Kamulan adalah salah satu desa yang termasyur yang berada di Kabupaten
Trenggalek. Dimana mayoritas penduduknya berkecimpung dalam bidang
industri, yaitu industri genteng. Kisah ini bersumber dari suatu cerita
rakyat yang tidak dituliskan, dan jarang orang yang mengetahuinya, ini
bersifat turun temurun serta dianggap pernah terjadi.
Pada zaman dahulu, Kamulan merupakan hutan belantara yang dingin (hutan
atis) yang sangat luas nan lebat. Kemudian hutan atis dibabat oleh putra
jenggala bernama JakaSumilir alias Kudatilarsa, serta kawannya bernama
Gimbangkara. Setelah selesai pembabatannya, hutan tersebut diberi nama
kamulan. Selang waktu yang tidak begitu lama, Kamulan kedatangan
orang-orang Jenggala, Daha, dan daerah-daerah lain. Mereka memerlukan
tempat tinggal, dan kemudian bertempat tinggal atau menetap di situ.
Jaka Sumilir diangkat menjadi raja kamulan. Dan beliau diberi nama
Kusuma Wicitra. Beliau kawin dengan putri jin (setan). Selang beberapa
waktu kemudian beliau dianugrahi putri, dan diberi nama Kadarwati.
Setelah Kadarwati dewasa, dilamar oleh Prabu Janggronggeni yang berasal
dari Kendalprajak, Jemekan. Pelamaran oleh prabu tersebut tidak
diterima, dan supaya menunggu dalam waktu 2 tahun. Prabu Janggronggeni
mendepok di sungai Baruklinting dan mengawasi jika ada pelamar-pelamar
yang datang.
Selang setelah waktu 2 tahun, Prabu Kusuma Wicitra (raja Kamulan)
mengadakan sayembara yang artinya, siapa saja yang bisa membuat sendang
(sumber mata air) persis seperti yang sudah ada, dan sekaligus rumah
kambangnya, dalam waktu satu malam, ia akan dikawinkan dengan Kadarwati.
Sayembara tersebut tersiar kemana-mana.
Prabu Anom Ajarwidada, yang bertapa di gunung Kuncung mendengar akan
sayembara tersebut. Kemudian prabu Anom Anjarwidada minta tolong kepada
raja Buto bernama prabu Srengganapati yang bertempat tinggal di rawa
Bedadung, Jember. Tepat pada malam hari gara kasih (selasa kliwon)
tanggal 14 bulan desta (besar), prabu Srengganapati bisa mewujudkan
sendang persis seperti yang sudah ada, dan sekaligus rumah kambangnya.
Kemudian diserahkan kepada prabu Anom Ajarwidada, lalu beliau segera
menyerahkan sendang serta rumah tersebut kepada prabu Kusuma Wicitra
(raja Kamulan).
Kemudian prabu Anom ajarwidada dikawinkan dengan Kadarwati. Setelah
perkawinan tersebut, di Kamulan terjadi peperangan besar-besaran antara
prabu Janggronggeni (prabu yang pernah melamar kadarwati) dengan prabu
Anom Ajarwidada. Tidak lama kemudian prabu Janggronggeni menyerah.
Sehabis peperangan, di Kamulan terjangkit wabah penyakit yang berbahaya.
Lama-kelamaan prabu Kusuma Wicitra melepaskan jabatannya sebagai
seorang raja, kemudian beliau bertapa di gunung Watu Blandong, Pakis
(sebelah barat Kamulan).
Raja digantikan oleh putra menantunya, yaitu prabu Anom Ajarwidada yang
namanya diganti menjadi prabu Widayaka. Berdirinya prabu Widayaka
menjadi raja, terdengar oleh eyangnya yang bernama begawan Jatipitulur
dari gunung Sumbing dan begawan Pituturjati dari gunung Merbabu. Kedua
begawan tersebut mendengar bahwa daerahnya (Kamulan) terjangkit penyakit
misterius dan berbahaya. Dan kemudian datang di Kamulan untuk mengobati
orang-orang yang terserang penyakit berbahaya tersebut. Kedua begawan
itu memberi mantera-mantera yang dimasukkan ke dalam air sendang. Dan
orang-orang yang terserang penyakit itu apa saja disuruh untuk mandi di
sendang tesebut, ternyata orang-orang yang sakit dapat disembuhkan
dengan segera.
Sendang tersebut oleh prabu Widayaka dinamakan Sendang Kamulyan.
Seterusnya, begawan Jatipitutur dan begawan Pituturjati memberi tumbal
yang berupa batu yang tertulis sebanyak 2 biji, dan ditanam di depan dan
dibelakang keraton. Dan juga memberi titihan (bahasa jawa: kendaraan)
berupa batu yang dinamakan Klanopeng. Tempat untuk memandikan gajah
tersebut di sendang sebelah utaranya keraton. Kemudian sendang tersebut
dinamakan Sendang Guyang Gajah. Sesudah itu kamulan menjadi daerah
tenteram .
Selang beberapa tahun kemudian, prabu Widayaka dianugrahin seorang putra
yang diberi nama Jaka Kendang.Kemudian prabu Widayaka meninggal dunia
dan tidak diketahui tempat pemakamannya. Jabatan diganti oleh putranya,
yaitu jaka Kendang. Kedudukan keraton oleh jaka Kendang dipindah ke
Galuh, pekalongan, Jawa Tengah.
Setelah keraton di pindah dari kamulan, tidak lama kemudian kedatangan
dua orang yaitu Mangun Musthofa dari Madura, dan Ahmad Yunus dari
Kalangbret. Ahmad Yunus adalah putra Mbah Bagus Mukmin yang selanjutnya
diambil menantu raja Mataram yang masyhur dengan nama Sunan Wilis. Dan
sekaligus diangkat jadi Aparatur kerajaan Mataram. Karena pada waktu itu
Mataram menjalin hubungan dengan Belanda serta banyak kebijaksanaan
yang kurang berkenan di hati Kyai muh. Yunus, maka beliau terpaksa pergi
dari Mataram meninggalkan istri, anak dan kedudukan. Beliau pergi
kearah timur sehingga sampailah disuatu daerah bekas kerajaan Sendang
Kamulyan yang telah menjadi hutan belukar kembali, yang sekarang masyhur
dengan sebutan desa Kamulan. Beliau mendirikan bangunan yang amat
sederhana, (tepatnya di lokasi bekas kerajaan Widoyoko atau Sendang
Kamulyan) dengan beratapan ilalang dan hanya menggunakan sabut aren
(ijuk) untuk mengikat kayu-kayunya.
Bangunan ini merupakan cikal bakal pusat untuk mengembangkan ajaran
islam hingga sekarang terkenal dengan sebutan pondok tengah “HIDAYATUT
THULLAB”. Denga terukirnya angka 1790 M pada kayu bangunan tersebut,
dapatlah kiranya dijadikan tonggak sejarah bahwa pondok tengah ini
berdirinya sekitar 3 abad yang lalu.
Beliau berada ditengah bulan yang dekaty dengan binatang-binatang buas,
karena kearifan beliau binatang-binatang itu bukannya sebagai musuh
bahkan duduk menjadi kawan. Beliau bermukim di pemandaian sendang
Kamulyan yang masyhur dengan sebutan Umbul, juga tempat minumnuya
binatang-binatang buas, airnya mengalir deras, karena diameter sumbernya
mencapai kurang lebih 1 meter. Untuk mngurangi besarnya arus dan tidak
terjadi bahaya, oleh Ahmad Yunus sumber Air tersebut disumbat dengan
sabut aren. Konon di dalam umbul itu ada ikan gabus yang sangat besar
juga biasa dinaiki oleh para santri, (umbul itu tidak pernah kering dan
masih bisa dimanfaatkan oleh para santri hingga sekarang). Dengan
keuletan dan kesabaran beliau dalam berjuang, maka lambat laun hutan
belantara itu menjadi pemukiman penduduk yang populer dengan nama desa
Kamulan. Setelah pihak kerajaan Mataram mengetahui tempat tinggal
beliau, maka menyusul kemudian anak dan istri beliau sehingga dapat
hidup bersama dalam satu keluarga lagi.
Selang beberapa waktu datanglah kepada beliau seorang santri pelarian
dari kerajaan Mataram yang menyamar dengan sebutan Dho Ali. Pada
akhirnya Dho Ali menceritakan bahwa sebenarnya adalah bernama Ali
Murtadlo, salah satu pimpinan prajurit pangeran Diponogoro yang
berkedudukan di Banyumas, Jawa Tengah.
Semenjak pangeran Diponogoro tertangkap oleh Belanda (tahun 1830) akibat
tipu muslihat, Ali Murtadlo melarikan diri ke arah timur sehingga
bertemu pamannyasendiri, mbah Ahmad Yunus di desa Kamulan. Selanjutnya
beliau diambil menantu oleh mbah Ahmad Yunus, dan dinikahkan dengan
putinya yang terakhir dari lima bersaudara yang bernama nyai
Basiroh.Namun tidak begitu lama setelah Ali Murtadlo dijadikan menantu,
mbah Ahmad Yunus dipanggil oleh Allah SWT. Dan pucuk kepemimpinan pondok
langsung diteruskan oleh Ali Murtadlo. Dimasa kepemimpinan beliau,
banyak santri yang tergolong linuwih dalam hal olah kanuragan, sehingga
diantaranya ada yang sempat menggoreskan telapak tangan membekas pada
batu hitam, sampai sekarang masih menjadi monumen bukti sejarah
(prasasti Kamulan).
Setelah kyai Ali Murtadlo wafat, kepemimpinan pondok dilanjutkan
putranya KH. Ihsan. Pada masa kepemimpinan beliaulah pondok tengah ini
pernah menjadi markas tentara Hisbullah pada tahun 1947-1949. Saat
itulah pondok tengah menjadi sasaran pengeboman tentara sekutu. Satu
meledak di udara, satu meleset dan meledak di pasar Kamulan, satunya
lagi nyasar jatuh di sawah, sedangkan yang tiga jatuh di sekitar pondok
tanpa menimbulkan ledakan. Sampai sekarang salah satu diantaranya
diabadikan sebagai bel (klenteng) masuk madrasah dalam pondok tengah.
Sepeninggalan KH. Ihsan pada tahun 1962 M dalam usia 130 tahun, kemudian
kepemimpinan pondok dilanjutkan oleh KH. Mahmud Ihsan dengan dibantu
adik iparnya, kyai Nafi’i yang dikenal dengan sebutan mbah Jumadi.
Dimasa ini pondok tengah pernah dijadikan pusat pembinaan dan pusat
penggemblengan kader-kader pemuda islam untuk ikut serta menumoas
pemberontakan G 30 S PKI.
Pada tanggal 12 Juli 1996 M/26 Shofar 1417 H, KH. Muh. Mahmud Ihsan
wafat, maka kepemimpinan pondok langsung dibebankan dan diteruskan oleh
putranya yaitu KH. Masrukhin Mahmud bersama K. Thoha Munawar putra H.
Sidiq (kakak ipar KH. Muh. Mahmud Ihsan) dan K. Fahruddin Nafi’i (putra
K. Jumadi).
Demikian sejarah singkat desa “Kamulan” ini kami susun dan tulis untuk
memenuhi tugas sekolah. Apabila terdapat kesalahan atau kekurang
akuratan dalam penulisan, kami memohon maaf dan mohon bimbingan kepada
pihak-pihak yang terkait agar tidak menyimpang dengan keadaan yang
sebenarnya.
Maka atas revisi teguran, bimbingan dan arahan selanjutnya sangat kami
harapkan, demi kesempurnaan tulisan ini. Mudah-mudahan bermanfaat
khususnya bagi warga Trenggalek