Apakah itu ilmu ILHAM / Laduni? Ilmu Ilham/laduni adalah ilmu yang
membawa pengertian atau makna yang baru kepada syariat, bukan membawa
syariat baru. Ilmu laduni atau ilmu ilham ialah ilmu yang Allah jatuhkan
ke dalam hati para wali-wali-Nya, TANPA melalui proses usaha ikhtiar
atau hasil mendengar kuliah dari guru atau hasil berfikir.
Ilmu ini terjatuh langsung ke dalam hati. Yang mana bila dikaji atau
diuraikan, akan jadi satu ilmu atau satu uraian yang sangat ilmiah.
Artinya ilmu ini menjadi suatu ilmu yang sangat bermanfaat. Ilmu yang
didapati itu tepat, meyakinkan, masuk akal, memberi kepuasan serta tidak
meletihkan otak.
Berbeda dengan ilmu hasil belajar, membaca, berfikir atau mengkaji yang
cepat menjemukan. Kadang-kadang ilmu kajian ini tidak tepat, tidak
meyakinkan atau tidak masuk akal dan meletihkan. Untuk mendapatkannya
perlu proses waktu yang lama. Artinya hasil membaca, berfikir setelah
faham baru dapat ilmu.
Kalau begitu, ilmu laduni atau ilmu ilham bukan membawa syariat yang
baru. Ilmu laduni membawa makna atau tafsiran yang baru, yang sesuai
dijadikan tindakan dan penyelesai masalah untuk zamannya atau makna yang
tertentu, khusus untuk orang itu.
Mengapa ilmu ilham atau ilmu laduni ini dikatakan sebagai penyelesai
masalah sesuai dengan zamannya dan bukan untuk seluruh zaman? Kalau saya
hendak misalkan ilmu Allah itu yakni ilmu Al Quran atau Sunnah Rasul,
yang maha luas dan tidak berkesudahan itu diibaratkan sebagai khazanah
lautan, setiap orang yang mencari khazanah lautan itu insya-Allah dapat
sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya dan juga untuk orang lain.
Jadi, orang yang dikurniakan ilmu laduni atau ilmu ilham ini adalah
orang yang mendapat khazanah dari lautan ilmu Allah. Ada macam-macam
ilmu dan setiap sesuatu ilmu itu mempunyai banyak pengertian dan
tafsirannya. Jadi Allah memberi pengertian dan tafsiran masing-masing
ayat sesuai pada seseorang itu untuk menyelesaikan masalah di zamannya.
Ilham, disebut juga intuisi atau inspirasi. Adalah bisikan hati, berupa
pengetahuan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada
hambaNya, baik kepada Rasulullah n maupun selainnya. Ilham sering
dianggap oleh orang awam sebagai sebuah wangsit untuk melakukan sesuatu
atau meninggalkannya. Sedemikian berharganya ilham atau wangsit
tersebut, sehingga tidak jarang orang mengeluarkan biaya yang tidak
terhingga, atau melakukan aktivitas dan ritual yang bermacam-macam untuk
bisa mendapatkannya.
Bagaimana kedudukan ilham dalam Islam? Bisakah dijadikan hujjah atau
dalil dalam beramal? Bagaimana membedakannya dengan yang lainnya?
Berikut akan dibahas dalam tulisan ini.
ILHAM BAGI PARA NABI DAN RASUL
Ilham bagi para nabi dan rasul adalah wahyu, sebagaimana firman Allah.
وَمَاكَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِن
وَرَآئِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَايَشَآءُ
إِنَّهُ عَلِىٌّ حَكِيمٌ
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan
dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana. [Asy Syura:51].
Mujahid dalam menafsirkan ayat di atas berkata,”Membisikkan di hatinya
berupa ilham dariNya, sebagaimana diilhamkan kepada ibu Musa dan Nabi
Ibrahim untuk menyembelih puteranya. Imam Nawawi berkata, yang dimaksud
dengan wahyu pada ayat tersebut menurut jumhur ulama adalah ilham dan
mimpi ketika tidur, dan keduanya disebut wahyu. [Syarah Shahih Muslim,
III/6].
Sebagaimana wahyu, ilham diterima oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dengan perantaraan Malaikat. Beliau mendapatkan sesuatu di
hatinya, tanpa mendengar suara Malaikat, sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda.
إِنَّ رُوْحَ الْقُدْسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْساً لَنْ تَمُوْتَ
حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي
الطَّلَبِ
Sesungguhnya Ruhulqudus (Jibril) membisikkan di hatiku, bahwasanya
sebuah jiwa tidak akan mati kecuali setelah disempurnakan rizkinya dan
ajalnya. Dan bertakwalah kepada Allah dan baiklah dalam berdo’a. [HR
Ibnu Hibban dan Hakim, dan di-shahihkan oleh Syaikh Albani dalam Fiqh
Sirah Al Ghazali, hal. 91-92].
Bisa juga ilham diterima langsung oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, ketika Beliau dalam keadaan
tidur, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Saya bangun pada
suatu malam dan shalat semampu saya, kemudian saya mengantuk dan merasa
berat. Tiba-tiba Rabb-ku dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan berfirman:
Wahai Muhammad, tahukah kamu tentang apa para malaikat itu berdebat?
[HR Tirmidzi, dan di-shahihkan oleh Al Bani, Irwa’ 683].
Hadits ini menegaskan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menerima ilham dalam tidurnya tanpa perantaraan Malaikat. Karena itu
bukan termasuk wahyu dari balik tabir yang hanya terjadi ketika terjaga,
seperti ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala berbicara dengan Nabi Musa
atau dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam mi’raj.
Dan yang dilihat oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
tidur tersebut, bukanlah Malaikat. Karena beliau sendiri mengatakan
melihat Tuhannya, sehingga tidak mungkin dianggap wahyu dalam mimpi
lewat Malaikat. Dengan demikian, maka jelaslah yang diterima oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah ilham secara langsung.
Ada perbedaan antara wahyu yang berupa kalam (pembicaraan) dengan wahyu yang berupa ilham.
Wahyu berupa kalam harus dengan suara yang bisa didengar baik secara
langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala atau lewat Malaikat, atau
seperti gemercingan lonceng yang terkadang bisa didengar oleh para
sahabat. Wahyu berupa kalam, juga hanya bisa terjadi ketika terjaga.
Karena seorang yang tidur tidak bisa mendengar dan memahami suara.
Adapun wahyu berupa ilham hanya berupa perasaan dalam hati Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak disyaratkan harus ada suara
yang didengar. Ini bisa terjadi pada saat terjaga atau ketika tertidur.
Karena seseorang bisa saja memahami apa yang pernah terjadi dalam
mimpinya ketika tidur. Itulah sebabnya, mimpi seorang nabi juga termasuk
wahyu yang harus diterima dan diamalkan sebagaimana yang dilakukan oleh
Ibrahim, ketika bermimpi menyembelih puteranya. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata,"Hai anakku sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi, bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" Ia menjawab,"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar." Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran
keduanya) Dan Kami panggillah dia: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu; sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu
ujian yang nyata. [Ash Shaffat:102-106]
Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya, As Sunnah I/ 202 menyebutkan perkataan
Ibnu Abbas bahwa,”Mimpi para nabi termasuk wahyu.” Ubaid bin Umar juga
berkata demikian, kemudian membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi, bahwa aku
menyembelihmu.” [HR Bukhari].
Ibnu Hajar berkata,”Fokus pengambilan dalil dari ayat tersebut, bahwa
mimpi para nabi termasuk wahyu. Karena, kalau itu bukan wahyu, maka
tidak boleh dan tidak mungkin Nabi Ibrahim menyembelih puteranya.”
[Fathul Bari, 1/239].
Abdullah bin Mas’ud menambahkan, bahwa yang pertama diterima oleh
Rasulullah n sebelum wahyu adalah mimpi ketika tertidur, sebagai
persiapan bagi hatinya untuk menerima wahyu yang akan diturunkan
kepadanya ketika terjaga, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah,
Beliau berkata,”Yang pertama kali menjadi permulaan wahyu kepada
Rasulullah adalah mimpi yang baik ketika tidur. Beliau tidak bermimpi
kecuali datang seperti cahaya shubuh.” [HR Bukhari].
Dengan demikian maka disepakati, bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Dan
ilham yang bisa terjadi ketika tidur, juga termasuk wahyu dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala .
ILHAM UNTUK SELAIN NABI
Selain Nabi bisa juga mendapatkan ilham, baik ketika sadar ataupun lewat
mimpi. Dalil yang menunjukkan kemungkinan selain Nabi mendapatkan
ilham, diantaranya sebagai berikut:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.”Hai orang-orang beriman, jika kamu
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan
menghapuskan segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)mu.
Dan Allah mempunyai karunia yang besar. [Al Anfal:29].
Syaikh Muhammad Amin Al Syinqithi dalam menafsirkan ayat ini
berkata,”Ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan al furqan dalam
ayat ini adalah ilmu (pengetahuan) yang bisa membedakan antara yang hak
dan batil, sebagaimana firman Allah,“Hai orang-orang yang beriman
(kepada para rasul), bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada
RasulNya, niscaya Allah memberikan rahmatNya kepadamu dua bagian, dan
menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan
Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS
Al Hadid:28).
Firman Allah: dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu
dapat berjalan. Dan dengan itulah bisa membedakan antara yang hak dan
batil. [Adhwa’ Al Bayan, 4/349].
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan kepada siapa saja
yang bertakwa kepadaNya akan diberikan al furqan. Orang yang telah
mendapatkan al furqan dari Allah, pasti memiliki ilmu dan petunjuk yang
tidak dimiliki oleh orang lain. Karena al furqan tersebut hanya
dikhususkan kepada siapa saja yang takut kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Merupakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tidak bisa
dicari dan dipelajari.
Banyak hadits-hadits yang menjelaskan dan menjabarkan makna al furqan
tersebut. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abi Malik Al
Anshari, Rasulullah n bersabda,”Shalat sebagai nur, shadaqah sebagai
bukti, kesabaran sebagai cahaya, Al Qur’an sebagai hujjah bagimu atau
atasmu. [HR.Muslim].
Maksudnya barangsiapa yang diberi Allah berupa: nur, cahaya, dan burhan,
maka ia telah menerima al furqan. Yang dengannya, ia bisa membedakan
antara yang hak dan yang batil. Kemampuan seperti ini juga termasuk
ilham dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Juga hadits tentang waliyullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah bersabda.
إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ
بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ
مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ
الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي
يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي
لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ ) صحيح البخاري,
كتاب الرقاق باب التواضع رقم الحديث :6137 الجزء :5 الصفحة :2384
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,”Barangsiapa yang memusuhi waliKu,
maka Kuizinkan ia diperangi. Tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu
dengan suatu amal lebih Aku sukai daripada jika ia mengerjakan amal yang
Aku wajibkan kepadanya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu
dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah
mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya,
menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangan yang ia
memegang dengannya, sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Jika ia
meminta kepadaKu pasti Aku beri, dan jika ia minta perlindungan kepadaKu
pasti Aku lindungi. [HR.Bukhari].
Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “Allah
Subhanahu wa Ta'ala sebagai telinga, mata dan kaki” pada hadits ini
ialah; Pertama, Aku (Allah) yang menjadikan pendengaran dan pandangannya
menjadi mencintai ketaatanKu dan lebih mendahulukan beribadah kepadaKu.
Kedua, semua anggotanya akan sibuk denganKu, dia tidak mendengarkan
sesuatu kecuai apa yang Aku ridhai, dan tidak memalingkan pandangannya
kecuali untuk apa yang Aku perintahkan. Ketiga, Aku akan memenuhi semua
keinginannya yang dicapai lewat pendengaran dan penglihatannya. Keempat,
Aku yang akan menolongnya pada pendengaran, penglihatan dan kakinya
dalam menghadapi musuhnya. Kelima, Aku akan menjaga pendengaranya
sehingga tidak akan mendengar sesuatu, kecuali apa yang Aku perbolehkan
untuk mendengarnya. Keenam, mereka tidak mendengar kecuali namaKu, tidak
melihat kecuali ayat-ayatKu. Kedua makna ini yang menjadi pendapat Al
Fakihani dan Ibnu Hubairah. Ketujuh, menunjukkan cepatnya terkabul
do’anya dan berhasil usahanya. Ini disebutkan oleh Al Khaththabi. Semua
makna ini tidaklah bertentangan. [Fathul Bari, Juz 14/128-129].
Karena pada intinya -dengan ketaatannya- seorang hamba akan mendapatkan
ilham berupa “Allah akan menjadi telinga, mata dan kaki” dengan makna
yang tersebut di atas.
2. Hadits yang menjelaskan tentang fadhilah Umar bin Khattab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ
فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ
قَالَ ابْنُ وَهْبٍ تَفْسِيرُ مُحَدَّثُونَ مُلْهَمُونَ
Sesungguhnya telah ada pada umat-umat sebelummu muhaddatsun, dan kalau
ada pada umatku seorang darinya, maka Umar bin Al Khattab adalah
orangnya.
Ibnu Wahb berkata: makna muhaddatsun adalah mulhamun (orang yang mendapatkan ilham). [HR.Muslim]
Ibnu Hajar dalam menafsirkan kata al muhaddats, berkata: al muhaddats
dengan fathah dal-nya, yaitu seorang yang benar persangkaannya. Yaitu
orang yang dicampakkan pada hatinya sesuatu dari Malaikat. Maka
seakan-akan ada orang lain yang memberitahukannya. Sebagaian menafsirkan
al muhaddats dengan mukallam, yaitu orang yang dilawan bicara oleh
Malaikat yang bukan nabi. Atau pembicaraan dalam hatinya sekalipun dia
tidak melihat Malaikat yang berbicara dengannya. Dalam Musnad Al Humaidi
disebutkan, bahwa al muhaddats adalah orang yang diilhami kebaikan di
dalam hatinya. Dalam riwayat Tirmidzi dari Ibnu Uyainah, mengatakan:
yang dimaksud dengan al muhaddats adalah al mufahhamun (orang-orang yang
diberi kepahaman). [Fathul Bari, 7/50].
3. Dari Nawwas bin Sam’an, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ضَرَبَ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا عَلَى
كَنَفَيِ الصِّرَاطِ سُوْرَانِ لَهُمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ وَعَلَى
الْأَبْوَابِ سُتُورٌ وَدَاعٍ يَدْعُو عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ وَدَاعٍ
يَدْعُو مِنْ فَوْقِهِ ( وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ
وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ) فَالْأَبْوَابُ
الَّتِي عَلَى كَنَفَيِ الصِّرَاطِ حُدُودُ اللَّهِ لَا يَقَعُ أَحَدٌ فِي
حُدُودِ اللَّهِ حَتَّى يُكْشَفَ سِتْرُ اللَّهِ وَالَّذِي يَدْعُو مِنْ
فَوْقِهِ وَاعِظُ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ *
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala membuat perumpamaan dengan
shirath yang lurus. Di sampingnya ada dua tembok yang mempunyai pintu
terbuka. Dan di setiap pintu ada tirai dan penyeru yang mengajak kepada
ujung shirat dan penyeru di atasnya. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala
mengajak ke Daar Al Salam dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki. Pintu-pintu yang ada di samping shirath adalah hududullah
(larangan-larangan) Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan tidak ada seorangpun
yang jatuh kepada larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga membuka
tirai. Dan penyeru yang ada di atasnya adalah peringatan Rabbnya Azza wa
Jalla. [HR Ahmad, Tirmidzi dan Hakim, ia berkata shahih ‘ala syarti
Muslim; Imam Al Albani dalam kitab As Sunnah; Ibnu Abi Ashim
hal.14-15].
Ibnu al-Qayyim berkata; yang dimaksud dengan al waiz (peringatan) Allah
Subhanahu wa Ta'ala ialah ilham yang ada dalam hati seorang muslim,
diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala lewat perantaraan Malaikat. [Madarij
Al Salikin, 1/46].
4. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat yang
membenarkan mimpi mereka tentang lailatul qadar. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa ada seorang sahabat yang
melihat lailatul qadar ketika tidur pada malam duapuluh tujuh terakhir.
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ
كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
Saya melihat seperti mimpimu telah ada pada tujuh terakhir. Barangsiapa
yang ingin mencarinya, maka hendaknya dicari pada malam ketujuh
terakhir. [HR Bukhari]
Seperti ini juga yang terjadi pada kisah permulaan azdan. Yaitu Abdullah
bin Dzaid diajari tata cara adzan lewat mimpinya. Ketika
memberitahukannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
Beliau bersabda.
إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ
عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا
مِنْكَ فَقُمْتُ مَعَ بِلَالٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ
بِهِ قَالَ فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ
فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَيَقُولُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا
رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Sesungguhnya itu benar-benar mimpi yang baik Insya Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Pergilah kepada Bilal dan ajarkanlah apa yang anda lihat, dan
adzanlah dengannya, karena dia lebih keras suaranya darimu. Umar
mendengar yang demikian itu di rumahnya, kemudian keluar dengan mengulur
selendangnya dan berkata,”Demi Yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai
Rasulullah. Saya pernah bermimpi seperti mimpinya.” Rasulullah n
bersabda,”Segala puji bagi Allah.“ [HR Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan dia
menshahihkannya].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membenarkan mimpi para sahabat
tersebut, sehingga ia bisa dijadikan hujjah, Seandainya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak membenarkannya maka mimpi selain Nabi tidak
bisa dijadikan dalil.
5. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
Mimpi seorang mukmin adalah empat puluh enam bagian dari kenabian. [HR Bukhari].
Sebagian ulama mengatakan penisbatan mimpi kepada kenabian bukan dengan
hakikatnya. Karena yang demikian akan mengurangi kredibilitas kenabian.
Mimpi bukanlah bagian dari kenabian, kecuali kepada Nabi. [Fath, 10/60]
Namun yang dimaksud dengan al nubuwah di sini adalah al wahyu secara
umum. Rasulullah menyebutkan mimpi semua mukmin dan tidak
menghususkannya hanya kepada seorang Nabi. Mimpi merupakan bagian dari
wahyu secara umum. Namun seseorang tidak akan menjadi nabi hanya sekedar
bermimpi baik tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
sendiri, sebelum diturunkan Al Qur’an banyak bermimpi yang baik, namun
Beliau belum diangkat sebagai nabi kecuali setelah diturunkannya Al
Qur’an sebagai wahyu yang pertama.
Imam Al Aini berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mulai
mendapatkan mimpi yang baik agar tidak dikejutkan oleh datangnya
Malaikat yang membawa kenabian yang sangat berat, yang tidak mampu
dipikul oleh manusia biasa. Pendahuluan berupa mimpi, mendengar suara,
ucapan salam dari batu dan pohon, kemudian disempurnakan dengan kenabian
berupa datangnya Malaikat Jibril dalam keadaan terjaga.” [Umdah Al
Qari’, 1/60].
Namun, apakah mimpi semua orang bisa dianggap bagian dari kenabian?
Ketika Imam Malik ditanya demikian, Beliau membantah dan mengatakan,
”Apakah mereka akan mempermainkan kenabian? Mimpi memang bisa menjadi
bagian dari kenabian, tetapi jangan sekali-sekali bermain-main dengan
masalah kenabian!” [Tamhid, Ibni Abdi Al Baar,1/288]
Kesimpulannya, mimpi yang baik itu merupakan bagian dari kenabian dari
segi wahyu yang umum. Yaitu berupa ilham yang diberikan Allah ketika
tidur. Ubadah bin Shamith berkata, ”Mimpi seorang mukmin sebuah kalam
(pembicaraan) yang Allah berbicara dengan hambaNya ketika tidur.”
[Madarij Al Salikin, 1/51].
Dengan demikian wahyu secara umum bukan saja diberikan kepada para nabi,
tetapi juga kepada selain nabi yang berupa ilham. Wahyu kepada para
nabi sifatnya terjaga dari kekeliruan (ma’shum), berbeda dengan
selainnya. Banyak ayat yang menjelaskan tentang penggunaan kata wahyu
kepada selain nabi di antaranya:
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَأَوْحَيْنَآ إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ
عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلاَتَخَافِي وَلاَتَحْزَنِي إِنَّا
رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Dan Kami (wahyukan) ilhamkan kepada ibu Musa,"Susuilah dia, dan apabila
kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan
janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena
sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya
(salah seorang) dari para rasul. [Al Qashash:7].
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
وَإِذْأَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ ءَامِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا ءَامَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ
Dan (ingatlah), ketika Aku (wahyukan) ilhamkan kepada pengikut Isa yang
setia, "Berimanlah kamu kepadaKu dan kepada RasulKu." Mereka
menjawab,"Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul), bahwa
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." [Al
Maidah:111].
Juga Alla Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَأَوْحَى رَبُّكِ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah,"Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia." [An Nahl:68].
Tidak mesti ibunya Musa, Hawariyun apalagi lebah dengan mendapatkan
wahyu dari Allah akan menjadi seorang nabi. Dalam hal ini, Syaikul Islam
Ibnu Taimiyah berkata,”Dengan demikian wahyu adalah pemberitahuan yang
cepat dan tersembunyi, baik ketika terjaga maupun mimpi. Mimpi para nabi
ialah wahyu, dan mimpi orang mukmin ialah empat puluh enam bagian dari
kenabian, sebagaimana yang tsabit (pasti) dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.”
Ubadah bin Shamith berkata, ”Mimpi orang mukmin termasuk kalam
(percakapan) yang dilakukan oleh Allah dengan hambaNya ketika tidur,
begitu juga ketika terjaga, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah pada
hadits tentang fadhilah Umar di atas. Wahyu yang dimaksud di sini adalah
ilham. Diberikan Allah kepada selain nabi, yang bisa terjadi ketika
tidur atau terjaga.” (Majmu’ Fatawa, 12/398).
Nasihat imam syafei :
Dar al-Jil Diwan (Beirut 1974) p.34
Dar al-Kutub al-`Ilmiyya (Beirut 1986)
فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
Artinya :
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga
menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat
padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu
menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa.
Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari
ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
Nashihat IMAM MALIK RA:
و من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق
من تفقه و لم يتصوف فقد تفسق
و من جمع بينهما فقد تخقق
Artinya :
“ dia yang sedang Tasawwuf tanpa mempelajari fikih rusak keimanannya ,
sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawwuf rusaklah dia
. hanya dia siapa memadukan keduannya terjamin benar .
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman :
قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” ( QS Al Baqarah : 32 )
Diantara pelajaran yang bisa diambil dari ayat di atas adalah :
Bahwa semua ilmu yang dimiliki makhluq hidup di bumi dan di langit
adalah ajaran dari Allah swt, termasuk ilmu yang dimiliki oleh manusia.
Dengan demikian, kita katakan bahwa semua ilmu yang dimiliki oleh
manusia adalah Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang berasal dari Allah swt .
Timbul suatu pertanyaan, apa sebenarnya hakikat ilmu laduni menurut
pandangan Islam ? apakah seperti yang sering di pahami orang-orang sufi
selama ini atau ada arti lain yang lebih benar.
Pengertian Ilmu Laduni
Menurut Abu Hamzah As-Sanuwi, Ilmu laduni dalam pengertian umum terbagi
menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa belajar (wahbiy).
Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy).
Bagian pertama :
Bagian pertama ini, terbagi menjadi dua macam:
1. Ilmu Syar’iat, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang
harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu
tasyri’), baik yang langsung dari Allah maupun yang menggunakan
perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para
nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima
oleh Nabi Musa dari Nabi Khidlir . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
tentang Khidhir:
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا“
Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)
Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidlir alaihissalam berkata kepada Nabi Musa alaihissalam:
“Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah
Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga)
berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku
tidak mengetahuinya juga.”
Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan
diamalkan oleh setiap mukallaf sampai datang ajal kematiannya.
2. Ilmu Ma’rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib
melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau ru’ya
(mimpi) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin dan
shalih.
Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni”
di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau
diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam
mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa
berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.
Bagian Kedua :
Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah yang diberikan kepada semua
makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca,
menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.
Dari ketiga ilmu ini (syari’at, ma’rifat dan kasb) yang paling utama
adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syari’at, karena ia
adalah guru. Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap apabila menyalahi
syari’at. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di dalam Islam.
Bagaimana Ilmu Laduni menurut orang-orang sufi ?
Ilmu Laduni menurut Sufi adalah sebagai berikut :
1/ “Ilmu laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus diberikan oleh Allah
kepada para wali shufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli
hadits, tidak bisa mendapatkannya.
2/ “Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu
(syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidlir
alaihissalam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa alaihissalam adalah
ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir alaihissalam adalah ilmu kasyf
(hakikat). Sampai-sampai Abu Yazid Al-Busthami (261 H.) mengatakan:
“Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka
jika ia lupa apa yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang
alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan
saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”
3/ Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu merupakan hijab
(penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada
ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf,
langsung didikte dan diajari langsung oleh Allah, yang wajib diyakini
kebenarannya. Seperti Abd. Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul
Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis
kitab Al-Futuhatul Makkiyyah.
Untuk menafsirkan sebuah ayat atau untuk mengatakan derajat suatu hadits
tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun cukup dengan kasyf
sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka”Hatiku memberitahu aku
dari Tuhanku.” Atau”Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri,
langsung tanpa perantara apapun.”
Sehingga, akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, dishahihkan
oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita bisa
mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli
kasyf (tasawwuf).
Nilai-nilai ajaran tauhid, fiqih dan akhlaq sering dilihat
kecenderungannya pada bentuk formalnya saja, khususnya bidang ilmu yang
mengambil bentuk prilaku lahiriyah sebagaimana yang tampak dalam ilmu
syari'at. Formalisme dalam ritual Islam dipandang amat merugikan, maka
Allah mengingatkan kita terhadap adanya bahaya formalisme, sebagaimana
firman Allah:
وَإِنَّ رَبَّكَ لَيَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ
Artinya: "Dan sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar mengetahui apa yang
disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan." (Q. S. 27.
An-Naml, A. 74).
Ayat yang saya tulis di atas menunjukkan pada kita bahwa formalitas
belum tentu sesuai dengan kegaiban dalam fikiran (jalan fikiran) dan
kegaiban dalam hati (niat dan hajat dalam hati). Tidak sedikit orang
sholat secara jasadi, namun hati dan fikirannya sesungguhnya bukan
sedang sholat. Banyak orang jasadnya berwudhu' (bersuci, thoharoh
jasadi), tetapi hati dan fikirannya masih dipenuhi virus-virus goibis
sayithon, seperti iri, dengki, hasad, hasud, hasumat, dendam, riya dan
lain sebagainya, dan masih banyak sederetan contoh lainnya yang dapat
kita tuliskan dari hasil pengamatan kita terhadap laku orang perorangan
di sekitar kita yang dapat kit ambil pelajaran darinya bahwa formalisme
pada hakikatnya lebih cendrung merugikan nilai-nilai spiritual kita, itu
sebabnya Allah menyatakan bahwa Dia (Allah) benar-benar mengetahui apa
yang disembunyikan hati dan apa yang mereka nyatakan.
Penekanan pada formalisme seperti dalam ilmu syari'at ibadah yang lebih
cenderung menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah dan batal dalam
ritual ajaran Islam dengan tanpa diiringi penghayatan di dalamnya, tidak
dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan akhlaqul karimah untuk menjadi
insanul kamil, insanul muttaqin dan insanul muhsinin. Hal ini disebabkan
karena pengutamaan terhadap formalitas saja dapat berakibat ruh ritual
ibadah tidak dapat dirasakan, yang dirasakan hanyalah kesibukan ritual
jasad yang kering, kurang bermakna pada penjiwaan ritual pelakunya.
Padahal pengamalan ritual ajaran Islam senantiasa menuntut laku ritual
secara sadar dengan menghadirkan hati dan fikiran serta segenap jiwa dan
penjiwaan terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang sedang diamalkan.
Karena itulah sangat diperlukan pengajaran ilmu penghayatan nilai-nilai
spiritual ajaran Islam. Tentu saja hal ini bukanlah merupakan pekerjaan
semudah membalikkan telapak tangan, tetapi diperlukan riyadhoh istiqomah
yang dilakukan dengan terus menerus secara bertahap dan
berkesinambungan. Karena pada hakikatnya Islam menginginkan keterkaitan
nilai-nilai aspek ritual jasadi dengan ritual batini.
Karena ritual dualistis (jasadi dan batini) itulah maka tidak heran jika
diri kita senantiasa menginginkan adanya kekuatan kontak antara ritual
akhlaq jasadiyah yang lebih cenderung medium formal dengan ritual akhlaq
batini yang lebih cenderung non medium formal, sehingga menjadi suatu
kesatuan yang utuh. Dengan demikian berbagai ritual syari'at ibadah
jasadi (wudhu, puasa, infaq, shodaqoh, zakat, haji dan akhlaq fositif
lainnya) kontak dengan ritual ibadah batini terfokus dan terkonsentrasi
pada satu arah tujuan yang pasti hanya kepada Allah dan ikhlas karena
Allah yang realita ZatNya berwujud goibi, imani, hayati, maknawi, ruhani
dan nurani, bukan jasadi. Namun ritual akhlaq Islami tidaklah dilakukan
secara batini semata, tetapi juga harus diiringi dengan ritual ibadah
jasadi, kecuali dalam keadaan darurat jasadi seperti sakit dan
sebagainya yang tidak memungkinkan ritual ibadah jasadi dilakukan, maka
ritual ibadah batini sah dilaksanakan. Ritual ibadah jasadi dalam bentuk
ucapan dan ritual perbuatan nyata, di dalamnya mengandung maksud tujuan
untuk mempengaruhi batini dan menuntun aqal fikiran dan qolbi dalam
rangka upaya penghayatan terhadap ibadah yang akan, sedang dan telah
dilakukan. Dengan demikian ritual ibadah yang dilakukan itu, selain
mengandung hikmah untuk penghayatan pengabdian diri kepada Allah Zat
Yang Maha Goib, juga ritual tersebut mengandung efek kesucian jasadi wal
batini dan menjadikan pelakunya jauh dari virus-virus kemungkaran.
Dengan penghayatan spiritual seperti ini, sistem nilai yang berkaitan
dengan keimanan dan keakhlaqan berpadu utuh dengan sistem norma dalam
syari'at Islam.
Sejalan dengan itu, Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai pedoman dan tuntunan
abadi kita sepanjang masa, pastilah di dalamnya terkandung nilai-nilai
spiritual di samping nilai-nilai lainnya. Berbagai ayat dalam Al-Qur'an
dan sabda Rasul dalam kitab Al-Hadits menunjukkan secara jelas kepada
kita bahwa nilai-nilai spiritual itu memang ada, diantaranya sebagai
berikut:
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Q. S. 2. Al-Baqoroh, A. 115).
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي
لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka
itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q. S. 2.
Al-Baqarah, A. 186).
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya." (Q. S. 50. Qof, A. 16).
فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً
Artinya: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba
Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang
telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Q. S. 18. Al-Kahfi,
A. 65).
Ilmu laduni dalam literatur kitab-kitab salaf tidak hanya di peroleh
Nabi Khidhir saja, bahkan selain para Nabi, baik seorang wali atau shufi
juga bisa memperolehnya.
Dalam keterangan kitab-kitab tafsir di lingkungan Ahlussunnah wal
Jama’ah, ilmu laduni tersebut bisa diperoleh oleh seorang hamba yang
taat dan hatinya bersih. Dan ketetapan ini sudah sangat masyhur serta
banyak para wali atau shufi yang mendapatkannya.
Ibnu Hajar al-Haitami menyampaikan bahwa dalam Risalah al-Qusyairiyyah
dan Awarif al-Awarif (as-Suhrowardi) tentang wali yang mendapatkan
khabar ghaib sangat banyak .
Ibnu Hajar al-Haitami juga menuturkan bahwa mengetahui ilmu ghaib adalah
bagian dari karamah. Mereka dapat memperoleh dengan cara di khithobi
(sabda) secara langsung, di bukakannya hijab (kasyaf) dan di bukakan
kepadanya lauh mahfudz sehingga dapat mengetahuinya . (Fatawi
Haditsiyyah hal. 222 )
Adapaun dalil dan bukti bahwa ilmu tersebut bisa diperoleh oleh hamba yang taat dan bersih adalah :
Ayat al-Qur’an surat an-Nisa’ :113 tentang Nabi Muhammad yang menerima ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hal ghaib.
وَعَلَّمَكَ مَالَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
“Dan (Allah) telah mengajari dirimu ilmu yang engkau tidak menegtahuinya”
Ayat al-Qur’an surat Yusuf : 68 tentang Nabi Ya’qub yang menerima ilham dari Allah:
وَإِنَّهُ لَذُوْعِلْمٍ لِمَاعَلَّمْناَهُ
“Sungguh Dia (Ya’qub) adalah orang yang mempunyai ilmu, karena Kami telah mengajarinya”.
Hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ
قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ
فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ
قَالَ ابْنُ وَهْبٍ تَفْسِيرُ مُحَدَّثُونَ مُلْهَمُونَ
“Dari Nabi Muhammad Saw, bahwa beliau bersabda: ‘Di dalam umat-umat
sebelum kalian ada para muhaddatsun, maka jika ada satu dari umatku yang
termasuk di dalamnya, maka sesungguhnya ‘Umar bin Khaththab adalah
salah satu dari mereka”.
Ibnu Wahbi mengatakan :
‘Tafsir Muhaddatsun adalah orang-orang yang diberi ilham.”
Hadits ini mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa ilmu ilham bisa
didapatkan oleh selain Nabi Khidhir, seperti Sayyidina ‘Umar dan
lain-lain. Hadits Rosulalloh riwayat at-Tirmidzi dari Muadz bin Jabal
bahwa Rosulalloh bersabda :
“Aku melihat Allah, azza wa jalla menempelkan telapak-Nya di antara
bahuku, kemudian aku merasakan dinginnya jari-jari-Nya di antara
putingku dan kemudian tajalli-lah setiap sesuatu kepadaku dan aku
mengetahuinya sehingga aku dapat mengetahui apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi dan apa yang terjadi antara tanah timur (masyriq)
dan tanah barat (maghrib).” hadits ini di shahih-kan oleh al-Bukhari,
at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain.
Hadits Riwayat Ibnul Jauzi dalam Manaqib Umar tentang Sayyidina Umar
yang mengatahui tentaranya yang sedang berperang padahal beliau sedang
berkhuthbah. Hadits ini hasan sebagaimana di katakan oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar.
Riwayat tentang Sayyidana Abu Bakar yang pernah menebak kandungan
istrinya bahwa bayinya laki-laki. Dan itu ternyata benar adanya. Hadits
riwayat Abu Nu’iam al-Ashfahani dalam Hilyah al-Auliya’ dari Anas :
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ تَعَالَى عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Siapa yang mengamalkan apa yang dia ketahui, maka Allah akan memberinya
ilmu yang dia tidak ketahui.” ( Ash-Shawi dalam Hasyiyah Tafsir
al-Jalalain 1/182 menisbatkan ucapan tersebut kepada Imam Malik )
Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang hadits ini dan beliau menjawab :
“Sesuai apa yang dikatakan oleh Izzuddin bin Abdissalam bahwa
sesungguhnya orang yang mau mengamalkan apa yang dia ketahui baik wajib
syar’i, atau sunah atau menjauhi makruh dan haram, maka Allah akan
memberinya ilmu ilahi yang sebelumnya dia tidak mengetahuinya” ( Fatawi
Haditsiyyah hlm. 203-204. )
Ucapan Syaikh Ali al-Kisa’i :
قَالَ الدَّمِيرِيُّ : وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ الَّتِي سَأَلَ عَنْهَا
أَبُو يُوسُفَ الْكِسَائِيُّ لَمَّا ادَّعَى أَنَّ مَنْ تَبَحَّرَ فِي
عِلْمٍ اهْتَدَى بِهِ إلَى سَائِرِ الْعُلُومِ ، فَقَالَ لَهُ : أَنْتَ
إمَامٌ فِي النَّحْوِ وَالْأَدَبِ فَهَلْ تَهْتَدِي إلَى الْفِقْهِ ؟
فَقَالَ : سَلْ مَا شِئْتَ ، فَقَالَ : لَوْ سَجَدَ سُجُودَ السَّهْوِ
ثَلاَثًا هَلْ يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْجُدَ ؟ قَالَ : لاَ ؛ لِأَنَّ
الْمُصَغَّرَ لاَ يُصَغَّرُ
“Ad-Damiri berkata :
‘Masalah ini adalah masalah yang pernah ditanyakan oleh Abu Yusuf
(Hanafiyyah) kepada Ali al-Kisa’i ketika al-Kisa’i pernah mendakwahkan
bahwa siapa yang dalam satu ilmu luas layaknya samudera maka dia akan
bisa pada ilmu-ilmu yang lain.
Abu Yusuf bertanya:
‘Anda adalah imam dalam bidang nahwu dan sastra, apakah Anda bisa fiqh juga?
Al-Kisa’i menjawab :
‘Tanyalah yang Anda suka!’ Kemudian Abu Yusuf bertanya:
‘Andai ada orang yang sudah melakukan sujud sahwi tiga kali, apakah dia wajib bersujud untuk kedua kali?’ Al-Kisa’i menjawab :
‘Tidak, karena sesuatu yang sudah diperkecil (tashghir) tidak boleh
diperkecil lagi.” ( Disebutkan dalam kitab-kitab Fiqh Syafi’iyyah dalam
bab sujud sahwi. )
Ucapan al-Kisa’i tersebut menunjukkan bahwa siapa yang dalam satu
disiplin ilmu agama luas bak samudera, maka dia akan mendapat ilmu
laduni dengan bisa menguasai ilmu-ilmu yang lain.
Kisah yang diceritakan oleh al-Habib Abdullah Alawi al-Haddad tentang
seseorang yang semula bodoh kemudian menjadi alim lewat ilmu wahbi dan
ilmu ilahi (ilmu laduni) di bidang ushuluddin dan cabang-cabangnya.
Mereka adalah Sa‘id bin ‘Isa al-Amudi, Ahmad ash-Shayyad, Ali al-Ahdal
dan Abul Ghaits.
Dengan keterangan-keterangan ini pernyataan dan syubhat-syubhat mereka yang tidak pernah di dukung dalil sudah terbantahkan.