Gunung Burangrang terdapat didaerah JAWA BARAT , yang mana disana
terdapat makam -makam Panembahan Adipati kerajaan Mataram ,yang
melarikan diri pada penjajahan Belanda dan bersembunyi dikaki bukit
Burangrang tersebut sampai akhir hayatnya . Mitos keangkeran gunung
Burangrang sudah menjadi mitos masyarakat Jawa Barat.,apabila ada
pesawat ataupun burung melewati diatas makam tersebut pasti akan jatuh .
Tatar pasundan memang pantas disebut tanah parahyangan, keindahan yang
dimilikinya memang pantas menjadikannya rumah para dewa (parahyangan).
Kepingan keindahan itu dapat kita nikmati di Curug Cijalu, Subang Jawa
Barat.
Wana Wisata Curug Cijalu berada dalam kawasan cagar alam Gunung
Burangrang termasuk KPH Bandung Utara. Kawasan wisata ini berada pada
ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Menurut warga sekitar,
jika hari cerah dari ketinggian kawasan tersebut kita bisa melihat kota
Subang, kota Purwakarta dan Waduk Jatiluhur.
Curug Cijalu memiliki ketinggian sekitar 70 meter. Tumpahan airnya
mengalir deras membelah bukit di kawasan gunung Burangrang jatuh ke
kolam yang berada di dasar curug. Para pengunjung biasanya bermain-main
air di kolam tersebut. Namun, karena suhu airnya yang sangat dingin para
pengunjung biasanya tak berlama-lama bermain air.
Menurut cerita masyarakat sekitar, dahulu nama curug ini adalah curug
Cikondang. Hingga suatu waktu ada seorang pendekar yang datang dan
menetap di sana. Konon, menurut masyarakat pendekar tersebut memiliki
taji (jalu) hingga kemudian nama curug tersebut dikenal dengan nama
curug Cijalu.
Di kawasan ini masih terdapat 2 curug lainnya, yaitu curug Putri /
Perempuan dan curug Cilemper. Curug Putri berada 100 meter dari curug
Cijalu. Curug ini dahulu dinamakan curug Cibuntu, namun sekarang lebih
dikenal dengan curug Putri / Perempuan.
Masyarakat mengibaratkan kedua curug yang berdekatan ini seperti
sepasang kekasih. Curug Cijalu dianggap curug “laki-laki” (dalam bahasa
sunda, jalu artinya laki-laki) sedangkan curug Cibuntu sebagai
“perempuan”nya. Curug ini tingginya hanya sekitar 30 meter. Meskipun tak
terlalu tinggi namun curug ini begitu cantik, sesuai dengan namanya.
Aliran air mengalir perlahan mengikuti tebing batu, menjadikan curug ini
begitu eksotis di depan kamera.
Curug lainnya bernama curug Cilemper. Curug ini berada sekitar 500 meter
dari curug Cijalu. Curug Cilemper lebih tinggi dari curug Cijalu yaitu
sekitar 100 meter, debit airnya pun lebih besar. Namun karena letaknya
yang tersembunyi dan jalan menuju curug ini cukup terjal sehingga tak
banyak pengunjung yang sampai ke curug ini.
Belum puas menikmati keindahan kawasan curug di siang hari, pengunjung
juga bisa menikmati suasana malam dengan camping di kawasan tersebut.
Nikmati sensasi menginap ditengah hutan, ditemani gemuruh suara aliran
air curug yang menghantam bebatuan.
Kawasan curug Cijalu sudah dibuka sejak 1 September 1984. Menurut warga
sekitar, dahulu banyak keturunan Tionghoa yang berkunjung kesini untuk
berdoa. Mereka menganggap curug ini tempat mandinya para bidadari.
Kawasan wana wisata curug Cijalu secara administratif masuk ke wilayah
Desa Cipancar, Kecamatan Serang Panjang, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Curug ini dapat dicapai dari Kota Subang sekitar 37 Km ke arah selatan,
atau sekitar 63 Km dari kota Bandung ke arah utara. Sedangkan dari kota
Purwakarta, curug ini sekitar 40 Km ke arah selatan.
Dari Jalan Raya Wanayasa – Jalan Cagak Anda akan menemukan gerbang
Kawasan Wisata Cijalu di daerah Serang Panjang. Kemudian Anda harus
menyusuri jalan desa sepanjang 3 Km. Suasana pedesaan khas tanah
pasundan dan hamparan kebun teh akan menyambut Anda sebelum memasuki
wana wisata curug Cijalu.
Sejarah Wanayasa
Wanayasa adalah sebuah daerah di kaki Gunung Burangrang, dan sekian juta
tahun yang lalu berada di kaki Gunung Sunda (lihat peta rekonstruksi
Gunung Sunda). Ketika Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya melahirkan
tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu
juga, melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di
bagian selatan Gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan Danau
Bandung Purba. Di bagian utara, diduga cekungan tersebut masih
menyisakan jejaknya yang kini dikenal dengan nama Situ Wanayasa dan Situ
Cibeber, yang disebut masyarakat setempat sebagai “pangparatan” Situ
Wanayasa.
Tanda-tanda bahwa Situ Wanayasa merupakan situ alam antara lain dengan
banyaknya sumber air di area dan di dalam Situ Wanayasa itu sendiri.
Oleh karena itu, sampai sekarang belum diketahui kedalaman sesungguhnya
dari Situ Wanayasa tersebut, karena tak pernah kering sama sekali.
Bentuknya seperti kuali (katel), yang membuat “tambakan” Situ Wanayasa
sangat kokoh, dengan bagian terdalam diduga berada di bagian barat daya
Pasir Mantri sekarang. Oleh karena itu, anggapan bahwa Situ Wanayasa
merupakan situ yang dibuat pada zaman Dalem Santri, sulit diterima.
Pasalnya, beberapa catatan Belanda dan sumber-sumber naskah kuna
mengisyaratkan, Situ Wanayasa sudah ada jauh sebelum Dalem Santri lahir.
Kisah tentang Eyang Tambak, misalnya, menurut tokoh masyarakat Wanayasa
yang sudah berusia lanjut seperti Kiai Atang (Ama Atang) serta beberapa
tokoh tua lainnya, bukan “membuat” tambakan Situ Wanayasa, namun
“memperbaiki” tambakan tersebut yang suka bocor dan “urug” di beberapa
bagian yang tanahnya labil. Eyang Tambak (nama aslinya belum
teridentifikasi) adalah salah seorang tokoh yang disegani di Wanayasa
pada masanya, sehingga ia diangkat menjadi pengatur air dari Situ
Wanayasa untuk kepentingan persawahan yang airnya mengandalkan Situ
Wanayasa. Eyang Tambak diperkirakan hidup sektar abad ke-19. Dan jauh
sebelum masa itu Situ Wanayasa sudah ada. Artinya usia Situ Wanayasa
jauh lebih tua daripada Dalem Santri maupun EyangTambak.Luas Situ
Wanayasa membentang sekitar 17 ha. Namun sekarang luasnya tinggal
menyisakan sekitar 7 ha lagi. Sisanya telah berubah menjadi persawahan
penduduk. Terdapat empat penclut (bukit kecil) di area Situ Wanayasa dan
empat penclut lagi berada di pinggir situ tersebut. Kini yang tersisa
hanya penclut Pasir Mantri. Di setiap penclut tersebut terdapat makam
dan petilasan kuna, yang erat kaitannya dengan perjalanan sejarah
Wanayasa. Makam dan petilasan lainnya juga terdapat di sekitar daerah
Wanayasa. Misalnya saja Makam Dalem Santri, Bupati Karawang yang
memindahkan ibukota Kabupaten Karawang dari Bunut ke Wanayasa, terletak
di penclut pertama dari timur. Tepatnya di Kampung Cibulakan, Desa
Babakan, Kecamatan Wanayasa. Sedangkan di Pasir Mantri, penclut keempat
yang kini merupakan satu-satunya penclut yang berada di tengah Situ
Wanayasa, terdapat makam Kiai Warga Nala (Kiai Agung) dan Mas Bagus
Jalani (Kiai Gede). Keduanya merupakan tokoh ulama di Wanayasa.
Tampaknya Pasir Mantri ini merupakan kompleks pemakaman tokoh-tokoh
agama (ulama) di Wanayasa. Sayangnya makam lainnya yang ada di Pasir
Mantri, sekitar delapan atau sembilan makam lagi, belum
teidentifikasi.Beberapa situs dan petilasan menandakan, bahwa sejak
zaman prasejarah diduga telah ada kehidupan di Wanayasa. Antara lain
dengan ditemukannya kapak batu di Pasir Kuda. Kemudian pada zaman
sejarah, sebelum masuknya agama Islam ke Wanayasa, diduga telah ada
kehidupan masyarakat yang mempunyai kepercayaan lama dan Hindu-Budha.
Antara lain ditandai dengan ditemukannya Batu Kasur, Batu Tanceb, Batu
Tapak, arca Nandi (Batu Babantengan) yang diduga saat itu merupakan
wilayah Kerajaan Saung Agung.
Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah
kuna, antara lain Carita Parahiyangan dan Bujangga Manik, di Wanayasa
terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya
Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa
Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu. Walaupun
kepastiannya memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kerajaan Saung Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir
yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon pada masa kepemimpinan Syarif
Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Pada
tahun 1530,bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan Sungai
Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon.
Sedangkan bagian barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung, menurut Edi S.
Ekadjati kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi
dari nama yang dibawa dari Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula
dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan
sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah
Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu
antara lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas, sama
dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur,
Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered,
Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi
yang lainnya.
Di bagian selatan Wanayasa (Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon), terdapat
tiga nama berdekatan membentuk segitiga, yakni Bakom, Karanganyar,
Cipulus. Nama yang sama terdapat pula di bagian selatan Wanayasa
(Purwakarta), juga dengan posisi membentuk segitiga, yakni Cibakom,
Karanganyar, Cipulus. Bedanya Bakom di Cirebon menjadi Cibakom di
Wanayasa (Purwakarta). Di antaranya juga ada dua gunung yang bernama
sama: Gunung Sembung (di Sukatani dan Cirebon) serta Gunung Karung (di
Maniis dan Luragung). Walaupun pada perkembangan selanjutnya terdapat
nama-nama kampung atau daerah yang tampaknya sangat lazim di wilayah
kekuasaan Kerajaan Mataram saat itu, antara lain Kampung Krajan. Nama
Kampung Krajan terdapat hampir di seluruh Pulau Jawa, dari Jawa Timur
hingga Banten. Teori reduplikasi ini didukung pula oleh hasil-hasil
penelitian para ahli genetika sejarah seperti Paul Michel Munoz.
Di bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama
Umbul Aranon. Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah
Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei
Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang disebut sebagai
Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur Sasanga bersama enam
wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah menjadi Kabupaten
Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon termasuk di
dalamnya.
Diduga kuat nama Wanayasa pada saat itu sudah ada, walaupun belum
menjadi nama wilayah administratif pemerintahan. Barulah pada tahun 1681
Wanayasa dipersiapkan untuk menjadi kabupaten. Lalu pada tanggal 16
Agustus 1684 Kabupaten Wanayasa diresmikan dengan bupatinya yang pertama
Raden Demang Suradikara. Yang kemudian mendapat gelar Aria, sehingga
namanya menjadi Radem Aria Suradikara, yang lebih dikenal dengan nama
Dalem Aria. Pengganti Dalem Aria, menurut sumber-sumber tradisional
berturut-turut adalah: Dalem Panengah, Dalem Rajadinata, Dalem Raden
Suradikara II, Dalem Raden Suradikara III, dan Dalem Raden Suradikara IV
atau Dalem Sumeren. Kabupaten Wanayasa dibubarkan pada tahun 1789 dan
digabungkan dengan Kabupaten Karawang. Lalu sempat digabungkan dengan
Kabupaten Sumedang, dan digabungkan kembali dengan Kabupaten Karawang.
Ketika Wanayasa merupakan afdeeling bagian dari Kabupaten Sumedang,
Wanayasa dijadikan ibukota Keresidenan Priangan sejak tahun 1816, yang
membawahi Kabupaten-kabupaten: Sumedang, Bandung, Cianjur, Sukapura, dan
Limbangan. Residennya saat itu adalah W.C van Motman. Bahkan ketika
Wanayasa digabungkan kembali dengan Kabupaten Karawang pada tahun 1820,
ibukota Keresidenan Priangan masih tetap di Wanayasa, paling tidak
sampai tahun 1824. Padahal saat itu Wanayasa juga dijadikan ibukota
Kabupaten Karawang sejak tahun 1821. Keresidenan Priangan dipindahkan ke
Cianjur tahun 1829.
Bupati Karawang saat itu adalah Raden Tumenggung Surianata yang berasal
dari Bogor. Dan dikenal dengan seburan Dalem Santri. Ia meninggal dunia
tahun 1827 dan dimakamkan di Wanayasa. Makamnya terletak di Kampung
Cibulakan, Desa Babakan (Kecamatan Wanayasa). Menurut sumber-sumber di
Wanayasa, penggantinya adalah Raden Suriadinata, yang dikenal dengan
sebutan Dalem Bogor. Ia tidak lama menjadi Bupati Karawang, hanya
sekitar dua tahun. Oleh karena itu disebut juga dengan istilah Dalem
Panyelang. Meninggal dunia sekitar tahun 1829 dan dimakamkan di
Wanayasa. Makamnya terletak di Pemakaman Blok Desel, Gang Mayit
Wanayasa. Pada batu nisannya tertera: R. Suria di Nata bin R. Karta di
Reja, wafat Rabiul Awal 1244 (H). Kemudian digantikan oleh Raden
Tumenggung Suriawinata atau Dalem Sholawat pada tahun 1829. Ialah yang
memindahkan ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih,
yang kemudian dinamai Purwakarta.
Wanayasa juga tercatat dalam sejarah perniagaan kopi di Priangan.
Kopi-kopi yang berasal dari Bandung, Sumedang, Cisalak, Sagalaherang dan
sekitarnya, serta tentu saja dari Wanayasa sendiri; dikumpulkan,
ditimbang ulang, dan ditimbun di Gudang Kopi di Wanayasa. Kemudian
dibawa dengan pedati ke Pelabuhan Cikao di tepi Sungai Citarum untuk
dikapalkan ke Batavia. Bekas Gudang Kopi itu sekarang jadi gedung SDN 1
Wanayasa. Gudang Kopi tersebut tercatat dijadikan bangunan sekolah pada
tahun 1864 dengan murid pertamanya 19 orang, yang berusia antara 10 – 23
tahun. Guru pertamanya adalah Mas Muharam dari Dawuan (Cikampek
sekarang).
Wanayasa menjadi tempat transit hasil kopi, karena Wanayasa dilewati
oleh jalan tradisional yang menghubungkan Kawali (di Ciamis sekarang)
dengan Pakuan (di Bogor sekarang). Jalan yang disebut-sebut sebagai
“Highway Pajajaran” tersebut diduga sudah ada sejak zaman Kerajaan Sunda
di bawah kekuasan Prabu Wretikandayun. Menyusuri Kawali – Karang
Sambung – Tomo – Kutamaya – Cisalak – Sagalaherang – Wanayasa – Kembang
Kuning – Cikao – Tanjungpura – Cibarusah – Warung Gede – Cileungsi –
Pakuan.
Menurut R.A Sumarsana, juru kunci situs Karang Kamulyan Ciamis, dari
Wanayasa jalan tersebut belok ke utara melalui Rancadarah (lewat Situ
Wanayasa) terus sampai Simpang (Purwakarta), dari sana berbelok ke
Cigedogan lalu menyeberangi Sungai Cikao ke Kembang Kuning, dan
seterusnya. Jadi anggapan bahwa jalan lama itu memutar ke arah Bojong,
lalu di Cikeris berbelok ke Sindangpanon, sulit diterima. Karena jalan
ke arah Bojong awalnya merupakan jalan kontrak, yang dibuat untuk
kepentingan perkebunan teh, sama halnya dengan jalan Sindangpanon ke
Pondoksalam. Begitu pula dengan anggapan bahwa jalan lama itu melalui
Gandasoli yang keluar dari Galian. Secara logika pun, jika jalan
tersebut yang dipergunakan, maka pusat Kota Wanayasa tidak akan berada
di tempatnya yang sekarang, tapi di jalur jalan antara Babakan –
Gandasoli. Dan ini lagi yang tak masuk akal, jauh dari Gudang Kopi.
Logikanya, jalan “Highway Pajajaran” itu, ya jalan yang dekat ke Gudang
Kopi dan melalui Alun-alun Wanayasa. Pasalnya, kopi sudah ditanam di
Priangan, termasuk di Wanayasa pada awal abad ke-18. Mulai ditanam di
Priangan tahun 1707, dan ditanam secara besar-besaran sepuluh tahun
kemudian. Gudang Kopi di Wanayasa, diperkirakan dibangun pada
pertengahan abad ke-18, setelah tanaman kopi dipanen dan menampakkan
hasilnya yang menggembirakan VOC (VOC dibubarkan tahun 1799).
Menurut Haryoto Koento, jalan yang menyusuri Sungai Cikapundung (Kota
Bandung sekarang), mulai dari Alun-alun – Jalan Braga – Coblong – Dago
hingga ke Maribaya, pada abad ke-17 bernama Jalan Wanayasa. Dari
Maribaya berbelok ke utara, melewati jalan lama Cupunagara, Sanca, yang
tembus ke Cisalak. Dari sana orang bisa memilih, ke selatan menuju
Sumedang dan ke barat menuju Wanayasa. Jalur jalan yang sama juga
dipergunakan oleh orang Bandung ketika mengangkuti material pembangunan
gedung-gedung pemerintah, ketika ada wacana memindahkan ibukota
Pemerintah Hindia Belanda ke Bandung sekitar akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20. Material-material itu dibawa dari Batavia dengan kapal ke
Pelabuhan Cikao, kemudian diangkut dengan pedati kerbau ke Bandung
melalui jalur “Highway Pajajaran”. Banyak orang Bandung yang harus
“mondok-moek” bahkan bermukim di Cikao, sehingga sejak itu namanya
menjadi Cikao bandung.
Wanayasa juga tercatat dalam sejarah perkebunan teh di Indonesia. Adalah
Jacobson, ahli teh dari Belanda yang kali pertama membuat Kebun
Percobaan di Cisurupan (Garut) dan Wanayasa (Purwakarta) pada tahun
1827. Diduga kebun percobaannya itu di sekitar Pasir Nagara Cina
sekarang. Pasalnya, beberapa botanikus kenamaan Belanda saat itu seperti
Christian Heinrich Macklot sempat berkunjung ke Pasir Nagara Cina tahun
1831. Tak hanya Macklot, beberapa botanikus terkenal pun sempat datang
ke Pasir Nagara Cina. Lalu pada tahun 1828 Jacobson membuka perkebunan
teh skala besar di Wanayasa. Yang diikuti dengan pembangunan pabrik teh
Wanayasa (diduga di daerah Sindangpanon dan Sukadami sekarang).
Merupakan pabrik teh yang pertama dibangun di Indonesia. Keberhasilan
Jacobson itulah yang kemudian memicu Pemerintah Hindia Belanda, bekerja
sama dengan pengusaha partikulir, membuka perkebunan teh di berbagai
daerah.
Jacobson membawa beberapa tenaga untuk perkebunan teh dan pabriknya
langsung dari Cina. Para pekerja lainnya juga kebanyakan orang-orang
Cina dari Makao, sehingga disebut Cina Makao. Mereka ditempatkan di
sebuah bukit di kaki Gunung Burangrang, yang kemudian dikenal dengan
nama Pasir Nagara Cina. Artinya, sebelum perlawanan Cina Makao di
Purwakarta tahun 1832, orang-orang Cina Makao sudah bermukim di Pasir
Nagara Cina. Justru orang-orang Cina Makao sebagian besar hengkang dari
Pasir Nagara Cina setelah peristiwa tersebut. Beberapa orang di
antaranya memilih tinggal di daerah sekitar Wanayasa.
Macklot, sang botanikus muda kelahiran Jerman, pada tahun 1832 menjadi
tentara KNIL. Ia ditempatkan di Wanayasa, memimpin pasukan artileri yang
dilengkapi senjata berat seperti meriam. Tiga buah meriam di antaranya
dibawa Macklot ketika memadamkan perlawanan Cina Makao di Purwakarta
tanggal 8 – 9 Mei 1832. Perlawanan Cina Makao itu meluas hingga ke
Tanjungpura. Tapi di sana mampu dipadamkan oleh pasukan Belanda pimpinan
Alibasah Sentot Prawirodirjo, mantan senapati andalan Pangeran
Diponegoro, yang saat itu sudah menyerahkan diri ke pihak Belanda
setelah ditangkap nya Pangeran Diponegoro. Sisa-sisa “karaman” Cina
Makao kembali ke timur. Mereka bertemu dengan pasukan Bupati Priangan
serta pasukan Macklot di Dawuan. Terjadi lagi pertempuran hebat di sana.
Macklot terluka di Dawuan dan meninggal dunia 12 Mei 1832 di Purwakarta
pada usia 33 tahun.
Sehari kemudian, tanggal 10 Mei 1832 Cina Makao dari Pasir Nagara Cina
mengikuti jejak teman-temannya yakni Cina Makao dari Cilangkap,
melakukan penyerangan ke Purwakarta. Tapi mereka terhenti di tanjakan
Pasir Panjang oleh tentara Belanda. Terjadilah pertempuran hebat
sehingga memakan banyak korban di kedua belah pihak. Darah membasahi
bumi hingga “ngaranca”, seperti layaknya rawa. Maka daerah itupun
dinamai Rancadarah. Mayat-mayat ditumpuk di sebuah lembah (legok).
Ketika pejabat Pemerintah Hindia Belanda akan mendata jumlah korban, ia
harus menggunakan “sigay” untuk menuruni lembah tersebut. Maka sejak
itulah dinamakan Legok Sigay.
Sisa-sisa pemukiman Cina Makao di Pasir Nagara Cina, di antaranya adalah
Pintu Hek yang merupakan pintu gerbang ke pemukiman tersebut. Kemudian
gang di samping Klinik Dokter Ridwan sekarang, menurut almarhum Bapak R.
Moh. Idris (Bapak Eni) dulunya bernama Gang Babah Kecil, karena di
ujung gang tersebut tinggal Cina Makao dari Pasir Nagara Cina yang tidak
turut hengkang dari Wanayasa setelah Peristiwa Rancadarah. Ia disebut
Babah Kecil karena berperawakan kecil. Tak ada keterangan Babah Kecil
menikah dengan masyarakat setempat, namun ia ditakdirkan berusia lanjut,
sehingga banyak orang Wanayasa saat itu yang sempat mendengar kisah
perlawanan Cina Makao di Purwakarta langsung dari Babah Kecil.
Beberapa catatan penting tentang Wanayasa:Pada zaman Kerajaan Sunda
(Pajajaran) di Wanayasa sudah ada kerajaan wilayah bernama Kerajaan
Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ia memberontak kepada
Kerajaan Sunda, karena tidak setuju Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi)
dan penggantinya Prabu Surawisesa, melakukan kontak (hubungan
diplomatik) dengan Portugis.Wanayasa pernah menjadi kaumbulan, termasuk
wilayah Tatar Ukur dibawah Dipati Ukur dengan nama Ukur Aranon dengan
umbulnya bernama Ngabei Mertawana.
Wanayasa menjadi kabupaten “anu madeg mandiri” antara tahun 1681 – 1789.
Kabupaten tersebut dipersiapkan tahun 1681 dan diresmikan 16 Agustus
1684 dengan regent pertamanya Demang Suradikara. Batas-batas wilayahnya:
sebelah timur Sungai Cilamaya, sebelah selatan Sungai Cisomang, sebelah
barat Sungai Citarum, dan sebelah utara Ciasem. Wanayasa menjadi
ibukota Keresidenan Priangan sejak tahun 1816. Saat itu Wanayasa menjadi
bagian (afdeling) dari Kabupaten Sumedang. Residen Priangan saat itu
W.C. van Motman. Ketika Wanayasa menjadi bagian dari Kabupaten Karawang,
tahun 1820, Wanayasa masih tetap menjadi ibukota Keresidenan Priangan.
Ibukota Keresidenan Priangan baru dipindahkan ke Cianjur tahun 1829.
Tahun 1835, Asisten Residen Karawang, Jacobson, memindahkan kantornya
dari Sindangkasih (Purwakarta) ke Wanayasa. Asisten Residen sebelumnya,
G. de Seriere, turut pindah dari Wanayasa ke Sindangkasih bersamaan
dengan dipindahkannya ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke
Purwakarta.Wanayasa menjadi ibukota Kabupaten Karawang tahun 1821 –
1830.
Kemudian ibukota Kabupaten Karawang dipindahkan ke Sindangkasih
(Purwakarta) tahun 1830 oleh Dalem Sholawat yang menjadi Bupati Karawang
tahun 1829. Sebelumnya Bupati Karawang di Wanayasa adalah Dalem Santri
(R. Surianata) tahun 1821 – 1827 dan Dalem Bogor (R. Suriadinata) tahun
1827 – 1829, ia disebut juga Dalem Panyelang.Wanayasa dilalui jalan
“Highway Pajajaran”, yakni jalan yang sekarang melalui Alun-alun
Wanayasa dan Situ Wanayasa. Tidak lewat Cikeris, tidak juga lewat
Gandasoli. Situ Wanayasa merupakan situ alam, yang sudah ada sebelum
Dalem Santri menjadi Bupati Karawang dan Eyang Tambak lahir.