Ada lima orang keturunan Abdi Manaf yang sangat mirip dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang tidak jeli, terkadang susah
membedakannya. Di antara kelima orang tersebut ialah Ja’farbin Abi
Thalib, saudara kandung Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Dialah
Sayyidul Asy-Syuhada, pemimpin para mujahidin, Abu Abdillah anak paman
Rasulullah bin Abdul Mutthalib bin Hasim bin Abdi Manaf Al-Quraisy.
Dia dikenal sebagai orang yang sangat lemah lembut, penuh kasih sayang,
sopan santun, rendah hati dan sangat pemurah. Di samping itu, ia juga
dikenal sangat pemberani, tidak mengenal rasa takut. Beliau diberi gelar
sebagai orang yang memiliki dua sayap di surga dan bapak bagi si
miskin. Masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, tepatnya
sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammasuk ke rumah Al Arqam.
Ketika orang Quraisy mendengar berita tentang masuk Islamnya, mulailah
mereka membuat makar dan gangguan-gangguan dalam rangka melemahkan iman
kaum muslimin. Mereka tidak ingin melihat kaum muslimin bisa tenang
beribadah.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi izin untuk
hijrah ke Habasyah, tanpa pikir panjang beliau bersama istrinya ikut
serta dalam rombongan tersebut. Sungguh hal ini sangat berat bagi
Ja’far, karena harus meninggalkan tempat kelahirannya yang ia cintai.
Biar pun demikian, berangkatlah rombongan itu yang terdiri dari 83
laki-laki dan 19 wanita menuju Habasyah.
Penguasa Habasyah adalah Najasyi. Seorang raja yang terkenal adil dan
bijaksana, serta suka melindungi orang-orang yang lemah. Sesampainya di
Habasyah, mereka mendapatkan perlindungan dari Najasyi, sehingga bisa
leluasa dan lebih tenang dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Akan tetapi, ketenangan ini terusik. Yaitu tatkala orang-orang
Quraisy mengetahui perlindungan keamanan yang kami dapatkan di Habasyah.
Ummu Salamah menceritakan:
Ketika orang-orang Quraisy mengetahui keadaan kami di Habasyah, mereka
tidak ridha dan mengirimkan dua utusan untuk menemui Najasyi. Mereka
adalah Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, serta membawah
hadiah-hadiah yang mereka berikan kepada para menterinya, dengan maksud
agar tujuan serta niat mereka mendapat dukungan.
Ketika telah sampai di Habasyah, mereka segera menemui para menterinya
serta menyerahkan hadiah tersebut seraya berkata, “Sungguh telah datang
di negerimu orang-orang yang bodoh dari kaum kami yang keluar dari agama
nenek moyang, serta memecah-belah persatuan. Maka, kalau kami
berbicara kepada raja, dukunglah kami. Karena tokoh-tokoh kaum mereka
lebih tahu akan mereka.”
Maka para menteri itu mengatakan, “Ya, kami akan mendukung kalian berdua.”
Setelah itu, masuklah mereka berdua menemui Najasyi dengan membawa
hadiah yang banyak dan berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya telah datang
di dalam kerajaanmu orang-orang yang rendah dari kaum kami. Mereka
datang dengan membawa agama yang tidak pernah kami ketahui atau engkau
ketahui. Mereka keluar dari agama kami, tidak pula masuk kepada agamamu.
Dan orang-orang yang mulia di antara kami telah mengutus kami, agar
engkau mau mengembalikan mereka kepada kami dan mereka lebih mengetahui
akan apa yang telah mereka perbuat,” maka Najasyi menoleh kepada para
menterinya dan berkatalah mereka, “Benar wahai Raja. Sesungguhnya kaum
mereka lebih mengetahui tentang mereka. Maka kembalikanlah orang-orang
tiu kepada mereka.”
Mendengar hal itu, Raja Najasyi marah, seraya berkata, “Demi Allah, aku
tidak akan mengembalikan mereka kepada kaumnya sampai aku menemui
mereka. Sehingga aku bisa mengetahui, apakah yang telah dikatakan oleh
dua orang ini benar? Kalau memang benar, maka akan aku kembalikan,
mereka. Akan tetapi, kalau tidak, aku akan melindungi dan berbuat baik
kepada mereka.”
Kemudian Raja Najasyi mengutus orang agar memanggil kami. Sebelum
berangkat untuk menemuinya, kami berkumpul dan saling mengatakan,
“Sesungguhnya Najasyi akan bertanya kepada kalian tentang agama kalian.
Maka terangkanlah dengan apa yang telah kalian imani.” Dan kami
bersepakat mengangkat Ja’far sebagai juru bicaranya.
Berangkatlah kami untuk menemuinya. Kami mendapatkan Raja Najasyi tengah
duduk di antara para menterinya yang memakai pakaian kebesaran mereka.
Kami juga mendapatkan Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah telah
ada di hadapan mereka. Ketika semuanya telah siap, Najasyi menoleh
kepada kami dan berkata, “Apakah agama yang kalian peluk, sehingga
kalian meninggalkan agama kaum kalian dan tidak pula kalian masuk ke
dalam agamaku atau agama yang lainnya?”
Maka berkatalah Ja’far bin Abi Thalib, “Wahai Raja, kami dahulu adalah
orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai,
melaksanakan perbuatan keji, memutus silaturrahim, berbuat jelek kepada
tetangga, yang kuat menekan yang lemah dan kami tetap berada dalam
keadaan demikian, sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang
kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, keamanahannya dan sangat
memelihara diri. Dia mengajak kami agar beribadah hanya kepada Allah dan
meninggalkan patung-patung yang disembah oleh nenek moyang kami. Dia
juga memerintahkan kepada kami agar jujur dalam berkata, menunaikan
amanah, menyambung silaturrahmi, meninggalkan perbuatan keji, memelihara
darah, dan melarang kami dari berkata dusta, memakan harta anak yatim,
menuduh wanita yang shalihah dengan perbuatan zina serta memerintahkan
kami agar mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan
Ramadhan. Maka kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikuti apa
yang dibawanya dari sisi Allah. Kami menghalalkan apa yang
dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Wahai Raja,
ketika kaum kami mengetahui tentang apa yang kami lakukan, mereka
memusuhi kami, menyiksa kami dengan siksaan yang berat dan berusaha
mengembalikan kami kepada agama nenek moyang, dan agar kami kembali
menyembah berhala. Maka tatkala mereka terus menekan kami, memaksa kami,
akhirnya kami memilih engkau dari yang lainnya dan kami sangat berharap
engkau berbuat baik kepada kami dan tidak menzalimi kami.”
Raja Najasyi kembali bertanya kepada Ja’afar, “Apakah engkau memiliki
apa yang dibawa oleh Nabimu dari Allah?” Ja’far menjawab, “Ya.” Maka
Raja Najasyi memerintahkan, “Bacakanlah untukku!” Ja’far pun membaca
surat maryam.
Ketika mendengar ayat tersebut, menangislah Raja Najasyi, sehingga air
matanya membasahi jenggotnya. Menangis pula para menterinya, sehingga
basah buku-buku mereka. Dan Najasyi berkata, “Sesungguhnya, apa yang
dibawa oleh Nabi kalian dan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam
merupakan satu sumber.” Najasyi menoleh kepada Amru bin Ash dan berkata,
“Pergilah kalian! Demi Allah, mereka tidak akan aku serahkan kepada
kalian!”
Ketika kami keluar dari Istana Najasyi, Amru bin Ash mengancam kami dan
berkata, “Demi Allah, besok pagi aku akan menemuinya lagi. Akan aku
kabarkan dengan satu berita yang bisa membuatnya marah.”
Maka keesokan harinya, mereka kembali menemui Raja Najasyi dan berkata,
“Wahai Raja, sesungguhnya orang yang engkau lindungi itu mengatakan
tentang Isa, suatu perkataan yang besar!”
Raja Najasyi kembali memanggil kami, hingga kami merasa khawatir dan
takut. Sebagian kami bertanya-tanya, “Apa yang akan kita katakan
kepadanya tentang Isa bin Maryam?” Akhirnya kami bersepakat untuk
mengatakan tentang Isa, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kembali menunjuk Ja’far sebagai
juru bicara. Kemudian kami datang untuk menemui Najasyi. Kami dapatkan
Amru bin Ash telah berada di sana bersama temannya.
Bertanyalah Najasyi, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”
Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nabi kami.”
Najsyi berkata, “Apa yang dia katakan?”
Ja’far menjawab, “Dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya Ruh-Nya, kalimat-Nya, yang Dia berikan kepada Maryam yang suci.”
Mendengar hal tersebut, Najsyi memukul meja sembari berkata, “Demi
Allah, apa yang dikatakannya sesuai dengan keadaan Isa bin Maryam.
Pergilah kalian dengan aman. Siapa yang mencela kalian, dia adalah orang
yang merugi. Dan siapa yang mengganggu kalian, dia akan disiksa.”
Kemudian Najasyi berkata kepada para menterinya, “Kembalikanlah
hadiah-hadiah itu kepada dua orang ini, karena aku tidak butuh
kepadanya.” Akhirnya keduanya keluar dengan perasaan sedih, karena tidak
berhasil melaksanakan apa yang mereka niatkan.
Ja’far bersama istrinya tinggal beberapa saat di Habasyah; bisa merasakan ketenangan serta lindungan dari Najasyi.
Pada tahun ketujuh hijriah, pergilah Ja’far bin Abi Thalib meninggalkan
Habasyah untuk menuju ke Yatsrib. Sesampainya di Yatsirb, ia disambut
hangat oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada waktu itu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambaru saja kembali dari perang
Khaibar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammenemui Ja’far dan
bersabda, “Sungguh aku tidak tahu, dengan yang mana aku merasa bahagia.
Apakah dengan kemenangan Khaibar ataukah dengan kadatanganmu?!”
Selang beberapa lama, ia tinggal di Madinah. Ketika pada awal-awal tahun
ke delapan hijriah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak
ingin mengirim pasukan untuk memerangi Romawi, beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai komandan. Beliau
bersabda, “Kalau Zaid terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Ja’far
bin Abi Thalib. Jika ia terbunuh, maka yang menggantikannya ialah
Abdullah bin Rawahah. Dan jika Abdullah terbunuh, maka biarlah kaum
muslimin memilih bagi mereka sendiri.”
Kemudian beliau memberikan bendera berwarna putih kepada Zaid bin Hartisah.
Berangkatlah pasukan pasukan ini. Ketika telah sampai di daerah Mu’tah,
kaum muslimin mendapatkan orang-orang Romawi telah siap dengan jumlah
yang sangat banyak. Yaitu dua ratus ribu tentara. Merupakan jumlah yang
sangat besar. Jumlah sebegitu besar tidak pernah ditemui oleh kaum
muslimin sebelumnya. Sementara jumlah kaum muslimin hanya tiga ribu
orang.
Ketika dua pasukan ini telah berhadapan, peperanganpun mulai berkecamuk,
hingga Zaid bin Haritsah gugur sebagai sahid. Begitu melihat Zaid jatuh
tersungkur, bergegas Ja’far melompat dan mengambil bendera, dan
menyusup ke barisan musuh sambil melantunkan syair:
Wahai… alangkah dekatnya surga
Yang sangat lezat dan dingin minumannya
Romawi yang telah dekat kehancurannya
Wajib bagiku menghancurkannya apabila menemuinya.
Mulailah ia berputar-putar memporak-porandakan barisan musuh sehingga
terputus tangan kanannya. Segera ia ambil bendera itu dengan tangan
kriinya, kemudian terputus pula tangan kirinya sehingga ia gugur sebagai
syahid. Setelah itu, bendera diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan
terus mempertahankannya dan akhirnya gugur juga sebagai sahid.
Ketika sampai kabar kepada beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang
kematian tiga pahlawannya, beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
sedih. Diriwayatkan bahwa pada tubuh Ja’far terdapat sembilan puluh
sekian luka yang semuanya terdapat di bagian depan tubuhnya.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi menuju rumah
Ja’far bin Abi Thalib. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammendapatkan
Asma sudah membuat roti dan memandikan anaknya untuk menyambut
kepulangan sang ayah.
Asma menuturkan:
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, aku
mendapatkan wajah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamsangat sedih. Maka
timbullah perasaan takut pada diriku, akan tetapi aku tidak berani
untuk menanyakannya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda, “Suruhlah anak-anak Ja’far kemari. Aku akan
mendoakannya,” maka bergegaslah mereka mendekat kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bercengkerama dengan beliau.
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam merangkul mereka, mencium, serta
berlinang air matanya. Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah , apa yang
menjadikan engkau menangis? Apakah ada sesuatu yang menimpa Ja’far?”
Beliau menjawab, “Ya, dia telah gugur sebagai syahid pada hari ini.”
Sesaat hilanglah keceriaan yang terdapat pada wajah-wajah mereka,
tatkala mendengar tangisan ibunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Aku melihat Ja’far
sebagai Malaikat di surga dan bahunya bercucuran darah dan ia terbang di
surga.”
Inilah perjuangan Ja’far bin Abi Thalib. Dia memberikan semua yang
dimilikinya untuk Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah meridhai Ja’far bin
Abi Thalib dan menjadikan surga sebagai tempat kembali baginya.