Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكُ ذَلِكَ
لاَمَحَااَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِيْنَا هُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ
زِيْنَا هُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِيْنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ
زِيْنِاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِيْنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ
يَهْوِى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّ بُهُ
“Setiap anak Adam telah mendapatkan bagian zina yang tidak akan bisa
dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat. Zina pada telinga adalah
mendengar. Zina lidah adalah berucap kata. Zina tangan adalah meraba.
Zina kaki adalah melangkah. (Dalam hal ini), hati yang mempunyai
keinginan angan-angan, dan kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau
mengurungkannya” (HR. Muslim)
Lidah merupakan organ tubuh yang paling mulia setelah hati, kedudukannya
ibarat juru bicara. Lidah juga merupakan organ tubuh yang selalu lunak,
lembut, dan senantiasa basah. Mencermati letak dan susunan anatomi
lidah, paling tidak ada tiga fungsi, yaitu indera pengecap, sebagai
organ pencernaan dan organ pembentuk huruf (organ komunikasi).
Lidah tersusun dari otot-otot dan dipermukaannya dilapisi lapisan
epitelium yang banyak mengandung kelenjar lendir. Selain itu terdapat
reseptor pengecap berupa kuncup. Kuncup pengecap dapat membedakan empat
macam rasa yaitu rasa manis, pahit, asin, dan asam. Kuncup rasa manis
lebih banyak terdapat di ujung lidah. Kuncup rasa asam lebih banyak
terdapat di tepi depan kiri kanan lidah. Kuncup rasa asin banyak
terdapat di tepi belakang kiri kanan lidah dan kuncup rasa pahit banyak
terdapat di pangkal lidah. Oleh karena itu, rasa pahit obat selalu
terasa di pangkal lidah.
Dalam proses pencernaan makanan, lidah berperan sebagai organ yang
bertugas menghantar makanan yang telah dikunyah gigi bisa masuk ke dalam
tenggorokan. Bayangkan jika kita tidak memiliki lidah, mungkin kita
akan kesulitan menelan makanan. Enzim amilase yang terdapat di kelenjar
ludah sangat dibutuhkan dalam proses pencernaan karbohidrat dalam
makanan kita. Itulah lidah salah satu komponen tubuh yang sangat penting
bagi kehidupan kita. Selain itu lidah merupakan alat utama bagi manusia
untuk berkomunikasi.
Berbicara adalah sesuatu yang kita butuhkan dalam melakukan komunikasi
sehari-hari. Melalui rutinitas pertukaran kata yang begitu sering
dilakukan, terkadang kita lupa akan nilai-nilai luhur yang menjadi
patokan bagi orang yang berkeyakinan. Dalam kutipan berikut, ditulis
ulang beberapa dalil pengingat yang dapat menuntun kita dalam menjaga
omongan kita. Walaupun banyak hal dirasa tidak mengejutkan, tidak ada
salahnya kiranya untuk mengulas sejumlah dalil penuntun yang baik ini.
Beberapa point pemeliharaan pembicaraan baik untuk diperhatikan seperti:
menghindari umpatan, menghindari penggunaan kata-kata kotor,
menghindari membuka aib orang dan diri sendiri, menghindari terlalu
banyak menyanjung seseorang karena dapat membuat yang bersangkutan lupa
diri, dsb.
Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah
dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki
amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah
dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar”
[Al-Ahzab : 70-71]
Dalam ayat lain disebutkan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ
بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم
بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena
sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian
kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara
kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]
Allah juga berfirman.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى
الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا
يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat
lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya,
seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada
suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat
pengawas yang selalu hadirs” [Qaf : 16-18]
Begitu juga firman Allah Ta’ala.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]
Pembicaraan dalam bahasa Al-Quran dinamai kalam. Dari akar kata yang
sama terbentuk kata lain dalam bahasa Arab yang berarti luka. Ini
menjadi peringatan bahwa kalam juga dapat melukai. Bahkan, luka yang
diakibatkan lidah bisa lebih parah dari pada oleh pisau. ”Anda menawan
apa yang akan diucapkan, tetapi begitu terucapkan maka andalah yang
menjadi tawanannya.”
Hendaknya semua pembicaran selalu dalam kebaikan. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
لاَ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ
أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ
ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali
bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau
berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia”.(QS.
An-Nisa [4]: 114).
وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
”dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna” (QS. Al Mu’minun [23]: 3)
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman pada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah
berkata baik atau lebih baik diam.” (HR Bukhari 6018 Muslim 47)
Hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat didengar. Tidak terlalu
keras dan tidak pula terlalu pelan. Ungkapannya jelas dapat difahami
oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.
عَنْ عَائِشَةَ رَحِمَهَا اللَّهُ قَالَتْ كَانَ كَلاَمُ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- كَلاَمًا فَصْلاً يَفْهَمُهُ كُلُّ مَنْ سَمِعَهُ.
Dari Aisyah rahimahallaahu, beliau berkata: “Bahwasanya perkataan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu perkataan yang jelas
sehingga bisa difahami oleh semua yang mendengar.” (HR Abu Daud 4839) .
Jangan membicarakan segala yang tidak berguna bagimu. Hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Termasuk kebaikan islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Janganlah kamu membicarakan semua apa yang kamu dengar. Abu Hurairah
Radhiallaahu ‘anhu di dalam hadisnya menuturkan : Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar”. (HR. Muslim)
Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di
fihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أنا زعيم بيت في ربض الجنة لمن ترك المراء وإن كان محقا، وبيت في وسط الجنة لمن ترك الكذب وإن كان مازحا
“Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang
menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin)
istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta
sekalipun bercanda”. (HR. Abu Daud).
Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah Radhiallaahu ‘anha. telah menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُحَدِّثُ حَدِيثًا لَوْ عَدَّهُ الْعَادُّ لَأَحْصَاهُ
“Sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila membicarakan
suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia
dapat menghitungnya”. (Muttafaq’alaih).
Tidak diulang-ulang kecuali untuk memberikan tekanan makna, karena
“Sebaik-baik ucapan adalah yang singkat dan membawa arti, dan
seburuk-buruk ucapan adalah yang panjang dan membosankan.”
Abdullah bin Mas’ud ra., memberi nasehat kepada masyarakatnya setiap
hari Kamis. Ada seseorang yang berkata, “Wahai Abu Abdir Rahman, saya
berharap engkau memberi nasehat kepada kami setiap hari.” Beliau
berkata, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya yang menghalangiku untuk itu
karena aku tidak suka membuat kalian bosan.” Selanjutnya ia berkata,
وَإِنيِّ أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ كَمَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِهَا مَخَافَةً
السَّآمَةَ عَلَيْنَا . متفق عليه
Aku selalu memilih waktu untuk kalian dalam memberi nasehat, sebagaimana
Nabi saw, memilih waktu untuk kami dalam memberi nasehat karena
khawatir membuat jenuh atas kami. (Muttafaq ‘alaih)
Dari ‘Ammar bin Yasir ra berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ
فِقْهِهِ فَأَطِيْلُوْا الصَّلاَةَ وَأَقْصِرُوْا اْلخُطْبَةَ . رواه مسلم
Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khuthbah,
merupakan bukti kemantapan pemahamannya. Maka panjangkan shalat dan
pendekkan khutbah! (HR. Muslim)
Menghindari perkataan jorok (keji). Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ
” seorang mu’min itu bukanlah pencela atau pengutuk atau yang keji
pembicaraannya”.. (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab al Mufrad).
Menghindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits Jabir Radhiallaahu ‘anhu disebutkan:
وإن أبغضكم إلي وأبعدكم مني يوم القيامة الثرثارون، والمشتشدقون والمتفيهقونز قالوا: يا رسول الله، ما المتفيهقون؟ قال: المتكبرون
“Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh
dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang
berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun”. Para shahabat
bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun? Nabi menjawab:
“Orang-orang yang sombong”. (HR. At-Turmudzi).
Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”. (QS. Al-Hujurat [49]: 12).
Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya,
juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya,
tidak menganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya.
Jangan memonopoli pembicaraan. Berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.
Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan
dan tidak mencari-cari kesalahan dan kekeliruan pembicaraan orang lain,
karena hal tersebut dapat mennyebabkan kebencian, permusuhan dan
pertentangan.
Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ
يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ
خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا
بِالأَلْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ
يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih
baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita
(yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan).
(QS. Al-Hujurat [49]: 11).
Larangan banyak bicara
Kita dilarang banyak bicara antara lain berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
Hadits dari Ibnu Umar:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ
كَثْرَةَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ وَإِنَّ
أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْ اللَّهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي
Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
“Janganlah kalian banyak bicara tanpa berdzikir kepada Allah, karena
banyak bicara tanpa berdzikir kepada Allah membuat hati menjadi keras,
dan orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang berhati keras.”
[HR Tirmidzi]
Hadits dari Al Mughirah ia berkata:
عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ وَأْدِ الْبَنَاتِ وَعُقُوقِ الْأُمَّهَاتِ وَعَنْ مَنْعٍ
وَهَاتِ وَعَنْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengubur anak
perempuan hidup-hidup, durhaka kepada ibu, tidak memberi tapi mau
menerima, banyak bicara, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta”.[HR
Ad-Darimi]
Hadits dari Abu Umamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ الْحَيَاءُ وَالْعِيُّ شُعْبَتَانِ مِنْ الْإِيمَانِ وَالْبَذَاءُ
وَالْبَيَانُ شُعْبَتَانِ مِنْ النِّفَاقِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ إِنَّمَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي غَسَّانَ
مُحَمَّدِ بْنِ مُطَرِّفٍ قَالَ وَالْعِيُّ قِلَّةُ الْكَلَامِ
وَالْبَذَاءُ هُوَ الْفُحْشُ فِي الْكَلَامِ وَالْبَيَانُ هُوَ كَثْرَةُ
الْكَلَامِ مِثْلُ هَؤُلَاءِ الْخُطَبَاءِ الَّذِينَ يَخْطُبُونَ
فَيُوَسِّعُونَ فِي الْكَلَامِ وَيَتَفَصَّحُونَ فِيهِ مِنْ مَدْحِ
النَّاسِ فِيمَا لَا يُرْضِي اللَّهَ
“Sifat malu dan al ‘iyyu adalah dua cabang dari cabang-cabang keimanan.
Sedangkan Al Badza` dan Al Bayanadalah dua cabang dari cabang-cabang
kemunafikan.” Abu Isa berkata; Ini adalah hadits Hasan Gharib. Ia
berkata, Al ‘Iyy adalah sedikit bicara dan Al Badza`adalah kata-kata
yang keji, sedangkan Al Bayan adalah banyak bicara seperi para
khatib-khatib yang memperpanjang dan menambah-nambahkan isi pembicaraan
guna memperoleh pujian publik dalam hal-hal yang tidak diridlai Allah.
[HR Tirmidzi]
Hadits dari Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ
ثَلَاثًا يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ
وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ
الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Allah meridlai kalian karena tiga perkara dan membenci dari
kalian tiga perkara. Meridhai kalian jika: kalian beribadah kepada-Nya
dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, kalian berpegang teguh
terhadap tali agama Allah secara bersama-sama dan saling menasehati
terhadap orang yang Allah beri perwalian urusan kalian. Membenci kalian
jika; Banyak bicara, menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya.” [HR
Malik]
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim no.64 dengan lafaz.
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ
لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau
menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari
gangguan lisan dan tangannya”.
Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir hadits no. 65
dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin
Umar.
Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadits tersebut. Beliau
berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal
itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah lalu,
yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat mendatang.
Berbeda dengan tangan. Pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan.
Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas
sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga
tidak kalah hebatnya dengan pengaruh tulisan”.
Oleh karena itu, dalam sebuah sya’ir disebutkan :
Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tangannku kan abadi
Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda.
مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang
ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya
jaminan masuk surga”
Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut,
sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.
Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab
Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda.
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”
Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan
hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan
bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata
hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya
tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi,
jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu
apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah
berbicara”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan
kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian
akan lebih banyak diam daripada berbicara”.
Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah
Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya
lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang
yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam.
Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah
orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak
mau jalan”.
Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih
banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu
menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut
hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang
diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan.
Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah
dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu
karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka
perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak
sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.
Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di
bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan
bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut
bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak
bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada
di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin
diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya
berarti tidak paham terhadap agamanya”.
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6477 dan
Muslim dalam kitab Shahihnya no. 2988 [3] dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda.
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا
يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak
dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam
neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”
Masalah ini disebutkan pula di akhir hadits yang berisi wasiat Nabi
kepada Muadz yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2616 yang sekaligus
dia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut
Rasulullah bersabda.
وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَ مَنَا خِرِهِِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya ?”
Perkataan Nabi di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu’adz.
يَا نَبِّيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَا خَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ
“Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan ?”
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits ini dalam kitab Jami’ Al-Ulum
wa Al-Hikam (II/147), “Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah balasan
dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap
orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan
perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak dia
akan menuai apa yang dia tanam. Barangsiapa yang menanam sesuatu yang
baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menunai kemuliaan.
Sebaliknya, barangsiapa yang menanam Sesuatu yang jelek dari ucapan
maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan”.
Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146), “Hal ini
menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya merupakan
pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya
maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur
semua urusannya”.
Kemudian pada hal. 149 beliau menukil perkataan Yunus bin Ubaid, “
Seseorang yang menganggap bahwa lisannya bisa membawa bencana sering
saya dapati baik amalan-amalannya”.
Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Seseorang yang
baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan orang
yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal
perbuatannya”.
Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda.
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ
اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وًِصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ
هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ
هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ
فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ
خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab,
‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun
harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di
kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa
pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa
dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah
dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan
kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis
diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka
diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya.
Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”.
Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no. 2564 dari Abu Hurairah, yang akhirnya berbunyi.
بِحَسْبِ امْرِيْ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسلِمَ كُلٌ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya
sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan
orang muslim lainnya”
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya hadits no.
1739 ; begitu juga Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah
berkhutbah pada hara nahar (Idul Adha). Dalam khutbah tersebut beliau
bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu, “Hari apakah ini?” Mereka
menjawab, “Hari yang haram”. Beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?”
Mereka menjawab, “Negeri Haram”. Beliau bertanya lagi, “Bulan apakah ini
?” Mereka menjawab, “Bulan yang haram”. Selanjutnya beliau bersabda.
فَإِنَّ دِمَا ئَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُم حَرَامٌ،
كَحُرمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِ كُمْ هَذَا في شَهْرِ كُمْ هَذَا،
فَأَعَادَهَا مِرَارًا، ثُمّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ : اللَّهُمَ هَلْ
بَلَّغْتُ؟ اللَّهُمَ هَلْ بَلَّغْتُ؟
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram bagi
masing-masing kalian (merampasnya) sebagaimana haramnya ; hari, bulan
dan negeri ini. Beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu
berkata, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu)? Ya
Allah, bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu) ?”
Ibnu Abbas mengomentari perkataan Nabi di atas, “Demi Allah yang jiwaku
berada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiat beliau untuk
umatnya. Beliau berpesan kepada kita, ‘Oleh karena itu, hendaklah yang
hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali
kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yaitu kalian saling memenggal
leher”.
Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2674 dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِشْلُ أُجُورِ مَنْ
تَبِعَهُ لآَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى
ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala
seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi
pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada
kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya
tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”
Al-Hafidz Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib (I/65) mengomentari hadits.
إِذَا مَاتَ الْإنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ إِحْدَى ثَلاَثٍ ...
“Apabila seorang manusia wafat, maka terputuslah jalan amal kecuali dari tiga perkara …dst”
Beliau berkata, “Orang yang mebukukan ilmu-ilmu yang bermanfaat akan
mendapatkan pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari orang yang
membaca, menulis dan mengamalkannya, berdaasrkan hadits ini dan hadits
yang semisalnya. Begitu pula, orang-orang yang menulis hal-hal yang
membuahkan dosa, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya
sendiri dan dosa dari orang-orang yang membaca, menulis atau
mengamalkannya, berdasarkan hadits.
مَنْ سَنَّ سُنَةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً
“Barangsiapa yang merintis perbuatan yang baik atau buruk, maka ….”
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6505 dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda.
إِنَّاللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Sesungguhnya Allah berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka kuizinkan ia untuk diperangi”
Takhtimah
Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu
disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi
yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika.
Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber
kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).
Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit
bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu.
Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat
tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk
meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat
Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul,
kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga
melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.
Komunikasi sangat berpengaruh terhadap kelanjutan hidup manusia, baik
manusia sebagai hamba, anggota masyarakat, anggota keluarga dan manusia
sebagai satu kesatuan yang universal. Seluruh kehidupan manusia tidak
bisa lepas dari komunikasi. Dan komunikasi juga sangat berpengaruh
terhadap kualitas berhubungan dengan sesama. Komunikasi Islam adalah
proses penyampaian pesan-pesan keislaman dengan menggunakan
prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam. Dengan pengertian demikian, maka
komunikasi Islam menekankan pada unsur pesan (message), yakni risalah
atau nilai-nilai Islam,dan cara (how),dalam hal ini tentang gaya bicara
dan penggunaan bahasa (retorika).
Pesan-pesan keislaman yang disampaikan dalam komunikasi Islam meliputi
seluruh ajaran Islam, meliputi akidah (iman), syariah (Islam), dan
akhlak (ihsan).Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits
ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan
efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau
etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan
setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang
dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam,
yaitu:
1. Qaulan Sadida (perkataan yang benar, jujur)
QS. An Nisa ayat 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا
خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka, yang mereka
khawatirkan terhadap (kesejahteraannya)nya. Oleh sebab itu, hendaklah
mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur
kata yang benar (qaulan sadida)”.
2. Qaulan Baligha (tepat sasaran, komunikatif, to the point, mudah dimengerti)
QS. An Nisa ayat 63
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ
عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam
hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah
mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka”.
3. Qaulan Ma’rufa (perkataan yang baik)
QS. Al Ahzab ayat 32
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي
قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan
ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.”
4. Qaulan Karima (perkataan yang mulia)
QS. Al Isra’ ayat 23
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ
كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara
keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan jangan engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya
perktaan yang baik”.
Dari ayat tersebut jelas bahwa kita diperintahkan untuk mengucapkan
perkataan yang baik atau mulia karena perkataan yang baik dan benar
adalah suatu komunikasi yang menyeru kepada kebaikan dan merupakan
bentuk komunikasi yang menyenangkan.
5. Qaulan Layyinan (perkataan yang lembut)
QS. Thaha ayat 43-44
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun karena benar-benar dia telah
melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”.
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan
Layinaberarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak
didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya
tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun
tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah
selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau
ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. DalamTafsir
Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran,
bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar
berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan
Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa
tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari
kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi.
Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam berdakwah, karena
kekerasan akan mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah ummat akan
menjauh. Dalam berdoa pun Allah memerintahkan agar kita memohon dengan
lemah lembut,“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara
yang lemahlembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas,” (Al A’raaf ayat 55)
6. Qaulan Maysura (perkataan yang ringan)
QS. Al Isra’ ayat 28
وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلا مَيْسُورًا
”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari
Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan
Maysura –ucapan yang mudah”.
Sesungguhnya komunikasi merupakan bentuk dari kehidupan manusia. Dalam
proses komunikasi hendaklah kita memperhatikan etika-etika dengan baik
agar komunikasi tersebut bisa berjalan dengan lancar dan efektif. Dengan
harapan apa yang disampaikan mudah diterima dan mendapat respon yang
baik pula. Etika-etika tersebut antara lain: dengan perkataan yang
benar, mulia, lemah lembut, ringan dan mudah dimengerti.
Islam sebagai agama yang sempurna mengajarkan dengan sangat detail
bagaimana komunikasi yang baik. Hal tersebut bisa kita lihat di al-quran
dan hadits.