Jika seorang Muslimah merasakan hatinya jatuh cinta kepada seorang
laki-laki, maka selama ada jalan hendaknya diusahakan untuk menikah
dengannya. Jika tidak ada jalan yang memungkinkan menikahinya, maka
muslimah tersebut wajib Shobr (tabah hati), sampai Allah menggantikan
dengan lelaki yang lebih baik, atau Allah “menyembuhkannya” dari
“sakit” cinta tersebut, atau Allah mewafatkannya. Inilah solusi yang
lebih dekat dengan petunjuk Nash-Nash Syara’ dan lebih menjaga
kehormatan serta dien Muslimah tersebut.
Jatuh cinta kepada lawan jenis, dari segi jatuh cinta itu sendiri
bukanlah aib dan juga bukan dosa. Jatuh cinta adalah hal yang manusiawi
dan menjadi naluri yang ada secara alamiah pada setiap manusia normal.
Nabi, orang suci, orang shalih, dan ulama mengalami jatuh cinta kepada
lawan jenis sebagaimana manusia pada umumnya. Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ cinta kepada Khadijah dan Aisyah, ibnu Umar cinta
yang sangat kepada istrinya, Ibnu Hazm cinta pada wanita yang sampai
membuatnya menjadi ulama besar, Sayyid Quthub mencintai wanita namun
gagal menikahinya, dll semuanya adalah contoh bagaimana perasaan itu
adalah perasaan yang normal, wajar, natural, dan biasa.
Adapun mengapa orang yang jatuh cinta perlu mengusahakan menikah dengan
orang yang dicintai, maka hal tersebut dikerenakan Syara’ menunjukkan
bahwa solusi cinta terhadap lawan jenis adalah dengan menikah dengannya.
Di zaman Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ada seorang lelaki
yang jatuh cinta setengah mati dengan seorang wanita. Lelaki tersebut
bernama Al-Mughits dan wanitanya bernama Bariroh. Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengetahui cinta tersebut merekomendasikan
kepada Bariroh agar berkenan menikah dengan Al-Mughits. Rekomendasi
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ini menunjukkan bahwa solusi
jatuh cinta adalah menikah.
Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (16/ 332)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ زَوْجَ بَرِيرَةَ كَانَ عَبْدًا يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ كَأَنِّي
أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَطُوفُ خَلْفَهَا يَبْكِي وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى
لِحْيَتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِعبَّاسٍ يَا عَبَّاسُ أَلَا تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيثٍ بَرِيرَةَ
وَمِنْ بُغْضِ بَرِيرَةَ مُغِيثًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ رَاجَعْتِهِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
تَأْمُرُنِي قَالَ إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ قَالَتْ لَا حَاجَةَ لِي فِيهِ
Dari Ibnu Abbas bahwasanya suami Bariroh adalah seorang budak. Namanya
Mughits. (setelah keduanya bercerai) Sepertinya aku melihat ia selalu
menguntit di belakang Bariroh seraya menangis hingga air matanya
membasahi jenggot. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wahai Abbas, tidakkah kamu ta’ajub akan kecintaan Mughits terhadap
Bariroh dan kebencian Bariroh terhadap Mughits?” Akhirnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “andai saja kamu mau
meruju’nya kembali (menikah dengannya).” Bariroh bertanya, “Wahai
Rasulullah, apakah engkau menyuruhku?” beliau menjawab, “Aku hanya
menyarankan.” Akhirnya Bariroh pun berkata, “Sesungguhnya aku tak butuh
sedikit pun padanya.” (H.R. Bukhari)
Pernah juga ada kejadian, seorang lelaki yang mencintai seorang wanita
dan wanita tersebut mencintai lelaki itu. Lalu keduanya ingin menikah,
namun dihalang-halangi oleh kakak wanita tersebut. Ternyata Allah
melarang sikap sang kakak dan memerintahkan agar menikahkan mereka
berdua. Kisah ini juga menunjukkan bahwa jatuh cinta antara dua anak
manusia solusinya tetap dikembalikan pada pernikahan selama masih
memungkinkan. Bahkan Allah mencela sikap menghalang-halangi pernikahan
jika kedua belah pihak telah saling ridha.
At-Tirmidzi meriwatkan kisahnya;
سنن الترمذى – مكنز (11/ 217، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُ زَوَّجَ أُخْتَهُ رَجُلاً مِنَ
الْمُسْلِمِينَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فَكَانَتْ عِنْدَهُ مَا كَانَتْ ثُمَّ طَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً لَمْ
يُرَاجِعْهَا حَتَّى انْقَضَتِ الْعِدَّةُ فَهَوِيَهَا وَهَوِيَتْهُ ثُمَّ
خَطَبَهَا مَعَ الْخُطَّابِ فَقَالَ لَهُ يَا لُكَعُ أَكْرَمْتُكَ بِهَا
وَزَوَّجْتُكَهَا فَطَلَّقْتَهَا وَاللَّهِ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْكَ أَبَدًا
آخِرُ مَا عَلَيْكَ قَالَ فَعَلِمَ اللَّهُ حَاجَتَهُ إِلَيْهَا
وَحَاجَتَهَا إِلَى بَعْلِهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( وَإِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ) إِلَى قَوْلِهِ (وَأَنْتُمْ لاَ
تَعْلَمُونَ) فَلَمَّا سَمِعَهَا مَعْقِلٌ قَالَ سَمْعًا لِرَبِّى
وَطَاعَةً ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ أُزَوِّجُكَ وَأُكْرِمُكَ.
Dari Ma’qil bin Yasar bahwa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, dia menikahkan saudarinya dengan seorang lelaki dari kaum
muslimin, lalu saudarinya tinggal bersama suaminya beberapa waktu,
setelah itu dia menceraikannya begitu saja, ketika masa Iddahnya usai,
ternyata suaminya cinta kembali kepada wanita itu begitu sebaliknya,
wanita itu juga mencintainya, kemudian dia meminangnya kembali bersama
orang-orang yang meminang, maka Ma’qil berkata kepadanya; hai tolol, aku
telah memuliakanmu dengannya dan aku telah menikahkannya denganmu, lalu
kamu menceraikannya, demi Allah dia tidak akan kembali lagi kepadamu
untuk selamanya, inilah akhir kesempatanmu.” Perawi berkata; “Kemudian
Allah mengetahui kebutuhan suami kepada istrinya dan kebutuhan isteri
kepada suaminya hingga Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan ayat:
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya.” QS Al-Baqarah: 231 sampai ayat “Sedang kamu tidak
Mengetahui.” Ketika Ma’qil mendengar ayat ini, dia berkata; “Aku
mendengar dan patuh kepada Rabbku, lalu dia memanggilnya (mantan suami
saudarinya yang ditolaknya tadi) dan berkata; “Aku nikahkan kamu dan aku
muliakan kamu.” (At-Tirmidzi)
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sendiri bahkan mengajarkan
kepada kita bahwa menikah adalah obat yang paling mujarab bagi dua orang
yang saling mencintai. Ibnu Majah meriwayatkan;
سنن ابن ماجه (5/ 440)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Kami belum pernah melihat (obat yang mujarab bagi ) dua orang
yang saling mencintai sebagaimana sebuah pernikahan.” (H.R.Ibnu Majah)
Nash-Nash ini, dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa menikah adalah solusi Syar’i bagi orang yang jatuh cinta.
Oleh karena itu seorang muslimah yang jatuh cinta kepada seorang lelaki
bisa memulai mengusahakan menikah dengan lelaki tersebut dengan cara
menawarkan dirinya untuk dinikahi. Cara ini lebih tegas, Syar’i,
solutif, dan terhormat. Menawarkan diri kepada lelaki untuk dinikahi
bukan perbuatan hina dan tercela. Justru wanita yang menawarkan dirinya
kepada seorang lelaki adalah wanita yang mengerti solusi Syar’i terhadap
problemnya, tegas dalam mengambil keputusan, terhormat karena tahu cara
menjaga kehormatannya dengan ikatan pernikahan yang suci, dan mulia
karena mengetahui kepada siapa dia harus mempersembahkan bakti.
Khadijah adalah contoh wanita mulia yang tahu persis kepada siapa beliau
mempersembahkan bakti, dan siapa yang pantas jadi imamnya dalam rumah
tangga. Dengan ketegasan sikap beliau, maka Khadijah mendapatkan lelaki
yang terbaik di alam ini. Justru sikap yang menjauhi ketakwaan jika
seorang wanita mencintai seorang lelaki, lalu perasaan tersebut
dipendamnya seraya mengotori hatinya dengan angan-angan tercela.
Sesungguhnya angan-angan hati ada yang terkategori dosa sebagaimana yang
dinyatakan dalam hadis dibawah ini;
صحيح مسلم (13/ 124)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَشْبَهَ بِاللَّمَمِ مِمَّا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ
كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا
مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ
وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ
يُكَذِّبُهُ
Dari Ibnu Abbas dia berkata; ‘Saya tidak mengetahui sesuatu yang paling
dekat dengan makna Lamam (dosa dosa kecil) selain dari apa yang telah
dikatakan oleh Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
“Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla telah menetapkan pada setiap anak
cucu Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak
mungkin dihindari. Maka zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan
adalah ucapan, sedangkan zinanya hati adalah berangan-anga dan
berhasrat, namun kemaluanlah yang (menjadi penentu untuk) membenarkan
hal itu atau mendustakannya.” (H.R.Muslim)
Wanita yang menawarkan diri lebih tegas dan jelas sikapnya. Jika hal
tersebut bisa berlanjut ke pernikahan, maka hal itu kebahagiaan baginya,
namun jika tidak mungkin berlanjut, sikapnya juga sudah jelas dan
tinggal menyelesaikan problem sisanya. Wanita yang memendam rasa sambil
berfantasi justru berpeluang untuk lebih menderita dan dekat dengan
pelanggaran Syara’, kecuali wanita-wanita yang dirahmati Allah.
Terkait teknis melakukannya, maka wanita bebas memilihnya diantara
berbagai cara yang dianggap paling mudah. Bisa melalui perantara atau
langsung dirinya sendiri. Bisa secara lisan, bisa juga melalui tulisan.
Bisa sekedar memulai untuk menawarkan atau langsung memulai dengan
lafadz pinangan.
Hanya saja, solusi menikah ini tidak bermakna bolehnya memaksa lelaki
untuk menikahinya. Hal itu dikarenakan memilih istri adalah hak lelaki
yang merupakan pilihan baginya. Sebagaimana wanita berhak memilih calon
suami, maka lelaki juga berhak memilih calon istri manapun yang
dikehendakinya. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa lelaki wajib
menikahi wanita yang mencintainya. Kisah cinta Al Mughits kepada Bariroh
menunjukkan hal tersebut. Betapapun Al-Mughits sangat mencintai
Bariroh, dan Nabi juga merekomendasikan Bariroh untuk menikah dengan
Al-Mughits, namun Nabi tidak memaksa Bariroh untuk menikah dengan
Al-Mughits. Namun, jika cinta itu memang sangat kuat (cinta setengah
mati), memang dianjurkan pihak yang dicintai menikahinya sebagai bentuk
rohmah, meskipun dia sendiri belum mencintainya.
Jika pihak yang dicintai belum berkenan menikahi dan tertutup semua
jalan/kemungkinan untuk menikahi, maka tidak ada jalan bagi muslimah
tersebut selain Shobr (tabah hati). Hal itu dikarenakan Syara’
memerintahkan Shobr pada semua bentuk musibah yang menyedihkan hati
secara mutlak dan berjanji memberikan ganjaran yang besar atasnya. Shobr
ini terus dilakukan sambil berdoa sampai Allah memberikan ganti lelaki
yang lebih baik, atau Allah menghilangkan perasaan tersebut, atau Allah
mewafatkannya.
Dengan cara penyikapan seperti ini, maka seorang muslimah akan
senantiasa dalam keadaan beramal. Mendapat nikmat suami bisa beramal
Syukur, dan jika gagal bisa beramal Shobr. Semuanya adalah kebaikan
baginya.
Hanya saja, jika lelaki yang dicintai tersebut haram dinikahi, seperti
Mahram, atau musyrik, atau yahudi, atau nasrani, maka Muslimah tersebut
tidak boleh menurutinya dan harus menghilangkannya karena menikah dengan
mereka hukumnya haram dan tidak sah.
Wallahua’lam.