Dalam riwayat berdirinya Kabupaten Banjarnegara disebutkan bahwa seorang
tokoh masyarakat yang bernama Kyai Maliu sangat tertarik akan keindahan
alam di sekitar Kali Merawu sebelah selatan jembatan Clangap
(sekarang). Keindahan tersebut antara lain karena tanahnya berundak,
berbanjar sepanjang kali.
Sejak saat itu, Kyai Maliu kemudian mendirikan pondok/rumah sebagai
tempat tinggalnya yang baru. Setelah Kyai Maliu tinggal di tempat
barunya tersebut, dalam waktu singkat disusul pula dengan berdirinya
rumah-rumah penduduk yang lain disekitar pondok Kyai Maliu sehingga
kemudian membentuk suatu perkampungan. Perkampungan tersebut terus
berkembang waktu demi waktu yang akhirnya menjadi sebuah desa.
Desa baru tersebut kemudian dinamakan“BANJAR” sesuai dengan daerahnya
yang berupa sawah yang berpetak-petak. Atas dasar musyawarah penduduk
desa baru tersebut Kyai Maliu diangkat menjadi Pertinggi (Kepala Desa),
sehingga kemudian dikenal dengan nama “Kyai Ageng Maliu Pertinggi
Banjar”.
Keramaian dan kemajuan desa Banjar dibawah kepemimpinan Kyai Ageng Maliu
semakin pesat tatkala kedatangan Kanjeng Pangeran Giri Wasiat,
Panembahan Giri Pit dan Nyai Sekati yang sedang mengembara dalam rangka
syiar agama Islam. Ketiganya merupakan putra Sunan Giri Prapen raja di
Giri Gajah Gresik yang bergelar Prabu Satmoko.
Sejak kedatangan Pangeran Giri Pit, Desa Banjar menjadi pusat
pengembangan agama Islam. Kyai Ageng Maliu semakin bertambah
kemampuannya dalam hal agama Islam dan dalam memimpin Desa Banjar.
Karena kepemimpinannya itulah Desa Banjar semakin berkembang dan semakin
ramai.
Desa Banjar yang didirikan oleh Kyai Ageng Maliu inilah pada akhirnya
menjadi cikal bakal Kabupaten Banjarnegara. Makam Kyai Ageng Maliu di
Dusun Pekuncen desa dan kec Banjar mangu Kondisi makam sendiri sangat
memprihatinkan. Cungkup makam yang terbuat dari kayu sudah mulai lapuk
termakan usia, bahkan beberapa sudah dimakan serangga. Pagar keliling
makam pun beberapa sudah roboh. Tanaman-tanaman ilalang pun tumbuh tak
beraturan tidak terawat.
Awal Pemerintahan Kabupaten Banjar Petambakan
Setelah wafatnya Adipati Wargo Hutomo I (Adipati Wirasaba) dalam
perjalanan pulang setelah menghadap Sultan Hadiwijoyo (Sultan Pajang)
akibat adanya kesalahpahaman Utusan (Gandek) dari Kerajaan Pajang dalam
mengartikan perintah Sultan Hadiwijoyo yang diperkuat dengan fitnah
Demang Toyareka (Adik Adipati Wargo Hutomo), pucuk pimpinan Kabupaten
Wirasaba mengalami kekosongan. Untuk selanjutnya Kabupaten Wirasaba
dipimpin oleh Patih yang telah mewakili Adipati sejak menghadap Sultan.
Para Putra Adipati tidak ada yang berani menggantikan kedudukan ayahnya
sebelum mendapat ijin dari Kanjeng Sultan Hadiwijoyo di Pajang.
Menyadari kesalahannya yang menyebabkan wafatnya Adipati Wargo Hutomo I,
Sultan Hadiwijoyo mengutus Tumenggung Tambakbaya mengirimkan surat
kepada Keluarga Adipati Wargo Hutomo I di Wirasaba yang isinya
mengharapkan kehadiran salah satu putra Adipati Wargo Hutomo I untuk
menghadap Sultan. Namun demikian tidak satupun dari putra Adipati Wargo
Hutomo I yang bersedia menghadap Kanjeng Sultan Hadi Wijoyo. Hal ini
dikarenakan disamping duka akibat peristiwa terbunuhnya ayahandanya
belum sepenuhnya hilang, muncul pula perasaan khawatir bilamana ternyata
mendapat perlakuan serupa.
Akhirnya Tumenggung Tambakbaya meminta Joko Kaiman (menantu Adipati)
untuk memenuhi panggilan Sultan menghadap ke Pajang. Atas persetujuan
Saudara-saudara iparnya, berangkatlah Joko Kaiman menghadap Sultan
Hadiwijoyo di Pajang.
Sesampainya di Pajang, Sultan menjelaskan duduk permasalahan hingga
Adipati Wargo Hutomo terbunuh dan menyampaikan permohonan maaf kepada
semua putra Adipati dan masyarakat Wirasaba. Dalam kesempatan itu pula,
Sultan Hadiwijoyo mengangkat Joko Kaiman menjadi Bupati Wirasaba
menggantikan Adipati Wargo Hutomo I, yang kemudian bergelar Adipati
Wargo Hutomo II.
Menyadari statusnya hanya sebagai putra menantu, maka demi menjaga
keutuhan keluarga, setelah diangkat menjadi Bupati, Joko Kaiman (Wargo
Hutomo II) mengeluarkan kebijakan yaitu membagi Kabupaten Wirasaba
menjadi 4 (empat) Kabupaten Kecil untuk saudara-saudara iparnya, yaitu :
Kabupaten Wirasaba diserahkan kepada Kyai Ngabei Wargo Wijoyo ;
Kabupaten Merden, deserahkan kepada Kyai Ngabei Wiro Kusumo ;
Kabupaten Banjar Petambakan kepada Kyai Ngabei Wiroyudo;
Kabupaten Banyumas di Daerah Kejawar dipimpin sendiri oleh Wargo Hutomo II.
Kebijakan ini disetujui semua saudara iparnya dan mendapatkan ijin dari
Sultan Pajang. Karena kebijakannya membagi Daerah Kabupaten Wirasaba
menjadi 4 (empat) Kabupaten tersebut, Kyai Adipati Wargo Hutomo II
mendapat julukan Adipati Mrapat.
Peristiwa tersebut merupakan awal adanya pemerintahan Kabupaten Banjar Petambakan, cikal bakal Kabupaten Banjarnegara
Kabupaten Banjar Petambakan
Kyai Ngabehi Wiroyudo merupakan Bupati Banjar Petambakan pertama yang
memerintah pada ± Tahun 1582 (melihat pendirian Pendopo Kabupaten
Banyumas di Kejawar oleh Wargo Hutomo II, yang merupakan salah satu
pecahan dari Kabupaten Wirasaba tercatat tahun 1582).
Namun siapa pengganti Kyai Ngabei Wiroyudo sampai R. Ngabehi Banyakwide
diangkat sebagai Kliwon Banyumas yang bermukim di Banjar Petambakan
tidak diketahui, karena tidak ada/belum ditemukan sumber/ catatan
tertulis. Ada kemungkinan Kabupaten Banjar Petambakan dibawah Kyai
Ngabei Wiroyudo tidak berkembang (tidak lestari) seperti halnya
Kabupaten Merden yang diperintah R. Ngabei Wargawijaya dan Kabupaten
Wirasaba yang diperintah oleh R. Ngabei Wirakusuma. Tidak demikian
halnya halnya dengan Kabupaten Banyumas (Daerah Kejawar) dibawah
pemerintahan R. Adipati Wargo Hutomo II yang dapat bertahan dan terus
berkembang.
R. Banyakwide adalah putra R. Tumenggung Mertoyudo (Bupati Banyumas ke
4). Dari sini terlihat bahwa selama 3 (tiga) periode kepemimpinan Bupati
di Kabupaten Banyumas (setelah Wargo Hutomo II) sampai dengan Bupati ke
4 (R.T. Mertoyudo), Kabupaten Banjar Petambakan tidak tercatat ada yang
memerintah.
Karena cukup lama tidak ada yang memerintah, maka setelah diangkatnya R.
Banyakwide sebagai Kliwon Banyumas tetapi bermukim di Banjar
Petambakan, ada yang menyebut Banyakwide adalah Bupati Banjar Petambakan
Pertama setelah Pemerintahan Ngabehi Wiroyudo.
R. Banyak Wide mempunyai 4 (empat) putera, yaitu:
Kyai Ngabei Mangunyudo;
R. Kenthol Kertoyudo;
R. Bagus Brata;
Mas Ajeng Basiah.
Sepeninggal R. Banyakwide Kabupaten Banjar Petambakan diperintah oleh R.
Ngabei Mangunyudo I yang kemudian dikenal dengan julukan Hadipati
Mangunyudo Sedo Loji (Benteng), karena beliau gugur di loji saat perang
melawan Belanda di Kartosuro.
Kebenciannya terhadap Belanda ditunjukkan sewaktu ada geger perang
Pracino (pecinan) yaitu pemberontakan oleh bangsa Tionghoa kepada VOC
saat Mataram dipimpin Paku Buwono II.
R. Ngabehi Mangunyudo I sebagai Bupati manca minta ijin untuk
menghancurkan Loji VOC di Kartasura. Paku Buwono II mengijinkanya dengan
satu permintaan agar R. Ng. Mangunyudo tidak membunuh pasangan suami
istri orang belanda yang berada di loji paling atas.
Akhirnya perang sengitpun terjadi antara pajurit Mangunyudo I dengan
pasukan VOC (tahun 1743). Melihat prajuritnya banyak yang tewas, Adipati
Mangunyudo I sangat marah, seluruh penghuni loji dibunuhnya, bahkan
beliau lupa pesan Sri Susuhunan Pakubuwono II. Melihat masih ada orang
Belanda yang masih hidup di bagian paling atas Loji, R. Mangunyudo I
mengejarnya dan berusaha membunuh pasangan suami istri orang Belanda,
yang sebenarnya adalah Pakubuwono II dan Permaisuri yang sedang
menyamar. Merasa terancam jiwanya, Pakubuwono II akhirnya membunuh
Adipati Mangunyudo I yang sedang kalap di Loji VOC tersebut. Sebab
itulah kemudian Adipati Mangunyudo I dikenal dengan sebutan Adipati
Mangunyudo Sedo Loji.
Kabupaten Banjar Watu Lembu
a. Berdasarkan sumber/buku “Inti Silsilah dan Sejarah Banyumas”
Setelah Adipati Mangunyudo I wafat, disebutkan bahwa pengganti Bupati
Banjar Petambakan adalah puteranya yang bergelar R. Ngabei Mangunyudo
II, yang dikenal dengan R. Ngabei Mangunyudo Sedo Mukti.
Di era kepemimpinannya, Kabupaten dipindahkan ke sebelah Barat Sungai
Merawu dengan nama Kabupaten Banjar Watu Lembu (Banjar Selo Lembu).
R. Ngabei Mangunyudo II merupakan Bupati Banjar Watu Lembu Pertama, yang
kemudian digantikan oleh puteranya, bergelar Kyai R. Ngabei Mangunyudo
III yang kemudian berganti nama menjadi Kyai R. Ngabei Mangunbroto,
Bupati Anom Banjar Selolembu. Masih dari sumber yang sama, R. Ngabei
Mangunbroto wafat karena bunuh diri.
Penggantinya adalah R.T. Mangunsubroto yang memerintah Kabupaten Banjar Watulembu sampai tahun 1931.
Karena Kabupaten Banjar Watulembu sangat antipati terhadap Belanda, maka
setelah perang Diponegoro dimana kemenangan dipihak Belanda, Kabupaten
Banjar Watulembu diturunkan statusnya menjadi Distrik dengan dua
penguasa yaitu R. Ngabei Mangunsubroto dan R. Ng. Ranudirejo.
Berdasarkan sumber “Register Sarasilah Keturunan R. Ngabei Banyakwide
dan Register Catatan Legenda Riwayat Kanjeng Sunan Giri Wasiyat, Kyai
Panembahan Giri Pit, Nyai Ageng Sekati”
Dalam sumber tersebut disebutkan bahwa yang menggantikan Mangunyudo I
adalah R. Ngabehi Kenthol Kertoyudo yang kemudian bergelar R. Ngabei
Mangunyudo II. Dalam perang Diponegoro lebih dikenal dengan R.
Tumenggung Kertonegoro III atau Mangunyudo Mukti.
Pada masa pemerintahannya, Kabupaten dipindahkan ke sebelah Barat Sungai
Merawu dan kemudian dinamakan Kabupaten “Banjar Watulembu”.
Sikap Adipati Mangunyudo II yang sangat anti terhadap Belanda dan bahkan
turut memperkuat pasukan Diponegoro dalam perang melawan Belanda
(dimana perang tersebut berakhir dengan kemenangan di pihak Belanda),
berakibat R. Ngabei Mangunyudo II dipecat sebagai Bupati Banjar
Watulembu, dan pada saat itu pula status Kabupaten Banjar Watulembu
diturunkan menjadi Distrik dengan dua penguasa yaitu R. Ngabei Mangun
Brotodan R. Ngabei Ranudirejo.
Terlepas sumber mana yang benar, para pemimpin/ Bupati Banjar mulai
Mangunyudo I sampai yang terakhir Mangunsubroto atau Mangunyudo II,
semuanya anti penjajah Belanda.
Kabupaten Banjarnegara
Siapa sebenarnya Tumenggung Dipayuda
Dalam masa pemerintahan raja-raja tanahjawa tersebutlah kerajaan
Majapahit dengan penguasanya Prabu Brawijaya. Prabu Brawijaya menurut
naskah babad disebutkan adalah raja terakhir penguasa kerajaan
Majapahit.Dikisahkan bahwa pada suatu hari putri Prabu Brawijaya yang
bernama Retno Ayu Pambayun diculik oleh Menak Dali Putih raja kerajaan
Blambangan putra Menak Jingga.Pada masa itu tersebutlah seorang pahlawan
bernama Jaka Senggara yang berhasil merebut dan membebaskan Retno Ayu
Pambayun dari tangan Menak Dali Putih sehingga dalam pertempuran itu
Menak Dali Putih menemui ajalnya.
Atas jasa dari Jaka Senggara tersebut kemudian Prabu Brawijaya
mengangkat Jaka Senggara menjadi bupati Pengging dengan gelar kebesaran
Handayaningrat.Selain dianugerahi menjadi bupati Pengging,Jaka Senggara
dinikahkan dengan Retno Ayu Pambayun.
Kerajaan Majapahit dimasa-masa akhir kehancurannya terjadi pemberontakan
dimana-mana.Pemberontakan-pemberontakan itu didasari keinginan merebut
tahta kerajaan.Handayaningrat gugur dimedan laga saat perang antara
Majapahit dengan Demak Bintoro.Disebutkan bahwa Handayaningrat (Ki Ageng
Pengging Sepuh)tertusuk keris Sunan Ngudung hingga menemui
ajalnya.Tahta kerajaan Majapahit berikut benda-benda pusaka kerajaan
diboyong ke Demak.Kemudian Raden Patah atas prakarsa para wali songo
mendirikan kerajaan Demak.
Setelah terbunuhnya Handayaningrat maka pemerintahan Pengging dipegang
oleh anaknya yang bernama Ki Kebo Kenanga dengan gelar Ki Ageng
Pengging.Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan kerajaan
Kasultanan Demak.Ketika Kasultanan Demak terjadi perang pengaruh antara
para wali songo pendukung kerajaan Kasultanan Demak dengan Syeh Siti
Jenar,pertentangan itu semakin meruncing sehingga terpaksa diselesaikan
dengan pertumpahan darah.Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh
hendak memberontak terhadap kekuasaan Kasultanan Demak.
Ki Ageng Pengging mempunyai seorang anak yang bernama Mas Karebet.Ketika
dilahirkan ayahnya Ki Ageng Pengging sedang menggelar pertunjukan
wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.Setelah selesai ndalang Ki
Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Setelah kematian Ki Ageng Pengging,Nyai Ageng Pengging sering
sakit-sakitan dan tidak lama kemudian meninggal dunia.Sejak saat itu Mas
Karebet diambil sebagai anak asuh oleh Nyai Ageng Tingkir.
Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar olahkanuragan dan bertapa
sehingga mendapat sebutan Jaka Tingkir.Jaka Tingkir diambil murid oleh
Sunan Kalijaga dan pernah juga berguru kepada Ki Ageng Selo.Ditempat Ki
Ageng Selo itu Jaka Tingkir dipersaudarakan dengan cucu Ki Ageng Selo
yaitu Ki Juru Martani,Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi.
Pada masa Kasultanan Demak yang dipimpin oleh Sultan Trenggono,Jaka
Tingkir banyak berjasa.Sultan Trenggono menjadikan Jaka Tingkir bupati
Pajang dan menikahkannya juga dengan salah satu putrinya yang bernama
Ratu Mas Cempaka.Jaka Tingkir dianugerahi gelar Hadiwijaya.
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik takhta,
namun kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsangbupati
Jipang. Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuhHadiwijaya
namun gagal.
Dengan dukungan Ratu Kalinyamat(bupati Jepara putri Sultan
Trenggana),Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya
Penangsang. Ia pun menjadi pewaris tahta Kesultanan Demak, yang ibu
kotanya dipindah ke Pajang.Hadiwijaya atau Jaka Tingkir kemudian
mengganti nama kerajaan menjadi kerajaan Kasultanan Pajang(tahun 1549).
Pada suatu saat, ketika Kyai Tepusrumput sedang bertapa di bawah pohon
Jatiwangi, Ia di datangi oleh seorang laki-laki tua bernama Kyai
Kantaraga. Kyai Kantaraga memerintahkan agar Ia bertapa di bawah pohon
Pule selama 40 hari.Setelah perintah itu dilaksanakan, yaitu bertapa
selama 40 hari,Ia mendapatkan sebentuk cincin emas, yang ternyata
bernama socaludira. Cincin itu, ternyata adalah milik Sultan
pajang(Sultan Hadiwijaya;Jaka Tingkir) yang hilang. Karena mengetahui
bahwa cincin socaludira adalah miliki sultan Pajang maka Ia
mengembalikannya. Saking girangnya Sultan Pajang menemukan kembali
cincin kesayangannya itu, maka Sultan Pajang memberikan hadiah kepada
Kyai Tepusrumput seorang putri triman yang sedang hamil 4 bulan.Setelah
menunggu cukup lama, akhirnya putri triman itu melahirkan jabang bayi
laki-laki, yang kemudian Ia serahkan kembali kepada Sultan pajang. Akan
tetapi, oleh Sultan Pajang bayi tersebut diserahkan kembali kepada kyai
Tepusrumput, yang kemudian bergelar Kyai Ageng Ore-ore.Setelah tumbuh
dewasa, anak dari putri triman atau anak tiri dari Kyai Tepusrumput
menggantikan kedudukan Kyai Tepusrumput dengan gelar Kyai Adipati
Anyakrapati atau Adipati Onje II.
Adipati Anyakrapati atau Adipati Onje II memperistri dua orang yang
berasal dari Cipaku dan Pasir Luhur. Dari istri yang berasal dari
Cipaku, Ia di karuniai 2 orang putra, yakni; Raden Cakra Kusuma dan
Raden Mangunjaya. Selanjutnya dengan istri keduanya yang berasal dari
Pasir Luhur, Adipati Anyakrapati atau Adipati Onje II di karuniai 2
putera yang semunya adalah perempuan.Karena selalu terjadi percekcokan
dalam keluarga akhirnya Adipati Onje membunuh kedua istrinya.
Selanjutnya Ia kawin dengan anak perempuan Adipati Arenan yang bernama
Nyai Pingen.Dari perkawinan tersebut, Adipati Onje II, dikaruniai
seorang putra bernama Kyai Arsa Kusuma yang kemudian berganti nama
menjadi Kyai Arsantaka.
Setelah dewasa, Kyai Arsantaka kawin dengan 2 orang putri.Istri pertama
bernama Nyai Merden dan istri kedua bernama Nyai Kedung Lumbu. Dari
istri pertama, Kyai Arsantaka di karuniai 5 orang putera, yakni; pertama
Nyai Arsamenggala, kedua Kyai Dipayuda,ketiga Kyai Arsayuda, yang
kemudian menjadi menantu Tumenggung Yudanegara II. Putera keempat
bernama Mas Ranamenggala dan kelima adalah Nyai Pancaprana.Dengan istri
kedua, Kyai Arsantaka di karuniai 1 putera yaitu Mas Candrawijaya, yang
di kemudian hari menjadi Patih Purbalingga.
Diceritakan bahwa kyai Arsantaka meninggalkan Kadipaten Onje untuk
berkelana ke arah timur dan sesampainya di desa Masaran (Sekarang di
Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara) diambil anak angkat oleh Kyai
Wanakusuma yang masih anak keturunan Kyai Ageng Giring dari Mataram.
Pada tahun 1740 – 1760, Kyai Arsantaka menjadi demang di Kademangan
Pagendolan (sekarang termasuk wilayah desa Masaran), suatu wilayah yang
masih berada dibawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk
kecamatan Kutasari, Purbalingga) yang dipimpin oleh R. Tumenggung
Dipayuda I.
Kyai Arsantaka karena banyak menyumbang jasa maka dinobatkan menjadi
Raden Tumenggung Dipayuda II.Banyak riwayat yang menceritakan tentang
kepahlawanan dari Kyai Arsantaka antara lain ketika terjadi perang
Jenar, yang merupakan bagian dari perang Mangkubumen, yakni sebuah
peperangan antara Pangeran Mangkubumi dengan kakaknya Paku Buwono II
dikarenakan Pangeran mangkubumi tidak puas terhadap sikap kakanya yang
lemah terhadap kompeni Belanda. Dalam perang jenar ini, Kyai Arsantaka
berada didalam pasukan kadipaten Banyumas yang membela Paku Buwono.
Dikarenakan jasa dari Kyai Arsantaka kepada Kadipaten Banyumas pada
perang Jenar, maka Adipati banyumas R. Tumenggung Yudanegara mengangkat
putra Kyai Arsantaka yang bernama Kyai Arsayuda menjadi menantu. Seiring
dengan berjalannya waktu, maka putra Kyai Arsantaka yakni Kyai Arsayuda
menjadi Tumenggung Karangwelas dan bergelar Raden Tumenggung Dipayuda
III.
Masa masa pemerintahan Kyai Arsayuda dan atas saran dari ayahnya yakni
Kyai Arsantaka yang bertindak sebagai penasihat, maka pusat pemerintahan
dipindah dari Karanglewas ke desa Purbalingga,dikemudian hari menjadi
Kabupaten Purbalingga.
Anak kedua Kyai Arsantaka dari Nyai Merden yang bernama Kyai Dipayuda
berkelana kewilayah Banjar Pertambakan (sekarang Banjarmangu) yang
dikuasai Kyai Ngabei Wirayuda.Beberapa waktu kemudian Kyai Ngabei
Wirayuda meninggal dunia sehingga wilayah Banjar tidak ada yang
menguasai.Konon atas kekosongan kekuasaan ini maka Kyai Dipayuda
diangkat menjadi Raden Tumenggung Dipayuda IV.
Raden Tumenggung Dipayuda IV banyak berjasa ketika perang Pangeran Diponegoro.Hal ini diceritakan dalam babad Pupuh:
“Tumuta lampah kawula, sri naréndra ngandika iya becik, tinimbalan
praptèng ngayun, sang nata angandika, Dipayuda milua amapag musuh, tur
sembah matur sandika”
Artinya:” Mengikuti saran, sang raja berkata,”Ya, kalau begitu
panggillah Dipayuda menghadap saya”. Kepada Dipayuda raja memerintahkan
untuk mencegat musuh dan di jawab bahwa dia siap”.
Sehingga Sri Susuhunan Paku Buwono VII mengusulkan agar Raden Tumenggung
Dipayuda IV diangkat menjadi bupati Banjar.berdasarkan Resolutie
Governeor General Buitenzorg tanggal 22 agustus 1831 nomor I.Usul
tersebut disetujui oleh Gubernur Jenderal.Peristiwa ini kemudian lebih
dikenal dengan Banjar Watu Lembu.
Persoalan meluapnya Sungai Serayu menjadi kendala yang menyulitkan
komunikasi dengan Kasunanan Surakarta. Kesulitan ini menjadi sangat
dirasakan menjadi beban bagi bupati ketika beliau harus menghadiri
Pasewakan Agung pada saat-saat tertentu di Kasultanan Surakarta. Untuk
mengatasi masalah ini diputuskan untuk memindahkan ibukota kabupaten ke
selatan Sungai Serayu.
Daerah Banjar (sekarang Kota Banjarnegara) menjadi pilihan untuk
ditetapkan sebagai ibukota yang baru. Kondisi daerah yang baru ini
merupakan persawahan yang luas dengan beberapa lereng yang curam.Di
daerah persawahan (Banjar) inilah didirikan ibukota kabupaten (Negara)
yang baru sehingga nama daerah ini
menjadi”Banjarnegara”(Banjar:Sawah,Negara:Kota). R.Tumenggung Dipayuda
menjabat Bupati sampai tahun 1846.Setelah pensiun dari jabatan bupati
Kyai Dipayuda atau Raden Tumenggung Dipayuda IV tidak ada kabar
beritanya lagi ditingkat pemerintahan.Maka diangkatlah Raden Adipati
Dipadiningrat sebagai penggantinya.
Untuk mengenang asal mula Kota Kabupaten baru yang berupa persawahan dan
telah dibangun menjadi kota, oleh Raden Tumenggung Dipoyudho IV,
Kabupaten Baru tersebut diberi nama “BANJARNEGARA”(mempunyai maksud
Sawah = Banjar, berubah menjadi kota = negara) sampai sekarang.
Setelah segala sesuatunya siap, Raden Tumenggung Dipoyudo IV sebagai
Bupati beserta semua pegawai Kabupaten pindah dari Banjar Watulembu ke
Kota Kabupaten yang baru Banjarnegara.
Dikarenakan pada saat pengangkatannya status Kabupaten Banjar Watulembu
yang terdahulu telah dihapus, maka Raden Tumenggung Dipoyudho IV
dikenal sebagai Bupati Banjarnegara I (Pertama).
Peristiwa Pengangkatan Raden Tumenggung Dipoyudho IV pada tanggal 22
Agustus 1831 sebagai Bupati Banjarnegara inilah yang dijadikan dasar
untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara, yaitu dengan
Keputusan DPRD Kabupaten Dati II Banjarnegara tanggal 1 Juli 1981 dan
Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Banjarnegara Nomor 3 Tahun
1994 Tentang Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara.
Perang Diponegoro dan Berdirinya Kabupaten Banjarnegara
Pada tahun 1825 meletus Perang Diponegoro. Sebab-sebab meletusnya perang
tersebut adalah akibat ketidakpuasan Pangeran Diponegoro terhadap
kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang dianggap akan menggusur
makam nenek moyang Pangeran Dipanegoro. Selain itu, persoalan di
internal kraton Yogyakarta, terutama tentang suksesi pasca meninggalnya
Hamengkubuwono ke-4 juga turut mengobarkan kemarahannya. Perang
Diponegoro berjalan kurang lebih selama lima tahun dan meluas ke hampir
seluruh kawasan yang saat itu berada dalam kekuasaan dua kerajaan Jawa,
yaitu Kerajaan Yogyakarta dan Kerajaan Surakarta.
Pasukan Diponegoro dalam jumlah yang besar yang dipimpin oleh Putra
Pangeran Diponegoro, yaitu Pangeran Surya Atmaja masuk ke Banjar dari
arah timur, yaitu dari Kaliwira, Tunggara, Banjar, Kutawaringin, terus
ke barat ke Mandiraja, Purwareja-Klampok, dan akhirnya menyeberang ke
utara ke Purbalingga. Pada saat itu semua bupati diinstruksikan untuk
melawan pasukan Pangeran Diponegoro, tidak terkecuali Bupati Banjar Watu
Lembu, yaitu Mangunbrata.
Pada tahun 1830, Perang Diponegoro dapat diakhiri dengan cara-cara
licik yang dilakukan oleh Belanda. Pangeran Diponegoro ditangkap dalam
sebuah perundingan pura-pura di gedung Karesidenan Magelang. Ia akhirnya
dibuang ke Manado dan Makassar sampai meninggal dunia pada tahun 1855.
Akibat dari perang yang berjalan berlarut-larut tersebut menyebabkan
Belanda nyaris bangkrut. Belanda tidak mau menanggung kerugian
sendirian, dan membebankan biaya perang yang mencapai jutaan gulden
kepada dua kerajaan, Yogyakarta dan Surakarta.
Kedua kerajaan tersebut keberatan jika harus menggantinya dengan uang,
sehingga dicapai kesepakatan bahwa dua daerah mancanegara, yaitu
mancanegara kilen (Banyumas dan sekitarnya) dan mancanegara wetan
(Madiun dan sekitarnya) harus diserahkan kepada pihak Belanda.
Penyerahan kedua daerah tersebut dilakukan pada pertengahan tahun 1830
beberapa saat setelah Pangeran Diponegoro ditangkap. Sejak saat itu
daerah Banjar yang merupakan bagian dari Banyumas, menjadi daerah
jajahan Belanda. Belanda segera melakukan penelitian terhadap daerah
Banyumas.
Pada tahun itu juga dikirim tiga orang kontrolir, yaitu Tak, Vitalis,
dan Daendels (Bukan Jenderal Daendels) untuk melakukan penelitian dan
pengamatan terhadap seluruh wilayah Banyumas. Kontrolir Tak meneliti
daerah Purbalingga, Kontrolir Vitalis bertugas meneliti daerah Banyumas,
dan Kontrolir Daendels bertugas meneliti daerah Banjar (pada waktu itu
belum disebut Banjarnegara). Reorganisasi pemerintahan juga segera
dilakukan. Banjar dibagi menjadi tiga distrik, yaitu Distrik Banjar,
Distrik Sigaluh, dan Distrik Mandiraja.
Setelah terlibat dalam Perang Diponegoro, ternyata pada tahun 1831
Mangunbrata ditemukan meninggal dunia secara tidak wajar, yaitu bunuh
diri dengan cara menusuk perutnya. Mangunsubrata, yang merupakan anak
dari Mangunbrata kemudian diangkat menjadi penguasa di Banjar Watu Lembu
menggantikan ayahnya. Mangunsubrata tidak terlalu lama memerintah di
Banjar Watu Lembu karena pemerintah kolonial Belanda kemudian menetapkan
Banjar sebagai kabupaten, dengan nama baru Kabupaten Banjarnegara,
yang berada di bawah kekuasaan mereka dan mengangkat Raden Tumenggung
Dipayuda IV menjadi bupati menggantikan bupati lama, Mangunsubrata, yang
kekuasaannya bersifat turun-temurun. Penetapan tersebut dilakukan pada
tanggal 22 Agustus 1831 berdasarkan Resolutie Gouverneur General Nomor I
dan dimuat dalam Staatsblad Tahun 1831. Raden Tumenggung Dipayuda IV
membangun pusat kekuasaan baru di daerah Kutawaringin dan diberi nama
Banjarnegara. Sejak saat itu Mangunsubrata tidak berkuasa lagi, dan
daerah Banjar Watu Lembu berlahan-lahan mengalami kemunduran.
Raden Tumenggung Dipayuda ke-4 adalah keturunan dari Tumenggung Dipayuda
I yang merupakan Bupati Purbalingga pada periode awal. Sebelum diangkat
menjadi Bupati Banjarnegara, Raden Tumenggung Dipayuda IV adalah
penguasa di Adireja dan kemudian di Adipala. Penetapannya sebagai bupati
di Banjarnegara kemungkinan besar sebagai bentuk penghargaan dari
pemerintah kolonial Belanda dan Kraton Surakarta karena yang
bersangkutan telah membantu melawan pasukan Pangeran Diponegoro, beserta
bupati-bupati lain di wilayah Banyumas. Selain mengangkat Raden
Tumenggung Dipayuda IV sebagai bupati dengan gaji 800 gulden per bulan,
pemerintah kolonial Belanda juga mengangkat Kontrolir Daendels menjadi
asisten residen di Banjarnegara. Masyarakat setempat memanggil Daendels
dengan sebutan Tuan Panggilmister.
Pembangunan di Kabupaten Banjarnegara
Pada saat Banjarnegara ditempatkan di bawah kekuasaan kolonial Belanda,
kondisi daerah ini masih terbelakang. Secara umum kawasan banjarnegara
merupakan kawasan terisolir yang memiliki hubungan yang sangat minim
dengan daerah lain. Jalan-jalan di daerah ini sangat buruk,
sungai-sungai banyak sekali yang tidak memiliki jembatan, dan saluran
irigasi nyaris tidak ada sehingga lahan pertanian sangat tergantung pada
air hujan. Kekuasaan tradisional sebelum Belanda berkuasa di
Banjarnegara memang tidak memiliki perencanaan yang matang terhadap
pembangunan di daerah.
Tahun 1846 Raden Tumenggung Dipayuda IV digantikan oleh Raden Tumenggung
Dipadiningrat. Dipadiningrat memerintah Kabupaten Banjarnegara sampai
pensiun tahun 1878, setelah itu digantikan oleh Mas Ngabehi Atmadipura
yang sebelumnya menjabat Patih Kabupaten Purworejo.
Setelah menjadi bupati di Banjarnegara bergelar Raden Tumenggung
Jayanegara I. Pada saat ia memerintah, pada tahun 1884 sistem irigasi
modern pertama di bangun di Banjarnegara dan diberi nama irigasi
Singamerta.
Irigasi ini berasal dari sungai Serayu yang dibendung di desa Singamerta
kurang lebih empat kilometer sebelah timur kota Banjarnegara. Aliran
irigasi tersebut menuju ke arah barat dan mengairi ratusan hektar sawah
yang semula merupakan sawah tadah hujan.
Di distrik Klampok, irigasi tersebut membelah menjadi dua dengan nama
saluruan irigasi Blimbing dan saluran irigasi Siwuluh. Tahun 1889
berdiri pabrik gula di Klampok yang dipimpin oleh Administratur J.T. de
Ruijter. Pabrik gula ini merupakan perluasan dari pabrik gula di
Kalibagor di selatan Sokaraja. Namun perjalanan pabrik gula Klampok
tidak berjalan lama, karena pada tahun 1932 pabrik tersebut ditutup
akibat terkena dampak krisis ekonomi dunia, yang terkenal dangan nama
malaise.
Pada tahun 1896 Raden Tumenggung Jayanegara I meninggal dunia, dan
kedudukannya sebagai bupati digantikan oleh anaknya yang bernama Raden
Jayamisena, yang sebelumnya menjabat Wedana Distrik Singamerta. Pada
saat menjabat bupati, Jayamisena bergelar Raden Tumenggung Jayanegara
II. Pada masa Bupati Jayenagara II, pemerintah kolonial Belanda
membangun proyek irigasi raksasa dengan membendung Sungai Serayu di
utara kota. Proyek irigasi tersebut dimulai tahun 1912 dengan lama
pembangunan sekitar lima tahun. Proyek irigasi ini diberi nama
Bandjar-Tjahjana Waterwerken (disingkat BTW), karena mengalir dari kota
Banjarnegara sampai ke distrik Cahyana (Bukateja) di Purbalingga.
Saluran airnya menembus beberapa perbukitan dan menembus di bawah sungai
lain yaitu sungai Merawu di desa Jenggawur. Di sini saluran air harus
dibuatkan syphon (gorong-gorong dari pipa). Aliran irigasi tersebut
tidak boleh bercampur dengan air dari sungai Merawu karena air sungai
Merawu menurut penelitian ahli pengairan Belanda tidak baik untuk
mengairi sawah. Pembanguna saluran irigasi Bandjar-Tjahjana tergolong
sangat lama yaitu sampai lima tahun karena pengerjaannya sangat sulit
dan harus membuat beberapa terowongan yang panjang menembus bukit dan
bawah sungai. Dari irigasi ini ribuan tanah kering bisa disulap menjadi
persawahan yang subur.
Pada periode ini perbaikan-perbaikan jalan yang menghubungkan ibu kota
kabupaten dengan ibu kota distrik maupun ibukota onderdistrik juga
dilakukan. Jalan antara Banjarnegara – Blimbing – Sirongge yang tadinya
harus melewati lereng-lereng tebing yang terlalu terjal akhirnya dibuat
agak mendatar dengan cara membuatnya berkelok-kelok. Jalan yang
menghubungkan Wanadadi – Banjarmangu kemudian ke Rejasa dan Madukara,
dengan keputusan Direktur Pekerjaan Umum tanggal 15 Agustus 1905 juga
diperlebar. Biaya yang dikeluarkan untuk proyek ini adalah 300 gulden.
Demikian juga jalan dari Banjarnegara ke Karangkobar dan Kalibening,
disamping dikeraskan di beberapa ruas jalan juga diperlebar.
Raden Tumenggung Jayanegara II menjadi bupati di Banjarnegara sampai
tahun 1927. Pada tahun itu ia menjalani masa pensiun dan digantikan oleh
putranya yang bernama Raden Tumenggung Sumitra Kalapaking Purbanegara.
Sumitra Kalapaking merupakan pribadi yang hebat. Ia mengenyam pendidikan
Indologi di Negeri Belanda, aktif mengikuti gerakan kebangsaan untuk
mendukung kemerdekaan Indonesia di Negeri Belanda, dan sempat mengembara
ke berbagai Negara di Eropa. Menjelang Indonesia merdeka, ia juga
menjadi anggota BPUPKI yang berkedudukan di Jakarta. Pada masa revolusi,
Sumitra Kalapaking selain sebagai Bupati Banjarnegara juga menjabat
sebagai Residen Pekalongan. Ia menjabat sebagai Bupati Banjarnegara
sampai tahun 1950. Sejak saat itu bupati-bupati di Banjarnegara bukanlah
keturunan dari bupati sebelumnya, tetapi bupati yang dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Masa feodalisme sistem pemerintahan di
Kabupaten Banjarnegara berakhir setelah masa revolusi kemerdekaan,
setelah masa kepemimpinan Bupati Sumitra Kalapaking.