Islam berarti ketundukan dan kepasrahan kepada Allah swt. Hal itulah
yang menjadikan seorang muslim berkomitmen dan berpegang teguh dengan
segala aturan yang dituangkan Allah swt didalam agama-Nya dengan
menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Merekalah
orang-orang yang betul-betul berpegang dengan tali Allah secara kuat,
firman Allah swt:
وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
Artinya: “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang
dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang
kepada buhul tali yang kokoh. dan Hanya kepada Allah-lah kesudahan
segala urusan.” (QS. Luqman : 22)
Mereka adalah orang-orang yang memurnikan keimanannya kepada Allah swt
dari segala bentuk kemusyrikan, kekufuran dan kemunafikan dan menjauhi
segala bentuk peribadahan yang ditegakkan tanpa adanya sikap
ihsan—beribadah dengan keyakinan bahwa dirinya disaksikan Allah swt–.
Karena itu Allah swt hanya menerima islam sebagai agama-Nya bahkan
mengatakan mereka yang beragama dengan selainnya dipastikan akan
mengalami kerugian di akherat, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Al Imran : 19)
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al imran : 85)
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap muslim yang tetap istiqomah didalam
keislamannya dan meninggal dalam keadaan muslim maka ia masuk surga
Allah swt dan sebaliknya seorang kafir dan terus berada didalam
kekafirannya hingga meninggal masih dalam kedaan kafir maka ia akan
menjadi penghuni neraka.
Dalam ajaran Islam diyakini terdapat sistem hukum yang mengatur segala
aspek kehidupan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi. Keberadaan
aturan tersebut adalah cerminan bahwasannya Islam tidak hanya sebagai
agama yang mengurusi urusan Ilahiyah semata, namun juga bercita-cita
untuk turut serta mewujudkan relasi sosial yang harmonis. Hal tersebut
merupakan implementasi dari konsep rahmatan lil’âlamîn atau sebagai
agama yang menebar rahmat bagi alam semesta. Salah satu aturan hukum
yang ada dalam Islam adalah adanya ketentuan tentang masalah riddah atau
murtad, yaitu suatu tindak pidana bagi seorang yang pindah agama dari
agama Islam ke agama lain.
Adapun seorang yang tadinya muslim kemudian keluar dari keislamannya
sedangkan dirinya sudah mencapai usia baligh, berakal dan mampu
menentukan pilihan maka orang itu disebut dengan murtad.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ
ثُمَّ ازْدَادُواْ كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلاَ
لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian
beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya,
maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan
tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An Nisaa :
137)
Jika seorang yang murtad dari islam kemudian bertekad kembali kepada
islam maka pintu taubat Allah swt senantiasa terbuka baginya selama
dirinya betul-betul melakukan taubat nashuha.
Terdapat beberapa kategori dalam konsep murtad, pertama murtad dengan
perbuatan, adalah melakukan perbuatan yang haram dengan menganggapnya
tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya
sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik dengan sengaja atau
menyepelekan. Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan
al-Qur’an dan berzina dengan menganggap bahwa zina tersebut bukan
merupakan suatu perbuatan yang hukumnya haram. Kedua murtad dengan
ucapan, yang maksudnya adalah ucapan yang menunjukkan kekafiran, seperti
menyatakan bahwa Allah mempunyai keturunan dengan anggapan bahwa ucapan
tersebut tidak menjadi suatu larangan. Ketiga murtad dengan itikad,
adalah itikad yang tidak sesuai dengan itikad (akidah) Islam, yang
termasuk dalam kategori ini adalah seperti beritikad langgengnya alam,
Allah itu sama dengan mahluk. Sesungguhnya kalau sekedar itikad tidaklah
menyebabkan seseorang menjadi murtad sebelum dibuktikan dalam bentuk
ucapan atau perbuatan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
dari Abu Hurairah :
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صعم : اِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ
عَنْ اُمَّتِي مَاوَسْوَسَتْ اَوْ حَدَّسْتَتْ بِهِ اَنْفُسُهَا مَالَمْ
تَعْمَلْ بِهِ اَوْتَكَلَّمَْ ( رواه مسلم )
Artinya : “Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku bayangan-bayangan
yang menggoda dan bergelora dalam jiwanya selama belum diamalkan atau
dibicarakan”. (H.R. Muslim).
Berdasarkan hadis tersebut jika itikad seseorang muslim yang
bertentangan dengan ajaran Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluar
dari Islam sebelum ia mengucapkan atau mengamalkannya.
Sanksi-sanksi Moral Bagi Orang Murtad
Pada kesempatan kali ini, paparan bahasan ini terfokuskan pada
dampak-dampak buruk orang yang murtad di dunia dan akherat, sebuah
fenomena yang cukup banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Sebagian
orang begitu mudah mengganti akidah Islamnya, entah karena kesulitan
ekonomi, anggapan semua agama itu sama dan mengajak kepada kebaikan,
ataupun kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Jika menyadari betapa
bahaya besar akan menimpa mereka usai menanggalkan baju Islamnya,
mungkin mereka tidak akan pernah melakukan tindakan bodoh tersebut.
Para Ulama Islam (kalangan Fuqaha) telah membahas konsekuensi hukum yang
berlaku pada orang Islam yang pindah agama dalam buku-bukum fiqih
mereka dalam pasal ar-riddah. Berikut ini konsekuensi buruk dari
perbuatan mencampakkan Islam – satu-satunya agama yang diridhai Allâh
Azza wa Jalla – dengan memeluk agama lainnya, menjadi seorang nasrani
atau pemeluk agama lainnya.
a. Amal Ibadahnya Terhapus
Banyaknya ibadah yang telah dilakukan, tidak akan pernah bermanfaat bagi
pelakunya, bahkan berguguran tanpa ada hasil yang bisa dipetik, apabila
di kemudian hari dia kufur kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan tempat
kembalinya adalah neraka kekal abadi di dalamnya, jika mati dalam
kekufuran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ
وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan
di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” [al-Baqarah/2:217]
b. Haknya Sebagai Seorang Muslim Sirna
Seorang Muslim wajib menunaikan orang Muslim lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاَمِ ،
وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَاِئزِ ، وَإِجَابَةُ
الدَّعْوَةِ ،
وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
“Hak seorang Muslim yang wajib ditunaikan oleh orang Muslim lainnya ada
lima: menjawab salam, mengunjungi yang sedang sakit, mengiringi
jenazahnya, memenuhi undangannya, mendoakan yang bersin.” [HR.
al-Bukhâri dan Muslim]
Berdasarkan hadits tersebut, maka seorang Muslim tidak wajib menjawab
lontaran salam dari orang yang murtad dari Islam, tidak perlu
menengoknya tatkala sakit, tidak perlu menghormati dan mengiringi
jenazahnya bila mati, tidak boleh mendatangi undangannya, dan tidak
boleh mendoakannnya ketika si murtad bersin.
c. Haram Menikahi Seorang Muslimah. Apabila Telah Menikah, Maka Otomatis Pernikahannya Batal Demi Hukum
Islam melarang umatnya menikah dengan non-muslim secara umum, serta
merupakan syarat sah suatu pernikahan Islami adalah kedua mempelai
beragama Islam – kecuali dengan wanita Ahli Kitab dengan persyaratan
yang ketat – . Adapun pernikahan seorang Muslim dengan seorang wanita
musyrik selain Ahli Kitab, pernikahan itu tidak sah. Wanita Muslimah pun
tidak boleh menikah dengan lelaki kafir, termasuk lelaki yang berstatus
murtad. Sebab pernikahan seorang Muslimah (atau lelaki Muslim) dengan
orang yang murtad pernikahan yang telah terjalin menjadi putus dan batal
secara otomatis. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا
تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ
خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah/2:221]
Demikian juga Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Maka jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
Maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan
orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.”
[al-Mumtahanah/60:10]
Dengan demikian, dalam Islam tidak halal lagi bagi pasangan yang salah
satunya telah murtad untuk melakukan hubungan layaknya suami isteri.
d.Tidak Boleh Menjadi Wali Dalam Pernikahan
Seorang wanita muslimah apabila hendak menikah, maka memerlukan seorang
wali untuk menikahkannya, baik bapaknya, pamannya dan seterusnya. Akan
tetapi, misalnya bapak atau walinya murtad, maka tidak berhak menikahkan
anak atau kemenakannya yang Muslimah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” [at-Taubah/9:71]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ
أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian
mengambil mereka menjadi pemimpin. Maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zhalim.” [al-Mâ’idah/5:51]
Hal ini dipertegas oleh sabda yang menyatakan bahwa, tidak ada
pernikahan yang sah kecuali atas izin seorang wali dan disaksikan oleh
dua orang lelaki yang adil sebagai saksi pernikahan. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا نِكاَحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidaklah suatu pernikahan itu (sah) kecuali dengan seorang wali dan dua
orang saksi yang adil.” [HR. al-Baihaqi dan Ibnu Hibbân dengan sanad
yang shahih]
Pengertian orang adil di sini ialah orang yang jauh dari dosa besar dan
tidak terus-menerus melakukan dosa kecil. Atas dasar itu, seorang yang
telah murtad dari Islam lebih tidak berhak lagi untuk menjadi wali dan
saksi dalam pernikahan.
e. Tidak Mewarisi dan Tidak Diwarisi Hartanya
Apabila seorang bapak meninggal dunia dalam keadaan kafir (termasuk
orang yang mati dalam keadaan murtad), maka anak dan ahli warisnnya yang
beragama Islam tidak boleh mewarisi harta peninggalan bapaknya
tersebut. Sebagian ulama menyatakan bahwa harta orang seperti ini
menjadi fai’ dan masuk ke Baitul Mal kaum Muslimin dan digunakan untuk
kemaslahatan kaum Muslimin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Tidaklah seorang Muslim boleh mewarisi (harta) orang kafir, demikian
juga orang kafir tidak mewarisi (harta) seorang Muslim.”
[Muttafaqun’alaih]
Pada kasus yang lain, apabila seorang bapak yang beragama Islam
meninggal dunia, kemudian di antara anaknya atau ahli warisnya ada yang
non-Muslim (termasuk murtad) maka dia tidak berhak mendapatkan bagian
dari harta ayahnya.
f. Jika Mati, Tidak Dishalati, Tidak Dikafani Serta Tidak Boleh Didoakan
Apabila seseorang mati dalam keadaan murtad dari Islam, maka dia tidak
boleh dishalati, dikafani maupun didoakan. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ
قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ
فَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu sekali-kali mensholatkan (jenazah) seorang yang mati
di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya.
Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allâh dan Rasûl-Nya dan mereka
mati dalam keadaan fasik.” [al-Taubah/9:84]
Sangsi Bagi Yang Murtad Berulang Kali
Namun para ulama berbeda pendapat terhadap orang yang kemurtadannya terjadi berulang-ulang hingga lebih dari tiga kali :
1. Para ulama Hambali, riwayat dari para ulama Hamafi dan juga Malik
berpendapat bahwa tidaklah diterima taubat orang yang berulang-ulang
murtad berdasarkan firman Allah swt:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ
ثُمَّ ازْدَادُواْ كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلاَ
لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian
beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya,
maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan
tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An Nisaa :
137)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian
bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan
mereka Itulah orang-orang yang sesat.” (QS. Al Imron : 90)
Karena berulang-ulangnya sikap murtad menunjukkan kerusakan aqidahnya
dan minimnya kepedulian kepada agamanya maka orang itu harus dibunuh.
2. Para ulama Syafi’i dan pendapat yang masyhur dikalangan para ulama
Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa taubat seorang yang murtad diterima
walaupun kemurtadannya terjadi berulang-ulang, berdasarkan firman Allah :
قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُواْ فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأَوَّلِينِ
Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka
tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi.
Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap)
orang-orang dahulu ". (QS. Al Anfal : 38)
Sabda Rasulullah saw,”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga
mereka mengatakan,’Laa Ilaha Illallah’ dan apabila mereka mengatakan
‘Laa Ilaha Illallah’ maka terpeliharalah dariku agama dan harta mereka
kecuali dengan haknya dan hisab mereka pada Allah swt.”
Mereka juga menegaskan bahwa seorang yang murtad berkali-kali apabila
bertaubat untuk yang kedua kalinya harus diancam dengan pukulan atau
dikurung dan tidak dibunuh.
Ibnu Abidin mengatakan bahwa apabila orang itu murtad untuk yang kedua
kalinya kemudian bertaubat maka Imam harus memukulnya dan memberikan
kebebasan kepadanya dan jika ia kembali murtad untuk yang ketiga kalinya
kemudian bertaubat maka ia harus dipukul dengan pukulan yang
menyakitkan dan dikurung sehingga tampak padanya bekas-bekas taubat
kemudian diberikan kebebasan. Dan jika dia kembali murtad maka
diperlakukan seperti itu lagi selamanya sehingga dia kembali kepada
islam, seperti ini pula pendapat para ulama Maliki dan Syafi’i. (al
Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4959)
Jadi pintu taubat bagi teman anda untuk kembali kepada islam setelah
kemurtadannya yang berulang-ulang masih tetap terbuka selama taubatnya
itu dilakukan dengan penuh kesungguhan lahir maupun batin bukan seperti
taubat-taubat yang dilakukan sebelumnya.
Adapun mereka yang tidak diterima taubatnya—sebagaimana disebutkan
didalam surat al imron : 90—adalah mereka yang tidak bertaubat dari
kekafiran dan kemusyrikan yang telah dilakukannya dengan kembali kepada
islam.
Tentang surat An Nisaa ayat 137 ini, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
menyebutkan pendapat Mujahid dan para mufassir lainnya yaitu mereka
bertambah kekafirannya dan terus teguh dalam kekafiran itu hingga mereka
meninggal.
Ibnu Taimiyah kemudian mengatakan bahwa hal itu dikarenakan seorang yang
bertaubat adalah yang kembali dari kekafirannya dan barangsiapa yang
tidak bertaubat (darinya) maka sesungguhnya ia adalah orang yang terus
menerus berada didalam kekafiran setelah kekafirannya.’
Sedang firman-Nya “kemudian bertambah kekafirannya” seperti seorang yang
mengatakan,”Kemudian mereka berada didalam kekafiran dan terus menerus
didalam kekafiran dan masih teguh dengan kekafirannya setelah keislaman
mereka kemudian bertambah lagi kekafiran mereka dan tidak terdapat
pengurangan didalam kekafirannya itu maka merekalah orang-orang yang
taubatnya tidak diterima yaitu taubat yang dilakukannya tatkala
menjelang kematiannya.
Karena orang yang bertaubat sebelum saat-saat kematiannya adalah orang
yang bertaubat dengan segera dan kembali dari kekafirannya maka hal itu
tidaklah menambah kekafirannya akan tetapi menguranginya. Hal itu
berbeda dengan seorang yang terus menerus berada didalam kekafiran
hingga waktu yang ditentukan yang tidak ada lagi waktu baginya untuk
mengurangi kekafirannya apalagi meruntuhkan kekafiran itu. (Majmu’ al
Fatawa juz XVI hal 30)
Bersegeralah wahai saudaraku untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya
karena pintu taubat itu masih terbuka, kembalilah ke jalan Allah swt,
perkuatlah hubungan anda dengan-Nya dengan ibadah-ibadah yang
diperintahkan terutama shalat lima waktu. Cintailah rasul-Nya, Muhammad
saw dengan menerapkan sunnah-sunnahnya didalam kehidupan anda.
Baca dan pelajarilah Al Qur’an karena ia adalah tali Allah yang kuat
yang menghubungkan anda dengan-Nya dan penunjuk jalan kehidupan anda
meraih kebahagiaan di dunia dan akherat. Jauhilah setan dengan segala
bisikannya yang terus dihembus-hembuskan kedalam hati anda demi
menimbulkan berbagai keraguan akan kebenaran islam dan memalingkan anda
dari jalan kebenaran. Kemudian pelajarilah islam dari sumbernya yang
benar yang bersandar kepada Al Qur’an, sunnah dan pendapat para ulama
yang dipercaya baik para ulama terdahulu maupun yang belakangan.
Adapun perbuatan murtad diancam dengan tiga macam hukuman :
Hukuman pokok, hukuman pokok perbuatan murtad adalah hukuman mati.
Bentuk hukuman ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh HR.
Bukhori dari ibn Abas berikut ini :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ عَلِيًّا
عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَحْرَقَ نَاسًا ارْتَدُّوا عَنِ الإِسْلاَمِ فَبَلَغَ
ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَمْ أَكُنْ لأَحْرِقَهُمْ بِالنَّارِ
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُعَذِّبُوا
بِعَذَابِ اللَّهِ ». وَكُنْتُ قَاتِلَهُمْ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ ». فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا عَلَيْهِ
السَّلاَمُ فَقَالَ وَيْحَ ابْنَ عَبَّاسٍ.
Artinya : Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud : Sesungguhnya Ali telah
membakar orang-orang murtad. Berita Kejadian ini sampai kepada Ibnu
Abbas, kemudian dia berkata : Aku tidak akan membakar orang Atheis.
Rasul bersabda “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah”. Dan aku
akan membunuh mereka karena ucapan Nabi ”Barang siapa mengganti
agamanya, maka bunuhlah dia”. Reaksi Ibnu Abbas ini diketahui Ali, lalu
Ali berkata ”Ibnu Abbas benar”.
Dalam Islam, penjagaan aqidah umat Islam menjadi perhatian yang sangat
serius. Seseorang tak bisa dengan begitu mudah berpindah-pindah agama.
Sebagai gambaran, umat Islam dilarang memaksa non-Muslim untuk memeluk
Islam, hal ini wajar, karena orang-orang yang mau menggunakan akal
pikiran dan hatinya tentu bisa membedakan mana kebenaran dan mana
kesesatan. Selama orang mau berpikir, tak perlu memaksa mereka masuk
Islam, secara sadar mereka akan masuk ke dalamnya dengan senang hati.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Sungguh telah
jelas jalan kebenaran dari jalan kesesatan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Jika ada non-Muslim yang ingin masuk Islam, maka sungguh ia telah
mendapat hidayah. Umat Islam akan dengan senang hati menerima mereka,
dan menjadikan mereka saudara. Allah ta’ala berfirman:
إنما المؤمنون إخوة
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 10)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
المسلم أخو المسلم
Artinya: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.” (HR.
Al-Bukhari [2442, 6951], Muslim [2564, 2580], Abu Dawud [3070, 3256,
4893], at-Tirmidzi [1426, 1927, 3087], Ibn Majah [2119, 2246], dan
lainnya)
Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang ingin keluar dari Islam, maka
sejatinya ia sedang tersesat dari jalan yang benar setelah sebelumnya ia
mendapat hidayah. Orang seperti ini harus diselamatkan, ia harus
diingatkan akan kebenaran Islam dan kesesatan ajaran selain Islam. Jika
ia bersedia kembali ke pelukan Islam, berarti ia telah diterangi cahaya
kebenaran, dan dijauhkan dari suram dan gelapnya kesesatan. Namun jika
ia tetap memilih berada di jalan kesesatan, setelah sebelumnya ia
dinaungi hidayah, berarti ia telah memilih siksa Allah di dunia dan
akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ومن يرتدد منكم عن دينه فيمت وهو كافر فأولئك حبطت أعمالهم في الدنيا والآخرة وأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون
Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu
dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di
dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 217)
Ulama sepakat, sebagaimana diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, bahwa
laki-laki yang murtad hukumannya adalah dibunuh, dengan syarat ia
baligh, berakal, dan tidak dalam keadaan dipaksa. Bagi perempuan yang
murtad pun hukumannya adalah dibunuh menurut mayoritas fuqaha, kecuali
kalangan Hanafiyah.
Ulama berdalil dengan dua hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
من بدل دينه فاقتلوه
Artinya: “Siapa saja yang mengganti agamanya (dari Islam ke agama lain),
maka bunuhlah ia.” (HR. Al-Bukhari [3017, 6922], Abu Dawud [4351],
at-Tirmidzi [1458], an-Nasai [4059, 4060, 4061, 4062, 4063, 4064, 4065],
Ibn Majah [2535], dan lainnya)
لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى
ثلاث الثيب الزاني والنفس بالنفس والتارك لدينه المفارق للجماعة
Artinya: “Tidak halal darah seorang muslim, yang bersaksi tiada tuhan
selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, kecuali karena
salah satu dari tiga hal, yaitu pezina yang sudah menikah, membunuh
jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari
jamaah kaum muslimin.” (HR. Muslim [1676]. Diriwayatkan juga oleh
al-Bukhari dan imam-imam ahli hadits lainnya dengan redaksi
masing-masing)
Hukuman bunuh bagi murtadin yang tak mau bertaubat ini jelas akan
menjaga kemuliaan Islam dan kaum muslimin, sekaligus menjaga aqidah umat
Islam dari syubhat yang akan disebarkan murtadin jika mereka bebas
berkeliaran di tengah-tengah umat Islam. Hukuman ini akan menjaga
keutuhan jamaah kaum muslimin dari perpecahan, sekaligus menjaga mereka
dari berbagai kerusakan.
Sayangnya, di negeri kita yang tercinta ini, hukum ini tak diterapkan.
Setiap orang bebas sekehendak hatinya berpindah-pindah agama, sehingga
keagungan aqidah Islam seakan-akan tak ada harganya. Ujungnya, syubhat
dari kalangan murtadin ini menyebar di tengah-tengah masyarakat,
berbagai pemikiran sesat dari kalangan murtadin dan zanadiqah
diagung-agungkan, sedangkan kemuliaan Islam dihinakan. Ini adalah
musibah terbesar.
Kemurtadan adalah bencana bagi pelaku baik di dunia terlebih di akhirat,
sehingga setiap Muslim harus ekstra hati-hati darinya, agar tidak
terjerumus ke dalamnya. Melalui pembahasan ini pula seyogyanya seorang
Muslim bersikap tegas (bersikap proporsional) terhadap orang-orang yang
rela menanggalkan akidah Islamnya. Karena sebagian umat menyikapi
keluarganya yang murtad dengan dingin-dingin saja seolah-olah tidak
terjadi apa-apa. Semoga kita dijauhkan dari bencana seperti ini dan
diwafatkan dalam keadaan memegangi akidah Islamiyyah, sehingga kelak
dikumpulkan dengan penduduk Jannah. Amin.