Sedari dulu, jauh ketika Tuban masih sebagai tanah perdikan, sudah
banyak disinggahi wali penyebar Islam, baik yang kemudian tinggal
bermukim atau sekadar lewat saja. Hal itu terbukti dengan banyaknya
makam wali yang berada di kabupaten yang berada di pesisir laut Jawa
ini, Namun tak semua makam tersebut dikenal masyarakat, seperti makam
Sunan Andong Wilis. Siapa dia? Masih menjadi misteri.
Tidak seperti makam Sunan Bonang yang mashur, makam sunan andong wilis
sedikit berbeda. Makam yang diyakini warga masyarakat sekitar sebagai
salah satu pejuang yang menyertai para wali menyebarkan Islam di jawa,
khususnya di Tuban, tak banyak diketahui masyarakat luas seperti halnya
makam wali lain di Tuban.
Tidak banyak yang tahu siapa Sunan Andong Willis, yang dimakamkan di
Dusun Kepoh, Kelurahan Panyuran, Kecamatan Palang, ini. namun masyarakat
percaya, bahwa Sunan Andong Wilis ini merupakan salah satu dari sekian
banyak tokoh yang menyertai perjalanan Wali Songo.
Lantaran kurang dikenal, makam Sunan Andong Willis yang sebenarnya bisa
menjadi potensi wisata reliji ldi Tuban tersebut jarang dikunjungi oleh
peziarah. Bahkan peziarah dari Tuban sendiri masih relatif sedikit.
“Menurut masyarakat sekitar, kisah Sunan Andong Willis masih menjadi
misteri. Hingga kini kisahnya masih sekadar cerita yang dikisahkan
secara turun temurun. Namun kepastian asal Sunan Andong Willis sendiri
masih menjadi pertanyaan besar,”
Di dukuh Kepoh, Desa Panyuran, Kecamatan Palang, terdapat sebuah makam
keramat, makam Kyai Andong Wilis.Makam keramat ini berada di wilayah
pantai utara Desa Panyuran.Kesederhanaan makam ini masih sangat
terasa.Berbeda dengan makam-makam wali lainnya yang sudah mengalami
renovasi beberapa kali, maka makam ini masih dalam keadaan aslinya Atap
aslinya terbuat dari welit (daun kelapa yang dikeringkan dan ditata
rapi) masih ditempatkan di tempat asalnya, meskipun di atasnya sudah
diatapi genteng. Bangunan utama makam juga masih tetap, terdiri dari dua
buah makam membujur ke utara, maesan di bagian kepala ditutup kain
putih, dan lantai dari pasir laut serta kijing dari bangunan permanen
yang sudah lapuk.Untuk memasuki kompleks makam, orang harus melewati
pintu di sebelah tenggara yang berukuran kecil, sehingga orang harus
membungkuk. Pendeknya ukuran pintu masuk, dimaksudkan agar orang yang
akan masuk berposisi menghormat. Di sebelah selatan makam Andong Wilis
dibangun sebuah Masjid, yang diberi nama Masjid Astana Andongwilis.
Makam ini digolongkan sebagai makam tua atau diperkirakan pada awal
islamisasi di Jawa, yakni di sekitar pemerintahan Raden Patah.Andong
Wilis bukan orang Jawa, tetapi berasal dari Madura. Dalam perjalanan ke
barat untuk mendatangi putranya yang belajar agama di Bonang, maka
sesampainya di Gresik terjadi pertempuran antara tentara Demak melawan
tentara Prabu Girindrawardana. Beliau membela tentara Demak dan
terbunuh, dan layon-nya mengambang sampai di Desa Panyuran. Oleh
masyarakat, kemudian dimakamkan di pantai Panyuran tersebut.
Menurut R. Soeparmo dalam Catatan Sejarah 700 tahun Tuban, Pangeran
Andong Wilis berasal dari Pacangan Madura. Menilik nama ini ada
kemungkinan yang dimakamkan di situ adalah salah seorang Bangsawan dari
Madura.
Asal-usul mengenai Andong Wilis hanya dikenal lewat cerita, bahwa
terdapat jenazah tanpa kepala yang ditemukan oleh pen- duduk setempat.
Jenazah ini tidak dapat dipindahkan ke liang lahat meskipun diangkat
oleh banyak orang. Setelah maghrib, dari arah utara (laut) terdapat
cahaya yang menyilaukan mata dan semakin menepi. Ternyata adalah kepala
manusia. Potongan kepala itu semakin menepi dan kemudian tergeletak di
dekat mayat tanpa kepala tersebut. Oleh masyarakat yang menunggu mayat,
kepala manusia tersebut ditaruh di jasad orang yangmeninggal.Tiba-tiba
kepala itu menyambung kembali. Setelah kepala menyambung dengan badan,
maka jenazah itu bisa diangkat dan dimasukkan ke dalam liang lahat.
Untuk menandai
Berbeda dengan cerita sebelumnya, menurut penuturan KH Abdul Matin,
Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Bejagung Semanding, Syekh Andalusy
adalah seorang penyiar agama Islam dari Andalusia, Spanyol. Beliau
datang ke Nusantara bersama-sama rombongan Syekh Maulana Ibrahim Asmoro,
ayahanda Sunan Ngampel. Saat itu, para penyebar agama Islam yang datang
ke negeri- negeri jauh telah bersepakat, jika diantara mereka meninggal
dunia dalam perjalanan, sementara jarak dengan daerah tujuan masih
jauh, maka mayatnya terpaksa dilempar ke laut untuk mengurangi beban
kapal dan agar tidak mengganggu perjalanan para mujahid lainnya. Atas
takdir Allah, Syekh Andalusy meninggal dalam perjalanan laut menuju ke
tanah Jawa. Mayatnya pun kemudian dilempar ke laut, dan dibawa ombak
hingga ke tepian pantai Demak.Masyarakat yang menemukannya lalu
menguburkan mayat itu, tidak jauh dari pantai tempat si mayat terdampar.
Tetapi belum genap sehari, makam Syekh Andalusy hilang termakan ombak
pasang, dan mayatnya terseret hingga terdampar di pantai
Lasem.Masyarakat setempat pun lalu menguburkannya di tempat itu.Namun
lagi-lagi ombak laut merusak makamnya dan membawa jasad Syekh Andalusy
hingga jauh ke tepian pantai Pamanyuran (Panyuran).Warga saat itu hendak
mengembalikan jasad Syekh Andalusy ke Demak, karena telah mendengar
kabar ada jasad seseorang dari daerah jauh yang hilang saat dikuburkan
di Demak.Tetapi saat diangkat, tak ada seorangpun yang mampu
mengangkatnya.
Datanglah kemudian Syekh Maulana Ishak yang memang sedang melacak jejak
mayat sahabat mujahidnya itu.Setelah mendengar cerita dari warga
setempat, Syekh Maulana Ishak lalu memutuskan agar mayat Syekh Andalusy
dikubur saja di Dukuh Kepoh, Panyuran itu.Orang-orang tentu bertanya
pada Maulana Ishak, itu mayat siapa.Oleh Maulana Ishak dijawab namanya
Syekh Andalusy. Berhubung lidah orang Jawa saat itu belum terbiasa
dengan lafaz asing, maka jadilah Andongwilis, sampai sekarang ini.