Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,
ليأتين على الناس زمان لا يبالي المرء بما أخذ المال أمِن الحلال أم مِنَ الحرام
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli darimana
mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR.
Bukhari -Al Fath 4/296 nomor 2059; 4/313 nomor 2083)
Dari Abi Hurairah Rosululloh Bersabda
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ
“Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa yang ketika itu
semua orang memakan riba. Yang tidak makan secara langsung itu akan
terkena debunya” (HR Nasai no 4455, namun dinilai dhaif oleh al Albani).
Meski secara sanad hadits di atas adalah hadits yang lemah namun makna
yang terkandung di dalamnya adalah benar dan zaman tersebut pun telah
tiba. Betapa riba dengan berbagai kedoknya saat ini telah menjadi
komsumsi publik bahkan suatu yang mendarah daging di tengah banyak
kalangan. Padahal ancaman dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang riba sungguh mengerikan bagi orang yang masih memiliki iman
kepada Allah dan hari akhir.
عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”إِيَّاكَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ:
الْغُلُولُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ
الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا
يَتَخَبَّطُ”
Dari Auf bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hati-hatilah dengan dengan dosa-dosa yang tidak akan diampuni. Ghulul
(baca:korupsi), barang siapa yang mengambil harta melalui jalan khianat
maka harta tersebut akan didatangkan pada hari Kiamat nanti. Demikian
pula pemakan harta riba. Barang siapa yang memakan harta riba maka dia
akan dibangkitkan pada hari Kiamat nanti dalam keadaan gila dan berjalan
sempoyongan” (HR Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir no 110)
Muamalah Maliyah adalah medan hidup yang sudah tersentuh oleh
tangan-tangan manusia sejak jaman klasik, bahkan jaman purbakala. Setiap
orang membutuhkan harta yang ada di tangan orang lain. Hal ini membuat
manusia berusaha membuat beragam cara pertukaran, bermula dengan
kebiasaan melakukan tukar menukar barang yang disebut barter, berkembang
menjadi sebuah sistem jual beli yang kompleks dan multidimensional.
Bagaimana tidak, karena semua pihak yang terlibat berasal dari latar
belakang yang berbeda-beda, dengan karakter dan pola pemikiran yang
bermacam-macam, dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang tidak sama.
Baik itu pihak pembeli atau penyewa, penjual atau pemberi sewaan, yang
berhutang dan berpiutang, pemberi hadiah atau yang diberi, saksi,
sekretaris atau juru tulis, hingga calo atau broker, kesemuanya adalah
majemuk dari berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang sosial dan
pendidikannya yang variatif. Selain itu, transaksi muamalah maliyah
juga semakin berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Sarana atau media
dan fasilitator dalam melakukan transaksi juga kian hari kian canggih.
Sementara komoditi yang diikat dalam satu transaksi juga semakin
bercorak-ragam, mengikuti kebutuhan umat manusia yang semakin konsumtif
dan semakin terikat tuntutan jaman yang juga kian berkembang.
Oleh sebab itu, muamalah maliyah yang sangat erat dengan perekonomian
islam ini akan tampak urgensinya bila kita melihat salah satu bagiannya
yaitu dunia bisnis perniagaan dan khususnya level menengah ke atas.
Seorang yang memasuki dunia perbisnisan ini membutuhkan kepekaan yang
tinggi,feeling yang kuat dan keterampilan yang matang serta pengetahuan
yang komplit terhadap berbagai epistimologi terkait, seperti ilmu
manajemen, akuntansi, perdagangan, bahkan perbankan dan sejenisnya. Atau
berbagai ilmu yang secara tidak langsung juga dibutuhkan dalam dunia
perniagaan modern, seperti komunikasi, informatika, operasi komputer,
dan lain-lain. Itu dalam standar kebutuhan businessman (orang yang
berwirausaha) secara umum.
Bagi seorang muslim, dibutuhkan syarat dan prasyaratan lebih untuk
menjadi bisnisman dan pengelola modal yang berhasil. Karena seorang
muslim selalu terikat –selain dengan kode etik ilmu perdagangan secara
umum– dengan aturan dan syariat Islam dengan hukum-hukumnya yang
komprehensif. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang muslim memasuki
dunia bisnis dengan pengetahuan kosong terhadap ajaran syariat, dalam
soal jual beli misalnya. Karena yang demikian itu merupakan sasaran
empuk ambisi syetan pada diri manusia untuk menjerumuskan seorang muslim
dalam kehinaan.
Diantara permasalahan yang sering terjadi dan menimpa kaum muslimin
dalam muamalah maliyah adalah permasalahan Riba. Sehingga sudah menjadi
kewajiban orang yang masuk dalam muamalah ini untuk mengetahui
permasalahan ini dengan baik dan jelas.
Pengharaman Riba
Diharamkannya riba berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma’
para ulama. Bahkan bisa dikatakan keharamannya sudah menjadi aksioma
dalam ajaran Islam ini.
Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari Al-Qur’an
Al-Qur’an telah membicarakan riba dalam empat tempat terpisah; salah
satunya adalah Ayat Makkiyyah, sementara tiga lainnya adalah Ayat-ayat
Madaniyyah.
Dalam surat Ar-Ruum Allah ta’ala berfirman:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا
يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ
اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada
harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)
Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya
riba. Karena kala riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan di
masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Al-Madinah. Hanya saja
ini mempersiapkan jiwa kaum muslimin agar mampu menerima hukum haramnya
riba yang terlanjur membudaya kala itu.
Dalam surat An-Nisaa, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ
أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا –
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ
النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا
أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah.
Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir
di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)
Ayat di atas menjelaskan diharamkannya riba terhadap orang-orang Yahudi.
Ini merupakan pendahuluan yang amat gamblang, untuk kemudian baru
diharamkan terhadap kalangan kaum muslimin. Ayat tersebut turun di kota
Al-Madinah sebelum orang-orang Yahudi menjelaskannya.
Dalam surat Ali Imran Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. Ali Imraan: 130)
Baru kemudian turun beberapa ayat pada akhir surat Al-Baqarah, yaitu:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥)يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي
الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦)إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ
وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٢٧٧)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا
تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩)
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan
Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang
tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 275-279)
Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat tentang riba yang terakhir diturunkan dalam Al-Qur’an Al-Karim.
Dalil Dari Hadits Rosululloh
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ
وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ
الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (متفق
عليه)
Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh
perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh
perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan
Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan
jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari
medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang
sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).
عَنْ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا
اِلاَّ هَاءَ وهَاءَ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِرِبًا اِلاَّهَاءَ وَهَاءَ
وَالْبُرٌ بِالْبُرِ رِبًا اِلاَّ هَاءَ وهَاءَ وَالشّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ
رِبًا اِلاَّ هَاءَ وهَاءَ.
“ Dari Umar bin Al-Khatthab Radiallahu ‘Anhu, dia berkata, Rasululloh
Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,’ Jual beli emas dengan emas adalah
riba kecuali secara kontan, perak dengan perak adalah riba kecuali
dengan kontan, biji gandum dengan gandum adalah riba kecuali secara
kontan, tepung gandum dengan tepung gandum adalah riba kecuali secara
kontan’.’(HR Bukhori-Muslim).
Dari hadis diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli emas dengan perak
atau sebaliknya serta kerusakannya jika tidak dilakukan pembayaran
secara kontan diantara penjual dan pembeli sebelum berpisah dari tempat
akad. Inilah yang disebut musharofah.Pengharaman jual beli gandum dengan
biji gandum atau tepung gandum dengan tepung gandum serta kerusakannya,
jika tidak dilakukan secara kontan sebelum penjual dan pembeli berpisah
dari tempat akad. Tempat akad yang dimaksud disini adalah tempat
berjual beli dan bertransaksi, baik keduanya sama-sama duduk atau sambil
berjalan atau sambil berkendara. Sedangkan yang dimaksud berpisah ialah
apapun yang menurut kebiasaan dianggap sebagai perpisahan diantara
manusia.
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَبِيْعَوْا
الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ اِلاَّ مِثْلاَ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى
بَعْضِ وَلاَ تَبِيْعُوْا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِتْلٍ
وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ تَبِيْعَوْا مِنْهَا غَا
ئِبًا بِنَاجِزٍ.
“ Dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasululloh
Shollallohu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Jangan kalian menjual emas
dengan emas kecuali yang sama beratnya, janganlah kalian melebihkan
sebagian diatas sebagian yang lain, janganlah kalian menjual perak
dengan perak kecuali yang sama beratnya dan janganlah kalian melebihkan
sebagian diatas sebagian yang lain, dan janganlah kalian yang tidak ada
diantara barang-barang itu dengan yang ada’.”( HR Bukhori-Muslim).
Hadis ini menunjukkan larangan menjual emas dengan emas, perak dengan
perak, baik yang sudah dibentuk (batangan) atau yang berbeda, selagi
tidak mengikuti ukuran yang syar’i, yaitu beratnya, jika tidak dilakukan
pembayaran secara kontan dari kedua belah pihak ditempat akad. Larangan
terhadap hal itu mengharuskan pengharamannya dan tidak sahnya akad.
Syaikhul-Islam ibnu Taimiyah berkata tentang seorang yang memberikan
pinjaman kepada orang-orang setiap seratus harus dikembalikan seratus
empat puluh, “Inilah yang disebut riba seperti yang diharamkan di dalam
Al-Qur’an.” Dia menyebutkan bahwa orang itu tidak mempunyai hak kecuali
apa yang dia berikan kepada mereka atau yang senilai dengannya. Adapun
tambahannya, dia sama sekali tidak berhak sedikitpun terhadapnya.
Sedangkan riba yang sudah terlanjur terjadi, maka dimaafkan. Adapun
sisanya yang belum terbayarkan, maka menjadi gugur, karena didasarkan
kepada frman-Nya, “Dan tinggalkanlah sisa riba(yang belum dipungut).”(QS
Al-Baqaroh :287).
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ
بِلاَلٌ اِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَمْرِ
بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
أَيْنَ هَذَا قَالَ بِلاَلٌ كَانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ فَبِعْتُ
مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ لِنُطْعِمَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ
ذَلِكَ أَوَّهْ عَيْنُ الرَّبَا لاَ تَفْعَلُ وَلَكِنْ اذَا أَرَدْتَ
أَنْتَشْتَرِيَ فَبِعَ التَّمْرَ بِبَيْعٍ اَخَرَ ثُمَّ اشْتَرِبِهِ.
“Dari Abu Sa’id Al-Khudry Radiallahu ‘anhu, dia berkata,’Bilal datang
kepada Rasulullloh Shallallohu ‘alaihi wasallam sambil menyerahkan kurma
Barny’. Lalu Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya,’
Dari mana engkau mendapatkan kurma ini?’ Bilal menjawab, ‘Tadinya kami
mempunyai kurma yang rendah mulutnya, lalu aku menjual sebagian darinya
dua sha’ (yang bagus), agar Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam
memakannya’. Pada saat itu nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Awwah awwah. Ini adalah riba yang sebenarnya, ini adalah riba yang
sebenarnya, janganlah engkau melakukannya, tapi jika engkau ingin
membeli, juallah kurma (yang rendah mulutnya) dengan penjualan lain,
kemudian belilah dengannya (kurma yang bagus mulutnya)’.” (HR
Bukhori-Muslim).
Hadis ini menjelaskan pengharaman riba fadl dengan kurma. Gambarannya,
sebagian kurma dijual (ditukar) dengan sebagian yang lain, yang satu
lebih banyak daripada yang lain. Hadis ini dijadikan dalil pembolehan
masalah inah, yaitu menjual barang dengan secara kredit, kemudian
membelinya dari pembeli itu secara kontan dengan harga yang lebih
sedikit dari harga pertama. Dan hadis ini juga dijadikan sebagai dalil
pembolehan tawarruq, yaitu membeli barang yang nilainya seratus real
dengan seratus dua puluh secara kredit, agar barang itu dapat diambil
manfaatnya, bahkan untuk dijual dan harganya dimanfaatkan.
عَنْ أَبِيْ الْمِنْهَا قَالَ سَأَلْتُ الْبَرَاءَ ابْنَ عَازِبٍ وَزَيْدَ
بْنَ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَنِ الصَّرْفِ فَكُلُّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا يَقُوْلُ هَذَا خَيْرٌ مِنِّيْ فَكِلاَ هُمَا يَقُوْلُ نَهَى
رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ
بالْوَرِقِ دَيْنَ.
“Dari Abul-Minhal, dia berkata,’ Aku bertanya kepada Al-Bara’ bin Azib
dan Zaid bin Arqam tentang sharf. Maka setiap orang diantara keduanya
menjawab, ‘Rasululloh Shallallahu Alaihi Wasallam melarang menjual emas
dengan perak secara utang’.”(HR Bukhori-Muslim).
Hadis ini menjelaskan mengenai larangan menjual emas dengan perak, perak
dengan emas, yang salah diantara keduanya tidak ada barangnya. Jadi
harus dilakukan pembayaran secara kontan. Sahnya jual beli ini dengan
pembayaran secara kontan ditempat akad, karena itu merupakan sharf. Akad
akan rusak jika tidak dilakukan pembayaran secara kontan ditempat akad
ialah karena tidak bertemunya dua barang, yang termasuk alasan riba.
عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ ٌقَالَ نَهَى رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ وَالذّهَبَ بِالذَّهَبِ
اِلاَّ سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَأَمَرَنَا أَنْ نَشْتَرِيَ الْفِضَّةَ
بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا وَنَشْتَرِيَ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ
شِئْنَا قَالَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَدًا بِيَدٍ فَقَالَ هَكَذَا
سَمِعْتُ.
“Dari Abu Bakrah, dia berkata,’Rasululloh Sallallohu Alaihi Wasallam
melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas kecuali dengan
berat yang sama, dan memerintahkan agar kami membeli emas dengan perak
menurut kehendak kami’,” Dia (rawi) berkata,”Seseorang bertanya
kepadanya,’Apakah maksudnya secara kontan? ‘Dia menjawab,’Begitulah yang
kudengar '." (HR Bukhaori-Muslim).
Dijelaskan oleh hadis ini mengenai pengharaman menjual emas dengan emas,
perak dengan perak yang ada selisih beratnya, karena berhimpunnya harga
dan yang dihargai dalam satu jenis ribawi. Boleh menjual emas dengan
emas, perak dengan perak, namun ada dua syarat:pertama, sama beratnya,
yang satu tidak boleh melebihi yang lain. Kedua, pembayaran secara
kontan ditempat akad. Apa yang dikatakan mengenai emas dan perak juga
berlaku untuk satu jenis ribawi, ketika sebagian dijual dengan sebagian
yang lain, separti biji gandum dengan biji gandum.
Diperbolehkannya menjual emas dengan perak atau perak dengan emas yang
berbeda beratnya, karena yang satu bukan jenis yang lain. Begitu pula
yang dikatakan untuk setiap jenis, yang dijual dengan jenis lainnya yang
bersifat ribawi, yang boleh dilakuakan dengan adanya selisih berat
diantara keduanya. Ketika menjual emas dengan perak atau perak dengan
emas, harus dilakukan pembayaran secara kontan ditempat akad. Jika
keduanya berpisah sebelum pembayaran, maka akad itu menjadi batal,
karena keduanya berhimpun pada alasan ribawi. Begitu pula yang berlaku
untuk dua jenis, yang bertemu pada alasan ribawi, yaitu takaran atau
timbangan, yang harus dilakukan pembayaran secara kontan diantara
keduanya ditempat akad.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ
بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو
الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ
وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (مسلم)
Dikatakan Muhammad ibn ash-shobbah dan zuhairu ibn harb dan utsmann ibn
abi syaibah mereka berkata diceritakan husyaim dikabarkan abu zubair
dari jabir r.a beliau berkata : Rasulullah SAW mengutuk makan riba,
wakilnya dan penulisnya, serta dua orang saksinya dan beliau mengatakan
mereka itu sama-sama dikutuk. Diriwayatkan oleh muslim.
قوله : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه
وقال : هم سواء ) , هذا تصريح بتحريم كتابة المبايعة بين المترابين
والشهادة عليهما . وفيه : تحريم الإعانة على الباطل . والله أعلم
Maksudnya, Rasulullah SAW memohon do’a kepada Allah agar orang tersebut
dijauhkan dari Rahmat Allah. Hadits tersebut menjadi dalil yang
menunjukan dosa orang-orang tersebut dan pengharaman sesuatu yang mereka
lakukan. Dikhususkan makan dalam Hadits tersebut, karena itulah yang
paling umum pemanfaatan penggunaannya. Selain untuk makan, dosanya sama
saja. Yang dimaksud موكله itu adalah orang yang memberikan riba, karena
sesungguhnya tidak akan terjadi riba itu kecuali dari dia. Oleh karena
itu, dia termasuk dalam dosa. Sedangkan dosa penulis dan saksi itu
adalah karena bantuan mereka atas perbuatan terlarang itu. Dan jika
keduanya sengaja serta menngetahui riba itu maka dosa bagi mereka.
Hadis menjelaskan bahwa nabi Muhammad SAW sangat tidak menyukai para
pemakan riba, yaitu orang-orang yang melakukan perbuatan riba kemudian
dari hasilnya itu ia dapat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemberi
makan dengan riba maksudnya dengan harta hasil riba untuk memberi makan
orang lain atau menyumbang dengan harta hasil riba. Dan juga orang-orang
yang terlibat dalam riba tersebut, yaitu yang menulis dan yang menjadi
saksi terhadap riba. Jadi, semua yang telah disebutkan tadi adalah sama
halnya dengan orang yang berbuat riba dan akan mendapatkan siksa di
akhirat kelak.
Imam adz-Dzahaby rahimahullah berkata:
من ارتكب شيئا من هذه العظائم مما فيه حد في الدنيا كالقتل و الزنا و
السرقة أو جاء فيه وعيد في الآخرة من عذاب أو غضب أو تهديد أو لعن فاعله
على لسان نبينا محمد صلى الله عليه و سلم فإنه كبيرة
“Barangsiapa yang melakukan salah satu dari perbuatan besar ini, yang
padanya ditetapkan hukum had (pidana) di dunia, misalnya pembunuhan,
perzinaan, dan pencurian atau datang suatu ancaman di akhirat berupa
adzab atau kemurkaan (Allah) atau ancaman atau kutukan terhadap
pelakunya melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
berarti perbuatan tersebut adalah dosa besar.”
Jenis-jenis riba
riba terbagi menjadi empat macam; (1) riba nasiiah (riba jahiliyyah); (2) riba fadlal; (3)riba qaradl; (4) riba yadd.
riba Nasii`ah. riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena
penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama
saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran
hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A meminjamkan
uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus
mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2016; dan jika si B
menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1
Januari 2016), maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya;
misalnya 10% dari total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja
sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya,
atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru
oleh si A kepada si B.Tambahan inilah yang disebut dengan riba
nasii’ah.
Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam muslim;
الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
” riba itu dalam nasi’ah”.[HR Muslim dari Ibnu Abbas]
Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda:
آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
“Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. (HR muslim).
riba Fadlal. riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan
pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang
dituturkan oleh Imam muslim.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا
اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ
يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara,
dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika
dilakukan dengan kontan”.HR muslim dari Ubadah bin Shamit ra).
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ
اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang
dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka
(tambahannya) itu adalah riba”. (HR muslim dari Abu Hurairah).
عن فضالة قال: اشتريت يوم خيبر قلادة باثني عشر دينارًا فيها ذهب وخرز،
ففصّلتها فوجدت فيها أكثر من اثني عشر ديناراً، فذكرت ذلك للنبي صلّى الله
عليه وسلّم فقال: ”لا تباع حتى تفصل“
“Dari Fudhalah berkata: Saya membeli kalung pada perang Khaibar seharga
dua belas dinar. Di dalamnya ada emas dan merjan. Setelah aku pisahkan
(antara emas dan merjan), aku mendapatinya lebih dari dua belas dinar.
Hal itu saya sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bersabda, “Jangan
dijual hingga dipisahkan (antara emas dengan lainnya)”. (HR muslim dari
Fudhalah)
Dari Said bin Musayyab bahwa Abu Hurairah dan Abu Said:
أن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بعث أخا بني عدي الأنصاري فاستعمله على
خيبر، فقدم بتمر جنيب [نوع من التمر من أعلاه وأجوده] فقال رسول الله صلّى
الله عليه وسلّم: ”أكلّ تمر خيبر هكذا“؟ قال: لا والله يا رسول الله، إنا
لنشتري الصاع بالصاعين من الجمع [نوع من التمر الرديء وقد فسر بأنه الخليط
من التمر]، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”لا تفعلوا ولكن مثلاً
بمثل أو بيعوا هذا واشتروا بثمنه من هذا، وكذلك الميزان“
“Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus saudara Bani Adi al-Anshari untuk
dipekerjakan di Khaibar. Kamudia dia datang dengan membawa kurma Janib
(salah satu jenis kurma yang berkualitas tinggi dan bagus). Rasulullah
saw bersabda, “Apakah semua kurma Khaibar seperti itu?” Dia menjawab,
“Tidak, wahai Rasulullah . Sesunguhnya kami membeli satu sha’ dengan dua
sha’ dari al-jam’ (salah satu jenis kurma yang jelek, ditafsirkan juga
campuran kurma). Rasulullah saw bersabda, “Jangan kamu lakukan itu, tapi
(tukarlah) yang setara atau juallah kurma (yang jelek itu) dan belilah
(kurma yang bagus) dengan uang hasil penjualan itu. Demikianlah
timbangan itu”. (HR muslim).
riba al-Yadd. riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam
pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang
melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad
sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd ditetapkan
berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ
رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan
gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba
kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali
dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
الْوَرِقُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ
رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Perak dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan; gandum dengan
gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan kismis dengan kismis riba,
kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan
dibayarkan kontan“. [Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz IV, hal. 13]
riba Qardl. riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan
syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam
kepada pemberi pinjaman. riba semacam ini dilarang di dalam Islam
berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia
berkata, ““Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa
dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku:
‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktekriba
telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang
lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput kering, gandum atau
makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut
adalah riba”.[HR. Imam Bukhari]
Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits
dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang
memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima
hadiah (dari yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah
kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si
peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih
dilarang lagi.
Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, “Kullu
qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”. (Setiap pinjaman yang menarik
keuntungan (membuahkan bunga) adalah riba”.
Praktek-praktek riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba
nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang dalam transaksi-transaksi
lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal. Seorang muslim wajib
menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis riba itu, dan
berapapun kuantitas riba yang diambilnya.Seluruhnya adalah haram
dilakukan oleh seorang muslim.
Balasan Pemakan Riba
Imam Al Sarkhosi menyampaikan 5 balasan dan hukuman bagi pemakan riba yang ada dalam ayat-ayat ini (Al Baqarah: 275-279) yaitu:
1. Kesurupan, seperti dalam firman Allah ta’ala:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah:
275)
2. Dihapus (Barokahnya), seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا
“Allah memusnahkan Riba…”(QS. Al Baqarah: 276)
3. Kufur, bagi yang menghalalkannya. dijelaskan dalam firman-Nya Subhanahu wa ta’ala:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيم
“Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak
menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa.”(QS. Al Baqarah: 276)
4. Kekal di Neraka. Ini ada dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“…orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(QS. Al Baqarah:
275)
5. Allah Ta’ala memerangi pemakan riba. Seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ
الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ
رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah: 278-279)
Umat Islam bersepakat berdasarkan berbagai dalil dari al Qur’an dan
sunnah bahwa orang yang bertaubat dari dosa maka Allah akan menerima
taubatnya baik dosa tersebut adalah dosa kecil maupun dosa besar.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَيَبِيتَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى
عَلَى أَشَرٍ وَبَطَرٍ وَلَعِبٍ وَلَهْوٍ فَيُصْبِحُوا قِرَدَةً
وَخَنَازِيرَ بِاسْتِحْلاَلِهِمُ الْمَحَارِمَ وَاتِّخَاذِهِمُ
الْقَيْنَاتِ وَشُرْبِهِمُ الْخَمْرَ وَأَكْلِهِمُ الرِّبَا وَلُبْسِهِمُ
الْحَرِيرَ ».
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, sungguh ada sejumlah
orang dari umatku yang menghabiskan waktu malamnya dengan pesta pora
dengan penuh kesombongan, permainan yang melalaikan lalu pagi harinya
mereka telah berubah menjadi kera dan babi. Hal ini disebabkan mereka
menghalalkan berbagai yang haram, mendengarkan para penyanyi, meminum
khamr, memakan riba dan memakai sutra” (HR Abdullah bin Imam Ahmad dalam
Zawaid al Musnad [Musnad Imam Ahmad no 23483]
Pada saat haji wada’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَىَّ
مَوْضُوعٌ وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ وَإِنَّ أَوَّلَ دَمٍ
أَضَعُ مِنْ دِمَائِنَا دَمُ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ كَانَ
مُسْتَرْضِعًا فِى بَنِى سَعْدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ وَرِبَا
الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ
بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ
“Ingatlah, segala perkara jahiliah itu terletak di bawah kedua telapak
kakiku. Semua kasus pembunuhan di masa jahiliah itu sudah dihapuskan.
Kasus pembunuhan yang pertama kali kuhapus adalah pembunuhan terhadap
Ibnu Rabi’ah bin al Harits. Dulu dia disusui oleh salah seorang Bani
Saad lalu dibunuh oleh Hudzail. Riba jahilaih juga telah dihapus. Riba
yang pertama kali kuhapus adalah riba yang dilakukan oleh Abbas bin
Abdil Muthallib. Sungguh semuanya telah dihapus” (HR Muslim 3009 dari
Jabir bin Abdillah).
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa
riba itu berada di bawah telapak kaki beliau untuk menunjukkan betapa
rendah dan hinanya pelaku riba dan riba juga dinilai oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai perkara jahiliah.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ –
صلى الله عليه وسلم – « رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِى ،
فَأَخْرَجَانِى إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى
أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ ، وَعَلَى وَسَطِ
النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ
الَّذِى فِى النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى
الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِى فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ ، فَجَعَلَ كُلَّمَا
جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِى فِيهِ بِحَجَرٍ ، فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ ،
فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِى رَأَيْتَهُ فِى النَّهَرِ آكِلُ
الرِّبَا »
Dari Samurah bin Jundab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semalam aku bermimpi ada dua orang yang datang lalu keduanya mengajakku
pergi ke sebuah tanah yang suci. Kami berangkat sehingga kami sampai di
sebuah sungai berisi darah. Di tepi sungai tersebut terdapat seorang
yang berdiri. Di hadapannya terdapat batu. Di tengah sungai ada seorang
yang sedang berenang. Orang yang berada di tepi sungai memandangi orang
yang berenang di sungai. Jika orang yang berenang tersebut ingin keluar
maka orang yang berada di tepi sungai melemparkan batu ke arah mulutnya.
Akhirnya orang tersebut kembali ke posisinya semula. Setiap kali orang
tersebut ingin keluar dari sungai maka orang yang di tepi sungai
melemparkan batu ke arah mulutnya sehingga dia kembali ke posisinya
semula di tengah sungai. Kukatakan, “Siapakah orang tersebut?”. Salah
satu malaikat menjawab, “Yang kau lihat berada di tengah sungai adalah
pemakan riba” (HR Bukhari no 1979).
Dalam hadits di atas jelas sekali betapa kerasnya hukuman bagi pemakan
riba sementara ketika di dunia dia mengira bahwa dirinya bergelimang
kenikmatan.
Akhirnya seluruh umat Islam beserta segenap ulamanya baik yang terdahulu
ataupun yang datang kemudian telah sepakat bahwa riba adalah haram.
Mereka juga menegaskan bahwa bunga bank dan yang semisal dengannya
adalah haram. Mereka juga sepakat bahwa siapa saja yang menghalalkan
riba maka dia kafir. Sedangkan siapa saja yang melakukan transaksi riba
namun masih memiliki keyakinan bahwa riba itu haram maka dia telah
melakukan dosa besar, orang yang fasik dan berani memerangi Allah dan
rasulNya.
Para ulama telah menetapkan haramnya bunga yang telah dipatok di awal
transaksi misal 3%, 5% dan seterusnya. Para ulama telah membantah
orang-orang yang menghalalkan bunga bank dan merontokkan
argument-argumen mereka secara total. Tidak ada beda antara bunga dalam
jumlah kecil ataupun dalam jumlah besar. Semuanya adalah riba yang
diharamkan.