Penjelasan Tentang Puji-Pujian Antara Adzan Dan Iqomat
Kebiasaan para muadzin di beberapa daerah untuk mengumandangkan
(melantunkan) puji-pujian atau shalawat setiap sebelum atau setelah
adzan atau pada waktu-waktu tertentu merupakan salah satu jenis bid‘ah
hasanah yang diridhoi. Bid‘ah yang tidak pantas untuk ditolak, karena
Al-Quran dan Hadis telah memerintahkan untuk mengucapkan shalawat dan
salam kepada Rasulullah saw tanpa batasan waktu, keadaan, dan tempat.
Benar, memang ada beberapa waktu yang dikhususkan untuk bershalawat.
Pengkhususan ini untuk menambah pahala. Namun, perintah dan keutamaan
membaca shalawat berlaku secara umum untuk setiap waktu dan keadaan,
baik diucapkan dengan suara pelan maupun keras, sendiri maupun
bersama-sama. Pembacaan shalawat yang dilakukan oleh muadzin ini tidak
boleh ditolak. Jika ada yang menolak, maka tidak perlu kita tanggapi,
kecuali jika ada dalil yang menguatkan penolakan itu. Namun, pada
kenyataannya, dalil tersebut tidak pernah ada. Jadi, gugurlah ucapan
orang yang menolaknya.
Betapa besar manfaat dari tradisi pujian setekah adzan dalam pendidikan
dan pembelajaran bagi masyarakat. Berapa banyak anak yang menghafal 20
sifat wajib Allah karena mereka mendengar dari suara pujian yang
dilantunkan setelah dikumandangkan adzan. Dan juga nasehat lainnya yang
berbentuk syair dari para ulama, yang merupakan tuntunan dalam menjalani
kehidupan.
Pujian setelah adzan walaupun dilafalkan dengan bahasa Jawa yang berisi
beragam nasehat agama, namun selalu diiringi sholawat serta adakalanya
syair tersebut mengambil dari hadits ataupun maqolah. Demikian pula
sebaliknya dalam majelis sholawat, disisipkan beberapa bait nasehat
agama. Hal ini karena, inti dari pujian setelah adzan adalah sholawat.
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ
فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى
عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا
اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا
تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ
أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Apabila kamu mendengar muadzin mengumandangkan adzan, ucapkanlah
seperti apa yang diucapkan. Kemudian bersholawatlah kepadaku, karena
sesungguhnya barangsiapa yang bersholawat kepadaku satu kali niscaya
Allah akan bersholawat kepadanya sebanyak sepuluh kali. Setelah itu
mintalah (kepada Allah) al‐wasilah untukku, karena al‐wasilah itu suatu
manzilah (kedudukan yang mulia) di surga, yang tidak sepatutnya
diberikan kecuali untuk seorang hamba Allah. Dan aku berharap semoga
akulah hamba itu. Maka barangsiapa yang memohon al‐wasilah untukku, ia
akan mendapatkan syafaatku” (HR.Muslim, no. 849)
Sejak zaman hadulu, di sebagian masjid atau mushalla di Jawa ada
kebiasan yang tidak dilakukan di masjid atau mushalla lain, yaitu
setelah adzan shalat maktubah dibacakan pujian berupa dzikir, do’a,
shalawat nabi atau sya’ir-sya’ir yang islami dengan suara keras.
Beberapa menit kemudian baru iqamat. Akhir-akhir ini banyak
dipertanyakan bahkan dipertentangkan apakah kebiasaan tersebut mempunyai
rujukan dalil syar’i? Dan mengapa tidak semua kaum muslimin di negeri
ini melakukan kebiasaan tersebtu? Dengan munculnya pertanyaan seperti
itu warga Nahdliyin diberi pengertian untuk menjawab : Apa pujia itu?
Bagaimana historisnya? Bagaimana tinjauan hukum syari’at tentang pujian?
Dan apa fungsinya?
Pengertian Pujian dan Historisnya
Pujian bersal dari akar kata puji, kemudian diberi akhiran “an” yang
artinya : pengakuan dan penghargaan dengan tulus atas kebaikan/
keunggulan sesuatu. Yang dimaksud dengan pujian di sini ialah
serangkaian kata baik yang berbahasa Arab atau berbahasa Daerah yang
berbentuk sya’ir berupa kalimat-kalimat yang isinya mengagungkan asma
Allah, dzikir, do’a, shalawat, seruan atau nasehat yang dibaca pada saat
di antara adzan dan iqamat.
Secara historis, pujian tersebut berasal dari pola dakwah para wali
songo, yakni membuat daya tarik bagi orang-orang di sekitar masjid yang
belum mengenal ajaran shalat. Al-hamdulillah dengan dilantunkannya
pujian, tembang-tembang/sya’ir islami seadanya pada saat itu secara
berangsur/dikit demi sedikit, sebagian dari mereka mau berdatangan
mengikuti shalat berjamaah di masjid.
Pujian Ditinjau dari Aspek Syari’at
Secara tekstual, memang tidak ada dalil syar’i yang sharih (jawa :
ceplos) mengenai bacaaan pujian setelah di kumandangkannya adzan, yang
ada dalilnya adalah membaca do’a antara adzan dan iqamat. Sabda Nabi SAW
:
الدُّعَاءُ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ مُسْتَجَابٌ، فَادْعُوْا. رواه أبو يعلى
“Do’a yang dibaca antara adzan dan iqamat itu mustajab (dikabulkan oleh Allah). Maka berdo’alah kamu sekalian”. (HR. Abu Ya’la)
Kemudian bagaimana tinjauan syari’at tentang hukum bacaan pujian di
masjid atau mushalla seperti sekarang ini? Perlu diketahui, bahwa
membaca dzikir dan sya’ir di masjid atau mushalla merupakan suatu hal
yang tidak dilarng oleh agama. Pada zaman Rasulullah SAW. para sahabat
juga membaca sya’ir di masjid.
Diriwayatkan dalam sebuat hadits :
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانَ بْنِ
ثَابِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِى الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ
أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِى
هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَجِبْ عَنِّى اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ
الْقُدُسِ. قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ. رواه أبو دادو والنسائي
“Dari Sa’id bin Musayyab ia berkata : suatu ketika Umar berjalan bertemu
dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan sya’ir di masjid. Umar
menegur Hassan, namun Hassan menjawab : aku melantunkan sya’ir di
masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia dari pada kamu,
kemudian dia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan
perkataannya, Ya Allah, mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan ruh
al-qudus. Abu Hurairah menjawab : Ya Allah, benar (aku telah
mendengarnya)”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Sehubungan dengan riwayat ini syaikh Isma’il Az-Zain dalam kitabnya
Irsyadul Mukminin menjelaskan : Boleh melantunkan sya’ir yang berisi
puji-pujian, nasehat, pelajaran tata karama dan ilmu yang bermanfaat di
dalam masjid.
Persoalan pujian yang dikeraskan, jawaban Hasan bin Tsabit adalah dalil paling jelas dalam hal ini:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانَ بْنِ
ثَابِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِى الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ
أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِى
هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَجِبْ عَنِّى اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ
الْقُدُسِ. قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ. رواه أبو دادو والنسائي
Dari Sa’id bin Musayyab ia berkata bahwa Umar bin Khaththab pernah
berjalan melewati Hassan yang sedang melantunkan sya’ir di Masjid. Lalu
Umar menegurnya dengan pandangan mata. Tetapi Hassan berkata; “Dulu saya
pernah melantunkan syair di Masjid ini, yang ketika itu ada seseorang
yang lebih mulia daripadamu yaitu (Rasulullah).” Kemudian Hassan menoleh
kepada Abu Hurairah seraya berkata; “Saya bersumpah kepadamu dengan
nama Allah hai Abu Hurairah, pernahkah kamu mendengar Rasulullah berkata
kepada saya, Hai Hassan, balaslah sya’ir orang-orang kafir untuk
membelaku! Ya Allah ya Tuhanku, dukunglah Hassan dengan Ruhul Kudus” Abu
Hurairah menjawab; “Ya, Saya pernah mendengarnya.” (HR. Abu Dawud dan
Nasa’i)
Seringkali pula, diantara bait puji-pujian itu diselingi syair doa.
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda:
الدُّعَاءُ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ مُسْتَجَابٌ, فَادْعُوْا. رواه أبو يعلى
“Do’a yang dibaca antara adzan dan iqamat itu mustajab (dikabulkan oleh Allah). Maka berdo’alah kamu sekalian”. (HR. Abu Ya’la)
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub hal 179 juga menjelaskan :
وَأَمَّا الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَقِبَ اْلأَذَانِ فَقَدْ صَرَّحَ اْلأَشْيَاخُ
بِسُنِّيَّتِهِمَا، وَلاَ يَشُكُّ مُسْلِمٌ فِيْ أَنَّهُمَا مِنْ أَكْبَرِ
الْعِبَادَاتِ، وَالْجَهْرُ بِهِمَا وَكَوْنُهُمَا عَلَى مَنَارَةٍ لاَ
يُخْرِجُهُمَا عَنِ السُّنِّيَّةِ. إهـ
“Adapun membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW. setelah adzan (jawa :
Pujian) para masyayikh menjelaskan bahwa hal itu hukumnya sunat. Dan
seorang muslim tidak ragu bahwa membaca shalawat dan salam itu termasuk
salah satu cabang ibadah yang sangat besar. Adapun membacanya dengan
suara keras dan di atas menara itu pun tidak menyebabkan keluar dari
hukum sunat”.
Pujian Ditinjau dari Aspek Selain Syari’at
Apa yang dilakukan para wali di tanah jawa mengenai bacaaan pujian
ternyata mempunyai banyak fungsi. Fungsi-fungsi itu antara lain :
1. Dari sisi syi’ar dan penanaman akidah.
Karena di dalam bacaan pujian ini terkandung dzikir, seruan dan nasehat,
maka hal itu menjadi sebuah syi’ar dinul islam dan strategi yang jitu
untuk menyebarkan ajaran Islam dan pengamalannya di tengah-tengah
masyarakat.
2. Dari aspek psikologi (kejiwaan).
Lantunan sya’ir yang indah itu dapat menyebabkan kesejukan jiwa
seseorang, menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Amaliyah berupa
bacaaan pujian tersebut dapat menjadi semacam persiapan untuk masuk ke
tujuan inti, yakni shalat maktubah lima waktu, mengahadap kepada Allah
yang Maha Satu.
3. Ada lagi manfaat lain, yaitu :
- Untuk mengobati rasa jemu sambil menunggu pelaksanaan shalat berjamaah;
- Mencegah para santri agar tidak besenda gurau yang mengakibatkan gaduhnya suasana;
- Mengkonsentrasikan para jamaah orang dewasa agar tidak
membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu sahalat jamaah
dilaksanakan.
Dengan beberapa alasan sebagaimana tersebut di atas, maka membaca pujian
sebelum pelaksanaan shalat jamaah di masjid atau mushalla adalah boleh
dan termasuk amaliyah yang baik, asalkan dengan memodifikasi
pelaksanaannya, sehingga tidak mengganggu orang yang sedang shalat.
Memang soal terganggu atau tidaknya seseorang itu terkait pada kebiasaan
setempat.
Modifikasi tersebut misalnya : dengan cara membaca bersama-sama dengan
irama yang syahdu, dan sebelum imam hadir di tempat shalat jamaah.
Kalau semua masalah tentang pujian sudah demikian jelasnya, maka tidak
perlu ada label “BID’AH DLALALAH” dari pihak yang tidak menyetujuinya.
Hukum Melantunkan Puji-pijian Sebelum Sholat
Pada dasarnya, membaca pujian di Masjid atau di Mushalla menjelang
shalat bukanlah tradisi Muslim Indonesia, akan tetapi tradisi umat Islam
berbagai belahan dunia sebelum datangnya aliran Wahabi. Berikut ini
akan kami paparkan melalui kronologi kesejarahan.
Pembacaan Tasbih Pada Waktu Sahur
Dalam kitab-kitab sejarah diterangkan, bahwa pada masa Khalifah Muawiyah
bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, yaitu Maslamah bin Makhlad radhiyallahu ‘anhu,
Gubernur yang diangkat oleh Muawiyah, melakukan i’tikaf pada malam hari
di Masjid Jami’ Amr bin al-‘Ash di Mesir. Lalu ia mendengar suara gong
atau lonceng gereja-gereja Koptik yang sangat keras. Ia mengadukan hal
tersebut kepada Syurahbil bin Amir, Kepala para muadzin di Masjid
tersebut. Kemudian Maslamah memerintahkan para muadzin mengumandangkan
pembacaan tasbih pada waktu pertengahan malam (nishful-lail, atau
sekitar jam 12 malam ke atas) di tempat-tempat adzan, sampai menjelang
waktu shubuh. Kemudian tradisi pembacaan tasbih tersebuh berlangsung di
berbagai negeri Islam. (Syaikh Abdul Aziz al-Tsa’alibi, al-Risalah
al-Muhammadiyyah, hal. 140). Tanpa ada seorang pun ulama yang
menganggapnya bid’ah tercela atau haram.
Pembacaan Akidah Ahlussunnah
Sebelum Sultan Shalahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir, selama dua ratus
tahun lebih Mesir dan sekitarnya dikuasai oleh Dinasti Fathimi yang
beraliran Syiah Isma’iliyah. Dinasti Fathimi menyebarkan ajaran Syiah
Ismailiyah melalui mesin kekuasaan. Setelah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi
menguasai Mesir, maka seluruh daerah Mesir dan Syam, yang meliputi
Syria, Lebanon dan Palestina, berada di bawah kekuasaanya, setelah
mengusir pasukan Salibis Kristen dari Baitul Maqdis di Palestina. Untuk
memberantas ajaran Syiah Ismailiyah yang dianut oleh banyak penduduk
Mesir dan Syam, Sultan Shalahuddin memerintahkan para muadzin untuk
membacakan kitab al-‘Aqidah al-Mursyidah, sebuah nazham yang ditulis
oleh Ibnu Hibatillah al-Makki, isinya tentang Akidah Ahlussunnah
Wal-Jama’ah sesuai dengan madzhab al-Asy’ari. Dengan membacakan kitab
tersebut setiap malam, Sultan Shalahuddin berhasil memberantas ajaran
Syiah dan menyebarkan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah. (Syaikh Abdul Aziz
al-Tsa’alibi, al-Risalah al-Muhammadiyyah, hal. 140). Tradisi ini
kemudian diikuti oleh umat Islam di Indonesia, dengan membacakan kitab
nazham ‘Aqidah al-‘Awam karya Sayyid al-Marzuqi setiap menjelang waktu
shalat maktubah.
Pembacaan Shalawat Menjelang Shalat Maktubah
Pembacaan shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang shalat
maktubah lima waktu berlangsung sejak masa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi
dan atas instruksi beliau. Hal ini beliau lakukan, karena sebelum itu,
ketika Khalifah al-Hakim bin al-‘Aziz, penguasa dinasti Fathimi di
Mesir yang beraliran Syiah Ismailiyah, terbunuh, saudarinya yang bernama
Sittul Malik, memerintahkan para muadzin agar mengucapkan salam kepada
putra al-Hakim, yaitu Khalifah al-Zhahir dengan mengucapkan as-Salam
‘ala al-Imam al-Zhahir (salam sejahtera kepada Imam al-Zhahir). Kemudian
ucapan salam tersebut terus dilakukan kepada para khalifah Fathimi
sesudahnya dari generasi ke generasi, hingga akhirnya Sultan Shalahuddin
al-Ayyubi membatalkannya, dan menggantinya dengan membaca shalawat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Para ulama menganggap
kebijakan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi tersebut sebagai kebijakan yang
bagus dan layak didoakan agar diberi balasan pahala oleh Allah subhanahu
wata’ala. (Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Qaul al-Badi’ fi al-Shalat ‘ala
al-Habib al-Syafi’, hal. 279-280; al-Imam Ibnu ‘Allan al-Shiddiqi,
al-Futuhat al-Rabbaniyyah juz 2 hal. 113).
Pandangan Para Ulama
Para ulama memandang tradisi pujian menjelang shalat di atas sebagai
tradisi yang baik dan termasuk bid’ah hasanah yang mendatangkan pahala
bagi pelakunya. Al-Hafizh as-Sakhawi berkata:
وَقَدِ اخْتُلِفَ فِيْ ذَلِكَ هَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ أَوْ مَكْرُوْهٌ أَوْ
بِدْعَةٌ أَوْ مَشْرُوْعٌ وَأسْتُدِلَّ لِلأَوَّلِ بِقَوْلِهِ تَعَالىَ :
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ الصَّلاَةَ وَالسَّلاَمَ مِنْ
أَجَلِّ الْقُرَبِ لاَ سِيَّمَا وَقَدْ تَوَارَدَتْ اْلأَخْبَارُ عَلىَ
الْحَثِّ عَلىَ ذَلِكَ مَعَ مَا جَاءَ فِي فَضْلِ الدُّعَاءِ عَقِبَ
اْلأَذَانِ وَالثُّلُثِ اْلأَخِيْرِ مِنَ اللَّيْلِ وَقُرْبِ الْفَجْرِ
وَالصَّوَابُ أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ يُؤْجَرُ فَاعِلُهُ بِحُسْنِ
نِيَّتِهِ. (الحافظ السخاوي، القول البديع في الصلاة على الحبيب الشفيع،
280).
“Pembacaan shalawat menjelang shalat tersebut diperselisihkan, apakah
dihukumi sunnah, makruh, bid’ah atau disyari’atkan? Pendapat yang
pertama berdalil dengan firman Allah: “Kerjakanlah semua kebaikan.”
Telah dimaklumi bahwa membaca shalawat dan salam termasuk ibadah sunnah
yang paling agung, lebih-lebih telah datang sekian banyak hadits yang
mendorong hal tersebut, serta hadits yang datang tentang keutamaan
berdoa setelah adzan, sepertiga malam dan menjelang fajar. Pendapat yang
benar adalah, bahwa hal tersebut bid’ah hasanah, yang pelakunya diberi
pahala dengan niatnya yang baik.” (Al-Hafizh as-Sakhawi, al-Qaul
al-Badi’, hal. 280).
Pernyataan senada juga dikemukakan oleh al-Imam Syihabuddin Ibnu Hajar
al-Haitami dalam kitabnya, al-Durr al-Mandhud, hal. 209, dengan mengutip
fatwa gurunya Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, yang menyimpulkan
bahwa dzikir bersama dan membaca shalawat menjelang shalat maktubah
adalah bid’ah hasanah yang mendatangkan pahala. Hal tersebut juga
diperkuat oleh pernyataan Ibnu Qayyimil Jauziyah, ulama panutan kaum
Wahabi yang berkata, dalam kitabnya Jala’ al-Afham, bahwa di antara
tempat yang dianjurkan membaca shalawat, adalah ketika berkumpul untuk
berdzikir kepada Allah, berdasarkan hadits berikut:
لِحَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ أَنَّ للهِ سَيَّارَةً مِنَ
الْمَلاَئِكَةِ إِذَا مَرُّوْا بِحِلَقِ الذِّكْرِ قَالَ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ اُقْعُدُوْا فَإِذَا دَعَا الْقَوْمُ اَمَّنُوْا عَلىَ
دُعَائِهِمْ فَإِذَا صَلَّوْا عَلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَلَّوْا مَعَهُمْ حَتَّى يَفْرَغُوْا ثُمَّ يَقُوْلُ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ طُوْبَى لِهَؤُلاَءِ يَرْجِعُوْنَ مَغْفُوْرًا لَهُمْ
“Karena hadits Abu Hurairah radhiayallahu ‘anh, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat
yang selalu berjalan. Apabila mereka menjumpai majlis dzikir, sebagian
mereka berkata: “Duduklah”. Apabila kaum itu berdoa, para malaikat itu
membaca amin atas doa mereka. Apabila mereka bershalawat, merekapun
bershalawat bersama mereka sampai selesai. Kemudian mereka berkata:
“Beruntung kaum itu, pulang dengan memperoleh ampunan Allah.” (Ibnu
Qayyimil Jauziyyah, Jala’ al-Afham, hal. 237)
Hadits tersebut bernilai hasan, diriwayatkan oleh al-Bazzar. Asal hadits
tersebut diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya [2689], sebagaimana
disebutkan oleh Ibnul Qayyim. Lihat pula, as-Sakhawi, dalam al-Qaul
al-Badi’, hal. 180 dan 348.
Beberapa pernyataan ulama di atas memberikan kesimpulan bahwa tradisi
pujian pada waktu menjelang subuh, dan setelah adzan shalat maktubah,
pada dasarnya tradisi positif, bid’ah hasanah yang mendatangkan pahala
bagi pelakunya. Bukan perbuatan haram dan bid’ah tercela yang
mendatangkan dosa. Bahkan memiliki dasar hadits yang sangat kuat.
Pujian setelah adzan adalah suatu amaliah yang sangat jelas dalilnya.
Maka, aneh jika terjadi kasus penghentian ‘paksa’ di beberapa masjid.
Masyarakat awam yang mengamalkannya ditekan dengan berbagai slogan dan
dalil yang sebenarnya tidak nyambung namun dipaksakan sebagai argumen.
Masyarakat awam yang tidak mampu berdalil, akhirnya menyerah dan kalah.
Tindakan memaksakan kehendak inilah yang menyebabkan tidak terwujudnya
ukhuwah islamiyah hingga kini. Mari kita lestarikan kembali pujian
setelah adzan sebagai salah satu bentuk pembelajaran yang tepat sasaran
untuk masyarakat.
Contoh Syair Puji-Pujian Tentang Tholabul 'Ilmi
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Wajib luru ngilmu siro. Lanang wadon podo podo
Supoyo uripe bejo. Ing dunyo lan akhirat iro
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Ganjarane wong kang ngaji. Luwih Agung yen kang tlili
Ketimbang wong kang nglakoni. Sembahyang sunat sak wengi
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Ngibadah kang tanpo ngilmu. Paribasan koyo lebu
Mawur-mawur yen den damu. Setan bungah lan dho ngguyu
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Pirang-pirang wong Ngibadah. Nanging akeh kang ora sah
Senajan awake dho payah. Sebab luru ngilmu ogah
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Duh ya Alloh kito nyuwun. Gesang Ingkang istiqomah
Duh ya Alloh kito nyuwun. Benjang yen pejah husnul khotimah
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Semoga bermanfaat