Sebelumnya mohon maaf kepada semua pembaca jika dalam pembahasan topik
ini dan semisalnya didapatkan kata, kalimat atau ungkapan yang vulgar
terkait aurot. Dalam pembicaraan yang tidak bermanfaat tentu hal
demikian tidak terpuji, namun dalam pembahasan hukum Syara’ tindakan
tersebut bahkan diperlukan untuk menghindari keambiguan dan ketidak
jelas hukum. Sejumlah ulama besar yang terhormatpun melakukannya.
Misalnya Imam Malik, diriwayatkan beliau berkata;
كشاف القناع عن متن الإقناع (17/ 409
وَقَالَ ) الْإِمَامُ ( مَالِكُ ) بْنُ أَنَسٍ ( لَا بَأْسَ بِالنَّخْرِ عِنْدَ الْجِمَاعِ
“Imam Malik berkata; Tidak mengapa desahan/lenguhan panjang saat Jimak (Kassyaf Al-Qina’ ‘An Matni Al-Iqna’, vol.18 hlm 409) ”
Imam Malik dengan segala kehormatan dan reputasi beliau sebagai Ulama
panutan, tidak perlu merasa jatuh kehormatannya ketika berbicara tentang
fikih hubungan suami istri sampai urusan yang sedetail ini. Desahan,
jeritan tertahan, rintihan, lenguhan panjang dan yang semakna dengannya
memang termasuk persoalan cabang dalam Fikih hubungan suami istri dalam
Islam, dan beliau menyebutnya dengan lugas karena memang diperlukan
untuk penjelasan hukum fikih.
Demikian pula Abu Hanifah. As-Syarbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj
mengutip riwayat dialog antara Abu Hanifah dengan muridnya Abu Yusuf;
مغني المحتاج (12/ 68)
سَأَلَ أَبُو يُوسُفَ أَبَا حَنِيفَةَ عَنْ مَسِّ الرَّجُلِ فَرْجَ
زَوْجَتِهِ وَعَكْسِهِ ، فَقَالَ : لَا بَأْسَ بِهِ ، وَأَرْجُو أَنْ
يَعْظُمَ أَجْرُهُمَا
“Abu Yusuf bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang lelaki yang
menyentuh (untuk merangsang) kemaluan istrinya dan sebaliknya. Abu
Hanifah menjawab; Tidak mengapa, dan saya berharap pahala keduanya
besar” (Mughni Al-Muhtaj, vol.12hlm 68)
Demkian pula Mujahid ketika merekomendasikan bagaimana contoh cara
bersenang-senang dengan istri saat istri dalam kondisi Haid. At-Thabari
meriwayatkan;
تفسير الطبري (4/ 380)
عن ليث قال: تذاكرنا عند مجاهد الرجل يلاعب امرأته وهي حائض، قال:اطعن
بذكرك حيث شئت فيما بين الفخذين والأليتين والسرة، ما لم يكن في الدبر أو
الحيض
“Dari Laits beliau berkata; kami berdiskusi di dekat Mujahid tentang
seorang lelaki yang mencumbu istrinya saat Haid. Mujahid berkata;
“Tusukkan penismu di manapun yang engkau kehendaki diantara dua paha,
dua pantat, dan pusar. Selama tidak di anus atau saat Haid” (tasfir
At-Thobari, vol; 4 hlm 380)
Demikian pula As-Suyuthi yang disebut mengarang kitab Fikih Jimak yang
berjudul نواضر الأيك في معرفة النيك. Di dalamnya, beliau berbicara
begitu detail sampai tataran praktis dalam hal rekomendasi posisi,
gerakan, tehnik mencapai puncak dsb. Judul yang beliau ambil saja
memakai istilah An-Naik. An-Naik dalam bahasa Arab termasuk kata yang
paling vulgar untuk menyebut hubungan suami istri. Jika bahasa indonesia
punya kata-kata halus untuk berhubungan suami istri seperti bercinta,
berhubungan intim, ML (serapan dari bahasa inggris), maka An-Naik dari
segi kevulgaran setara dengan istilah senggama atau bersetubuh. Jadi
kira-kira terjemahan judul beliau adalah “Hijaunya pepohonan untuk
mengenal ilmu senggama”
Memang fikih harus jelas, lugas, exactly, dan tidak ambigu. Fikih harus
hitam-putih karena berbicara halal-haram yang berkonsekuensi pahala dan
dosa. Membahas masalah fikih dengan cara yang samar-samar bisa malah
membuat timbulnya problem baru, kesalahfahaman, ketidakjelasan, salah
konsep, salah penerapan, dan akibat-akibat negatif lainnya. Oleh kerena
hal itu, dimohon para pembaca memahami alas fikir ini, sehingga bisa
memaklumi jika dalam pembahasan yang menyentuh aurot seperti yang kita
angkat pada topik ini, ditemukan ungkapan-ungkapan vulgar yang
diperlukan untuk penjelasan hukum.
Oral seks yang dilakukan pasangan sah secara Syar’i, hukumnya Mubah
tanpa ada keberatan baik oral seks yang berupa Fellatio maupun
Cunnilungus, dilakukan untuk pemanasan sebelum berhubungan seks
(foreplay), mencapai ejakulasi/orgasme, maupun sekedar kesenangan,
selama kemaluan dibersihkan dari najis dan dalam pelaksanaan tidak
sampai menelan benda najis secara sengaja. Semuanya dihukumi mubah dan
pasangan sah bisa memilih untuk melakukannya atau tidak. Jika hal
tersebut dipandang bagian kenikmatan, maka silakan melakukan, tetapi
jika malah dipandang membuat tidak nyaman maka silakan menghindari.
Semuanya menjadi pilihan pasangan, karena hukum mubah bermakna kebebasan
untuk memilih antara melakukan ataukah tidak.
Oral seks (الجنس الفموي/ الجنس عن طريق الفم/الجنس الشفوي/الجماع الفموي)
adalah aktivitas mencium,mengecup, menjilat, mengulum, menghisap, dan
mempermainkan kemaluan pasangan memakai mulut, lidah, gigi atau
kerongkongan dengan tujuan merangsang atau mencapai klimaks
(ejakulasi/orgasme). Dalam istilah kontemporer, aktivitas menghisap
penis lelaki oleh seorang wanita disebut dengan istilah Fellatio
sementara aktivitas menghisap clitoris wanita oleh seorang lelaki
disebut dengan istilah Cunnilingus. Umumnya orang melakukan oral seks
untuk kepentingan pemanasan (foreplay) sebelum berhubungan seksual, atau
dinikmati sebagai intercourse/senggama sebagai salah satu tehnik
mencapai klimaks (ejakulasi atau orgasme).
Dalam kajian budaya, Romawi Kuno, Kristen, dan penduduk Sub Sahara
Afrika menghindarinya karena dianggap tabu, kotor, menghambat
perkembangbiakan, dan tidak natural. Taoisme menganggap oral seks malah
dikaitkan dengan keyakinan spiritual membuat umur panjang. Adapun dalam
budaya Barat saat ini, oral seks dianggap biasa dan secara luas
dipraktekkan sebagaimana seks bebas yang juga dianggap biasa.
Oral seks dihukumi Mubah berdasarkan dua argumentasi berikut;
Pertama; Syara’ membolehkan Istimta’/الاستمتاع
(bersenang-senang/berlezat-lezat/bernikmat-nikmat) kepada pasangan yang
sah dalam bentuk umum dan mutlak tanpa batasan, dan hanya dikecualikan
dalam hal-hal tertentu yang dinyatakan oleh Nash.
Dalil yang menunjukkan bolehnya Istimta’ secara mutlak tanpa batasan adalah Nash-Nash berikut;
{هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ} [البقرة: 187]
Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka (Al-Baqoroh; 187)
Dalam ayat di atas pasangan suami istri diumpamakan seperti pakaian.
Suami menjadi pakaian istri dan istri menjadi pakaian suami. Ungkapan
ini adalah kinayah intimnya relasi suami istri dan kedekatannya yang
maksimal sehingga bersenang-senang model apapun selama dalam batas-batas
Syariat diizinkan. Suami boleh menikmati, bersenang-senang, dan
berlezat-lezat dengan istri dengan cara dan model apapun, sebagaimana
istri boleh menikmati, bersenang-senang, dan berlezat-lezat dengan suami
dengan cara dan model apapun. Bersenang-senang itu tidak dibatasi
hanya dalam Jimak saja, namun berlaku pula pada jenis menikmati tubuh
yang lain. Jadi ayat ini menjadi dalil atas bolehnya Istimta’ pasangan
suami istri yang bersifat umum dan mutlak tanpa batasan.
Secara khusus, Istimta’ berupa kontak seksual dibolehkan dengan gaya dan posisi apapun. Allah berfirman;
{نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ} [البقرة: 223]
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki (Al-Baqoroh; 223)
Artinya, mensetubuhi istri pada kemaluannya boleh dilakukan dengan cara
apapun baik terlentang, miring, duduk, berdiri, bersujud, rukuk, dll.
Ayat ini menegaskan kebolehan saling menikmati bagi suami istri dengan
cara apapun yang diinginkan.
Dalam hadis riwayat Bukhari dijelaskan kebolehan Istimta’ dengan mencium mulut dan menghisap ludah istri. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (16/ 17)
مُحَارِبٌ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ
تَزَوَّجْتُ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا تَزَوَّجْتَ فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا فَقَالَ مَا لَكَ
وَلِلْعَذَارَى وَلِعَابِهَا
فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَمْرِو بْنِ دِينَارٍ فَقَالَ عَمْرٌو سَمِعْتُ
جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلَّا جَارِيَةً تُلَاعِبُهَا وَتُلَاعِبُكَ
Muharib berkata; Aku mendengar Jabir bin Abdullah radliallahu ‘anhuma
berkata; aku telah menikah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bertanya padaku: “siapa wanita yang kamu nikahi? Kujawab; aku menikahi
seorang janda.” Beliau bersabda: “Kenapa tidak dengan seorang gadis,
dengan segenap air ludahnya?” Lalu aku pun menuturkan hal itu pada Amru
bin Dinar, lalu Amru berkata; Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda padaku: “(Kenapa bukan)
wanita yang masih gadis, sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan
ia pun dapat bermain-main denganmu.” (H.R.Bukhari)
Ungkapan
“Kenapa tidak dengan seorang gadis, dengan segenap air ludahnya?”
Maknanya adalah mencium dan mengecup bibir istri sembari menghisap ludahnya dengan maksud bersenang-senang. Lafadz
“(Kenapa bukan) wanita yang masih gadis, sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu.”
malah lebih umum lagi menjelaskan kebolahan bersenang-senang secara
mutlak tanpa pembatasan. Karena lafadz “(Kenapa bukan) wanita yang masih
gadis, sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat
bermain-main denganmu.” Bisa diberlakukan pada jenis kontak fisik apapun
yang bersifat bersenang-senang, sehingga mencakup aktivitas memegang,
meraba, mengelus, meremas,menggelitik, mengecup, mencium, menjilat,
menghisap, mengulum, menggigit ringan, dan sebagainya. Karena itu Hadis
ini menguatkan kebolehan Istimta’ secara mutlak tanpa batasan bagi
suami istri.
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sendiri melakaukan Istimta’ saat
Istrinya Haid dengan kontak kulit yang diungkapkan dalam riwayat dalam
bentuk umum dan mutlak. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (1/ 499)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلَانَا جُنُبٌ وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ
فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ
Dari ‘Aisyah berkata, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
mandi bersama dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub.
Beliau juga pernah memerintahkan aku mengenakan kain, lalu beliau
mencumbuiku sementara aku sedang Haid.” (H.R.Bukhari)
Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam
bersenang-senang dengannya melalui kontak kulit tanpa menerangkan jenis
kontak kulit apa yang terlarang. Hal ini menguatkan bahwa hukum asal
Istimta’ bagi suami istri adalah mubah dengan cara apapun selama tidak
ada dalil yang melarang.
Rekomendasi Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada lelaki yang
ingin bersenang-senang dengan istri sementara istri dalam keadaan Haid
lebih jelas lagi dalam menerangkan kebolehan Istimta’ secara mutlak. Abu
Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود – م (1/ 107)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ إِذَا حَاضَتْ مِنْهُمُ
امْرَأَةٌ أَخْرَجُوهَا مِنَ الْبَيْتِ وَلَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ
يُشَارِبُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِى الْبَيْتِ فَسُئِلَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ
(وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِى الْمَحِيضِ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « جَامِعُوهُنَّ فِى الْبُيُوتِ وَاصْنَعُوا كُلَّ
شَىْءٍ غَيْرَ النِّكَاحِ »
Dari Anas bin Malik bahwa orang-orang Yahudi apabila seorang isteri
mengalami Haid maka mereka mengeluarkannya dari rumah, dan tidak makan
bersamanya, tidak minum bersamanya, dan tidak menggaulinya di rumah.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai hal
tersebut; kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat: “Mereka
bertanya kepadamu tentang Haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu
kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu Haidh.” Hingga akhir ayat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Bergaullah dengan mereka di rumah danlakukan segala sesuatu
selain bersenggama.” (H.R.Abu Dawud)
Lafadz
“lakukan segala sesuatu selain bersenggama”
menunjukkan izin tegas bersenang-senang secara umum dan mutlak dengan
cara apapun yang inginkan. Lafadz ini bermakna kebolehan Istimta’ secara
umum dan mutlak tanpa batasan dan hanya boleh dibatasi oleh dalil yang
jelas yang menunjukkan pengecualian itu.
Di zaman shahabat, ada riwayat bagaimana Shahabat tidak mengingkari
Istimta’ yang dilakukan dengan mengulum dan menghisap payudara istri.
Imam Malik meriwayatkan;
موطأ مالك (4/ 0)
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ فَقَالَ
إِنِّي مَصِصْتُ عَنْ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي
بَطْنِي فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا أُرَاهَا إِلَّا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ
فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ
الرَّجُلَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ فَقَالَ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ
فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا كَانَ هَذَا
الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ
Dari Malik dari Yahya bin Sa’id berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada
Abu Musa Al Asy’ari; “Saya pernah menghisap payudara isteriku hingga
air susunya masuk ke dalam perutku?” Abu Musa menjawab; “Menurutku
isterimu setatusnya telah berubah menjadi mahram kamu.” Abdullah bin
Mas’ud pun berkata; “Lihatlah apa yang telah kamu fatwakan kepada lelaki
ini! ” Abu Musa bertanya; “Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?”
Abdullah bin Mas’ud berkata; “Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bila
masih pada masa penyusuan.” Kemudian Abu Musa berkata; “Janganlah
kalian menanyakan suatu perkara kepadaku selama orang alim ini (Ibnu
Mas’ud) masih berada di tengah-tengah kalian.” (H.R.Malik)
Semua riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa
Syara membolehkan Istimta’ bagi pasangan suami istri secara mutlak dan
bersifat umum tanpa pembatasan. Kebolehan Istimta’ tersebut juga tidak
membatasi apakah dilakukan dengan tangan, hidung, mulut, lidah, gigi,
telinga, leher, ,payudara, pantat, betis, kaki dll. Oleh karena itu,
kebolehan itu tidak boleh dibatasi kecuali dengan pembatasan yang
dinyatakan oleh Nash. Artinya, Selama tidak ada Nash yang melarang,
semua jenis cara Istimta’ diizinkan sehingga hukumnya mubah berdasarkan
dalil umum kebolehan Istimta’ tersebut.
Pengecualian yang dinyatakan Nash atas kebolehan Istimta’ mutlak
tersebut hanyalah dua cara; yakni mensetubuhi istri saat Haid dan
mensetubuhi istri pada dubur/anusnya. Dalil yang menunjukkan haramnya
mensetubuhi istri saat Haid adalah ayat berikut;
{وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ}
[البقرة: 222]
Mereka bertanya kepadamu tentang Haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah
suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu Haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. (Al-Baqoroh; 222)
Dalil haramnya mensetubuhi istri pada duburnya diantaranya adalah hadis berikut;
مسند أحمد (16/ 157)
عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا
Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “terlaknat orang yang menyetubuhi istrinya di dubur.”
(H.R.Ahmad)
Adapula larangan mensetubuhi istri dalam momen-momen tertentu seperti saat puasa Ramadhan dan saat Haji sebelum Tahallul.
Nash-Nash pengecualian ini saja yang layak dan boleh dijadikan pembatas
keumuman dan kemutlakan kebolehan Istimta’. Selain selain hal-hal yang
dinyatakn oleh Nash, maka Istimta’ kembali pada hukum umum kemubahannya
dan tidak bisa diharamkan. Semua jenis Istimta’ yang dilarang telah
diterangkan oleh Syara’ dan tidak ada yang luput tidak diterangkan
karena Islam sudah turun dengan sempurna dan Allah menegaskan bahwa
tidak ada yang diluputkan dari penjelasan hukumnya. Allah berfirman;
{ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ } [الأنعام: 38]
Tiadalah Aku alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (Al-An’am; 38)
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan seluruh Nash-Nash yang
dipaparkan sebelumnya tentang kebolehan Istimta’ secara mutlak, oral
seks hukumnya mubah karena termasuk keumuman Istimta’ yang dimubahkan
dan tidak termasuk pengertian mensetubuhi istri saat Haid atau
mensetubuhi istri pada duburnya. Oral seks dengan maksud mencapai
ejakulasi atau orgasme atau sekedar bersenang-senang hukumnya mubah
berdasarkan keumuman mubahnya Istimta’.
Kedua (yakni argumentasi kedua mubahnya oral seks); Syara’ memerintahkan mengawali Jimak dengan pemanasan (foreplay).
Dalam kitab-kitab fikih yang membahas adab Jimak, telah disepakati
sunnahnya melakukan pemanasan sebelum melakukan kontak seksual.
Pemanasan yang dimaksud di sini adalah aktivitas saling merangsang
sebagai persiapan dan pengkondisian agar Jimak berlangsung dengan penuh
kenikmatan dan menyenangkan. Secara dalil, sebenarnya tidak ada dalil
khusus yang Shahih dan Marfu’ yang memerintahkan dilakukan pemanasan
sebelum Jima’. Namun secara fakta, pemanasan memang diperlukan karena
jika diabaikan maka pihak wanita akan kesakitan dan merasa tidak nyaman
padahal suami diperintahkan syara mempergauli istri dengan baik. Karena
itu, sunnahnya pemanasan sebelum jimak termasuk keumuman perintah
mempergauli istri dengan baik seperti dalam ayat;
{وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [النساء: 19]
Dan bergaullah dengan mereka ma’ruf (An-Nisa; 19)
Dan juga hadis’
سنن الترمذى – مكنز (14/ 53، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ
“Dari Aisyah; beliau berkata; Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda; yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik bagi
istrinya (H.R.At-Tirmidzi)
Atsar yang ditemukan berkaitan sunnahnya foreplay ini, disebutkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni. Ibnu Qudamah menulis;
المغني (16/ 46)
رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { لَا تُوَاقِعْهَا إلَّا
وَقَدْ أَتَاهَا مِنْ الشَّهْوَةِ مِثْلُ مَا أَتَاك ، لِكَيْ لَا
تَسْبِقَهَا بِالْفَرَاغِ .
“Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dari Nabi SAW bahwasanya beliau
berkata; janganlah engkau menjimakinya kecuali dia telah bangkit
syahwatnya sebagaimana dirimu, agar engkau tidak mendahuluinya dalam
klimaks”
Cara merangsang sebagai pemanasan sebelum Jimak ini tidak dibatasi
dengan cara tertentu atau anggota badan tertentu. Oleh karena itu, mubah
hukumnya merangsang dengan tangan, leher, payudara, punggung, betis,
gesekan tubuh, termasuk mulut. Merangsang dengan mulut bisa dilakukan
dengan mencium, mengecup lembut, menghisap, mengulum, dan menjilat.
Daerah yang menjadi obyek rangsangan mulut juga tidak dibatasi.
Rangsangan dengan mulut boleh diterapkan pada bibir, leher, payudara,
perut, pinggang, termasuk kemaluan. Dari sini, oral seks sebenarnya
tidak ada bedanya dengan merangsang anggota tubuh yang lain memakai
mulut. Oleh karena itu oral seks dari sisi ini, yakni disyariatkannya
pemanasan sebelum Jimak, hukumnya mubah karena termasuk uslub (teknik)
melaksanakan tuntunan syara, yakni melakukan foreplay sebelum
berhubungan seks.
Catatan Kritis Terhadap Pendapat Yang Mengharamkan Oral Seks
Berikut ini akan dipaparkan sejumlah argumentasi yang dijadikan dasar
untuk mengharamkan oral seks dengan disertai ulasan terhadap argumentasi
tersebut.
Diantara argumentasi yang dipakai untuk mengharamkan oral seks adalah;
Pertama; Surat Al-Baqoroh ayat; 222. Allah berfirman;
{فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ} [البقرة: 222]
Apabila mereka telah Suci, maka campurilah mereka itu “Min Haitsu
Amarokumullah”-dari sisi yang diperintahkan Allah- (Al-Baqoroh; 222)
Dari ayat diatas difahami bahwa Allah memerintahkan mensetubuhi istri
ditempat yang diperintahkan, yaitu kemaluan. Oleh karena itu oral seks
hukumnya haram karena mensetubuhi istri bukan pada tempat yang
diperintahkan.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Makna lafadz “Min Haitsu Amarokumullah” bukanlah perintah mensetubuhi
istri pada kemaluannya. Artinya, tekanan makna dalam ayat ini bukan
perintah mensetubuhi istri pada kemaluannya. Makna lafadz “Min Haitsu
Amarokumullah” adalah; setubuhilah istri dalam kondisi yang suci, karena
itulah kondisi yang diperintahkan Allah mengingat Allah hanya
memperbolehkan mensetubuhi istri dalam kondisi suci dan melarang
mensetubuhi istri dalam kondisi Haid. Konteks ayat tersebut yang
berbicara tentang haramnya mensetubuhi istri saat Haid menguatkan
pemaknaan ini. Apalagi lanjutan ayat berikutnya menerangkan bahwa Allah
menyukai orang –orang yang bersuci. Jadi, pemaknaan lafadz “Min Haitsu
Amarokumullah” lebih tepat difahami ; mensetubuhi istri saat suci, yakni
berhenti dari Haid dan mandi Janabah. Lagi pula, seandainya tekanan
maknanya adalah berbicara “lokasi” ditempatkannya kemaluan, seharusnya
lafadznya Fii Haitsu, bukan “Min Haitsu Amarokumullah”. Penggunaan
lafadz Min Haitsu menunjukkan bahwa Syara tidak memaksudkan menekankan
perintah menyetubuhi pada kemaluan istri, tapi tekanannya adalah pada
kondisi istri, yaitu kondisi suci dari Haid. Dalam Tafsir Jalalain
dinyatakan;
تفسير الجلالين (1/ 231)
مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمْ اللَّه” بِتَجَنُّبِهِ فِي الْحَيْض وَهُوَ الْقُبُل وَلَا تَعْدُوهُ إلَى غَيْره
“Min Haitsu Amarokumullah, yakni; dengan menjauhinya saat Haid yakni
pada kemaluannya dan jangan melampaui pada yang lebih dari itu (Tafsir
Al-Jalalain; vol.1 hlm 231)
Al-Farro’ juga menyatakan dalam Ma’ani Al-Qur’an;
معانى القرآن للفراء (1/ 128)
{فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ} ولم يقل: فى حَيْثُ، وهو
الفرج. وإنما قال: من حيث كما تقول للرجل: اِيت زيدا من مأتاه من الوجه
الذى يؤتى منه.
“Fa’tuhunna Min Haitsu Amarokumullah. Allah tidak mengatakan Fi Haitsu
yang bermakna farji/kemaluan tetapi mengatakan Min Haitsu seperti
ucapan Anda kepada seseorang; datangilah zaid dari waktu/tempat/hal
kedatangannya, yakni dari sisi yang di didatangi darinya” (Ma’ani
Al-Qur’an. Vol 1, hlm 128)
Lagipula, dengan asumsi bahwa penafsiran lafadz “Min Haitsu
Amarokumullah”yang dimaknai perintah mensetubuhi pada kemaluan diterima,
maka pemahaman ini belum cukup untuk mengharamkan oral seks mengingat
Istimta’ secara mutlak hukumnya Mubah sehingga para Fuqoha membolehkan
usaha mencapai ejakulasi dengan paha, payudara, pantat atau kocokan
tangan istri. Padahal seharusnya jika cara pemahaman seperti yang
disebutkan dalam argumen pertama pendapat yang mengharamkan oral seks
diikuti, seharusnya usaha mencapai ejakulasi dengan jepitan plus gesekan
payudara, paha, dan pantat, atau kocokan tangan istri semuanya juga
dihukumi haram karena bermakna mensetubuhi istri bukan pada “tempat yang
diperintahkan Allah/kemaluannya”. Pemahaman ini tidak dapat diterima
karena mencapai ejakulasi dengan jepitan payudara, paha, pantat, atau
kocokan tangan istri semuanya dihukumi Mubah.
Kedua (yaitu argumentasi kedua yang dipakai pendapat yang mengharamkan
oral seks);Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Aisyah tidak
pernah saling melihat kemaluansebagaimana dinyatakan dalam riwayat
berikut;
سنن ابن ماجه (1/ 217)
عن عائشة
: – قالت ما نظرت أو ما رأيت فرج رسول الله صلى الله عليه و سلم قط
“Dari Aisyah beliau berkata; Aku tidak pernah melihat kemaluan
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sama sekali” (H.R.Ibnu Majah)
” ما أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم أحدا من نسائه إلا متقنعا، يرخي
الثوب على رأسه، وما رأيته من رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا رآه مني “.
“Tidaklah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam menggauli seorangpun
dari istri-istrinya kecuali dalam keadaan memakai selubung, beliau
melabuhkan kain pada kepalanya. Dan aku tidak pernah melihat milik
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana beliau tidak pernah
melihat milikku” (H.R.Abu as-Syaikh)
Oral seks jelas akan melihat kemaluan pasangan, dan ini bertentangan
dengan Sunnah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sehingga dihukumi
haram.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Riwayat diatas tidak bisa dijadikan dalil karena tidak shahih. Riwayat
pertama Dhoif, karena salah satu perawinya Majhul (tidak dikenal) yaitu
maula Aisyah, sementara riwayat kedua malah Maudhu (palsu) karena salah
seorang perawinya yang bernama Muhammad bin Al-Qosim Al-Asadi adalah
seorang pendusta.
Lagipula, riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat shahih yang
menjelaskan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Aisyah mandi
bersama dalam satu bejana. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (1/ 499)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلَانَا جُنُبٌ وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ
فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ
Dari ‘Aisyah berkata, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
mandi bersama dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub.
Beliau juga pernah memerintahkan aku mengenakan kain, lalu beliau
mencumbuiku sementara aku sedang Haid.” (H.R.Bukhari)
Ketiga; oral seks sama dengan menjimaki dubur wanita. Karena mensetubuhi
dubur haram, maka oral seks juga haram karena bisa diqiyaskan.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Oral seks tidak bisa disamakan dengan mensetubuhi dubur karena mulut
bukan dubur dan tidak bisa disamakan dengan dubur. Mulut adalah tempat
masuk makanan, dubur untuk pelepasan. Mulut adalah tempat masuk makanan
yang suci, sedangkan dubur adalah tempat keluar benda najis
Lagipula, Qiyas yg Syar’i harus ada illat (penyebab hukum)nya. Illat pun
juga harus Syar’i dan digali dari Nash, tidak boleh ditetapkan dengan
akal. Larangan jimak dubur tidak ada Illatnya sama sekali sehingga tdk
bisa diqiyaskan dengan yg lain.
Keempat; tidak ada riwayat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan
para Shahabat melakukan oral seks sehingga oral seks termasuk bid’ah
yang hukumnya haram.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Tidak adanya riwayat tidak bermakna tidak dilakukan. Karena riwayat
tidak mungkin menampung semua kejadian hidup suatu generasi secara
mendetail, apalagi hal-hal yang terlalu teknis yang sudah tercakup dalam
pengertian Nash-Nash umum. Lagipula, tidak boleh memahami bahwa apa
yang tidak dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Shahabat
maka hal itu langsung dihukumi haram. Perbuatan baru tidak haram,
selama masih tercakup dalam kandungan lafadz Nash yang dinyatakan dalam
bentuk umum, mutlak dan garis-garis besar. Orang yang membiasakan
membaca Quran setelah shalat shubuh misalnya, tidak boleh perbuatannya
dihukumi haram dengan alasan tidak ada riwayat bahwa Rasulullah
Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan shahabat melakukannya. Membiasakan
membaca Al-Quran setelah shubuh diizinkan secara syar’i karena ada Nash
yang memerintahkan membaca Al-Quran dalam bentuk umum dan mutlak yang
tidak dibatasi waktunya. Latihan baris-berbaris dalam rangka persiapan
jihad tidak bisa diharamkan dengan alasan tidak ada riwayat Rasulullah
Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Shahabat melakukan, karena Nash yang
memerintahkan mempersiapkan kekuatan jihad dinyatakan dalam bentuk umum
sehingga mencakup semua persiapan menuju ke arah sana. Demikianlah
seterusnya. Abu Bakar menulis Quran dalam satu Mushaf, Utsman
menyeragamkan mushaf dan memerintahkan pembakaran semua mushaf selain
mushaf utsmani, dll semua adalah perbuatan yang tidak pernah dilakukan
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam namun diizinkan secara syar’i
karena didasarkan oleh Nash-Nash yang dinyatakan secara umum dan mutlak.
Boleh jadi juga akan ditemukan kesulitan jika berusaha mencari riwayat
lugas bagaimana generasi awal umat ini meremas payudara, menjilat
ketiak, mengulum pubis dll karena hal ini terlalu teknis dan tidak
perlu. Karena itu alasan bahwa tidak ditemukannya riwayat Rasulullah
Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Shahabat melakukan oral seks adalah
alasan yang belum cukup kuat untuk mengharamkan oral seks.
Kelima; melakukan oral seks termasuk melampaui batas karena mencari
pemuasan selain pada kemaluan istri atau budak sebagaimana yang
dinyatakan dalam ayat berikut;
{وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى
أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ
مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْعَادُونَ } [المؤمنون: 5 – 7]
5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minun; 5-7)
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Ayat tersebut belum cukup dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan oral
seks, karena maksud ayat tersebut adalah celaan kapada orang yang
mencari pemuasan dari selain istri, misalnya dengan cara berzina atau
yang semakna dengannya. Adapun oral seks, aktivitas ini justru mencari
pemuasan dari istri sehingga tercakup dalam pengertian menjaga kemaluan
memakai istri yang didukung oleh Nash2 kebolehan Istimta’ yang bersifat
mutlak tanpa pembatasan. Jika Istimta’ yang berupa Jimak diizinkan
secara Syar’i, maka Istimta’ dengan cara oral seks lebih utama
dimubahkan karena oral seks lebih ringan daripada Jimak.
Keenam; oral seks itu menjijikkan,menghinakan manusia dan memalukan
karena kotor dan hewanpun tidak ada yang melakukan. Mulut adalah suci,
yang digunakan untuk berdzikir dan membaca Al-Quran, sehingga tidak
pantas dibuat mengulum dan menjilati kemaluan.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Alasan kotor, jijik, hina, tidak pantas dilakukan dan semisalnya adalah
perasaan subyektif manusia yang tidak bisa dijadikan standar untuk
menentukan status hukum syara. Perasaan jijik orang bisa saja
berbeda-beda, tetapi hukum syara tetap satu. Biawak hukumnya halal,
namun Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam merasa jijik sehingga tidak
mau memakannya yang itu berbeda dengan Khalid yang sama sekali tidak
merasa jijik sehingga memakannya. Air kencing unta barangkali sebagian
orang merasa jijik meminumnya, namun sejumlah orang di zaman Rasulullah
Shallalahu ‘Alaihi Wasallam meminumnya sebagai obat atas perintah Nabi.
Wanita-wanita Anshor memandang jijik dan hina disetubuhi dengan gaya
Doggy Style sehingga menolaknya, namun ternyata turun ayat yang
mengoreksi bahwa gaya demikian boleh saja. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود (6/ 68)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
إِنَّ ابْنَ عُمَرَ وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ أَوْهَمَ إِنَّمَا كَانَ هَذَا
الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ
مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلًا
عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ
وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَأْتُوا النِّسَاءَ
إِلَّا عَلَى حَرْفٍ وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ فَكَانَ
هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ
وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا
مُنْكَرًا وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ
وَمُسْتَلْقِيَاتٍ فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ
رَجُلٌ مِنْهُمْ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا
ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ وَقَالَتْ إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى
حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلَّا فَاجْتَنِبْنِي حَتَّى شَرِيَ
أَمْرُهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
{ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ }
أَيْ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata; sesungguhnya Ibnu Umar semoga Allah
mengampuninya, ia telah silap. Sesungguhnya terdapat sebuah kampong
anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama kampong
yahudi yang merupakan ahli kitab. Dan mereka memandang bahwa orang-orang
yahudi memiliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Dan mereka
mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang yahudi. Diantara keadaan ahli
kitab adalah bahwa mereka tidak menggauli isteri mereka kecuali dengan
satu cara yaitu dengan miring berhadapan, dan hal tersebut dipandang
lebih menjaga rasa malu seorang wanita. Dan orang-orang anshar ini
mengikuti perbuatan mereka dalam hal tersebut. Sementara orang-orang
Quraisy menggauli isteri-isteri mereka dengan cara menelentangkan istri
sesukanya dan menikmati mereka, dalam keadaan menghadap dan membelakangi
serta dalam keadaan terlentang. Kemudian tatkala orang-orang muhajirin
datang ke Madinah, salah seorang diantara mereka menikahi seorang wanita
anshar. Kemudian ia melakukan hal tersebut. Kemudian wanita anshar
tersebut mengingkarinya dan berkata; sesungguhnya kami didatangi dengan
satu cara, maka lakukan hal tersebut, jika tidak maka jauhilah aku!
akhirnya tersebarlah permasalahan mereka, dan hal tersebut sampai kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. kemudian Allah ‘azza wajalla
menurunkan ayat: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki.” Yakni dalam keadaan menghadap (saling
berhadapan), membelakangi dan terlentang, yaitu pada tempat lahirnya
anak (farj). (H.R. Abu Dawud)
Umar juga merasa tidak enak ketika menjimaki istrinya dari belakang
sehingga berkonsultasi dengan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam,
namun ternyata Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam membolehkan. Ahmad
meriwayatkan;
مسند أحمد (6/ 101)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ وَمَا
الَّذِي أَهْلَكَكَ قَالَ حَوَّلْتُ رَحْلِيَ الْبَارِحَةَ قَالَ فَلَمْ
يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى رَسُولِهِ هَذِهِ
الْآيَةَ
{ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ }
أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata; Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata; “Wahai Rasulullah, aku telah
binasa.” Beliau bertanya: “Apa yang membinasakanmu?” Umar menjawab;
“Aku membalik tungganganku (yakni istriku) tadi malam.” Ibnu Abbas
berkata; Beliau tidak mengatakan apa-apa mengenai itu. Ibnu Abbas
melanjutkan; Lalu Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat ini:
(Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki) (lalu beliau mengatakan): “Bagaimana saja kamu kehendaki,
dari depan atau belakang tapi hindarilah dubur dan Haidl.” (H.R.Ahmad)
Alasan bahwa islam mencintai kebersihan, sementara oral seks itu kotor
dan najis, juga kurang kuat, karena peluang munculnya kotor saat
bersenang-senang tidak diharamkan dengan bukti foreplay yg mubah,
padahal berpeluang mengeluarkan Madzi yang mengenai tubuh, bantal,
selimut, kasur. dll.
Alasan bahwa lisan itu dipakai berdzikir dan membaca Al-Quran sehingga
tidak layak berinteraksi dengan kemaluan juga kurang kuat, karena
menghisap ketiak, payudara,pusar, punggung, telinga, dan mulut yang
berpeluang gusinya berdarah hukumnya mubah.
Ringkasnya, perasaan manusia yang subyektif bukan standar halal-haram,
dan tidak boleh dijadikan dalil untuk menentukan status keharaman
sesuatu. Halal-haram hanya boleh ditetapkan dengan Nash, bukan perasaan
subyektif manusia.
Statemen bahwa tidak ada hewan yang melakukan oral seks juga tidak
benar, karena -dari sumber-sumber referensi dan realitas yang bisa
disaksikan- kambing, primata, anjing hutan, kelelawar dan domba
malakukan oral seks. Hanya saja oral seks yang dilakukan hewan bukan
untuk bersenang-senang, namun pengkondisian aktivitas reproduksi biasa.
Ketujuh; Oral seks bisa membuat Madzi termakan, padahal memakan najis
hukumnya haram. Jadi oral seks haram karena bisa membuat termakannya
benda najis yang hukumnya haram.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Mengharamkan oral seks dengan alasan peluang tertelannya benda najis
tidak bisa diterima, karena tidak pasti, tidak sengaja, bisa
dimuntahkan, atau dilindungi dengan kondom. Seorang suami yang mencium
dan menghisap mulut istrinya yang berpeluang keluarnya darah dari
gusinya, tidak bisa dilarang dan diharamkan dengan alasan peluang
termakannya darah yang najis. Peluang darah tertelan adalah hal yang
tidak pasti, tidak sengaja, dan bisa dimuntahkan, sehingga hal ini tidak
bisa menjadi dalil haramnya ciuman.
Lagi pula syara membedakan tubuh yg terkena najis dan tubuh yang telah
disucikan. Tubuh yang terkena najis haram dipakai untuk shalat, namun
jika disucikan maka tidak lagi tercela. Tersentuhnya mulut oleh najis
tidak ada bedanya dengan tersentuhnya tangan atau anggota tubuh yang
lain oleh Madzi.
Kedelapan; oral seks termasuk Tasyabbuh (menyerupai) orang Kafir sehingga hukumnya haram.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Menilai oral seks termasuk Tasyabbuh dengan orang Kafir sehingga
hukumnya haram adalah penilaian yang belum bisa diterima karena maksud
larangan Tasyabbuh adalah Tasyabbuh yang terkait dengan kekufuran, syiar
dan adat-istiadat mereka yg bertentangan dengan Islam. Al-Ghazzi
mendefinisikan Tasaybbuh dengan berkata;
“هو عبارة عن محاولة الإنسان أن يكون شبهَ المتشبَّه به وعلى هيئته وحليته
ونعته وصفته، .(حسن التنبه لما ورد في التشبه (ق 2/2) (1/49).
Tasyabbuh adalah upaya seseorang agar menjadi mirip dengan yang ditiru
dalam penampilan, perhiasan, sifat dan karakternya. (Husnu At-Tanabbuh
Lima Waroda Fi At-Tasyabbuh, vol.1 hlm 49)
Jadi Tasyabbuh itu harus ada upaya/usaha sengaja untuk mengidentikkan
diri dengan yang ditiru, bukan semata-mata melakukan perbuatan yang
kebetulan sama. Fenomane fans-fans artis yang berusaha meniru gaya
rambut, gaya berpakaian, gaya jalan, gaya berbicara artis yang
diidolakan adalah contoh yang paling dekat dengan makna Tasyabbuh.
Kesamaan melakukan perbuatan tidak bisa disebut Tasyabbuh jika tidak
terealisasi sifat-sifat ini. Sistem Diwan dari Persia yang diadopsi Umar
tidak bisa disebut Tasyabbuh dengan bangsa Persia yang Kafir karena
tidak terkait kekufuran dan syiar-syiar yang bertentangan dengan islam.
Terkait dengan hubungan seksual, yang tepat disebut Tasyabbuh adalah
jika kaum muslimin ikut-ikutan bergaya seks bebas, merekam adegan intim,
lalu menyebarkannya apalagi memkomersialkannya. Adapun oral seks, maka
hal ini tidak termasuk ciri kekufuran suatu kaum, tetapi hanyalah teknik
dan kreasi Istimta’, fore play, dan bersenang-senang.
Lagipula, Romawi Kuno, Kristen, dan penduduk Sub Sahara Afrika konon
juga “mengharamkan” oral seks. Jika cara penarikan kesimpulan Tasyabbuh
pendapat yang mengharomkan oral seks diikuti, maka mengharamkan oral
seks juga bisa difahami Tasyabbuh kepada romawi kuno dan kristen yang
Kafir yang hukumnya haram.
Kesembilan; oral seks menyerupai hewan, sehingga hkumnya haram
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Mengharamkan oral seks dengan alasan menyerupai hewan tidak bisa
diterima, karena gaya bersetubuh dari belakang yang diistilahkan di
zaman sekarang dengan nama Doggy Style hukumnya mubah dan dilakukan
shahabat-Shahabat Muhajirin termasuk Umar, padahal Doggy Style jelas
menyerupai anjing dalam bersetubuh. Larangan-larangan menyerupai hewan
seperti dinyatakan dalam hadis-hadis berikut;
سنن أبى داود – م (1/ 322)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَافْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ
يُوَطِّنَ الرَّجُلُ الْمَكَانَ فِى الْمَسْجِدِ كَمَا يُوَطِّنُ
الْبَعِيرُ. هَذَا لَفْظُ قُتَيْبَةَ.
Dari Abdurrahman bin Syibl dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam melarang (sujud dengan cepat) seperti burung gagak mematuk dan
(menghamparkan lengan ketika sujud) seperti binatang buas yang sedang
membentangkan kakinya dan melarang seseorang mengambil lokasi khusus di
Masjid (untuk ibadatnya) sebagaimana unta menempati tempat berderumnya.”
(H.R.Abu Dawud)
سنن ابن ماجه (3/ 139)
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَلِيُّ لَا تُقْعِ إِقْعَاءَ الْكَلْبِ
dari Ali ia berkata; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hai
Ali, janganlah duduk seperti duduknya anjing (dalam shalat). ” (H.R.
Ibnu Majah)
صحيح البخاري (3/ 314)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اعْتَدِلُوا فِي
السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Seimbanglah kalian salam sujud, dan janganlah salah seorang
dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana anjing membentangkan
tangannya.” (H.R.Bukhari)
صحيح مسلم (2/ 421)
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ مَا لِي أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ
خَيْلٍ شُمْسٍ اسْكُنُوا فِي الصَّلَاةِ
Dari Jabir bin Samurah dia berkata, “Mengapa aku melihat kalian
mengangkat tangan kalian, seakan-akan ia adalah ekor kuda yang tidak
bisa diam. Kalian tenanglah di dalam shalat.” (H.R.Muslim)
Semuanya terkait dengan perbuatan shalat, sehingga tidak bisa dijadikan
dalil untuk mengharamkan perbuatan yang lain. Duduk seperti anjing saat
buang air besar adalah alami dan hukumnya mubah, menderum seperti unta
saat tiarap latihan militer demi kepentingan jihad juga mubah karena
bagian dari persiapan Jihad.
Kesepuluh; oral seks itu tidak natural, menyimpang, keluar dari fitrah
dan zalim sebagaimana orang makan pakai hidung, jadi hukumnya haram.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Oral seks tidak bisa disebut penyimpangan karena tidak ada dalil yang
menunjukkan bahwa itu penyimpangan. Malah Nash-Nash Istimta’ dan
perintah foreplay membuat oral seks termasuk cakupan makna kebolehannya.
Alasan bahwa hal itu tdk natural/menyimpang dari fitrah tidak punya
batasan dan standar baku yg didukung/digali dari Nash, sehingga argumen
ini hanyalah penilaian subyektif perasaan. Sama seperti perasaan tidak
natural saat bersetubuh dengan gaya doggy style.
Kesebelas; oral seks bertentangan dengan adab yang luhur dan akhlaq yang mulia sehingga hukumnya haram
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Alasan bahwa oral seks bertentangan dengan adab yang luhur dan akhlaq
yang tinggi sulit ditemukan batasannya, karena jimak dari belakang
misalnya, secara perasaan bertentangan dengan adab yang tinggi karena
menyerupai hewan, akan tetapi ternyata Nash jelas membolehkannya. Jadi
alasan ini tidak boleh dijadikan dalil mengharamkan oral seks.
Keduabelas; oral seks tidak menghasilkan anak, tidak sesuai dengan
maksud penciptaan syahwat, dan bisa membinasakan spesies manusia
sehingga hukumnya haram
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Argumentasi bahwa oral seks haram karena tidak sesuai dengan maksud
diciptakannya syahwat dan kecenderungan berhubungan seks, yaitu untuk
melestarikan spesies manusia, maka argumen ini tidak bisa diterima
karena syara’ memubahkan berhubungan seksual semata-mata untuk
bersenang-senang meski tanpa maksud untuk memperoleh keturunan
sebagaimana tampak pada hadis Azl berikut;
صحيح مسلم (7/ 315)
عَنْ جَابِرٍ
أَنَّ رَجُلًا أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ إِنَّ لِي جَارِيَةً هِيَ خَادِمُنَا وَسَانِيَتُنَا وَأَنَا
أَطُوفُ عَلَيْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ فَقَالَ اعْزِلْ عَنْهَا
إِنْ شِئْتَ
Dari Jabir bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu
‘alaihi Wasallam sambil bertanya; “Saya memiliki seorang budak perempuan
yang bekerja melayani dan menyirami tanaman kami, saya sering
mensetubuhinya, akan tetapi saya tidak ingin jika dia hamil.” Lantas
beliau bersabda: “Jika kamu mau, lakukanlah azl/coitus
interuptus/senggama terputus (H.R.Muslim)
Lelaki yang ingin mensetubuhi tetapi tidak ingin anak dalam hadis di
atas jelas sekali tujuan persetubuhannya adalah sekedar berlezat-lezat
dan bersenang-senang. Ternyata Nabi membolehkan, sehingga hadis ini
menjadi dalil bahwa bersetubuh dengan maksud bersenang senang, termasuk
oral seks dengan maksud bersenang-senang hukumnya mubah.
Lagipula, dalil keumuman bolehnya Istimta’ menunjukkan bahwa
bersenang-senang suami istri tanpa niat punya anak hukumnya Mubah,
sehingga oral seks termasuk di dalamnya. Fakta oral seks juga ada yang
dimaksudkan hanya sebagai pemanasan sebelum berhubungan seksual sehingga
argumen memusnahkan keturunan menjadi tidak relevan.
Ketigabelas; oral seks menimbulkan berbagai macam resiko penyakit
seperti; herpes, kanker mulut, penyakit kulit, jamur pada vagina, kanker
tenggorokan,hepatitis A/B/C, syphilis, Shigella, Campylobacter,
Chlamydia, Gonorrhea dan aids. Jadi, hal oral seks bisa menimbulkan
Dhoror dan Dhoror diharamkan oleh islam.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Peluang terjdinya Dhoror karena dilakukannya suatu perbuatan tidak bisa
dijadikan dalil mengharomkan suatu perbuatan. Orang naik sepeda motor,
makan mie, dan makan sate bisa terkena resiko penyakit, namun hal
tersebut tidak bisa dijadikan dalil haramnya naik sepeda, makan mie dan
makan sate. Dhoror yang membuat suatu perbuatan diharamkan harus
bersifat pasti dan langsung, bukan sesuatu yang tidak pasti dan tidak
langsung. Persetubuhan normalpun juga mengandung resiko seperti otot
tertarik, punggung terluka, luka bakar, leher terkilir, lutut atau siku
tersentak, memar bahu, lutut bengkok, terkilir di pergelangan tangan,
terkilir di pergelangan kaki, jari bengkok,lecet dan memar, sakit otot
dan persendian, lecet pada organ genital, dehidrasi, infeksi saluran
kencing, sakit punggung, kerusakan urat syaraf, penglihatan terganggu,
serangan jantung, penis patah, memadamkan hasrat yang bersifat alami,
organ-organ tubuh yang alami menjadi lemah, dan hal-hal yang tidak alami
menjadi kuat, daya tahan tubuh melemah, semangat menurun, gerakan tubuh
berkurang, perut menjadi besar dan hati melemah, proses pencernaan di
dalamnya menjadi tidak baik, sel darah menjadi rusak, urat-urat menjadi
lemah, proses penuaan menjadi lebih cepat, keceriaan dan kewibawaan
wajah menghilang, pandangan mata melemah, rambut menjadi tipis dan mudah
rontok, bahkan dapat menimbulkan kebotakan dan darah membeku,
membahayakan urat syaraf, menimbulkan gemetar dan gerakan yang lemah,
serta membahayakan dada dan paru-paru. Termasuk pula resiko diserangnya
berbagai penyakit kelamin seperti Syphilis, Gonorhe & Chlamiydia,
Herpes, Infeksi Jamur, Bisul Pada Alat Kelamin, Kutu Kelamin, Hpv, Pid,
Bv, Vaginistis, Aids, Keputihan, Kondiloma Akuminata, dll. Namun
resiko-resiko ini tidak bisa dijadikan dalil haramnya bersetubuh bagi
suami istri.
Dengan demikian, semua argumentasi pendapat yang mengharamkan oral seks
perlu ditinjau ulang dengan ulasan-ulasan yang telah dipaparkan diatas.
Adapun pendapat yang memakruhkan oral seks, maka pendapat ini sulit
diikuti karena tidak ada dalil yang mendasarinya. Dalil yang dipakai
tidak lebih perasaan jijik terhadap oral seks yang dikombinasi dengan
kenyataan tidak ditemukannya Nash lugas yang mengharamkan oral seks.
Perasaan jijik tidak bisa dijadikan standar penetapan hukum karena
bersifat relatif dan bukan dalil Syara’
Statemen-Statemen Ulama Salaf Yang menunjukkan Bahwa Oral Seks Hukumnya Mubah
Terdapat sejumlah ulama yang membahas fikih hubungan suami istri dan
menyatakan statemen yang bisa difahami bahwa oral seks menurut mereka
hukumnya mubah. Diantara mereka adalah Ashbagh, salah seorang ulama
bermadzhab maliki. Al-Qurthubi menyatakan;
تفسير القرطبي (12/ 232)
قال ابن العربي. وقد قال أصبغ من علمائنا: يجوز له أن يلحسه بلسانه
“Ibnu Al-‘Aroby berkata; Ashbagh salah satu ulama kami berkata; Boleh
baginya (suami) menjilatnya (kemaluan istrinya) dengan lidahnya (Tafsir
Al-Qurthubi, vol.12, hlm 232)
Termasuk pula Al-Milyabary. Beliau berkata dalam kitabnya Fathu Al-Mu’in;
فتح المعين (3/ 340)
يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها
“Boleh bagi suami menikmati semua jenis aktivitas menikmati dari
istrinya selain lingkaran anusnya, meskipun (menikmati tersebut
dilakukan) dengan menghisap Clitorisnya (Fathu Al-Mu’in, vol.3. hlm 340)
Diriwayatkan Imam Malik juga termasuk membolehkan. Ar-Ru’ainy berkata;
مواهب الجليل لشرح مختصر الخليل (5/ 23)
روي عن مالك أنه قال لا بأس أن ينظر إلى الفرج في حال الجماع وزاد في رواية ويلحسه بلسانه
“Diriwayatkan dari Imam Malik bahwasanya beliau berkata; Tidak apa-apa
melihat kemaluan saat Jimak” dan menambah dalam riwayat yang lain; serta
menjilat kemaluan tersebut dengan lidahnya” (Mawahib Al-Jalil Li Syarhi
Mukhtashor Al-Kholil, vol.5, hlm 23)
Termasuk pula Qodhi Iyadh. Al-Buhuti berkata;
كشاف القناع عن متن الإقناع (16/ 436)
قَالَ الْقَاضِي يَجُوزُ تَقْبِيلُ فَرْجِ الْمَرْأَةِ قَبْلَ الْجِمَاعِ
“Al-Qodhi (Iyadh) berkata; Boleh mencium vagina wanita sebelum Jimak” (Kassyaf Al-Qina’ ‘An Matni Al-Iqna’, vol 16 hlm 436)
Termasuk pula Al-Mirdawi, beliau berkata dalam Al-Inshof;
الإنصاف (8/ 27)
ليس لها استدخال ذكر زوجها وهو نائم بلا إذنه ولها لمسه وتقبيله بشهوة
“Tidak ada hak bagi istri memasukkan penis suaminya sementara suami
dalam keadaan tidur tanpa izinnya, namun istri boleh merabanya dan
menciumnya dengan syahwat” (Al-Inshof, vol 8 hlm 27)
Penutup
Demikianlah hukum oral seks. Sejumlah ulama kontemporer juga berpendapat
mubahnya oral seks seperti Sa’id Romadhon Al-Buthi , Ali Jumu’ah ,
Salman Audah, Ahmad Al-Kurdy, Abdullah Al-Faqih, Mas’ud Shobri, Sabri
Abdur Rauf, dan Musa Hasan Mayan. As-Syafii dalam Al-Umm menyinggung
juga masalah oral seks, namun masih sulit diidentifikasi sikap beliau
dalam hal ini. Dalam Al Umm dinyatakan;
الأم (1/ 37)
وَلَا نُوجِبُ الْغُسْلَ إلَّا أَنْ يُغَيِّبَهُ في الْفَرْجِ نَفْسِهِ أو
الدُّبُرِ فَأَمَّا الْفَمُ أو غَيْرُ ذلك من جَسَدِهَا فَلَا يُوجِبُ
غُسْلًا إذَا لم يُنْزِلْ
“Kami tidak mewajibkan mandi kecuali dia memasukkan kemaluannya kedalam
farji atau anus. Adapun (memasukkan penis ke dalam) mulut atau yang
lainnya dari tubuh istri, maka hal itu tidak membuat wajib mandi jika
tidak mengeluarkan mani (Al-Umm, vol 1, hlm 37)
Adapun ulama yang mengharamkan, diantaranya adalah; Muhammad As-Sayyid
Ad-Dusuqi, Kholid Al-Jundi,Sholih Al-Luhaidan, Ahmad bin Yahya An-Najmi,
Ibnu Baz, dan Ubaid bin ‘Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry. Al-Albani
bisa juga ditafsirkan termasuk kelompok ini dilihat dari penyerupaan
beliau atas oral seks dengan perilaku hewan. Yusuf Qordhowi termasuk
yang memakruhkan, sementara Abdullah bin Jibrin tidak berani
mengharamkan, tetapi jijik terhadapnya.
Bagi seorang muslim, hukum manapun yang diikuti apakah mubah, makruh
atau haram, hendaknya semuanya didasarkan pada hujjah dan memilih
pendapat yang dipandang paling kuat yang lebih dekat pada kebenaran
tanpa Taklid secara membuta.