Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam yang telah mengajarkan
ilmu kepada manusia dengan kalam. Yang telah memberikan taufiq,
hidayah,dan inayah kepada manusia yang Dia kehendaki. Maka sudah
sepantasnya kami mengucapkan rasa syukur kepada-Nya dengan ucapan
alhamdulillahirrabbil’aalamiin.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung
Sayyidina, wahabibina, wamaulana, Muhammad Shalawallahu’alaihi Wassalam
beserta keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya, amin ya
rabbal’alamiin.
‘Amma ba’du.
Di sini kami akan menceritakan sejarah desa Gringgingsari secara
ringkas. Desa Gringgingsari terletak di daerah pegunungan. Termasuk
wilayah kecamatan Wonotunggal kabupaten Batang. Dahulunya masuk wilayah
kabupaten Pekalongan. Desa Gringgingsari dapat terkenal, karena ada
makam Auliya’ yaitu makamnya mbah Syarif Abdurrahman Alqodri Alhasany
yang terkenal dengan nama mbah Pangeran Kajoran. Makamnya terletak di
pemakaman umum desa Gringgingsari yang lokasinya ada di sebelah barat
Masjid Al Karomah. Banyak para penziarah yang datang ke makam tersebut
untuk berdo’a meminta kepada Allah agar hajatnya terkabul. Mbah Pangeran
Kajoran menjadi tumpuan, sandaran warga desa Gringgingsari karena
jasanya yang telah membawa pelita, untuk menerangi warga Gringgingsari
dari kegelapan, menuju zaman pencerahan. Di sini kami tidak akan
menceritakan silsilahnya, karena kurang begitu tahu. Yang akan kami
ceritakan adalah perjuangannya di desa Gringgingsari.
Desa Gringgingsari
Berdasarkan riwayat, cerita-cerita dari para sesepuh yang kami terima,
bahwa desa Gringgingsari dahulunya bernama Karangsirno. Yang menjadi
sesepuhnya adalah mbah Wongsogati I. Agama yang dipeluknya agama Budha.
Setelah mbah Wongsogati I meninggal, diganti oleh putranya mbah
Bromogati. Setelah mbah Bromogati meninggal diganti oleh putranya yang
bernama mbah Wongsogati II, cucu dari mbah Wongsogati I.
Pada waktu dipimpin oleh mbah Wongsogati II desa Karangsirno dilanda
musibah, yaitu sejenis penyakit yang dinamakan penyakit to’un dengan
gejala pagi sakit sorenya meninggal. Banyak warga desa yang meninggal
akibat serangan penyakit tersebut. Sudah banyak cara yang dilakukan
untuk meredam penyakit tersebut namun belum juga berhasil. Akhirnya
selaku pemimpin yang merasa bertanggung kepada warganya, mbah Wongsogati
II pergi ke luar desa dengan tujuan untuk mencari seseorang yang bisa
menanggulangi wabah penyakit yang sedang melanda desanya. Dalam
perjalanannya beliau melewati sebuah sungai yang bernama kalikupang. Di
situ beliau berjumpa dengan dua orang yang sedang berdzikir di tepi
sungai. Beliau menunggu kedua orang tersebut. Setelah mereka selesai
berdzikir kemudian beliau menghampiri keduanya dan menyapanya. Dan
akhirnya mereka bertiga saling memperkenalkan diri. Keduanya
masing-masing bernama Pangeran Kajoran dan Pangeran Trunojoyo.
Kemudian mbah Wongsogati II menyampaikan isi hatinya, yaitu tentang
musibah yang sedang melanda desanya. Dan beliau bertanya apakah mereka
berdua bisa untuk mengatasi wabah penyakit tersebut. Pangeran Kajoran
menyatakn sanggup untuk membantu menyembuhkan penyakit tersebut tapi
dengan sebuah syarat, yaitu mereka bersedia untuk memeluk agama Islam
dengan sukarela. Demi kesembuhan penyakit tersebut mbah Wongsogati II
bersedia untuk mengajak warga desanya memeluk agama Islam asalkan desa
Karangsirno terbebas dari wabah yang sedang melanda. Akhirnya mereka
bertiga saling punya janji atau tanggungan. Maka tempat tersebut
dinamakan “KEDUNG SINANGGUNG “
Selanjutnya mereka berangkat pergi menuju desa Karangsirno. Sampai di
suatu tempat Pangeran Kajoran bertanya di manakah letak desa
Karangsirno. Kemudian mbah Wongsogati II menunjukan suatu tempat yang
terlihat jauh di arah selatan. Mereka memandang ( nyawang ) tempat yang
ditunjukan oleh mbah Wongsogati II. Akhirnya tempat tersebut dinamakan “
KETAWANG “ yang berarti tempat untuk nyawang / memandang. Di tempat
tersebut juga ada sebuah pohon gringging atau kayu jaran. Dari sinilah
nantinya desa Karangsirno diganti namanya menjadi desa Gringgingsari.
Sekarang tempat tersebut lebih dikenal dengan nama tikungan / enggokan
Petung. Lokasinya kurang lebih 200 meter ke arah barat dari pertigaan
kalikupang.
Setelah sampai di desa Karangsirno mbah Wongsogati II mengumpulkan
warganya. Lalu memperkenalkan Pangeraan Kajoran dan Pangeran Trunojoyo
kepada mereka. Warga diberi penjelasan bahwa Pangeran Kajoran sanggup
untuk ngusadani desa Karangsirno bisa pulih kembali asalkan warganya
bersedia untuk memeluk agama Islam secara sukarela dan nama Karangsirno
diganti dengan Gringgingsari. Masyarakat sepakat. Akhirnya masyarakat
dibai’at oleh mbah Pangeran Kajoran untuk masuk agama Islam. Masyarakat
diajak untuk menyembah Allah, dan meninggalkan sesembahan yang lama
yaitu agama Budha. Diajak berdo’a kepada Allah agar wabah penyakitnya
sirna. Atas izin Allah akhirnya desa Karangsirno yang sudah berganti
nama Gringgingsari terbebas dari wabah penyakit yang selama ini melanda
dan sudah memakan banyak korban. Dan masyarakatnya juga sudah hidup
dalam suasana yang baru yaitu kehidupan yang Islami berkat hidayah dari
Allah dengan perantara Syekh Syarif Abdurrrahman atau lebih dikenal
dengan nama Pangeran Kajoran.
Pancuran sendang Depok
Setelah masyarakat desa Gringgingsari memeluk agama Islam, wabah
penyakit kini sudah hilang sama sekali. Masyarakat tentram dan hatinya
lega. Aktifitas sehari-hari bisa berjalan kembali dengan lancar. Mereka
juga mulai giat belajar mendalami ajaran Islam dibawah bimbingan Syekh
Syarif Abdurrahman atau Pangeran Kajoran.
Pada suatu hari Pangeran Kajoran mengajak beberapa orang pergi ke hutan
mencari bambu untuk dibuat rangken atau bahan atap pembuatan masjid desa
Gringgingsari. Ketika sampai di hutan dan sudah tiba masuk waktu shalat
beliau mencari air untuk berwudlu, namun tidak ada sumber air yang
dijumpainya. Akhirnya beliau menancapkan tongkatnya ke tanah, dengan
izin Allah keluarlah air dari bekas tongkat yang ditancapkan oleh
beliau. Dari situlah bukti karomah yang dimiliki oleh Pangeran Kajoran
selaku seorang Waliyullah. Kemudian dibuat pancuran dari bambu. supaya
air tersebut lebih mudah digunakan untuk berwudlu. Kemudian mereka
menjalankan shalat di hutan tersebut. Bahkan Pangeran juga sempat
berniat untuk mendirikan masjid di kawasan tersebut namun urung.
Akhirnya tersebut dinamakan garung dari kata langgar yang wurung atau
tidak jadi. Setiap selasai shalat merekapun selalu istirahat sambil
ndeprok / duduk-duduk untuk menghilangkan lelah.
Maka dari istilah inilah tempat tersebut dinamakan Depok yang asalnya
dari kata ndeprok. Sampai sekarang pancuran Depok masih menjadi tujuan
utama para penziarah untuk mandi dan mengambil airnya. Atas izin Allah
air tersebut dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Dan yang lebih
istimewa air tersebut bisa langsung diminum tanpa harus dimasak lebih
dahulu. Rasanya begitu segar sekali apalagi kalau kita meminumnya
langsung dari pancuran. Bahkan air di pancuran Depok mempunyai kandungan
mineral yang cukup tinggi yang sangat berguna sekali untuk kesehatan
tubuh bagi yang meminumnya. Lokasi pancuran Depok kurang lebih 2 km arah
selatan desa Gringgingsari dengan jalan agak menanjak terutama di
gunung Klengkong. Mulai tahun 2009 jalan ke arah sana sudah mulai
dilebarkan dan bisa di lalui oleh kendaraan roda dua dan empat. Namun
karena belum diaspal jadi kalau habis hujan tidak bisa dilalui.
Desa Sodong
Untuk selanjutnya mereka melanjutkan perjalanannya masuk hutan, keluar
hutan, namun belum juga menemukan bambu yang dicari. Kemudian mereka
membuat sebuah tempat untuk berteduh namanya sodong ( ompyong ). Dari
sinilah kemudian nama desa Sodong lahir yang letaknya di sebelah selatan
Gringgingsari. Kemudian mereka melanjutkan perjalanannya kembali untuk
mencari bambu. Akhirnya mereka pun menemukan rumpun bambu yang dicari.
Kemudian bambu tersebut ditebang dan dibawa ke tanah lapang untuk
dipotong-potong. Rumpun bambu yang kemudian tumbuh lagi oleh masyarakat
desa Sodong disengker artinya tidak boleh ditebang oleh siapapun kecuali
untuk kepentingan umum. Tempat tersebut dinamakan dapuran larangan /
rumpun terlarang.
Mereka bekerja berhari-hari. Bekas tempat istirahat mbah Pangeran
Kajoran bekerja juga disengker oleh masyarakat desa Sodong, yang
melarang siapapun untuk duduk di atasnya. Konon katanya barangsiapa yang
berani duduk di tempat tersebut akan kena laknat atau bebendu. Tempat
tersebut kemudian dipagari supaya tidak diceroboh oleh siapapun. Tapi
tempat tersebut sekarang sudah tidak berbekas karena perkembangan zaman.
Pada tahun 1973 tempat tersebut terkena proyek pembangunan Sekolah
Dasar Inpres dan pelebaran jalan, dan akhirnya pagar tersebut dibongkar.
Berperang dengan Ki Ajar Pendek
Untuk membuat rangken membutuhkan tali / tambang untuk merangkai
bambu-bambu tersebut. Karena tidak ada tambang, maka mbah Pangeran
Kajoran menyuruh sebagian orang untuk pergi mencari rotan. Kebetulan
disebelah selatan desa Sodong ada gunung kecil dan di tempat tersebut
banyak tumbuh pohon rotan. Mereka pergi ke tempat tersebut dan mulai
menebang rotan dan memotongnya. Tanpa mereka sadari bahwa hutan tersebut
ada yang menguasainya. Dan akhirnya mereka tertangkap oleh anak buah
penguasa hutan tersebut. Kemudian mereka dibawa ke desa Silurah dan di
hadapkan kepada penguasa desa tersebut yaitu Ki Ajar Pendek. Mereka pun
akhirnya ditahan oleh Ki Ajar Pendek. Karena sudah berhari-hari mereka
tidak pulang akhirnya mbah Pangeran Kajoran merasa cemas. Kemudian
beliau menyuruh seseorang untuk mencarinya. Setelah dicari akhirnya
terdengar kabar bahwa mereka sedang ditahan di desa Silurah atas
kesalahan telah mengambil rotan di hutan tanpa seizin dari Ki Ajar
Pendek. Utusan itu melaporkan hal tersebut kepada Pangeran Kajoran.
Singkat cerita akhirnya Pangeran Kajoran minta ma’af kepada Ki Ajar
Pendek atas kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang suruhannya.
Tapi Ki Ajar Pendek tidak mau menerima permintaan maaf dari Pangeran
Kajoran dengan begitu saja. Dia bersedia menerima maaf asalkan Pangeran
Kajoran bersedia untuk adu kekuatan dan mengalahkannya. Demi kebebasan
orang-orangnya, akhirnya Pangeran Kajoran bersedia untuk menerima
tantangan dari Ki Ajar Pendek. Akhirnya pertarungan jarak jauh tingkat
tinggi pun dimulai. Ki Ajar Pendek ada di desa Silurah sedangkan
Pangeran Kajoran berada di desa Sodong.
Ki Ajar Pendek tahu bahwa waliyullah itu orang suci. Maka iapun
menggunakan kesaktiannya dengan membuat hujan cacing supaya mengotori
Pangeran Kajoran. Namun Pangeran Kajoran dengan karomahnya menciptakan
hujan bebek yang akhirnya memakan cacing-cacing tersebut. Ki Ajar Pendek
menjadi geram karena merasa kalah, kemudian ia mengeluarkan ilmunya
yang lain yang lebih dahsyat yaitu hujan api. Namun sekali lagi karomah
Pangeran Kajoran yang berupa hujan air mampu memadamkan api tersebut. Ki
Ajar Pendek pun semakin marah karena selalu kalah dengan Pangeran
Kajoran. Akhirnya iapun mengeluarkan kesaktiannya yang lain yaitu berupa
hujan batu.
Pangeran Kajoranpun tidak mau kalah. Beliau kemudian menciptakan angin
topan yang dahsyat. Dengan kekuatan angin topan yang dahsyat tersebut,
batu-batu itupun berterbangan dan jatuh di suatu tempat yang jauh. Batu
tersebut jatuh di sebuah tempat yang sekarang bernama desa Kuwasan
kecamatan Talun Kabupaten Pekalongan. Rumah Ki Ajar Pendek dan seisinya
juga ikut terbang terbawa angin hingga tinggal batur atau bekasnya saja.
Bekas rumah Ki Ajar Pendek oleh orang-orang silurah dinamakan kebun
batur dan sampai sekarang masih ada. Pakaiannya jatuh di desa Sengare,
sedangkan ilir atau kipas dari bambu jatuh di desa sumilir. Kedua desa
tersebut masuk kecamatan Talun kabupaten Pekalongan dan terletak di
sebelah barat Gringgingsari. Sedangkan bokor atau tempat menyimpan beras
jatuh di desa Donowangun Talun Pekalongan. Jambangan tempat untuk
menaruh air yang terbuat dari batu besar jatuh di suatu tempat yang
sekarang bernama dukuh Jambangan desa Batursari Talun Pekalongan.
Menurut cerita bahwa jambangan yang ada di dukuh Jambangan tidak pernah
kering airnya. Walaupun musim kemarau airnya selalu ada tanpa diketahui
darimana sumbernya. Pada zaman pemerintahan Belanda, karena batu itu
¾-nya terbenam ke dalam tanah akibat jatuh sewaktu terbawa angin sewaktu
terjadi pertarungan antara Pangeran Kajoran dan Ki Ajar Pendek maka
oleh pemerintah Belanda batu tersebut diangkat ke atas untuk memudahkan
orang-orang mengambil airnya. Namun setelah batu jambangan tersebut
diangkat justru malah jadi kering tidak keluar lagi airnya sampai
sekarang.
Lalu bagaimanakah nasib Ki Ajar Pendek yang juga ikut terbang terbawa
angin? beliau jatuh di pendopo kabupaten Batang. Pada waktu itu
kebetulan Kanjeng Adipati Batang sedang duduk di pendopo kabupaten dan
angop atau menguap. Kemudian dengan kesaktiannya Ki Ajar Pendek masuk ke
mulut Kanjeng Adipati dan bersembunyi di dalam perutnya. Kemudian ia
disuruh keluar dan akhirnya dijadikan tukang merawat kuda Kanjeng
Adipati Batang.
Kemudian Pangeran Kajoran melarang warga Gringgingsari untuk besanan
dengan warga desa Silurah selama tujuh turunan. Namun larangan tersebut
hari ini sudah berakhir, terbukti sudah banyak warga Gringgingsari yang
besanan dengan warga Silurah dan alhamdulillah tidak tejadi hal-hal yang
buruk. Hutan rotan yang pernah menjadi sengketa atas izin Allah telah
berubah menjadi hutan bambu kecil-kecil. Sedangkan gunung kecil tersebut
dinamakam gunung Raga Kesuma. Siapa saja yang lewat di kaki gunung
tersebut pasti kulitnya akan mengalami perubahan warna yaitu menjadi
cerah kekuningan. Penulis sudah membuktikannya. Namun jika sudah
melewati kaki gunung tersebut warna kulit akan berubah seperti semula.
Wa allahu’alam.
Pembangunan masjid
Rintangan sudah berlalu. Rencana membuat rangken pun diteruskan.
Bambu-bambu tersebut dibawa ke Gringgingsari untuk dibuat rangken.
Talinya menggunakan penjalin atau rotan. Kemudian masjid didirikan.
Atapnya menggunakan ijuk. Tiangnya dari kayu, dindingnya terbuat dari
anyaman bambu, dan mustokonya terbuat dari pengaron atau paso tempat air
yang terbuat dari tanah liat. Lantainya masih menggunakan tanah, jika
mau shalat digelari tikar. Setelah masjid selesai dibangun ternyata
belum ada sumber air untuk berwudlu. Kemudian Pangeran Kajoran pergi ke
arah selatan desa Gringgingsari. Sampai di suatu tempat yang bernama
Klatak atau juga Genting beliau meletakan ujung tongkatnya di tepi
sungai dan kemudian menariknya dari tepi sungai tersebut sambil berjalan
pulang ke Gringgingsari.
Dengan karomah yang dimilikinya tanah yang dilalui Pangeran Kajoran jadi
terbelah oleh ujung tongkatnya yang sedang ditarik dan membentuk aliran
sungai sampai ke sebelah barat masjid. Akhirnya masyarakat
Gringgingsari mendapat manfaat yang banyak. Sungai tersebut tidak hanya
digunakan untuk berwudlu, namun juga untuk keperluan mandi, minum,
memasak, dan juga untuk mengairi sawah. Oleh masyarakat Gringgingsari
sungai tersebut dinamakan kali jamban. Untuk menjaga kesucian air
tersebut, dari hulu sungai jamban yaitu dari tempat pertama kali
Pangeran Kajoran menarik tongkatnya sampai areal masjid, siapapun
dilarang untuk buang air besar, perempuan yang sedang haid dan nifas
juga dilarang mandi di sungai tersebut. Siapa yang melanggar larangan
tersebut baik disengaja atau tidak, akan terkena laknat atau bendu.
Sudah banyak buktinya yang terkena laknat. Juga dilarang untuk kencing
di areal masjid dan kawasan pemakaman.
Masjid peninggalan Pangeran Kajoran sudah direhab beberapa kali. Rehab
terakhir tahun 2004 dan sampai sekarang belum selesai 100%. Jadi sudah
tidak asli lagi. Yang masih asli hanya mustoko pengaron yang ada di
samping mustoko yang baru.
Peninggalan Pangeran kajoran
Peninggalan – peninggalan Pangeran Kajoran dan tempat sejarah yang masih ada sampai sekarang yaitu
a. Rumpun bambu atau dapuran larangan di desa Sodong
b . Pancuran Depok yang selalu dikunjungi penziarah untuk mengambil airnya dan mandi. Dilarang mandi sambil telanjang.
. Masjid Al Karomah. Pemberian nama Al Karomah oleh remaja masjid pada tahun 1987.
d. Pakaian lengkap. Namun karena sudah berusia ratusan tahun maka
pakaiannya sudah rusak, kecuali kuluk / ketu / kopiah. Jubahnya
tersimpan di desa Kajoran Magelang.
e. Tasbih
f. dari pengaron atau paso.