Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ
عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى
الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ «
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا
الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »
Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua
berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin
Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam
ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di
sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku
untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan
melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku
pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau
akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)
Keutamaan Ziarah kubur :
Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan
kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]).
Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)
Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim
Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar
untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk
mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al
Janaaiz Lil Albani, 187)
Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka
berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh
(Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).
Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi
Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan
diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)
An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa
ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan
Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup.
Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat
hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan
hukumnya haram mengingat hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور
“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)
Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325).
Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita
karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan
mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun
perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).
Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة
“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)
Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang
ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat
melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian
akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak
(qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)
Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud
terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang
ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat
kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR.
Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang
kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat
kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya
yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang
kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya
untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa.
Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang
berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil
Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun
bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa
disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari
peziarah. Sebagaimana hadits:
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين
والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم
للاحقون
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul
qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa
ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul
mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum
lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin
penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului
(mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh,
Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang
diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan
mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan
orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada
shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah
kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain
disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul
qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti
suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk
surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin
melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui
disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan
menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak
sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang
menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat
syirik.
Sejarah Sunan Mojoagung
Orang-orang Arab ini datang dengan maksud bermacam-macam. Ada yang
berdakwah untuk menyebarkan agama Islam, ada pula yang berniaga seraya
berdakwah. Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia adalah seorang Sayid
keturunan Rasulullah yang bergelar Basyaiban. Basyaiban adalah gelar
warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka
di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti.
Sayid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah
unik dibalik julukannya itu. Suatu ketika, Sayid Abu Bakar yang saat
itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak muncul-muncul.
Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru
setelah sekitar tiga puluh tahun, Sayid Abu Bakar muncul di Tarim. Ia
tetap tampak muda. Tapi aneh, rambutnya putih, tak selembar pun yang
hitam. Ia seperti berambut salju. Sejak itulah orang-orang menjulukinya
Syaiban (yang beruban).
Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayid Abu Bakar Basyaiban. Ia
putra sulung Sayid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban.
Lahir pada abad 16 Masehi di Tarim, Yaman bagian selatan, perkampungan
sejuk di Hadramaut yang masyhur sebagai gudang para wali.
Dalam masa perantauannya ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, Sayid
Abdurrahman memilih bertempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa
waktu kemudian, ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin (?-1570
M). Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah. Ia bernama
Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati. Dari pasangan dua keturunan Rasulullah ini, lahir tiga orang
putra: Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah
Arif Segoropuro Pasuruan), dan Sayid Abdul Karim.
Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang
keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah
dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, di Cirebon.
Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda
khawatir. Maka ketika menginjak dewasa, Sayid Sulaiman dibuang oleh
mereka. Putra sulung Sayid Abdurrahman ini, kemudian tinggal di Krapyak,
Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan, beliau menikah dan mempunyai
beberapa orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu Hasan, Abdul
Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.
Dari Pekalongan Sayid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, Solo
(Surakarta) menjadi tempat tujuan. Selama tinggal di Solo beliau
terkenal sakti. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri
seorang Raja dari Mataram. Sang Raja ingin membuktikan kesaktian Sayid.
Maka diundanglah Sayid ke keraton.
Saat itu di istana sedang berlangsung pesta pernikahan putri bungsu sang
Raja. Sayid Sulaiman dipanggil menghadap. Untuk memeriahkan pesta
pernikahan putri bungsunya ini, Raja meminta agar Sayid memperagakan
pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapapun.
“Sulaiman, anda ini orang sakti. Kalau benar-benar sakti, saya minta
tolong buatkan pertunjukan yang tidak umum, yang belum pernah disaksikan
oleh orang-orang sini,” pinta Raja Mataram kepada Sayid dengan nada
menghina.
Mendengar permintaan Raja yang sinis itu, Sayid meminta pada Raja untuk
meletakkan bambu di alas meja, sembari berpesan untuk ditunggu. Sayid
Sulaiman lalu pergi ke arah timur. Masyarakat sekitar keraton menunggu
kedatangan Sayid demikian lama, namun Sayid belum juga datang. Raja
Mataram hilang kesabaran. la marah. la membanting bambu di alas meja itu
hingga hancur berkeping-keping. Sesuatu yang ajaib terjadi, kepingan
bambu-bambu itu menjelma menjadi hewan yang bermacam-macam. Raja Mataram
tersentak melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayid
Sulaiman.
Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari
Sayid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bambu itu terus dipelihara.
Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian
diberi nama “Sriwedari”. Artinya, “Sri” adalah tempat, sedangkan
“Wedari” adalah “wedar sabdane Sayid Sulaiman”. Kebun binatang itu tetap
terpelihara. Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan
obyek wisata terkenal peninggalan Mataram. Namun pada tahun 1978,
binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke kebun binatang Satwataru.
Nyantri di Ampel
Setelah meninggalkan Solo, Mbah Sayid Sulaiman pergi dari Solo ke
Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya, beliau harus melalui hutan
belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel, Surabaya, adalah untuk nyantri
kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Kabar keberadaan Sayid Sulaiman
akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya
untuk memanggilnya. Di antara utusan itu ada Sayid Abdurrahim, adik
kandung Sayid Sulaiman sendiri. Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu
bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya, ia memutuskan
untuk tidak kembali lagi ke Mataram. Ia ingin belajar kepada Sunan Ampel
bersama sang kakak.
Pada suatu malam, saat murid-murid Sunan Ampel sudah tertidur pulas,
tiba-tiba terdapat dua kilatan sinar menerpa dua orang murid Sunan Ampel
yang sedang tidur. Sinar itu berwarna kuning keemasan. Sunan Ampel yang
saat itu sedang tidak tidur, menghampiri tempat jatuhnya sinar tadi.
Karena keadaan yang gelap, beliau tidak dapat melihat dengan jelas wajah
kedua santrinya yang diterpa sinar keemasan ini. Beliau memutuskan
untuk mengikat sarung kedua santrinya itu. Usai salat Subuh, Sunan Ampel
bertanya kepada para santrinya,
“Siapa yang sarungnya tadi malam terikat?”
Mbah Sayid Sulaiman dan Mbah Abdurrahim mengacungkan tangan. Lalu, Sunan Ampel berkata,
“Mulai sekarang, santriku jangan manggil Sulaiman, jangan manggil
Abdurrahim tok, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas Abdurrahim!”
Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan “Mas” (semacam “Gus”) oleh santri untuk memanggil keturunan para Masyayikh.
Riwayat belajarnya Sayid Sulaiman kepada Sunan Ampel ini sebenarnya
masih sangat disangsikan. Soalnya, terdapat selisih tahun yang terlalu
jauh antara masa hidup Sayid Sulaiman dan Sunan Ampel. Sunan Ampel hidup
pada 1401-1481 M (abad 14 M), sedangkan Sayid Sulaiman diperkirakan
hidup pada abad 17 M, jadi selisih tiga abad (300 tahun) dengan Sunan
Ampel. Kemungkinan besar, Sayid Sulaiman belajar di Ampel ini tidak pada
Sunan Ampel sendiri, tetapi pada generasi-generasi penerus beliau.
Kemungkinan juga cerita di atas terjadi ketika mereka nyantri kepada
Habib Sholeh (Mbah Semendi).
Keramat di Pasuruan
Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk
nyantri pada Mbah Sholeh Semendi di Segoropuro. (Belakangan diketahui
ternyata Mbah Sholeh adalah paman mereka sendiri, saudaranya ibu mereka,
Syarifah Khodijah). Setibanya di Pasuruan, setelah mengungkapkan
keinginan untuk menuntut ilmu, mereka diajak mandi di sungai Winongan
oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka sedang asyik mandi bersama,
tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama kemudian, muncul lagi. Kejadian
ini terulang sampai dua kali.
Mbah Sulaiman berfirasat bahwa Mbah Sholeh Semendi bermaksud mencoba
kesaktiannya bersama adiknya berdua. Mereka berunding, jika nanti Mbah
Sholeh sedang mandi, teklek (bakiak/sandal kayu zaman dahulu) miliknya
dipegang bersama-sama agar Mbah Sholeh tidak bisa menghilang. Maka
mereka memegang teklek Mbah Sholeh itu dengan mengerahkan segala
kemampuan. Demikian pula Mbah Sholeh. Tapi Mbah Sholeh Semendi tidak
bisa menghilang. Akhirnya ia tahu bahwa ia tidak bisa menghilang sebab
tekleknya dipegang oleh Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim,
“Eh, eh, jangan begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah Sholeh.
Setelah kejadian itu, Mbah Sholeh mengakui akan kesaktian dua bersaudara itu.
Banyak kisah-kisah luar biasa yang terjadi antara Sayid Sulaiman dan
Mbah Sholeh. Di antaranya, pada suatu hari, Mbah Sholeh hendak
bepergian. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada semua santrinya agar
halaman dibersihkan selama kepergiannya. Maka saat beliau berangkat
pergi, semua santri Mbah Sholeh melaksanakan kerja bakti, Sayid Sulaiman
dan Sayid Abdurrahim turut serta bersama mereka. Lagi-lagi Sayid
Sulaiman membuat keajaiban. Ia mencabuti pohon-pohon besar hingga bersih
total.
Setiba dari bepergiannya, Mbah Sholeh kaget melihat pohon-pohon besar
yang dicabuti sampai bersih. Setelah tahu bahwa yang mencabuti adalah
Sayid Sulaiman, Mbah Sholeh memerintahkan agar pohon-pohon itu
dikembalikan seperti semula. Subhanallah, dengan izin Allah, pohon-pohon
tersebut dapat dikembalikan lagi oleh Mbah Sayid. Sejak kejadian itu,
berita tentang kesaktian Mbah Sayid Sulaiman tersiar dari mulut ke mulut
di seluruh penjuru Pasuruan.
Setelah mondok di Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman tinggal di Kanigoro,
Pasuruan. Sehingga beliau mendapat julukan Pangeran Kanigoro. Saat itu,
beliau sempat menjadi penasehat Untung Surapati. Untung Surapati adalah
tokoh terkemuka Pasuruan dengan gelar Adipati Wironegoro. Beliau
tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari
Nusantara.
Berita tentang kesaktian Sayid Sulaiman juga terdengar oleh Raja Keraton
Pasuruan. Raja Pasuruan ini tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia
sering kali melecehkan kesaktian Mbah Sayid. Sampai suatu ketika Putri
Keraton yang sedang berjalan-jalan keliling kota hilang. Kusir dan
kereta kuda yang dipakai oleh sang Putri juga ikut raib. Sang Raja
menjadi sedih bermuram durja.
Diadakanlah sayembara: Bagi yang menemukan sang Putri, akan mendapat
hadiah yang amat besar. Tapi malang, tidak ada satu orang pun yang
berhasil menemukan sang Putri. Sang Putri seperti lenyap ditelan bumi.
Hati Raja semakin bersedih dan putus asa.
Akhirnya, ia meminta bantuan kepada Sayid Sulaiman yang sebelumnya
sering ia hina. Di hadapan Sang Raja, Mbah Sulaiman memasukkan tangannya
ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian, beliau melemparkan sesuatu
dari dalam sakunya ke halaman. Luar biasa! Dengan izin Allah, sang Putri
muncul bersama kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia dibawa
lari jin ke alam gaib.
Melihat putrinya kembali, hati Raja berbunga-bunga. Ia gembira
alang-kepalang dan meminta agar Sayid Sulaiman menikahi putrinya itu
sebagai tanda ucapan terima kasih atas jasanya. Namun Mbah Sayid
menolak. Beliau memilih kembali ke Kanigoro.
Tak lama kemudian, Sayid Sulaiman diambil menantu oleh gurunya yang
notabene pamannya sendiri, Mbah Sholeh Semendi. Semula, beliau menolak,
tetapi akhirnya beliau menerima permintaan gurunya itu. Beliau menikahi
putri Mbah Sholeh yang kedua. Sedangkan adiknya, Mbah Abdurrahim,
mempersunting putri Mbah Sholeh yang pertama, kakaknya istri Mbah
Sulaiman. Mbah Abdurrahim tinggal di Segoropuro, Pasuruan, sampai
meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Mbah Arif
Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik Sayid Sulaiman yang kedua,
wafat di Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel.
Selain beristri putri Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman juga mempunyai istri
dari Malang. Dari istrinya dari Malang ini beliau mempunyai putra
bernama Hazam.
Kembali ke Cirebon
Setelah hari pernikahan, Mbah Sulaiman kembali ke Cirebon, Jawa Barat,
tempat di mana ia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama
ayah dan ibu tercinta. Tapi pada saat itu, suasana di Banten dan Cirebon
sedang ricuh disebabkan terjadinya pertikaian antara Sultan Agung
Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan Haji, yang terjadi berkisar
pada tahun 1681-1683. Maka sejak tahun 1681, Sultan Agung Tirtayasa
aktif melakukan penyerangan terhadap putranya ini. Pemicu pertikaian
yang berlangsung sampai tiga tahun ini adalah pemihakan Sultan Haji pada
Belanda.
Melihat hal ini, Mbah Sulaiman memutuskan untuk kembali lagi ke
Pasuruan. Beliau kembali menetap di Kanigoro, sebuah dusun di desa
Gambir Kuning. Di Gambir Kuning beliau mendirikan dua buah masjid unik.
Bahan bangunannya seperti kayu usuk, belandar, ring, dan lain-lain hanya
diambilkan dari kayu satu pohon terbesar di hutan Kejayan. Pohon besar
itu adalah pemberian dari kepala hutan Kerajaan Untung Surapati
Pasuruan. Karena ukuran pohon itu sangat besar, disediakanlah 40 ekor
sapi untuk menariknya ke lokasi pembangunan masjid, tapi sapi-sapi itu
tidak kuat membawanya. Tapi aneh, keesokan harinya kayu-kayu itu sudah
ada di lokasi pembangunan. Konon, yang mengangkat kayu itu adalah Sayid
Sulaiman sendiri.
Sampai sekarang masjid ini masih tetap ada. Namun, karena lokasinya yang
sempit, masjid itu dipindah agak ke selatan oleh Syekh Rafi’i, cicit
Mbah Sulaiman dari cucunya, Ummi Kultsum bin Hazam bin Sulaiman, pada
bulan Rabiul Awal 1243 H, hampir dua abad yang lalu. Masjid dengan gaya
arsitektur kuno itu, kini telah berusia lebih dari 400 tahun. Sampai
kini, bahan-bahan masjid peninggalan Mbah Sulaiman itu masih asli,
kecuali lantai dan tiang bagian dalam.
Pergi ke Keraton Mataram
Kabar kekeramatan Mbah Sayid di Pasuruan terdengar kembali ke Keraton
Mataram (Solo). Raja Mataram mengutus salah seorang adipatinya untuk
memanggil Mbah Sayid di Pasuruan. Setibanya di Pasuruan, adipati
tersebut mengajak Mbah Sayid untuk memenuhi panggilan Raja. Mbah Sayid
bermaksud memenuhi panggilan ini.
Bersama tiga orang santrinya, Mbah Djailani (Tulangan Sidoarjo), Ahmad
Surahim bin Untung Surapati, dan Sayid Hazam, putranya sendiri, beliau
berangkat ke Solo. Di Keraton, Raja Mataram mengumpulkan
pembesar-pembesar kerajaan. Ia menyiapkan jamuan besar-besaran yang
betul-betul mewah. Namun ada yang terasa janggal di hati Mbah Sayid. Ada
tiga keris pusaka yang diletakkan di alas cowek yang ada sambalnya
ketika mereka sedang makan bersama-sama.
Mbah Sulaiman heran melihat keris di depannya itu. Beliau berbisik
kepada santrinya, “Nak, kalian lupa tidak memakan sayur kacang ini. Ayo
dimakan, masing-masing satu!),” perintah Mbah Sulaiman.
“Oh, iya Mbah,” jawab mereka serempak.
Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak.
“Kalau muridnya saja seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.
Setelah acara makan-makan selesai, Raja Mataram Solo berembuk dengan
pembesar-pembesarnya untuk mengangkat Mbah Sulaiman menjadi hakim. Namun
saat kesepakatan ini disampaikan pada Sayid, beliau menolak, dengan
alasan akan meminta pertimbangan dan restu kepada istri dan
masyarakatnya yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka yang di Pasuruan
tidak menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh yang disegani ini.
Wafatnya Sayid Sulaiman
Setiba di Pasuruan, setelah dari Solo untuk mengabarkan penolakan rakyat
Pasuruan pada sang Raja, Sayid Sulaiman pamit kepada istrinya yang
sedang hamil tua untuk pergi ke Ampel, Surabaya. Lalu meneruskan
perjalanannya ke Jombang. Namun di tengah perjalanan, tepatnya di
kampung Betek, Mojoagung, Jombang, beliau jatuh sakit, kemudian wafat
dan dimakamkan di sana. Tidak diketahui dengan pasti tahun kewafatannya.
Istri Mbah Sulaiman yang sedang hamil tua itu terus menunggu kedatangan
sang suami. Yang ditunggu-tunggu ternyata tidak kunjung datang. la
memutuskan untuk mencari Mbah Sulaiman. Dari Pasuruan ke Sidoarjo,
Surabaya, lalu ke Malang. Akhirnya ia melahirkan di Desa Mendit, dekat
pemandian. Namun bayinya langsung meninggal dunia dan dimakamkan di
Kampung Woksuru. Istri Mbah Sulaiman ini tetap tidak putus asa. la terus
mencari Sayid ke arah selatan, menuju Desa Sawojajar, Malang bagian
timur. Tapi malang tak dapat ditolak, ia meninggal dunia sesampainya di
desa Grebek.
Menurut versi lain, ketika pergi ke Solo untuk memenuhi panggilan Raja,
Mbah Sulaiman tidak sampai ke Solo. Beliau jatuh sakit di tengah
perjalanan, tepatnya di kampung Betek, Mojoagung. Selama masa sakitnya,
beliau dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah Alif, sampai beliau
memenuhi panggilan Tuhan. Selama berada di Mojoagung dalam rawatan Mbah
Alif, Mbah Sayid Sulaiman berdoa kepada Tuhan, Kalau pertemuannya dengan
Raja Solo dianggap baik dan bermanfaat, maka beliau memohon agar
dipertemukan. Tetapi jika tidak, maka beliau minta lebih baik wafat di
tempat itu. Akhirnya, permintaan yang kedua dikabulkan oleh Allah.
Beliau tidak sampai bertemu dengan Raja Mataram, dan wafat di Mojoagung.
Adipati yang disuruh menjemput Mbah Sayid, mengirim surat kepada Raja
Solo, bahwa dirinya tidak akan kembali ke Solo dan memilih menetap di
Mojoagung untuk menjaga makam Mbah Sayid. Sang adipati tetap tinggal di
Mojoagung hingga meninggal dunia dan dimakamkan di sana pula.
Turunkan Pewaris Perjuangannya
Hasil jerih payah Mbah Sayid dalam segala usahanya membawa berkah amat
besar bagi kehidupan beragama kaum muslimin sampai sekarang.
Perjuangannya mendirikan pesantren, melawan dan bergelut dengan
tantangan, telah menorehkan napak tilas terciptanya apa yang kini kerap
disebut dengan kentalnya moralitas agamis dan budaya pesantren. Beliau
berjasa mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, juga menurunkan
pewaris-pewaris perjuangannya. Para pewaris perjuangannya termasuk para
ulama pemangku pesantren-pesantren besar, mulai dari Pondok Pesantren
Sidogiri Pasuruan, Pondok Pesantren Sidoresmo dan Pondok Pesantren
Al-Muhibbin Surabaya, sampai Pondok Pesantren Syaikhuna Kholil
Bangkalan.
Dari istri pertamanya di Krapyak Pekalongan, Sayid Sulaiman dikaruniai
empat orang putra. Yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir (makamnya
ada di Geluran,Sepanjang, Sidoarjo), dan Ali Akbar. Keturunan Sayid
Sulaiman dari jalur Abdul Wahhab, banyak yang tinggal di Magelang dan
Pekalongan. Sedangkan keturunan beliau dari jalur Muhammad Baqir berada
di Krapyak Pekalongan. Abdul Wahhab dikenal sebagai pejuang yang gigih
melawan penjajah Portugis dan Belanda. Begitu pula Hasan. Sayid yang
masyhur dengan sebutan “Pangeran Agung” ini juga sosok pejuang
pembebasan tanah Jawa dari cengkeraman Kompeni Belanda.
Melalui jalur Sayid Ali Akbar, banyak terlahir ulama-ulama pemangku
pesantren di Jawa Timur. Sebut saja, Sidogiri, Demangan Bangkalan, dan
Sidoresmo Surabaya. Sampai kini, makam Sayid Ali Akbar tidak diketahui.
Konon, karena kegigihannya menentang penjajah, ia selalu diburu oleh
Kompeni Belanda. Suatu ketika, Belanda berhasil menangkap Ali Akbar dan
akan dibuang ke Belanda dengan menggunakan kapal. Tapi di tengah
pelayaran Sayid Ali Akbar hilang. Anehnya, ia muncul lagi di Sidoresmo.
Untuk kedua kalinya beliau ditangkap tentara Kompeni dan dibawa ke
Belanda. Tapi seperti semula, beliau menghilang di tengah pelayaran dan
kembali ke Sidoresmo. Kemudian, untuk ketiga kalinya beliau ditangkap
dan dibawa ke Belanda. Tidak seperti penangkapan sebelumnya, Ali Akbar
tidak kembali ke Sidoresmo. Ia terus menghilang. Konon, beliau lari ke
Tarim, Hadramaut, kampung para wali di mana kakeknya, Abdurrahman
Basyaiban, dilahirkan.
Sayid Ali Akbar meninggalkan enam putra yang kelak menjadi penerus jejak kakeknya, Mbah Sayid Sulaiman. Mereka adalah:
1. Sayid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan)
2. Sayid Ibrahim (makamnya di Kota Pasuruan)
3. Sayid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan Surabaya)
4. Sayid Iskandar (makamnya di Bungkul Surabaya)
5. Sayid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura) dan
6. Sayid Ali Ashghar (makamnya di Sidoresmo).
(belakangan diketahui, bahwa menurut catatan nasab keluarga Sidogiri dan
Bangkalan, Sayid Abdullah adalah putra Sayid Sulaiman, bukan cucu Sayid
Sulaiman dari Sayid Ali Akbar).
Dari Sayid Abdullah, terlahir pewaris-pewaris perjuangan Sayid Sulaiman
yang memangku pesantren seperti Sidogiri dan Demangan Bangkalan, yang
masing-masing telah memiliki ribuan santri.
Sedangkan keturunan Mbah Sayid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya
telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua
desa ini terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh
keturunan Sayid Sulaiman.
Sayid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak Yosowilangon, Surabaya.
Sedangkan dari istrinya yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi, Sayid
Sulaiman mempunyai beberapa putra. Di antaranya kiai Ahmad, Lebak,
Winongan, Pasuruan. Dari istrinya yang ketiga di Malang, beliau
mempunyai putra Sayid Hazam. Tetapi menurut riwayat lain, Hazam adalah
putra Mbah Sulaiman dari istri yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi.
Pembabat Sidogiri
Konon, Mbah Sayid Sulaiman membabat Sidogiri atas titah dari Sunan Giri.
Beliau harus berjuang habis-habisan untuk membabat Sidogiri. Tidak
sekadar bekerja keras menebang pohon-pohon Sidogiri yang masih berwujud
rimba, tapi juga harus bertarung melawan bangsa Jin, sebab Sidogiri yang
saat itu masih sangat angker dan menyeramkan, menjadi sarang makhluk
halus dan markas para dedemit (jin). Sayang, beliau keburu mangkat saat
melakukan perjalanan ke Jombang, sebelum perjuangannya yang penuh
pengorbanan ini berhasil dengan sempurna. Setelah wafatnya Sayid
Sulaiman, tidak ditemukan data yang kuat mengenai pelanjut perjuangan
beliau dalam mambabat Sidogiri. Jejak sejarahnya hilang dan baru
tercatat sejak periode Kiai Aminullah.
Ada dua versi mengenai tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri. Dalam
satu versi, Sidogiri didirikan pada tahun 1745. Dalam catatan lain
Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1712. Tahun 1712 adalah
tahun paling dekat dengan masa hidup Sayid Sulaiman. Sebab seperti
disebutkan sebelumnya, beliau membabat Sidogiri pada usia senjanya.
Belum sempurna pembabatan Sidogiri, Sayid Sulaiman keburu meninggal.
Sedang beliau hidup pada masa Untung Surapati yang meninggal tahun 1705.
Sedangkan tahun 1745 diperkirakan masa hidup Kiai Aminullah. Jadi,
kemungkinan besar, usia Pondok Pesantren Sidogiri 268 tahun pada tahun
ini (2013) adalah terhitung sejak periode Kiai Aminullah ini.
Kiai Aminullah adalah seorang santri yang berasal dari Bawean. Menurut
satu riwayat, beliau menikah dengan Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi
Kultsum binti Hazam bin Sayid Sulaiman. Bersama Nyai Masturah, Kiai
Aminullah menetap di Sidogiri.
Namun menurut riwayat yang masyhur di kalangan keluarga Sidogiri
berdasarkan catatan silsilah, Kiai Aminullah menikah dengan Nyai Indah
binti Sayid Sulaiman. Menurut riwayat ini, Kiai Aminullah adalah menantu
langsung Sayid Sulaiman.
Kiai Aminullah sendiri adalah figur abid (ahli ibadah) yang senang
berkhidmah. Bahkan, sehabis salat Tahajud, beliau istiqamah mengisi
jeding masjid-masjid di sekitar Sidogiri. Hal ini terus beliau lakukan
sampai empat tahun.