko masuk tlatah Sukowati.
Proses & Kronologi
Kerajaan Mataram di Kartasura terjadi kekacauan. Suasana pada saat itu
sangat ricuh. Raden Mas Garendi, putra Pangeran Tepasana menentang
kebijaksanaan para narapraja Mataram, terutama kepada Patih Pringgalaya
yang lengket sekali dengan Kompeni Belanda. Raden Mas Garendi ingin
membalas dendam karena ayahnya Pangeran Tepasana dihukum mati tanpa
jelas kesalahannya. Suatu hari Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II
berbincang-bincang dengan Tumenggung Alap-alap di Dalem Ageng.
“Hai, Tumenggung Alap-alap !”, sabda Kanjeng Sunan mengawali pembicaraan.
“Daulat Gusti”, jawab Tumenggung Alap-alap sambil menyembah.
“Coba, katakanlah yang sebenarnya, apa yang telah terjadi pada para narapraja di Kartasura ?”
“Ampun Gusti, hamba mendengar kabar, bahwa ananda Raden Mas Garendi melakukan pemberontakan menentang kompeni.”
“Bila demikian keadaannya, yang repot kan saya. Hai Alap-alap,
menghadapi keadaan ini aku jadi bingung. Mana yang harus saya dukung ?”
“Ampun Gusti, ananda Garendi menentang kompeni, itu merupakan usaha
untuk mengembalikan kemuliaan nama dan kewibawaan Paduka Kanjeng
Sinuhun”, sembah Tumenggung Alap-alap.
“Lho, kalau begitu, kamu menyetujui tindakan si Garendi. Benarkah itu ?”
“Ampun, beribu ampun Gusti, Begitulah nyatanya.”
“Oooo…..Alap-alap, sadarlah keadaanmu, keadaan kita sekarang ini.
Mampukah kita melawan kekuatan kompeni ? Kompeni memiliki senapan dan
meriam, sedangkan kita…. Orang jawa, hanya memiliki senjata tombak. Saya
tidak berani menentang kompeni. Kasihan para prajurit yang menjadi
korban sia-sia.”
Mendengar sabda Kanjeng Sunan, Tumenggung Alap-alap hanya terpaku diam.
Dari kata-kata Kanjeng Sunan tersebut, menunjukkan sikap Kanjeng Sunan
tidak teguh dan sangat lemah. Sikap demikian itu justru dapat
membahayakan kedudukan Tumenggung Alap-alap sebagai narapraja Mataram.
Maka dari itu, untuk menghindari segala kemungkinan yang dapat merugikan
dirinya, diputuskanlah dia beserta keluarganya harus pergi dari
Kartasura.
Kemudian pergilah Tumenggung Alap-alap beserta seluruh keluarga dan kaum
kerabatnya dari Surakarta menuju ke arah timur, ke daerah Sukawati. Dia
pergi dengan membawa perasaan benci, kecewa, baik terhadap Sunan
Pakubuwono maupun terhadap Patih Pringgalaya. Dalam perjalanannya itu
sampailah mereka di desa Kranggan, daerah Sukawati. Di situ Alap-alap
menyamar sebagai pendeta dengan nama Kyai Srenggi.
Sementara itu pasukan pemberontak di bawah pimpinan Raden Mas Garendi
dalam hati megharapkan datangnya bantuan dari Kanjeng Sunan Pakubuwono,
sesuai dengan janji Sunan sendiri. Namun bantuan itu tak kunjung datang.
Bahkan akhirnya diketahui, bahwa Kanjeng Sunan membantu kompeni.
Menyaksikan sikap Sunan tersebut, Raden Mas Garendi sangat marah. Dia
bertekad untuk mengusir kompeni dari bumi Jawa dan menghancurkan Kraton
Kartasura yang dijadikan sarang Kompeni Belanda. Maka pecahlah
pertempuran yang hebat antara pasukan pemberontak melawan pasukan Sunan
yang dibantu oleh Kompeni Belanda.
Dalam suasana yang sangat kacau itu, Sunan lolos meninggalkan kraton.
Rombongan mereka itu pergi ke arah timur. Sesampainya di desa Lawean
berhenti sejenak untuk melepaskan lelah. Namun di situ dirasa tidak
aman, maka perjalanan diteruskan ke Ponorogo. Akhirnya pada tahun 1742,
Kraton Kartasura jebol dan diduduki oleh pasukan pemberontak. Kemudian
diangkatlah Raden Mas Garendi menjadi Sunan di Kartasura oleh para
pendukungnya dengan gelar Sunan Kuning.
Pada suatu hari Patih Pringgalaya bercakap-cakap dengan Kapten Wilhem,
pimpinan Kompeni di benteng Kartasura. Dari hasil pembicaraan yang
singkat tersebut, kemudian Kapten Wilhem minta bantuan ke Batavia. Tidak
lama kemudian bantuan itu pun datang. Terjadilah pertempuran yang lebih
hebat dari sebelumnya. Akhirnya karena perlengkapan dan jumlah serdadu
Sunan dan Kompeni lebih lengkap dan lebih banyak, pasukan Sunan Kuning
kalah dan diusir dari Kartasura. Setelah Sunan Kuning disingkirkan,
Sunan Paku Buwana II yang masih berada di Ponorogo diberi tahu dan
dimohon kembali ke Kartasura untuk menduduki tahtanya kembali.
Kembalilah Kanjeng Sunan Paku Buwana II bersama rombongannya ke
Kartasura. Namun Kanjeng Sunan tidak kerasan karena keadaan Kartasura
yang porak poranda tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Maka Kanjeng
Sunan memutuskan pindah dari Kartasura untuk membangun kraton baru.
Kemudian dipilihlah desa Sala, sebagai calon kraton yang baru. Desa Sala
dibangun dan diganti namanya menjadi “Surakarta Hadiningrat”. Pada
waktu itu keadaan masih sangat kacau, masih banyak pemberontakan
menentang Kompeni Belanda. Para pemberontak tersebut sebagian besar
masih termasuk anggota keluarga raja sendiri, dan yang paling ditakuti
adalah Pangeran Mangkubumi di Sukawati.
Pangeran Mangkubumi adik dari Sunan Paku Buwono II di Mataram sangat
membenci Kolonialis Belanda. Apalagi setelah Belanda banyak
mengintervensi Mataram sebagai Pemerintah yang berdaulat. Oleh karena
itu dengan tekad yang menyala Bangsawan tersebut lolos dari istana dan
menyatakan perang dengan Belanda.
Atas sikap adiknya tersebut Sunan PB II tidak tega kepada adiknya, tapi
karena sudah berhutang budi kepada Kompeni, beliau memberi bekal berupa
Tombak Pusaka Keraton “Kanjeng Kyai Pleret” dan uang secukupnya.
Dalam sejarah peperangan tersebut disebut perang Mangkubumen
(1746-1757).Dalam perjalanan perangnya Pangeran Mangubumi dengan
pasukannya sampailah ke desa Pandak Karangnongko masuk tlatah Sukowati.
Di desa ini Pangeran Mangkubumi membentuk Pemerintahan Pemberontak Desa
Pandak Karangnongko dijadikan pusat pemerintahan Projo Sukowati dan
beliau meresmikan namanya menjadi Pangeran Sukowati serta mengangkat
pula beberapa pejabat pemerintahan.
Karena secara geografis desa Pandak Karangnongko terletak di tepi Jalan
Lintas tentara Kompeni Surakarta – Madiun, pusat pemerintahan tersebut
dianggap kurang aman, maka kemudian dipindah ke Desa Gebang yang
terletak disebelah tenggara Desa Pandak Karangnongko. Sejak itu Pangeran
Sukowati memperluas daerah kekuasaannya serta memperkuat pasukannya
dengan bahu membahu bersama keponakan nya (Raden Mas Said) dan Adipati
dari Grobogan yaitu KRT Martopuro dan beberapa kerabat yang bersimpati
dengan perjuangan Pangeran Mangkubumi.
Pusat Pemerintahan Projo Sukowati yang ada di Desa Gcbang ini pun
akhirnya tercium oleh Kompeni Belanda yang bekerja sama dengan Kasunanan
dan akan mengadakan penyerangan ke desa Gebang. Pasukan Gabungan antara
Kompeni dan Pasukan dari Keraton Surakarta tersebut dipimpin oleh Patih
Pringgalaya (Patih dari PB II).
Untung rencana tersebut diketahui oleh Petugas Sandi (Intetegent ) dan
Pangeran Sukowati.Dengan berbagai pertimbangan maka Pusat Pemerintahan
akan dipindahkan ke Desa Jekawal.
Dalam proses boyongan dari Gebang ke Jekawal tersebut Sampailah mereka
di desa Kranggan. Sesampainya di desa Kranggan dia menerima kabar bila
di desa tersebut ada padepokan yang di pimpin oleh seorang yang sakti
mandraguna bernama “Kyai Srenggi”. Pangeran Mangkubumi singgah di desa
Kranggan untuk berkenalan dengan Kyai Srenggi serta mohon petunjuk.
“Eee, mari…mari silakan masuk Pangeran. Hamba tidak mengira akan
kedatangan tamu agung. Mari silakan masuk!”, kata Kyai Srenggi ketika
kedatangan Pangeran Mangkubumi.
“Ketahuilah Kyai, hamba sekarang bukan lagi seorang Priyagung. Sebab
selama pengembaraan ini hamba tanpa pangkat dan derajat. Hamba adalah
seorang buruan yang menentang raja dan….Kompeni Belanda..” Jawab
Pangeran Mangkubumi dengan hormat.
Kyai Srenggi tersenyum dan berkata , “Apakah Pangeran lupa kepada hamba ?
Hamba ini tidak lain adalah Tumenggung Alap-alap, seorang hamba
kerajaan yang tidak kerasan tinggal di Kartasura dan menyepi di Kranggan
ini.”
Bagaikan disambar petir di siang hari, Pangeran Mangkubumi mendengar
pengakuan Kyai Srenggi tersebut. Pageran Mangkubumi sangat terkejut dan
kemudian memeluk Tumenggung Alap-alap.
Begitu awal pertemuan itu kemudian dilanjutkan dengan percakapan yang
panjang. Dan akhirnya Alap-alap atau Kyai Srenggi diangkat menjadi
senapati perang memimpin para prajurit untuk memusnahkah tindak angkara
murka.
Konon Kyai Srenggi ini adalah salah seorang Panglima Perang dari Sunan
Amangkurat di Kartosuro, yang sebetulnya bernama asli Tumenggung
Alap-Alap.Untuk menghilangkan jejak beliau berganti nama Kyai Srenggi.
Pada saat Pangeran Sukowati singgah di padepokan tersebut oleh Kyai
Srenggi disuguhi Legen dan Polowijo.Pangeran Sukowati merasa sangat puas
dan beliau bersabda bahwa tempat tersebut diberi nama“SRAGEN” dari kata
“Pasarah Legen” dan Kyai Srenggi diberi sebutan Ki Ageng Srenggi.
Setelah pusat Pemerintahan berada di Jekawal maka Raden Mas Said diambil
menantu oleh Pangeran Mangkubumi/Pangeran Sukowati dikawinkan dengan
putrinya bernama BRA Suminten.
Perlawanan Pasukan Pangeran Sukowati semakin kuat dan karena Kompeni
merasa terdesak kemudian membuat siasat memecah belah dengan mangadakan
Perjanjian Palihan Negeri atau terkenal dengan Perjanjian Giyanti Tahun
1755 dimana Kerajaan Mataram dipecah menjadi Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Jogjakarta dengan mengangkat Pangeran Mangkubumi/Pangeran
Sukowati menjadi Sultan Hamengku Buwono I.
Kemudian pada tahun I757 diadakan Perjanjian Salatiga dengan memecah
Kasultanan Jogjakarta menjadi Kasultanan dan Paku Alaman serta Kasunanan
Surakarta menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran, dimana Raden Mas Said
(Pangeran Sambernyawa) ditetapkan menjadi Adipati Mangkunegoro I dengan
mendapat sebagian wilayah Kasunan (Wonogiri dan Karanganyar.)
Sejak Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono daerah
sukowati menjadi kurang terurus karena jauh dari pusat Pemerintahan
Kasultanan Jogjakarta. Pada saat itu timbullah perlawanan pemberontakan
dari Madiun dan Ponorogo yang ingin menguasai wilayah Sukowati dipimpin
oleh Pangeran Ronggo Madiun. Untuk menanggulangi pemberontakan itu Raden
Tumengung Kartowiryo, salah seorang punggowo pasukan Pangeran
Mangkubumi di tugasi untuk menghadapi kraman/pemberontakan tersebut.
RT Kartowiryo berhasil menumpas pemberontakan Pangeran Ronggo Madiun,
dan RT Kartowiryo diangkat sebagai Bupati Penamping (wilayah perbatasan)
di wilayah.
Pada tangga 17 September 1830, terjadilah perjanjian antara Paku Buwono
dengan Hamengku Buwono V, daerah Sukowati masuk wilayah Kasunanan
Surakarta dan Gunug Kidul masuk wilayah Kasultanan Jogjakarta.
Dalam Suatu Pisowanan Agung di Keraton Kasunanan Surakarta KRT
Kartowiryo dapat menyerahkan pusaka-pusaka keraton yang hilang saat
perang pecinan di Kartosuro yang berupa :
~ Satu tombak “Kanjeng Kyai Lindu Pawon”
~ Satu Keris “Kanjeng Kyai Nogososro” dan satu keris pusaka milik KRT Kartowiryo sendiri.
Karena sangat bergembira mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang sudah
lama hilang dan sebagai penghargaan atas jasa KRT Kartowiryo, maka sejak
saat itu daerah Sukowati diserahkan kepada KRT Kartowiryo sebagai
daerah “Perdikan”(daerah bebas pajak).
Selanjutnya pada tanggal 12 Oktobcr 1840 dengan Surat Keputusan Sunan PB
VII yaitu Serat Angger-angger Gunung, daerah yang lokasinya strategis
ditunjuk menjadi Pos Tundan, yaitu tempat untuk menjaga ketertiban dan
keamanan lalu lintas barang dan surat serta perbaikan jalan dan
jembatan, termasuk salah satunya adalah Pos Tundan Sragen
Setelah KRT Kartowiryo wafat, kedudukannya sebagai Bupati Penamping
digantikan oleh putra ke V yang nama kecilnya RM Sulomo. Perkembangan
selanjutnya sejak tanggal 5 juni 1847 oleh Sunan Paku Buwono VIII dengan
persetujuan Resident Surakarta Baron de geer ditambah kekuasaannya
yaitu melakukan tugas kepolisian dan karenanya disebut Kabupaten Gunung
Pulisi Sragen dan RM Sulomo yang diangkat menjadi Bupati Gunung Pulisi
Sragen dengan nama KRT Sastrodipuro.
Sejarah Pemerintahan di Kabupaten Sragen Tahun 1871 – 1861
KRT Sastropuro menjabat sebagai Bupati Sragen Pertama
Tahun 186I-1903
KRT Wiryoprodjo (cucu KRT Kartowiryo) menjabat sebagat Bupati Sragen kedua
Tahun l903-1933
KMRT Panji Sumonegoro (cucu KRT Wiryodiprodjo) Menjabat Bupati Sragen
sejak 1903 s/d 1933 Sunan Paku Buwono ke X dengan Rejkblaad No 23 tahun
1918 Kabupaten Gunung Polisi diubah menjadi Kabupaten Pangreh Projo
sebagai daerah otonom yang melaksanakan Hukum dan Pemerintahan.
Tahun 1933-1939
Bupati Sragen dijabat oleh KRMAA Yudonegoro
Tahun 1939-1944
Bupati Sragen dijabat oleh KRMT MR. Wongsinagoro.
Tahun 1939-1944
Bupati Sragen dijabat oleh KRMT Darmonagoro.
Setelah Proklamasi tahun 1945 di Sragen ada gerakan Masyarakat yang
ingin melepaskan diri dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan bergabung
dengan Pemerintah Republik Indonesia.keinginan masyarakat itu disalurkan
lewat Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Sragen yang terbentuk
pada bulan September 1945 dengan susunan sebagai berikut :
Ketua : KMRTP Mangunagoro
Wakil Ketua : Suharni Kusumodirjo (cucu KRT Wiryodiprodjo)
Anggota 25 orang amtara lain :
– S. Mloyo Pranoto
– Indardjo
– Tjipto Pranoto
I. Keputusan KNI Daerah Sragen
1. Menyampaikan keinginan Rakyat sragen untuk melepaskan diri dari ikatan Swapraja Kepada Bupati Darmonagoro
2. Bila Darmonagoro bersedia, tetap diminta menjadi Bupati Sragen.
Bupati Darmonagoro tidak bersedia memenuhi permintaan KNI Daerah Sragen dengan alasan :
– Sebagai Abdi Dalem beliau harus tetap setia kepada raja.
– Sikap melepaskan diri itu bertentangan dengan Keputusan Pemerintah Kerajaan
– Maka sebagai jalan tengah Bupati Darmonagoro lebih baik menyingkir ke Solo
– Untuk mengisi kekosongan tersebut dibentuklah Dewan Pemerintah
Daerah Kabupaten Sragen dan mengusulkan KMRT P Mangunnagoro sebagai
Bupati Sragen.
Untuk menyatakan lepas dari ikatan Swapradja diadakan Rapat Umum di
Halaman Gedung Kontrolir ( Kantor Pemda sekarang) yang dihadiri oleh
masa rakyat,organisasi perjuangan dan Lurah Desa se Kabupeten Sragen
pada tanggal 26 April 1946. dan mulai saat ini Kabupaten Sragen menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia.