DI tengah sebuah hamparan ladang di Desa Pekasiran, sebuah desa di
pegunungan Dieng Kecamatan Batur Banjarnegara, berdiri sebuah tugu beton
menjulang tinggi. Pada salah satu sirinya, tertempel plat logam
bertuliskan huruf kapital: TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG
PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI
AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955.
Kecuali keterangan pada tugu tersebut, tak ada dokumen atau tulisan
khusus tentang peristiwa tragis yang terjadi 58 tahun silam itu,
termasuk di Pos Pengamatan Gunung Api Gunung Dieng di Desa Karantengah,
yang didirikan pemerintah tahun 1954.
Beberapa orangtua di Pekasiran, yang usianya kini sudah renta, masih
merekam secara jelas kejadian itu dalam benak mereka. Mereka pulalah
yang kelak menjadi penutur cerita tentang musibah tersebut kepada
anak-cucu dan cicitnya.
Kisah ini sudah lama, tetapi banyak yang belum mengetahuinya. Kisah ini
hendaknya menjadi ibroh, bahwa apabila suatu daerah bermaksiat semua,
bisa jadi Allah akan mengazabnya secara langsung.
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَتَمُورُ
"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan
menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
bergoncang?" (QS Al Mulk 67: 16).
Dukuh Legetang adalah sebuah daerah di lembah pegunungan Dieng, sekitar 2
km ke utara dari kompleks pariwisata Dieng Kabupaten Banjarnegara.
Dahulunya masyarakat dukuh Legetang adalah petani-petani yang sukses
sehingga kaya. Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan
pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain
tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah/sayur yang
dihasilkan juga lebih dari yang lain. Namun barangkali ini merupakan
"istidraj" (disesatkan Allah dengan cara diberi rizqi yang banyak dan
orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan). Masyarakat
dukuh Legetang umumnya ahli maksiat dan bukan ahli bersyukur. Perjudian
disana merajalela, begitu pula minum-minuman keras yang sangat cocok
untuk daerah dingin. Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger (sebuah
kesenian yang dibawakan oleh para penari perempuan dengan berdandan
molek, yang sering berujung kepada perzinaan dan pesta seks. Anak yang
kimpoi sama ibunya dan beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah
di dukuh Legetang.
Alkisah pada suatu malam turun hujan yang lebat dan masyarakat Legetang
sedang tenggelam dalam kemaksiatan. Tengah malam hujan reda. Tiba-tiba
terdengar suara "buum", seperti suara benda yang teramat berat
berjatuhan. Pagi harinya masyarakat disekitar dukuh Legetang yang
penasaran dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung
Pengamun-amun sudah terbelah (bahasa jawanya: tompal), dan belahannya
itu ditimbunkan ke dukuh Legetang. Dukuh Legetang yang tadinya berupa
lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tetapi menjadi sebuah gundukan
tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan
dieng... Seandainya gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka
longsoran itu hanya akan menimpa dibawahnya. Akan tetapi kejadian ini
bukan longsornya gunung. Antara dukuh Legetang dan gunung Pengamun-amun
terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Jadi
kesimpulannya, potongan gunung itu terangkat dan jatuh menimpa dukuh
Legetang. Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan
Allah?
Tugu beton yang sudah lapuk dimakan usia masih berdiri tegak di tengah
ladang di desa Pekasiran di pegunungan Dieng Kecamatan Batur,
Banjarnegara. Tapi tugu setinggi sekitar 10 meter itu jadi penanda
tragedi dan misteri terkuburnya dusun Legetang bersama seluruh
penghuninya akibat longsornya Pengamunamun pada 1955.
Tragedi Musnahnya Dusun Legetang 1955
Sampai saat ini, dataran tinggi Dieng merupakan kawasan yang masih
labil. Otoritas yang berwenang pun telah menyebarkan peringatan tentang
hal tersebut. Di wilayah yang sejatinya merupakan kaldera raksasa ini
dapat saja terjadi pergerakan tanah yang tiba-tiba, baik itu merekah
maupun longsor.
Rekan-rekan Kompasianer mungkin ada yang belum mendengar cerita tentang sebuah dusun yang hilang karena “ketiban gunung”.
Pada tengah malam tanggal 16 April 1955, menjelang pergantian hari,
Dusun Legetang yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Pekasiran,
Kecamatan Batur, Banjarnegara, tiba-tiba lenyap dari permukaan bumi.
Penyebabnya adalah potongan puncak gunung/bukit Pengamun-amun yang
beberapa minggu sebelumnya telah terlihat retakannya, pada malam yang
dingin itu bongkahan tanah berukuran raksasa tersebut tiba-tiba
“terbang” dan berpindah ke lembah dimana Dusun Legetang berada.
Sebanyak 332 jiwa penduduk Dusun Legetang dan 19 orang dari desa-desa
tetangga yang tengah berkunjung ke dusun tersebut ikut tertimbun dan
dianggap meninggal. Beredar cerita tentang kondisi sosial masyarakat
dusun yang sebagian besar berperilaku kurang terpuji, yang mengingatkan
orang akan kaum Sodom Gomorah yang dihukum Tuhan dengan cara yang kurang
lebih sama.
Yang sangat aneh dan menjadi misteri adalah, mengapa kawasan antara kaki
gunung dan perbatasan Dusun Legetang yang berjarak beberapa ratus meter
(jurang dan sungai), tidak ikut tertimbun. Terbangkah bongkahan
longsoran gunung Pengamun-amun itu? Wallahualam.
Data pada pahatan monumen marmer di pertigaan Desa Kepakisan, tetangga
Pekasiran, menuju ke objek wisata kawah Sileri menyebutkan, jumlah
korban jiwa 450 orang. Jauh melebihi korban tewas akibat bencana gas
beracun kawah Sinila tahun 1979 yang merenggut 149 nyawa dan menjadi
perhatian dunia internasional itu merenggut 149 nyawa.
Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04
yang kini berusia sekitar 72 tahun mengatakan, musibah terjadi malam
hari pukul 23.00 saat musim hujan. ”Saya dan beberapa teman malam itu
tidur di masjid. Saya baru dengar kabar gunung Pengamunamun longsor jam
tiga pagi,” katanya. Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar
kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6
anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan
warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter
dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng gunung
Pengamunamun masih terus bergerak.
Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri, karena
Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang kini masih
hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman
di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa
ratus meter. ”Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan
jatuh tepat di pemukiman. Sangat aneh”, kata Suhuri sembari
menjelaskan, gejala lereng gunung akan longsor sudak diketahui 70 hari
sebelum kejadian. Para pencari rumput pakan ternak dan kayu bakar untuk
mengasap tembakau rajangan di samping untuk memasak, melihat ada retakan
memanjang dan cukup dalam di tempat itu. Tapi tanda-tanda tadi tak
membuat orang waspada, meski sering jadi bahan obrolan di Legetang.
Orang baru menghubung-hubungkan soal retakan di gunung itu setelah
Legetang kiamat,” katanya.
Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat seluruh
kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun
bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan penghuninya juga tak
ada, kenang Suhuri. ”Alam Legetang sebagian besar cekung. Tanah dari
lereng gunung seakan diuruk ke cekungan itu dan meninggi dibanding tanah
asli disekitarnya. Banyak warga yang dibiarkan terkubur karena sulit
dievakuasi,” ujar Suhuri.
Pencarian terhadap korban, menurut Suhuri, hanya dipusatkan ke titik
yang diduga merupakan lokasi rumah bau (kepala dusun) Legetang bernama
Rana. Setelah dilakukan penggalian cukup lama oleh warga. Tapi tak
sedikit para korban dibiarkan terkubur, karena amat sulit dievakuasi.
Satu istri Rana lainnya, bernama Kastari, satu-satunya warga Legetang
yang selamat, karena ia pergi dari rumah sebelum gunung itu longsor.
Kini tanah lokasi bencana itu sedikit demi sedikit digarap warga untuk
budidaya tembakau dan sayur. Sekitar 1980, ketika kentang menggusur
tanaman tembakau dan jagung di pegunungan Dieng, bekas dusun Legetang
pun berubah jadi ladang kentang dan kobis, termasuk tanah kuburan umum
milik bekas dusun tersebut.
Ada beberapa hal yang mengiringi hilangnya Legetang ini.
1. Legetang, Memiliki Intro yang Sama dengan Pompeii Sebelum Menghilang
Kala itu, pada 1950-an, Legetang dikenal sebagai wilayah yang sangat
subur. Hasil pertaniannya begitu melimpah. Buah dan sayurannya merupakan
kualitas terbaik. Petani-petaninya hidup makmur.
Sangat disayangkan, perilaku mereka tak semaju peradabannya. Perzinaan merupakan hal yang umum. Perjudian menjadi adat.
Seperti halnya Pompeii yang menjadi pusat hiburan bagi warga Roma, warga
Legetang sering menggerlar hiburan tari-tarian yang dibawakan
wanita-wanita. Tak jarang hiburan tersebut berakhir menjadi sebuah pesta
seks.
2. Sebuah Longsor Dahsyat Mengubur Legetang dalam Satu Malam
Perisitiwa ini terjadi pada malam hari sesaat setelah hujan reda.
Terdengar suara seperti sebuah ledakan besar. Pagi harinya masyarakat
disekitar dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu
menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun yang terletak di dekat
perkampungan sudah terbelah dan belahannya itu menimbun Legetang.
Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah,
tapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh
penduduknya terkubur dalam longsoran tanah.
Waktu itu semua orang tercengang. Suasana mencekam melihat seluruh
kawasan Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian
rumah yang kelihatan.
Alam Legetang sebagian besar cekung. Tanah dari lereng gunung seakan
diuruk ke cekungan itu dan meninggi dibanding tanah asli di sekitarnya.
Banyak warga yang dibiarkan terkubur karena sulit dievakuasi
3. Legetang seolah sudah “diincar” Gunung Pengamun-amun
Antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman Legetang sama
sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter. Longsoran
tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di
pemukiman.
Selain itu antara Legetang dan gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada.
Seperti layaknya teori-teori konspirasi lain di dunia, kisah longsoran tanah terbang ini terus diceritakan turun temurun.
Jika melancong ke Dieng, berkunjung ke tugu peringatan Legetang bukan
ide buruk. Tugu beton itu kini sudah lapuk dimakan usia. Tugu yang masih
berdiri tegak di tengah ladang di desa Pekasiran, Kecamatan Batur,
Banjarnegara.
Sebuah tugu setinggi 10 meter menjadi penanda tragedi terkuburnya
Legetang bersama seluruh penghuninya akibat longsornya Gunung
Pengamun-amun pada 1955.
Kini longsoran tanah yang dulunya menguruk Legetang dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian kentang dan kubis. Tanah tersebut dikenal sangat subur.
Sebagian masyarakat yang kini tinggal di bekas tanah Legetang keberatan
jika diminta menceritakan kisah hilangnya Legetang. Mereka takut hal
buruk akan menimpa mereka.
Sejarah memang bukan pelajaran favoritku dulu. Aku bukan seorang suci yang berkata,” ayo ambil hikmah dari kisah-kisah ini.”
Sejujurnya, aku tertarik dengan kisah-kisah masa lalu karena hal
tersebut sangat menarik dari sudut pandangku. Aku cukup bisa
menikmatinya. Memandang peristiwa masa lalu dengan perspektif orang
modern.
“Membayangkan bagaimana kisah hidup kita dimasa kini akan diceritakan pada generasi mendatang”
Sungguh kisah tenggelamnya dukuh Legetang ini menjadi peringatan bagi
kita semua bahwa Azab Alloh yang seketika itu tak hanya terjadi di masa
lampau, di masa para nabi, tetapi azab itu pun bisa menimpa kita di
zaman ini.
Bahwa sangat mudah bagi Alloh untuk mengazab manusia-manusia durjana
dalam hitungan detik. Andaikan di muka bumi ini tak ada lagi hamba-hamba
yang bermunajat di tengah malam menghiba ampunan-Nya, mungkin dunia ini
sudah kiamat.
Kita berhutang budi kepada para ibadurrahman, para hamba Alloh yang
berjalan dengan rendah hati, tak menyombongkan dirinya. Mereka
senantiasa bersujud memohon ampunan-Nya.
Ya, semua makhluq di bumi berhutang budi kepada mereka...
Wallohu A'lam