Sejarah menunjukkan, bahwa di ujung barat kepulauan Nusantara
terdapatlah sebuah Kerajaan Islam Aceh Darussalam, yang tercatat sebagai
satu dari lima kerajaan Islam terbesar di jamannya. Sebagai sebuah
kerajaan yang terletak di ujung barat, maka Kerajaan Aceh Darussalam
menjadi pintu gerbang pelayaran di Selat Malaka. Oleh karenanya tidak
mengherankan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam memiliki Armada Laut yang
luar biasa kuatnya. Dalam perjalanan sejarah, pada masa pemerintahan
salah seorang Sultan yaitu Baginda Sultan Alaiddin Riayat Syah Al
Mukammil pada abad ke 16 – 17 tepatnya pada tahun 1589 hingga 1604,
sejarah mencatat nama besar seorang pahlawan perempuan yaitu LAKSAMANA
MALAHAYATI. Ia adalah seorang Laksamana perang perempuan yang memimpin
lebih kurang 1000 orang pasukan Inong Balee (satu-satunya pasukan yang
terdiri dari kaum perempuan) dengan gagah berani. Menjadi menarik,
karena Laksamana Malahayati bukan saja hanya Laksamana pertama di
Indonesia, melainkan ia adalah seorang Laksamana perempuan pertama di
dunia. Petarung garis depan. Pemimpin laskar Inong Balee yang disegani
musuh dan kawan.
Riwayat Masa Remaja Laksamana Keumalahayati:
Pada masa kejayaan Aceh, akhir abad XV, Aceh pernah melahirkan seorang
tokoh wanita bernama Keumalahayati. Adapun nama Keumala dalam bahasa
Aceh itu sama dengan kemala yang berarti sebuah batu yang indah dan
bercahaya, banyak kasiatnya dan mengandung kesaktian. (Poerwadarminto,
1989 : 414). Berdasarkan sebuah manuskrip (M.S.) yang tersimpan di
University Kebangsaan Malaysia din berangka tahun 1254 H atau sekitar
tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan bangsawan Aceh, dari
kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu.
Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis
ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin
Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan
Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah
(1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. (Rusdi
Sufi, 1994 : 30-33). Jika dilihat dari silsilah Keumalahayati dapat
dipastikan bahwa dirinya berasal dari darah biru, yang merupakan
keluarga bangsawan keraton.
Ayah dan kakeknya Keumalahayati pernah menjadi Laksamana Angkatan Laut,
sehingga jiwa bahari yang dimiliki oleh ayah dan kakeknya sangat
berpengaruh pada perkembangan pribadinya, seperti kata pepatah, "buah
jatuh tidak jauh dari pohonnya". Oleh karena sang ayah dan kakeknya
seorang Panglima Angkatan Laut, maka jiwa bahari tersebut dapat diwarisi
oleh Keumalahayati. Kendatipun dirinya hanya seorang wanita, ia juga
ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan
kakeknya. Sepanjang catatan sejarah, tahun kelahiran dan tahun kematian
Keumalahayati belum diketahui dengan pasti.
Hanya dapat ditafsirkan bahwa masa hidup Keumalahayati sekitar akhir
abad XV dan awal abad XVI. Pada masa Keumalahayati masih remaja,
Kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki Akademi Militer yang bernama
Mahad Baitul Makdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Laut,
dengan para instrukturnya sebagian berasal dari Turki. Sebagai anak
seorang Panglima Angkatan Laut, Keumalahayati mendapat kebebasan untuk
memilih pendidikan yang ia inginkan. Setelah melalui pendidikan agama di
Meunasah, RanAkang dan Dayah, Keumalahayati berniat mengikuti karir
ayahnya yang pada waktu itu telah menjadi Laksamana. Sebagai seorang
anak yang mewarisi darah bahari, Keumalahayati bercita-cita ingin
menjadi pelaut yang tangguh.
Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pelaut, ia kemudian ikut
mendaftarkan diri dalam penerimaan calon taruna di Akademi Militer Mahad
Baitul Makdis. Berkat kecerdasan dan ketangkasannya, ia diterima
sebagai siswa taruna akademi militer tersebut. Pendidikan militer pada
tahun pertama dan kedua ia lalui dengan sangat baik, karena ternyata ia
adalah seorang taruna wanita yang berprestasi sangat memuaskan. Sebagai
taruna yang cakap dan mempunyai prestasi yang sangat menonjol telah
membuat la sangat dikenal di kalangan para taruna lainnya, termasuk juga
para taruna yang setingkat lebih tinggi dari dirinya. Maka tidak
mengherankan kalau banyak mahasiswa di Akademi Militer tersebut yang
sayang padanya. Bahkan banyak pula yang telah tertambat hatinya pada
wanita tersebut.
Namun di antara sekian banyak taruna laki-laki yang jatuh cinta padanya,
tidak ada yang berkenan di hatinya. la lebih mementingkan pendidikannya
dari pada memikirkan hal-hal yang menurutnya belum saatnya untuk
dilakukan. Sebagai siswa yang berprestasi di Akademi Militer Mahad
Baitul Makdis, Keumalahayati berhak memilih jurusan yang ia inginkan.
Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, ia memilih jurusan
Angkatan Laut. Maklum karena sejak kecil jiwa pelaut telah ditanam oleh
ayah dan kakeknya. Dalam masa-masa pendidikan militernya, ia berhasil
dengan mudah melahap semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh para
instrukturnya. Pada suatu saat di Kampus Akademi Militer Mahad Baihil
makdis tersebut, Keumalahayati berkenalan dengan seorang calon perwira
laut yang lebih senior dari dirinya.
Perkenalan berlanjut hingga membuahkan benih-benih kasih sayang antara
pria dan wanita. Keduanya akhirnya sepakat menjalin cinta asmara, dua
tubuh satu jiwa, menyatu dalam cinta, mengarungi bahtera kehidupan yang
bergelombang ini bersama-sama untuk menuju pantai bahagia, menikmati
indahnya cinta. Setelah tamat pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul
Makdis, keduanya akhimya menikah sebagai suami-istri yang bahagia.
Sejarah akhinnya mencatat, bahwa pasangan suami-istri alumni dari
Akademi Militer ini menjadi Perwira Tinggi Angkatan Laut Aceh yang gagah
berani dalam setiap pertempuran laut melawan armada Portugis.
Panglima Armada Inong Balee
Sejarah hidup Keumalahayati mengingatkan kita pada perjalanan hidup Cut
Nyak Dhien. Ketika suaminya yang bemama Teuku Umar gugur di medan perang
melawan Belanda, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan
suaminya. Demikian pula halnya dengan Keumalahayati. Ketika suaminya
gugur dalam pertempuran laut melawan Portugis di perairan Selat Malaka,
Keumalahayati bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya. Semangat
juang dan kepahlawanannya dapat disejajarkan dengan Srikandi, seorang
tokoh pahlawan wanita dalam kisah Mahabharata. Oleh kalena itulah maka
Laksamana Keumalahayati Juga terkenal dengan sebutan "Srikandi dari
Aceh". Mengenai tokoh Srikandi ini dapat kita lihat pada kitab
Mahabharata. Srikandi adalah istri Harjuna, seorang ksatria pandawa yang
terkenal sakti dalam Perang Baratayudha.
Srikandilah yang berhasil membunuh Maharsi Bisma, Panglima Perang
Korawa. Berkat kemenangan Srikandi itulah, maka Pandawa berhasil
menghancurkan tentara Korawa. Kisah kepahlawanan Keumalahayati dimulai
ketika terjadi pertempuran laut antara armada Portugis versus armada
Kerajaan semasa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil.
Armada Aceh dipimpin sendiri oleh Sultan dan dibantu dua orang
Laksamana. Pertempuran dahsyat yang terjadi di Teluk Haru tersebut
berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sedangkan di pihak Aceh,
kehilangan dua orang Laksamana dan 1000 (seribu) prajuritnya gugur.
Salah seorang Laksamana yang gugur dalam pertempuran di Teluk Haru itu,
adalah suaminya Keumalahayati yang menjabat sebagai Komandan Protokol
Istana Darud-Dunia. Adapun nama suami Keumalahayati yang ikut terbunuh
dalam pertempuran tersebut belum dapat diketahui dengan pasti.
Kemenangan armada Selat Malaka Aceh atas armada Portugis disambut dengan
gembira oleh seluruh rakyat Aceh Darussalam. Begitu pula Keumalahayati
merasa gembira dan bangga atas kepahlawanan suaminya yang gugur di medan
perang. Walaupun dirinya bangga, ia juga geram dan marah pada
Portugis.
Maka tidak mengherankan jika ia ingin menuntut balas atas kematian
suaminya dan bersumpah akan terus memerangi Portugis. Untuk melaksanakan
niatnya, ia mengajukan perrnohonan kepada Sultan Al Mukammil untuk
membentuk armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semua wanita-wanita
janda, yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru. Mengingat
Keurnalahayati adalah seorang prajurit yang cakap dan alumni dari
Akademi Militer, maka dengan senang hati Sultan mengabulkan
permohonannya. Untuk itu Keumalahayati diserahi tugas sebagai panglima
armada dan diangkat menjadi Laksamana.
Armada yang baru dibentuk tersebut diberi nama Armada Inong Bale (Armada
Wanita janda) dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalannya,
atau nama lengkapnya Teluk Lamreh Krueng Raya. Di sekitar Teluk Krueng
Raya itulah Laksamana Keumalahayati membangun benteng Inong Balee yang
letaknya di perbukitan yang tingginya sekitar 100 meter dari permukaan
laut. Tembok yang menghadap laut lebarnya 3 meter dengan lubang-lubang
meriam yang moncongnya mengarah ke pintu Teluk. Benteng yang dalam
istilah Aceh disebut Kuta Inong Balee (Benteng Wanita Janda) tersebut,
hingga sekarang masih dapat kita saksikan di Teluk Krueng Raya, dekat
Pelabuhan Ma)ahayati.
Armada Inong Balee ketika dibentuk hanya berkekuatan 1000 orang janda
muda yang suaminya gugur di medan perang laut Haru. Dan jumlah pasukan
tersebut, oleh Laksamana Keumalahayati diperbesar lagi menjadi 2000
orang. Tambahan personil ini bukan lagi janda-janda, tetapi para gadis
remaja yang ingin bergabung dengan pasukan Inong Balee yang dipimpin
Laksamana Keumalahayati. Keumalahayati adalah seorang wanita Aceh
pertama yang berpangkat Laksamana (Admiral) Kerajaan Aceh dan rnerupakan
salah seorang pemimpin armada laut pada masa Pemerintahan Sultan
Alaiddin Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) yang populer disebut dengan
Sultan Al Mukammil saja.
Sebelum diangkat sebagai Panglima Perang Laut (Laksamana), Keumalahayati
pernah menjabat sebagai pemimpin pasukan ketentaraan wanita di Kerajaan
Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 89). Setelah Keumala Hayati sukses mengemban
tugas sebagai Kepala Pasukan Wanita Kerajaan Aceh, ia diangkat oleh
Sultan menjadi Admiral (Laksamana), sebuah pangkat tertinggi dalam
militer. (Davis dalam Yacobs, 1894). Pada saat berkuasa, usia Sultan
sudah sangat tua (95 tahun). Maka tidak mengherankan jika di istana
sering terjadi intrik-intrik yang berhubungan dengan suksesi dan
berbagai usaha untuk menyingkirkan Sultan dari kursi kerajaan. (Wap,
1862 : 12). Hal itu menyebabkan Sultan menjadi tidak percaya pada setiap
laki-laki yang dianggapnya akan mendongkel dirinya dari singgasana.
Sultan sudah trauma dengan para laki-laki yang dianggapnya telah
menyalah gunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan dirinya. Mungkin karena
kecurigaannya terhadap kaum laki-laki (Davis dalam Jacobs, 1894), Sultan
akhirnya pada keputusan untuk mengangkat seorang wanita sebagai
Laksamana.
Kemungkinan tersebut semakin jelas ketika Sultan mengangkat Malahayati
sebagai Laksamana. Sultan juga mengangkat seorang Cut Limpah sebagai
"dewan rahasia" (BIN)istana yang oleh Van Zeggelen disebut sebagai
"geheimraad ". (Van Zeggelen, 1935). Setelah memangku jabatan sebagai
Laksamana, Keumala Hayati mengkoordinir sejumlah Pasukan Laut, mengawasi
pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah Syahbandar (Van Zeggelen, 1894
: 88-89) dan juga kapal-kapal jenis galay milik Kerajaan Aceh (Van
Zeggelen, 1935 : 149). John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang
menjadi nahkoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh
pada masa Keumala Hayati menjadi Laksarnana, menyebutkan bahwa Kerajaan
Aceh pada masa itu memiliki perlengkapan armada laut yang terdiri dari
100 buah kapal (galey), di antaranya ada, yang berkapasitas muatan
sampai 400-500 penumpang. Yang menjadi pemimpin pasukan tersebut adalah
seorang wanita berpangkat Laksamana. (Davis dalam Yacobs, 1894). Pada
awal abad XVII, Kerajaan Aceh telah memiliki angkatan perang yang
tangguh.
Kekuatannya yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang dimiliki
Angkatan Lautnya. Di samping itu, Angkatan Darat Kerajaan Aceh juga
memiliki pasukan gajah. Untuk mengawasi daerah kekuasaan dan daerah
taklukan, Kerajaan Aceh menempatkan kapal-kapal perangnya di
pelabuhan-pelabuhan yarg berada di bawah kekuasaan atau di bawah
pengaruhnya, misalnya Daya dan Pedir. Di antara kapal-kapal itu ada yang
besarnya melebihi ukuran kapalkapal yang dimiliki bangsa Eropa.
Dari Cornelis de Houtman sampai penjaga pintu gerbang kerajaan
Kisah Laksamana Malahayati walaupun tidak banyak, semua bercerita
tentang kepahlawanannya. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda
pertama yang tiba di Indonesia, pada kunjungannya yang ke dua mencoba
untuk menggoyang kekuasaan Aceh pada tahun 1599. Cornelis de Houtman
yang terkenal berangasan (bahasa keren, keji gan..), kali ini ketemu
batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armadanya malah porak poranda
digebuk armada Laksamana Malahayati. Banyak orang-orangnya yang ditawan
dan Cornelis de Houtman sendiri mati dibunuh oleh Laksamana Malahayati
pada tanggal 11 September 1599. Selain armada Belanda, Laksamana
Malahayati juga berhasil menggebuk armada Portugis. Reputasi Malahayati
sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan
masuk ke wilayah ini, memilih untuk menempuh jalan damai (serem, negeri
Elizabeth aja keder..). Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang
dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi
Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan
ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia
ke Inggris.
Malahayati hidup di masa Kerajaan (Kesultanan) Atjeh dipimpin oleh
Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang memerintah antara tahun
1589-1604 M. Malahayati pada awalnya dipercaya sebagai kepala pengawal
dan protokol di dalam dan luar istana, berpasangan dengan Cut Limpah
yang bertugas sebagai petugas Dinas Rahasia dan Intelijen Negara.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Meunasah/ Pesantren, beliau
meneruskan pendidikannya ke Akademi Militer Kerajaan, “Ma’had Baitul
Maqdis”, akademi militer yang dibangun dengan dukungan Sultan Selim II
dari Turki Utsmaniyah. Akademi ini didukung oleh 100 dosen angkatan laut
yang sengaja didatangkan dari kerajaan Turki tersebut. Disini pula
dirinya bertemu jodohnya sesama kadet yang akhirnya menjadi Laksamana,
namun sampai kini nama suaminya belum dapat diketahui dengan pasti.
Lulus dari akademi, Malahayati diangkat menjadi Komandan Protokol Istana
Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam, begitu juga dengan suami yang
diangkat menjadi Laksamana.
Tidak banyak catatan mengenai sejarah hidup Malahayati, namun terdapat
sumber catatan dari seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan
Inggris, John Davis pernah mengungkapkan fakta bahwa pada masa
kepemimpinan militer Laksamana Malahayati, Kesultanan Aceh memiliki
perlengkapan armada laut. Malahayati digambarkan pula sebagai sosok yang
tegas dan sigap mengkoodinir pasukannya di laut serta mengawasi
berbagai pelabuhan yang berada di bawah penguasaan syahbandar, serta
secara seksama mengawasi kapal-kapal jenis milik Kesultanan Aceh
Darussalam. Namun sayang, suaminya gugur di palagan Selat Malaka ketika
melawan Portugis. Setelah suaminya gugur, Malahayati memohon kepada
Sultan al-Mukammil, raja Aceh yang berkuasa dari 1596-1604, untuk
membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang
gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu, yang dinamai Laskar Inong
Balee dengan anggota berjumlah 2000 orang prajurit. Bertahap demi tahap,
karir Malahayati mulai melesat, saat itu Kerajaan Aceh memang tengah
meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis. Usul membentuk armada
dikabulkan, Malahayati diangkat jadi Panglima Armada Inong Balee atau
Armada Perempuan Janda. Pasukan itu bermarkas di Teluk Lamreh Kraung
Raya. Benteng Kuto Inong Balee dengan tinggi sekitar tiga meter
dibangun. Lengkap dengan meriam. Sisa-sisa benteng itu kini masih bisa
dilihat di Aceh. Tak hanya menyusun pertahanan di darat.
Pasukan Inong Balee dilengkapi seratus lebih kapal perang. Pasukan yang
semula hanya seribu, lama-lama bertambah hingga mencapai dua ribu orang.
Armada asing yang melintas di Selat Malaka pun menjadi gentar. Pada 21
Juni 1599, pasukan ekspedisi dari Belanda yang baru selesai berperang
dengan Kesultanan Banten tiba di Aceh. Rombongan yang dipimpin Cornelis
dan Frederick de Houtman disambut baik. Namun armada asing itu malah
menyerbu pelabuhan Aceh. Karir militernya menanjak setelah kesuksesannya
“menghajar” kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Cornelis
de Houtman yang terkenal kejam. Bahkan Cornelis de Houtman tewas
ditangan Malahayati pada pertempuran satu lawan satu di geladak kapal
pada 11 September 1599, sedang adiknya Frederich de Houtman tertawan dan
dipenjarakan selama kurang lebih dua tahun. Frederich inilah orang
Eropa pertama yang menterjemahkan Bijbel kedalam bahasa Melayu.
Akhirnya beliau diberi anugerah gelar Laksamana (Admiral). Kerajaan Aceh
melawan Laskar Inong Balee pimpinan Malahayati jadi tembok terdepan dan
Belanda berhasil dilibas. Belanda kembali menyerang, pada 21 November
1600 dibawah Komando Paulus van Caerden, mereka menjarah dan
menenggelamkan kapal-kapal yang penuh rempah di pantai Aceh. Di tahun
berikutnya, bulan Juni, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda,
Jacob van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai
insiden, Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada
Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent. Malahayati
ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung.
Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua
utusan Maurits van Oranjesent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de
Roy. Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus
membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van
Caerden. Sepak terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu
Elizabeth, penguasa Inggris. Sehingga negeri raksasa itu memilih cara
damai saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni 1602, Ratu Elizabeth
memilih mengutus James Lancaster untuk mengirim surat kepada Sultan Aceh
untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa. Malahayati disebut masih
memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de
Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606.
Sejumlah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran
melawan Portugis itu. Setelah wafat dalam pertempuran laut Teluk Krueng
Raya Malahayati dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa
nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh, tidak jauh dari
Benteng Inong Balee,. Lokasi makam pada puncak bukit, merupakan salah
satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimakamkan.
Penempatan makam di puncak bukit kemungkinan dikaitkan dengan anggapan
bahwa tempat yang tinggi itu suci. Beberapa kompleks makam di daerah
lain yang terdapat di puncak bukit antara lain: Kompleks Makam Raja-raja
Mataram di Imogiri Yogyakarta, makam Sunan Giri di Giri Gresik, Sunan
Muria di Kudus, dan Gunung Jati di Cirebon.
Nama Malahayati sangat melegenda karena semangat dan perjuangannya
melawan dan mengusir penjajah. Untuk mengenang jasanya sebagai pejuang
tanpa pamrih tersebut nama Malahayati diabadikan untuk nama jalan, rumah
sakit, universitas di Pulau Sumatera, hingga kapal perang TNI Angkatan
Laut. Sejarah sudah mencatat beberapa pelaut wanita yang hebat di dunia
ini. Laksamana Malahayati harus dikenang sebagai salah satu pahlawan
diantaranya karena perjuangannya yang tanpa peduli harus menderita,
bahkan sampai kehilangan suami tercinta.