Allah Ta'ala dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam telah
memberikan permisalan tentang hangusnya (terhapusnya) amalan seorang
hamba.
Firman Allah Ta'ala:
أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ
وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ
فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ
لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
"Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma
dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam
kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada
orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka
kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah.
Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu
memikirkannya." (QS 2: 266)
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu berkata: "Allah membuat permisalan tentang
sebuah amalan." Umar bertanya: "Amalan apa?" Beliau menawab: "Amalan
ketaatan seorang yang kaya, kemudian Allah mengutus setan kepadanya
hingga orang itu berbuat maksiat yang pada akhirnya setan menghanguskan
amalannya." (HR. Bukhari no. 4538.)
Riya adalah berbuat kebaikan/ibadah dengan maksud pamer kepada manusia
agar orang mengira dan memujinya sebagai orang yang baik atau gemar
beribadah seperti shalat, puasa, sedekah, dan sebagainya.
Menurut bahasa artinya pamer, memperlihatkan, memamerkan, atau ingin
memperlihatkan yang bukan sebenarnya, sedang menurut istilah yaitu
memperlihatkan suatu ibadah dan amal shalih kepada orang lain, bukan
karena Allah tetapi karena sesuatu selain Allah, dengan harapan agar
mendapat pujian atau penghargaan dari orang lain. Sedang memperdengarkan
ucapan tentang ibadah dan amal salehnya kepada orang lain disebut
sum’ah (ingin didengar).
Tidak diragukan lagi bahwa menyebut-nyebut amalan shalih dapat menghapuskan amal seorang hamba. Firman Allah Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ
وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ
تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا يَقْدِرُونَ عَلَى
شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang seperti itu bagaikan batu licin yang di atasnya ada
tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih
(tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang
mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir." (QS 2: 264).
Riya’ adalah menampakkan ibadah dengan maksud agar dilihat orang lain.
Jadi riya’ berarti melakukan amalan tidak ikhlas karena Allah karena
yang dicari adalah pandangan, sanjungan dan pujian manusia, bukan
balasan murni di sisi Allah. Penyakit inilah yang banyak menimpa kita
ketika beribadah. Padahal riya’ ini benar-benar Nabi khawatirkan.
Hadits yang bisa jadi renungan kita,
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
قَالَ « إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ ».
قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ «
الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِذَا جُزِىَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ
تُرَاءُونَ فِى الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
»
Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian
adalah syirik ashgor.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik ashgor,
wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik ashgor adalah) riya’. Allah
Ta’ala berkata pada mereka yang berbuat riya’ pada hari kiamat ketika
manusia mendapat balasan atas amalan mereka: ‘Pergilah kalian pada orang
yang kalian tujukan perbuatan riya’ di dunia. Lalu lihatlah apakah
kalian mendapatkan balasan dari mereka?’ (HR. Ahmad 5: 429. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Begitu khawatirnya Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam– akan terjerumusnya umat ini pada syirik ashgor.
2- Begitu sayangnya Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pada umatnya
karena beliau begitu semangat untuk memberikan petunjuk dan nasehat.
Tidak ada suatu kebaikan kecuali beliau sampaikan, tidak pula suatu
kejelekan kecuali beliau memperingatkan pada umatnya.
3- Jika syirik ashgor begitu dikhawatirkan akan menimpa sahabat Rasul
–shallallahu ‘alaihi wa sallam– padahal mereka begitu dalam ilmunya dan
kuat imannya, lantas bagaimana lagi dengan orang-orang yang berada di
bawah para sahabat?
4- Syirik terbagi menjadi syirik akbar (besar) dan syirik ashgor
(kecil). Syirik akbar adalah menyamakan selain Allah dengan Allah dalam
hal yang menjadi kekhususan bagi Allah. Syirik ashgor adalah sesuatu
yang dalam dalil disebut syirik namun tidak mencapai derajat syirik
akbar.
Perbedaan syirik akbar dan syirik ashgor:
(1) Syirik akbar menghapus seluruh amalan, sedangkan syirik ashgor menghapus amalan yang berkaitan saja.
(2) Syirik akbar menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka, sedangkan syirik ashgor tidak menyebabkan kekal di neraka.
(3) Syirik akbar menyebabkan keluar dari Islam, sedangkan syirik ashgor tidak mengeluarkan dari Islam.
5- Hadits ini menunjukkan bahwa kita mesti khawatir dan takut akan terjerumus dalam syirik.
6- Orang yang ditujukan riya’ tidak dapat memberikan balasan.
7- Boleh memberikan definisi dengan contoh, sebagaimana dalam hadits ini
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– langsung memaksudkan syirik ashgor
adalah riya’. Padahal riya’ hanyalah di antara contoh syirik ashgor.
Rosululloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam Bersabda
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ
اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا
عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ
كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ
أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ
بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ
تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ
كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ
الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ
فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ
بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ
مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ
فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ
فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ
فِي النَّارِ
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya orang
yang pertama akan dibereskan urusannya di Hari Kiamat adalah :
(1) Orang yang mati (dianggap) syahid. Kemudian ia dihadapkan sambil
diperkenalkan (diingatkan) tentang nikmat-nikmat-Nya (yang dulu
diberikan kepadanya ketika di dunia), maka iapun mengenalnya. Dia
(Allah) berfirman, “Apa yang kau lakukan dengan nikmat itu? Orang itu
menjawab, “Aku telah berperang karena-Mu sehingga aku mati syahid”. Dia
berfirman, “Engkau dusta! Akan tetapi engkau (sebenarnya) berperang agar
dikatakan ’Pemberani’, dan engkau telah digelari demikian”. Kemudian ia
diperintahkan untuk diseret, maka iapun diseret di atas wajahnya
sehingga ia ditelungkupkan ke dalam neraka.”
(2) Orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya dan membaca
(mempelajari) Al-Qur’an. Lalu ia pun didatangkan sambil diperkenalkan
(diingatkan) tentang nikmat-nikmat-Nya (yang dulu diberikan kepadanya
ketika di dunia.), maka ia pun mengenalnya. Dia (Allah) berfirman, “Apa
yang kau lakukan dengan nikmat itu? Orang itu menjawab, “Aku menuntut
ilmu dan mengajarkannya, serta membaca Al-Qur’an karena Engkau”. Dia
berfirman, “Engkau dusta! Akan tetapi engkau menuntut ilmu, dan
mengajarkannya agar digelari ‘Ulama’. Engkau membaca Al-Qur’an pun agar
disebut ‘ Qori’’, dan engkau telah digelari demikian”. Kemudian ia
diperintahkan untuk diseret, maka ia pun diseret di atas wajahnya
sehingga ia ditelungkupkan ke dalam neraka.
(3) Orang yang Allah luaskan jalan rezeki baginya dan diberikan seluruh
jenis harta.Lalu ia pun di datangkan sambil diperkenalkan (diingatkan)
tentang nikmat-nikmat-Nya (yang dulu diberikan kepadanya ketika di
dunia.), maka ia pun mengenalnya. Dia (Allah) berfirman, “Apa yang kau
lakukan dengan nikmat itu? Orang itu menjawab, “Aku tidaklah
meninggalkan suatu jalanpun yang Engkau suka untuk disumbang, kecuali
aku berinfaq (menyumbang) di dalamnya karena Engkau.” Dia berfirman,
“Engkau dusta!Akan tetapi engkau lakukan semua itu agar disebut
‘Dermawan’, dan engkau telah digelari demikian”. Kemudian ia
diperintahkan untuk diseret, maka ia pun diseret di ats wajahnya
sehingga ia ditelungkupkan ke dalam neraka”.
Ini adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam
Kitab Al-Jihad (4900), An-Nasa’iy dalam Kitab Al-Jihad (3137), Ahmad
dalam Al-Musnad(2/322), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok(Kitab Al-Jihad, no.
2478 dan Kitab Al-Ilmi, no. 335), dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan
Al-Kubro (9/168). Semuanya dari jalur Sulaiman bin Yasar dari Abu
Hurairah. Semua rowi-rowinya dari Sulaiman bin Yasar adalah tsiqoh.
Hanya saja Ibnu Juraijmudallis. Tapi illah tadlis-nya sudah aman, karena
ia meriwayatkannya dengan shighoh tahdits seperti dalam riwayat Muslim,
dan lainnya. [Lihat Tuhfah Al-Asyrof (no. 13482)]
Riya, Dosa yang Paling Menakutkan
Riya’ (الرِّيَاءُ) adalah termasuk dosa yang paling menakutkan di sisi
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Mereka sangat
menjaga amal ibadah mereka dari penyakit riya’, dan mereka berusaha
meng-ikhlash-kan (memurnikan) ibadah mereka dari penyakit-penyakit hati,
seperti riya’, dan sum’ah (السُّمْعَةُ).
Riya’ adalah seseorang melakukan suatu ibadah dan ketaatan, karena ingin
dilihat orang lain. Sedangkan sum’ah adalah seseorang melakukan suatu
ibadah atau ketaatan, karena ingin didengari oleh orang lain. Keduanya
(yakni, riya’ dan sum’ah) dilakukan oleh seseorang agar ia mendapatkan
pujian, dan kedudukan di mata manusia.
Dosa riya’ ini amat menakutkan di sisi Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- dan para sahabatnya, karena ia termasuka kesyirikan dalam
beribadah kepada Allah -Azza wa Jalla-.
Mahmud bin Labid -radhiyallahu anhu- berkata, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا: يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالَ: الرِّيَاءُ, إِنَّ
اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ تُجَازَى الْعِبَادُ
بِأَعْمَالِهِمْ: اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ
بِأَعْمَالِكُمْ فِي الدُّنْيَا, فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ
جَزَاءً
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan atas diri kamu adalah
syirik kecil”. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil
itu?” Beliau bersabda, “Dia adalah riya’. Sesungguhnya Allah -Tabaroka
wa Ta’ala- akan berfirman pada hari para hamba diberi balasan
berdasarkan amal-amal mereka, “Pergilah kamu kepada orang-orang yang
kamu dahulu berbuat riya’ dengan amalan-amalan kamu di hadapan mereka
ketika di dunia. Perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasan di sisi
mereka”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/428, dan 5/429).
Imam Al Ghazali mengumpamakan orang yang riya itu sebagai orang yang
malas ketika dia hanya berdua saja dengan rajanya. Namun ketika ada
budak sang raja hadir, baru dia bekerja dan berbuat baik untuk mendapat
pujian dari budak-budak tersebut. Bukankah orang itu akan mendapat marah
dari rajanya?
Nah orang yang riya juga begitu. Ketika hanya berdua dengan Allah Sang
Raja Segala Raja, dia malas dan enggan beribadah. Tapi ketika ada
manusia yang tak lebih dari hamba/budak Allah, maka dia jadi rajin
shalat, bersedekah, dan sebagainya untuk mendapat pujian para budak.
Adakah hal itu tidak menggelikan?
Agar terhindar dari riya, kita harus meniatkan segala amal kita untuk Allah ta’ala (Lillahi ta’ala).
Selain riya yang beribadah kepada Allah hanya pamer kepada manusia,
sikap riya/menjilat pada atasan pun tidak terpuji. Orang-orang seperti
ini biasanya ke atas menjilat, namun ke bawah menginjak. Orang-orang
seperti ini selain dibenci bawahannya juga dibenci Allah.
Para pembaca yang budiman, riya’ jika menyerang amal ibadah, maka ia
akan merusaknya. Riya’ bagaikan virus penyakit yang menyerang jasad
manusia. Oleh karena itu, kita harus mengetahui bahawa riya’ dapat
berkaitan dengan jihad, ilmu, dan infaq (pemberian,sedekah,derma) atau
segala amalan sholeh yang dikerjakan oleh seorang hamba.
Ketika Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- berjihad bersama para
sahabatnya, maka ada seseorang yang amat hebat berjihad, tiada taranya
sampai ada sebagian sahabat memujinya dan menyangkanya sebagai
“asy-syahid” (mati syahid). Namun sangkaan itu ditepis oleh Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- dan menyatakan sebaliknya bahawa ia
termasuk penduduk neraka. Lalu ada seorang sahabat yang memeriksa
keadaan orang itu. Ternyata orang yang disangka mati syahid itu bunuh
diri. Setelah itu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو
لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ
عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ
الْجَنَّةِ
“Sesungguhnya seseorang terkadang melakukan amalan penduduk syurga
sebagaimana yang nampak bagi manusia, sedang ia sebenarnya termasuk
penduduk neraka. Sesungguhnya seseorang terkadang melakukan amalan
penduduk neraka sebagaimana yang nampak bagi manusia, sedang ia
sebenarnya termasuk penduduk syurga”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Jihad wa
As-Siyar (no. 2898)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata saat menjelaskan hadits
ini,“Sungguh telah nampak dari orang itu (yang disangka mati syahid)
bahawa ia tidaklah berperang karena Allah. Dia hanya berperang karena
marah demi membela kaumnya. Lantaran itu, tak boleh dinyatakan bagi
setiap orang yang terbunuh di medan jihad bahwa ia adalah asy-syahid,
karena kemungkinan adanya kesamaan dengan orang ini”. [Lihat Fath
Al-Bari(6/111)
Jadi, terkadang seseorang melakukan amalan penduduk syurga pada
lahiriahnya. Tapi ternyata ia tidak ikhlash. Sebaliknya, terkadang
seseorang melakukan amalan penduduk neraka. Tapi ternyata ia setelah itu
bertobat sehingga ia termasuk penduduk syurga.
Seorang penuntut ilmu agama pun tak boleh merasa aman dari penyakit
riya’. Riya’sering kali menyerang seorang yang memiliki ilmu.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ
بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ
أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
“Barangsiapa yang menuntut ilmu kerana mahu menandingi para ulama,
mendebat orang-orang bodoh, dan memalingkan pandangan manusia kepada
dirinya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka”. [HR.
At-Tirmidziy dalam Kitab Al-Ilm (no. 2654).]
Al-Imam Abul Hasan As-Sindiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Hasyiyah
ala Ibni Majah (1/236), “Maksudnya,dengan ilmunya dia meniatkan untuk
meraih harta, kedudukan, dan memalingkan wajah manusia (orang-orang
awam) serta menjadikan mereka seperti hambanya atau menjadikan mereka
orang-orang yang memandang (terpesona), bila ia berbicara. Maka orang
takjub, bila ia berkata-kata. Orang-orang akan berkumpul di sekitarnya,
bila ia duduk”.
Riya’ juga dapat menyerang kaum muhsinin (para dermawan). Inilah yang diingatkan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ
وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ
تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا يَقْدِرُونَ عَلَى
شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanyakarena riya’ kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir”. (QS. Al-Baqoroh : 264)
Al-Imam Abul Faroj Ibnul Jauziy -rahimahullah- berkata menafsirkan ayat
ini,“Maksudnya, janganlah kamu menggugurkan pahala sedekah kamu
sebagaimana telah hancurnya pahala sedekahnya orang yang riya’, yaitu
orang yang tak beriman kepada Allah (yakni,orang munafiq)”. [Lihat
Zaadul Masir(1/273)]
Demikianlah sewajarnya seorang muslim; ia menjaga amalannya dari
penyakit riya’ yang akan memakan amal ibadahnya, bahkan boleh jadi
imannya sebagaimana yang terjadi pada diri orang-orang munafiq; tak ada
amalan mereka, melainkan riya telah menghancurkannya!!!
Pamer akan Harta dan Kedudukan
Kita paling tidak bisa lepas dari sifat yang satu ini. Jika memiliki
harta berlebih, handphone yang smart, yang terlihat mentereng dan mahal,
pasti ingin sekali dipamer-pamerkan. Selalu berbangga dengan harta dan
perhiasan dunia, itulah jadi watak sebagian kita.
Semoga Allah memberikan taufik pada kita untuk merenungkan surat berikut ini
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا
سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4) كَلَّا لَوْ
تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ
لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ
النَّعِيمِ (8)
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, (1) sampai kamu masuk ke dalam
kubur. (2) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu), (3) dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
(4) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang
yakin, (5) niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, (6) dan
sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. (7)
kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang
kamu megah-megahkan di dunia itu) (8).” (QS. At Takatsur: 1-8)
Saling Berbangga dengan Anak dan Harta
Inilah watak manusia saling berbangga dengan keturunan dan harta.
Lihatlah bagaimana jika kita memiliki anak yang pintar, pasti akan
dibanggakan. Begitu pula ketika kita memiliki harta mewah, sama halnya
dengan hal tadi.
Ibnu Jarir menyebutkan tafsiran ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” dari
Qotadah. Maksud ayat tersebut adalah seperti menyatakan, “Kami lebih
banyak dari keturunan si fulan, atau keturunan A lebih unggul dari
keturunan B. Kebanggaan itu semua melalaikan hingga mereka mati dalam
keadaan sesat.” (Tafsir Ath Thobari, 24: 598-599)
Yang dimaksud berbangga di sini adalah dalam harta sebagaimana tafsiran sebagian ulama. (Lihat Tafsir Ath Thobari, 24: 599)
Ibnu Katsir berkata, “Kecintaan terhadap dunia, kenikmatan dan
perhiasannya telah melalaikan kalian dari mencari akhirat. Hal itu pun
berlanjut dan baru berhenti ketika datang maut dan ketika berada di alam
kubur saat kalian menjadi penghuni alam tersebut.” (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 14: 442)
Al Hasan Al Bashri berkata mengenai ayat di atas, “Berbangga-bangga
dengan anak dan harta benar-benar telah melalaikan kalian dari
ketaatan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 442)
Harta dan Kebanggaan akan Sirna
Berbangga-bangga seperti di atas sehingga membuat lalai dari ketaatan baru berhenti ketika seseorang masuk ke alam kubur.
Dari Qotadah, dari Muthorrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat “أَلْهَاكُمُ
التَّكَاثُرُ” (sungguh berbangga-bangga telah melalaikan kalian dari
ketaatan), lantas beliau bersabda,
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى – قَالَ – وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ
مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ
أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
“Manusia berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Wahai manusia,
apakah benar engkau memiliki harta? Bukankah yang engkau makan akan
lenyap begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan juga akan
usang? Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja?” (HR.
Muslim no. 2958)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِى مَالِى إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا
أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا
سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ
“Hamba berkata, “Harta-hartaku.” Bukankah hartanya itu hanyalah tiga:
yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia
beri yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan. Harta selain itu akan
sirna dan diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan.” (HR. Muslim no.
2959)
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ
وَاحِدٌ ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ
وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Yang akan mengiringi mayit (hingga ke kubur) ada tiga. Yang dua akan
kembali, sedangkan yang satu akan menemaninya. Yang mengiringinya tadi
adalah keluarga, harta dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali.
Sedangkan yang tetap menemani hanyalah amalnya.” (HR. Bukhari no. 6514
dan Muslim no. 2960)
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَبْقَى مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ وَالأَمَلُ
“Jika manusia berada di usia senja, ada dua hal yang tersisa baginya:
sifat tamak dan banyak angan-angan.” (HR. Ahmad, 3: 115. Syaikh Syu’aib
Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits inishahih sesuai syarat
Bukhari-Muslim)
Al Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq menyebutkan biografi Al
Ahnaf bin Qois –nama yang biasa kita kenal adalah Adh Dhohak-,
bahwasanya beliau melihat dirham di genggaman tangan seseorang. Lantas
Al Ahnaf bertanya, “Dirham ini milik siapa?” “Milik saya”, jawabnya. Al
Ahnaf berkata, “Harta tersebut jadi milikmu jika engkau menginfakkannya
untuk mengharap pahala atau dalam rangka bersyukur.” Kemudian Al Ahnaf
berkata seperti perkataan penyair,
أنتَ للمال إذا أمسكتَه … فإذا أنفقتَه فالمالُ لَكْ …
Engkau akan menjadi budak harta jika engkau menahan harta tersebut,
Namun jika engkau menginfakkannya, harta tersebut barulah jadi milikmu.(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 443)
Kenapa dikatakan harta yang disedekahkan atau disalurkan sebagai nafkah
itulah yang jadi milik kita? Jawabnya, karena harta seperti inilah yang
akan kita nikmati sebagai pahala di akhirat kelak. Sedangkan harta yang
kita gunakan selain tujuan itu, hanyalah akan sirna dan tidak bermanfaat
di akhirat kelak.
Sekali-kali Lihatlah Orang di Bawahmu
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata,
أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ أَمَرَنِي
بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ
إِلَى مَنْ هُوَ دُونِي وَلَا أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِي
“Kekasihku yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah tujuh
perkara padaku, (di antaranya): (1) Beliau memerintahkanku agar
mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, (2)beliau
memerintahkanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah
harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada
di atasku. …” (HR. Ahmad, 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ
فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia)
dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah
ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat
Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)
Al Ghozali rahimahullah mengatakan, “Setan selamanya akan memalingkan
pandangan manusia pada orang yang berada di atasnya dalam masalah dunia.
Setan akan membisik-bisikkan padanya: ‘Kenapa engkau menjadi kurang
semangat dalam mencari dan memiliki harta supaya engkau dapat bergaya
hidup mewah[?]’ Namun dalam masalah agama dan akhirat, setan akan
memalingkan wajahnya kepada orang yang berada di bawahnya (yang jauh
dari agama). Setan akan membisik-bisikkan, ‘Kenapa dirimu merasa rendah
dan hina di hadapan Allah[?]” Si fulan itu masih lebih berilmu darimu’.”
(Lihat Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, 1/573)
Mengapa Mesti Berbangga-bangga?
Mengapa kita mesti berbangga-bangga, sedangkan harta hanyalah titipan.
Mengapa kita mesti berbangga-bangga, sedangkan harta yang bermanfaat jika digunakan dalam kebaikan.
Semua yang digunakan selain untuk jalan kebaikan, tentu akan sirna dan sia-sia.
Seharusnya yang kita banggakan adalah bagaimana keimanan kita, bagaimana
ketakwaan kita di sisi Allah, bagaimana kita bisa amanat dalam
menggunakan harta titipan ilahi.
Al Qurthubi pernah menerangkan mengenai ayat berikut ini,
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ
مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ
أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian
dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka
orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari
hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7).
Beliau berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa harta kalian bukanlah miliki
kalian pada hakikatnya. Kalian hanyalah bertindak sebagai wakil atau
pengganti dari pemilik harta tersebut yang sebenarnya. Oleh karena itu,
manfaatkanlah kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya untuk
memanfaatkan harta tersebut di jalan yang benar sebelum harta tersebut
hilang dan berpindah pada orang-orang setelah kalian. ”
Lantas Al Qurtubhi menutup penjelasan ayat tersebut, “Adapun orang-orang
yang beriman dan beramal sholih di antara kalian, lalu mereka
menginfakkan harta mereka di jalan Allah, bagi mereka balasan yang
besar yaitu SURGA.” (Tafsir Al Qurthubi, 17/238)
Raihlah surga Allah, raihlah jannah-Nya. Itulah yang mesti kita cari dan kita kejar.
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا
“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Sesungguhnya kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali.” (QS. Al Ma’idah: 48)
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة
“Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.”
Ya Allah, jauhkanlah kami dari sifat sombong dan membanggakan diri dalam
hal harta dan dunia. Karuniakanlah pada kami sifat qona’ah, selalu
merasa berkecukupan.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah,
aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf
–menjauhkan diri dari hal haram- dan sifat ghina –hidup berkecukupan-)
(HR. Muslim no. 2721)
Kiat Mengobati Penyakit Riya’
Wahai saudaraku, setiap insan tidak akan pernah lepas dari kesalahan.
Sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertaubat kepada
Allah atas kesalahan yang pernah dilakukannya.
Hati manusia cepat berubah. Jika saat ini beribadah dengan ikhlas, bisa
jadi beberapa saat kemudian ikhlas tersebut berganti dengan riya’. Pagi
ikhlas, mungkin sore sudah tidak. Hari ini ikhlas, mungkin esok tidak.
Hanya kepada Allahlah kita memohon agar hati kita diteguhkan dalam agama
ini. َ
Selain itu, hendaknya kita berusaha untuk menjaga hati agar terhidar
dari penyakit riya’. Saudariku, inilah beberapa kiat yang dapat kita
lakukan agar terhindar dari riya’:
1. Memohon dan selalu berlindung kepada Allah agar mengobati penyakit riya’
Riya’ adalah penyakit kronis dan berbahaya. Ia membutuhkan pengobatan
dan terapi serta bermujahadah (bersungguh-sungguh) supaya bisa menolak
bisikan riya’, sambil tetap meminta pertolongan Allah Ta’ala untuk
menolaknya. Karena seorang hamba selalu membutuhkan pertolongan dan
bantuan dari Allah. Seorang hamba tidak akan mampu melakukan sesuatu
kecuali dengan bantuan dan anugerah Allah. Oleh karena itu, untuk
mengobati riya’, seorang selalu membutuhkan pertolongan dan memohon
perlindungan kepada-Nya dari penyakit riya’ dan sum’ah. Demikian yang
diajarkan Rasulullah dalam sabda beliau:
“Wahai sekalian manusia, peliharalah diri dari kesyirikan karena ia
lebih samar dari langkah kaki semut.” Mereka bertanya, “Wahai
Rasulullah, bagaimana cara kami memelihara diri darinya padahal ia lebih
samar dari langkah kaki semut?” beliau menjawab, “Katakanlah:
اللّهُمَّ إِنَّانَعُوْذُبِكَ مِنْ أََنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًانَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُ
‘Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami
ketahui. Dan kami mohon ampunan kepada-Mu dari apa yang tidak kami
ketahui.'” (HR. Ahmad)
2. Mengenal riya’ dan berusaha menghindarinya
Kesamaran riya’ menuntut seseorang yang ingin menghindarinya agar
mengetahui dan mengenal dengan baik riya’ dan penyebabnya. Selanjutnya,
berusaha menghindarinya. Adakalanya seorang itu terjangkit penyakit
riya’ disebabkan ketidaktahuan dan adakalanya karena keteledoran dan
kurang hati-hati.
3. Mengingat akibat jelek perbuatan riya’ di dunia dan akhirat
Duhai saudaraku di jalan Allah, sifat riya’ tidaklah memberikan manfaat
sedikitpun, bahkan memberikan madharat yang banyak di dunia dan akhirat.
Riya’ dapat membuat kemurkaan dan kemarahan Allah. Sehingga seseorang
yang riya’ akan mendapatkan kerugian di dunia dan akhirat.
4. Menyembunyikan dan merahasiakan ibadah
Salah satu upaya mengekang riya’ adalah dengan menyembunyikan amalan.
Hal ini dilakukan oleh para ulama sehingga amalan yang dilakukan tidak
tercampuri riya’. Mereka tidak memberikan kesempatan kepada setan untuk
mengganggunya. Para ulama menegaskan bahwa menyembunyikan amalan hanya
dianjurkan untuk amalan yang bersifat sunnah. Sedangkan amalan yang
wajib tetap ditampakkan. Sebagian dari ulama ada yang menampakkan amalan
sunnahnya agar dijadikan contoh dan diikuti manusia. Mereka
menampakkannya dan tidak menyembunyikannya, dengan syarat merasa aman
dari riya’. Hal ini tentu tidak akan bisa kecuali karena kekuatan iman
dan keyakinan mereka.
5. Latihan dan mujahadah
Saudaraku, ini semua membutuhkan latihan yang terus menerus dan
mujahadah (kesungguhan) agar jiwa terbina dan terjaga dari sebab-sebab
yang dapat membawa kepada perbuatan riya’ bila tidak, maka kita telah
membuka pintu dan kesempatan kepada setan untuk menyebarkan penyakit
riya’ ini ke dalam hati kita.