Mandi yang dimaksud di sini bukan mandi seperti yang dilakukan oleh
manusia setiap harinya. Yakni mengguyur seluruh tubuhnya dengan air
sepuasnya lalu menggosok-gosok dengan sabun atau sesekali menggunakan
shampo atau selainnya. Hal tersebut dilakukan tanpa sengaja berniat
untuk mandi janabat, haidl ataupun nifas atau tanpa mengerjakan
aturan-aturan mandi sebagaimana telah dipahami dalam kaidah-kaidahnya.
Namun mandi di dalam pembahasan ini adalah mandi yang dikerjakan ketika
hendak menunaikan sholat yang dikarenakan adanya alasan sesuatu semisal
karena junub lantaran mimpi atau melakukan hubungan suami istri,
terhentinya darah haidl atau nifas dan selainnya. Dan mandi itupun
dilaksanakan dengan beberapa aturan semisal berniat unruk mandi,
mengucapkan tasmiyah, mengerjakan wudlu dan seterusnya.
قال الله سبحانه و تعالى ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا
تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَ أَنتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا
تَقُولُونَ وَ لَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا))
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ((Wahai orang-orang beriman
janganlah kalian mendekati sholat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk
sampai kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan. Dan janganlah pula
dalam keadaan junub sampai kalian mandi kecuali hanya sekedar untuk
melewati jalan… Q.S. an-Nisa’/4: 43 )).
Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ”Merupakan dalil bagi apa yang
dipegang oleh tiga imam yaitu Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i
bahwasanya diharamkan bagi orang junub untuk berdiam diri di dalam
masjid sampai ia mandi atau tayammum jika tiada air atau ia tidak mampu
menggunakannya dengan caranya”.
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, ”Wajibnya
mandi atas orang yang junub yaitu orang yang mengalami janabat dengan
sebab mimpi lalu ia melihat air (mani) atau menjimak istrinya yakni ia
memasukkan kemaluannya ke dalam farji istrinya walaupun tidak
mengeluarkan air (mani)”.
قال الله سبحانه و تعالى ((وَ إِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا))
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ((maka apabila kalian junub maka bersucilah)). [QS. Al-Ma’idah/ 5: 6].
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Yaitu mandilah dengan air”.
Berkata al-Imam al-Baghowiy rahimahullah , ”Yaitu mandilah”.
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Apabila
kalian junub maka bersucilah)) yaitu jika seseorang di antara kalian
mengalami junub dari sebab jimak dan mimpi. Maka barangsiapa yang
menjimak istrinya yaitu memasukkan farjinya ke dalam farji istrinya
walaupun tidak inzal yakni tidak mengeluarkan air mani maka berarti ia
telah junub. Sebagaimana seseorang mimpi lalu keluar air mani darinya
maka iapun telah junub. Bahkan semua orang yang keluar mani dari sebab
merasakan suatu kenikmatan di dalam tidur ataupun terjaga maka
sungguh-sungguh ia telah junub. Dan terhentinya darah haid seorang
wanita atau darah nifasnya sama seperti junub yang mewajibkan mandi
darinya. Firman-Nya; ((maka bersucilah)) yang diinginkan adalah maka
mandilah. Sunguh-sungguh sunnah telah menjelaskan tentang cara mandi
yaitu seseorang niat menghilangkan hadats besar dengan hatinya, membasuh
kedua telapak tangannya sambil mengucapkan “bismillah” , mencuci
farjinya dan (kotoran) yang ada disekitarnya kemudian berwudlu dengan
wudlu yang telah dikenal. Kemudian menyela-nyela akar rambutnya dengan
basahan kedua tangannya. Kemudian membasuh kepalanya tiga kali. Kemudian
menuangkan air ke atas sebelah tubuhnya yang kanan seluruhnya dari atas
sampai bawah, lalu yang kiri. Diutamakan menjaga tempat-tempat yang
kadang-kadang air tidak mengenainya seperti pusar, bawah ketiak dan juga
kedua pangkal paha”.
Ayat dan penafsiran di atas menjelaskan kepada setiap umat Islam
bahwasanya orang junub tidak boleh mendekati apalagi menunaikan sholat
sehingga ia mandi, yakni mandi janabat.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَ عُدِّلَتِ
الصُّفُوْفُ قِيَامًا فَخَرَجَ إِلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و
سلم فَلَمَّا قَامَ فىِ مُصَلاَّهُ ذَكَرَ أَنَّهُ جُنُبٌ فَقَالَ لَنَا:
مَكَانَكُمْ ثُمَّ رَجَعَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَيْنَا وَ رَأْسُهُ
يَقْطُرُ فَكَبَّرَ فَصَلَّيْنَا مَعَهُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “Sholat telah diikomatkan
dan shaff telah diluruskan, lalu keluarlah Rosulullah Shallallahu alaihi
wa sallam kepada kami. Ketika beliau telah berdiri di tempat sholat,
beliau teringat masih dalam keadaan junub. Lalu beliau bersabda kepada
kami, “Tetaplah di tempat kalian!”. Kemudian beliau kembali dan mandi
lalu keluar kepada kami sedangkan kepalanya masih menetes (air). Lalu
Beliau bertakbir dan kamipun sholat bersamanya. [HR al-Bukhoriy: 275,
639, 640, Muslim: 605, Abu Dawud: 235, an-Nasa’iy: II/ 81-82, 89 dan
Ahmad: II/ 283].
عن أبي بكرة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم دَخَلَ فىِ صَلاَةِ
اْلفَجْرِ فَأَوْمَأَ بِيَدِهِ أَنْ مَكَانَكُمْ ثُمَّ جَاءَ وَ رَأْسُهُ
يَقْطُرُ فَصَلَّى بِهِمْ (و فى رواية: وَ قَالَ فىِ آخِرِهِ: فَلَمَّا
قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَ إِنيِّ كُنْتُ جُنُبًا)
Dari Abi Bakrah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam masuk untuk sholat fajar. Lalu ia memberi isyarat
dengan tangannya, ”Tetaplah di tempat kalian. Kemudian Beliau datang
sedangkan kepalanya mengucurkan (air) lalu Beliau sholat dengan mereka”.
(Di dalam satu riwayat, dan ia berkata di akhirnya, ”Ketika Beliau
selesai dari sholatnya, Beliau bersabda, ”Aku ini hanyalah manusia dan
sesungguhnya aku tadi malam keadaan junub”). [HR Abu Dawud: 233, 234 dan
Ahmad: V/ 41].
Dalil-dalil hadits di atas menjelaskan bahwasanya Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam pernah menangguhkan sholat fajar dan menyuruh para
sahabat radliyallahu anhum untuk tetap di tempat lalu beliau pergi
mandi. Padahal waktu itu Beliau sudah berada di hadapan mereka, ikomah
sudah didengungkan dan shaffpun sudah diluruskan, karena Beliau teringat
masih dalam keadaan junub dan belum mandi janabat. Maka Beliaupun tidak
bertakbir untuk memulai sholat. Hal ini menunjukan bahwasanya sholat
seseorang itu tidak sah jika dalam keadaan junub sampai ia mandi
janabat, sebagaimana tidak sahnya orang sholat dalam keadaan mabuk. Oleh
sebab itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menegur Amr bin
al-Ash radliyallahu anhu karena Beliau menyangkanya sholat dalam keadaan
junub tetapi ketika Amr menerangkan kepada Beliau bahwasanya ia telah
bertayammum dan menjelaskan juga akan udzurnya maka Beliaupun tertawa
dan tidak menyangkalnya.
عن عمرو بن العاص قَالَ: احْتَلَمْتُ فىِ لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ
فىِ غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ
أَهْلِكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابىِ الصُّبْحَ
فَذَكَرُوْا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: يَا عَمْرُو
صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِكَ وَ أَنْتَ جُنُبٌ؟ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي
مَنَعَنيِ مِنَ اْلاِغْتِسَالِ وَ قُلْتُ: إِنيِّ سَمِعْتُ اللهَ
يَقُوْلُ((وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا)) فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ لَمْ يَقُلْ
شَيْئًا
Dari Amr bin al-Ash radliyallahu anhu berkata, ”Aku pernah bermimpi di
suatu malam yang sangat dingin pada waktu perang Dzat as-Salasil. Aku
khawatir jika aku mandi maka aku akan binasa. Lalu aku tayammum kemudian
sholat shubuh bersama para shahabatku”. Lalu mereka menceritakan hal
tersebut kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda,
”wahai Amr, engkau sholat bersama para shahabatmu sedangkan engkau
dalam keadaan junub?”. Lalu aku khabarkan kepada Beliau penyebab yang
mencegahku dari mandi. Dan aku berkata, ”sesungguhnya aku mendengar
Allah berfirman, ((dan janganlah kalian membunuh diri kalian
sesungguhnya Allah amat penyayang kepada kalian. QS. An-Nisa’/4: 29))”.
Maka tertawalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallamdan tidak berkata
sesuatu apapun. [HR Abu Dawud: 334, Ahmad: IV/ 203-204, al-Hakim: 648
dan al-Bukhoriy secara ta’liq di dalam Fat-h al-Bariy: I/ 454].
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah, ”Di dalam hadits
ini diperbolehkan tayammum bagi orang yang khawatir jatuh ke dalam
kebinasaan dari sebab menggunakan air (yaitu mandi), sama saja karena
cuaca dingin atau selainnya. Diperbolehkan sholat orang yang tayammum
bersama orang yang berwudlu dan diperbolehkan berijtihad di masa Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam”.
عن عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ حُبَيْشٍ سَأَلَتِ النَّبِيَّ صلى
الله عليه و سلم قَالَتْ: إِنيِّ أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ
الصَّلاَةَ ؟ فَقَالَ: لاَ إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ وَ لَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ
قَدْرَ اْلأَيَّامِ الَّتيِ كُنْتِ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ
اغْتَسِلِيْ وَ صَلِّي
Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Fatimah binti Hubaisy pernah
bertanya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata,
“Sesungguhnya aku sedang istihadlah, maka aku tidak bersih, bolehkah aku
meninggalkan sholat?”. Beliau bersabda, “Tidak, sesungguhnya yang
demikian itu adalah cairan penyakit, tetapi tinggalkanlah sholat
seukuran hari yang biasanya engkau haidl kemudian mandi dan sholatlah”.
[HR al-Bukhoriy: 325, 228, 306, 320, 331, Muslim: 333, an-Nasa’iy: I/
122, 124, Ahmad: VI/ 194 dan ad-Darimiy: I/ 198.].
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah, ”Di dalam hadits
ini terdapat dalil bahwa perempuan itu apabila ia dapat membedakan
darah haidl dan darah istihadlah maka ia menguji darah haidl dan
bertindak atas maju mundurnya. Lalu apabila selesai kadar (waktu)nya ia
mandi darinya kemudian jadilah hukum darah istihadlah itu seperti hukum
hadats yang ia berwudlu setiap kali sholat. Tetapi ia tidak boleh sholat
dengan wudlu tersebut lebih dari satu sholat fardu yang ditunaikan atau
dilaksanakan karena zhahirnya sabda Nabi ((kemudian berwudlulah setiap
kali sholat))”.
Kalimat, ((Tinggalkanlah sholat seukuran hari yang biasanya engkau haidl
kemudian mandi dan sholatlah)), menunjukkan bahwasanya jika seorang
perempuan haidl dan telah selesai dari haidlnya maka ia wajib mandi
sebelum menunaikan sholat.
Maka dengan beberapa dalil di atas, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam memerintahkan umatnya untuk mandi dengan mandi yang sesuai dengan
syariat. Oleh sebab itu, wajib bagi kita sebagai umat Islam untuk
mempelajari dan memahami kaidah-kaidah agama kita dengan benar dan
bersungguh-sungguh agar ibadah kita kepada Allah ta’ala juga benar dan
mendapatkan balasan dan ganjaran kebaikan dari-Nya. Termasuk di dalamnya
mempelajari dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan wudlu, mandi,
sholat dan selainnya.
Hal-hal yang mewajibkan mandi
Berikut ini beberapa perkara yang apabila seorang muslim melakukannya maka wajib atasnya untuk mandi.
Satu : Keluarnya mani dengan syahwat.
Baik pada laki-laki atau perempuan, dalam keadaan tidur maupun terjaga.
Dan para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mandi dengan keluarnya
mani, sebagaimana yang dinukil oleh Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thobary
sebagaimana dalam Al-Majmu’ 2/158, Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ hal.
21, An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim 4/36 dan Imam Asy-Syaukany
dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/47.
Dan ada beberapa dalil yang menunjukkan tentang hal tersebut, diantaranya :
1. Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ
يَسْتَحْيِيْ مِنَ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنَ الْغُسْلِ إِذَا
هِيَ احْتَلَمَتْ ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ : نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam kemudian berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak
malu dari kebenaran, maka apakah wajib atas seorang wanita untuk mandi
bila dia bermimpi ?. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam menjawab : Iya bila ia melihat air (mani-pen.)” (HSR.
Bukhary-Muslim).
Sisi pendalilannya : sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam mewajibkan mandi kepada wanita jika keluar air (mani-pen) dan
hukum terhadap laki-laki sama. (Lihat Fathul bary :1/462, Ihkamul ahkam
: 1/100)
2. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Air itu hanyalah dari air”. (HSR. Bukhary-Muslim).
Maksud dari air yang pertama adalah air untuk mandi wajib sedangkan air
yang kedua adalah air mani, maka maknanya adalah air untuk mandi itu
wajib karena keluarnya air mani.
Faedah :
1. Kalau seorang mimpi tetapi tidak mendapati mani, maka tidak wajib
mandi menurut kesepakatan para ulama sebagaimana dinukil oleh Ibnu
Mundzir dalam kitabnya; Al-Ijma’ (34) dan Al-Ausath 2/83. Dan lihat pula
Al-Majmu’ 2/162.
2. Kalau seseorang terjaga dari tidur kemudian dia mendapatkan cairan
dan tidak bermimpi maka dia wajib mandi, karena hadits Aisyah
radhiyallhu ‘anha beliau berkata :
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنْ الرَّجُلِ يَجِدُ بَلَلَ وَلاَ يَذْكُرُ
إِحْتِلاَمًا قَالَ : يَغْتَسِلُ. وَعَنْ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهً قَدِ
احْتَلَمَ وَلاَ يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ : لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ
“Rasulullah ditanya tentang seseorang yang mendapatkan bekas basahan dan
dia tidak menyebutkan bahwa dia mimpi, beliau menjawab : Wajib mandi.
Dan (beliau juga ditanya) tentang seseorang yang menganggap bahwa
dirinya mimpi tapi tidak mendapatkan basahan, beliau menjawab : Tidak
wajib atasnya untuk mandi”. (HR. Abu Daud no. 236, At-Tirmidzy no. 112
dan Ibnu Majah no. 612)
Dan juga dalam hadits Ummu salamah di atas :
فَقَالَ: نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“(Rasulullah) menjawab : ” Iya bila ia melihat air (mani-pen.)”.
3. Kalau keluar mani tanpa syahwat seperti karena kedinginan atau sakit maka tidak wajib mandi.
Hal ini berdasarkan Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ
: إِذَا حَذَفْتَ فَاغْتَسِلْ مِنَ الْجَنَابَةِ فَإِذَا لَمْ تَكُنْ
حَاذِفًا فَلاَ تَغْتَسِلْ. وَفِيْ لَفْظٍ آخَرَ : فَإِذَا رَأَيْتَ فَضْحَ
الْمَاءِ فَاغْتَسِلْ. وَفِيْ لَفْظٍ آخَرَ : فَإِذَا فَضَحْتَ الْمَاءَ
فَاغْتَسِلْ.
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda : Jika kamu memancarkan mani dengan kuat) maka mandilah dari
janabah dan jika tidak, maka tidak wajib mandi. Dan dalam lafazh yang
lain : “Jika kamu melihat mani yang memancar dengan kuat maka mandilah”.
Dan dalam lafazh yang lain : “Jika kamu memancarkan mani dengan kuat
maka mandilah”. (HR. Ahmad 1/107, 109, 125, Abu Daud 206 dan An-Nasa`i
1/93)
Sisi pendalilan : Yaitu Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
dalam hadits ini mensyaratkan فَضْحُ الْمَاءِ untuk wajibnya mandi
sedangkan فَضْحٌ adalah keluarnya air dengan kuat.
Kata Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab : 3/46 فَضْحُ الْمَاءِ
adalahدَفْقُهُ (memancar). Dan kata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 1/267 :
اَلْفَضْحُ خُرُوْجُهُ عَلَى وَجْهِ الشِّدَّةِ(Keluarnya air mani dengan
cara yang kuat).
Ini menunjukkan bahwasanya jika mani keluar tidak dengan syahwat maka
tidak wajib mandi, sebab mani itu dapat keluar dengan kuat dan memancar
dan hal tersebut tidaklah terjadi kecuali kalau keluarnya dengan
syahwat. Ini adalah pendapat Jumhur, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad dan
dikuatkan oleh Ahli Fiqh zaman ini Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
(Lihat : Nailul Authar 1/258 dan Asy-Syarah Al-Mumti’ 1/386-387.)
Dua : Bertemunya dua khitan (kemaluan) walaupun tidak keluar mani.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ شُعُبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا
فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Apabila seseorang duduk antara empat bagiannya (tubuh perempuan)
kemudian ia bersungguh-sungguh[1] maka telah wajib atasnya mandi. Dan
salah satu riwayat dalam Shohih Muslim “walaupun tidak keluar”. (HSR.
Bukhary-Muslim)
Kata Imam An-Nawawy dalam Syarh Shohih Muslim 4/40-41 : Makna hadits ini
bahwasanya wajibnya mandi tidak terbatas hanya pada keluarnya mani,
tetapi kapan tenggelam kemaluan laki-laki dalam kemaluan wanita maka
wajib atas keduanya untuk mandi.
Kata Imam Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 2/6 : Dan kebanyakan ulama
beramal dengan hadits ini demikian pula yang datang sesudahnya, bahwa
siapa yang menggauli istrinya pada kemaluannya maka wajib mandi atas
keduanya walaupun tidak keluar mani.
Faedah :
Adapun hadits Abu Sa’id sebelumnya yang membatasi mandi hanya ketika
keluar mani adalah hadits yang telah dimansukh (terhapus) hukumnya dalam
jima’ oleh hadits Abu Hurairah ini dengan konteks lafazh yang tegas
“walaupun tidak keluar”.
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : Adapun hadits “Air itu hanyalah
dari air”, jumhur shahabat dan yang setelah mereka menyatakan bahwa ia
telah dimansukh dan mansukh yang mereka maksudkan adalah bahwa mandi
karena melakukan jima tanpa keluar mani telah gugur (hukumnya) dan
kemudian menjadi wajib. (Lihat Syarah Muslim 4/36).
Dan hal ini diperjelas oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu :
إِنَّمَا كَانَ الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ رُخْصَةً أَوَّلَ الْإِسْلاَمِ ثُمَّ أُمِرْنَا بِالْإِغْتِسَالِ بَعْدُ
“Sesungguhnya mandi dengan keluarnya air mani adalah rukhshoh
(keringanan) pada awal Islam kemudian kami diperintahkan untuk mandi
sesudah itu” (HR. Ahmad 5/115-116, Abu Daud no. 215, At-Tirmidzy no. 111
dan beliau berkata : Hadits ini Hasan Shohih. Dan dishohihkan oleh Imam
An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/155 dan Al-Albany dalam Shohih At-Tirmidzy
1/34 dan Syeikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 1/541).
Kata Ibnu Mundzir : Ini adalah pendapat semua orang yang kami hafal
darinya dari ahli fatwa dari ulama-ulama negeri dan saya tidak
mengetahui sekarang adanya khilaf dikalangan ahli ilmu. (Al-Ausath 2/81)
Tiga : Perempuan yang suci dari Haid dan Nifas.
Adapun haid, dalil-dalilnya sebagai berikut :
a. Firman Allah Ta’ala
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“Jika mereka telah suci maka datangilah mereka sesuai dengan apa yang Allah perintahkan kepada kalian “. (QS. Al-Baqarah : 222).
Kata Imam An-Nawawy : Sisi pendalilan dari ayat adalah bolehnya suami
menjima’ isteri-isterinya (atau budaknya) dan tidaklah boleh yang
demikian kecuali dengan mandi, dan apa-apa yang tidak sempurna kewajiban
kecuali dengannya, maka perkara itu wajib. Al-Majmu’ 2/168.
b. Hadits ‘Aisyah tatkala Nabi berkata kepada Fatimah binti Abi Hubeisy :
إِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّي
“Jika waktu haid datang maka tinggalkanlah sholat dan jika telah selesai maka mandilah dan sholatlah”. (HR. Bukhary-Muslim).
c. Ijma’
Kata Imam An-Nawawy : Ulama telah sepakat tentang wajibnya mandi karena
sebab haid dan sebab nifas dan di antara yang menukil ijma’ pada
keduanya adalah Ibnu Mundzir dan Ibnu Jarir dan selainnya (Majmu’
2/168).
Kata Ibnu Qudamah : tidak ada khilaf tentang wajibnya mandi karena haid dan nifas (Al-Mughny 1/277).
Dan Ibnu Hazm juga menukil ijma’ dalam Maratibul Ijma’ : 21, dan Imam Asy-Syaukany dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/48.
Adapun Nifas, dalilnya adalah Ijma’ sebagaimana telah dinukil oleh
An-Nawawy dan Ibnu Qudamah diatas, juga telah dinukil ijma’ oleh Ibnu
Mundzir dalam Al-Ausath 2/248.
Kata Ibnu Qudamah : Nifas sama dengan haid karena sesunguhnya darah
nifas adalah darah haid, karena itu ketika seorang wanita hamil maka dia
tidak haid sebab darah haid tersebut dialihkan menjadi makanan janin.
Maka tatkala janin tersebut keluar, maka keluar juga darah karena tidak
ada pengalihannya maka dinamakan nifas. (Lihat Al-Mughny: 1/277).
Kata Asy-Syirazy : Adapun darah nifas maka mewajibkan mandi karena
sesungguhnya itu adalah haid yang terkumpul, dan diharamkan puasa dan
jima’ dan gugur kewajiban sholat maka diwajibkan mandi seperti haid
(lihat Al-Majmu’: 2/167)
Empat : Orang kafir yang masuk Islam.
Apakah dia kafir asli atau murtad, ia telah mandi biasa sebelum islamnya
atau tidak, didapatkan darinya pada zaman kekafirannya apa-apa yang
mewajibkan mandi atau tidak.
Dalil-dalilnya :
a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh
Bukhary-Muslim tentang kisah Tsumamah bin Utsal radhiyallahu ‘anhu yang
sengaja mandi[2] kemudian menghadap kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam untuk masuk Islam. b. Hadits Qois bin A’shim
radhiyallahu ‘anhu :
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
أُرِيْدُ الإِسْلاَمَ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Saya mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk
masuk Islam maka Nabi memerintahkan kepadaku untuk mandi dengan air dan
daun bidara”. (HR. Ahmad 5/61, Abu Daud no. 355, An-Nasa`i 1/91,
At-Tirmidzy no. 605 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih
At-Tirmidzy 1/187).
Sisi pendalilannya : bahwasanya ini adalah perintah dari Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Dan asal dari perintah
menunjukkan hukum wajib kecuali kalau ada dalil lain yang menurunkan
derajatnya. Wallahu A’lam.
Dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, Malik, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Asy-Syaukany, dan lain-lainnya.
Lihat Al-Mughny 1/275, As-Sailul Jarrar 1/123, Ma’alim As-Sunan 1/252 dan lain-lain.
Lima : Meninggal (mati)
Maksudnya wajib bagi orang yang hidup untuk memandikan orang yang meninggal.
Adapun dalil-dalilnya :
(1) Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang orang yang jatuh dari
ontanya dan meninggal, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda :
اغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْنِ.
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara dan kafanilah dengan dua baju”. (HR. Bukhary-Muslim).
(2) Hadits Ummu ‘Athiyah tatkala anak Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam meninggal, beliau bersabda :
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Mandikanlah dia tiga kali atau lima atau tujuh atau lebih jika kalian
melihatnya dengan air dan daun bidara”. (HR. Bukhary-Muslim).
Syarat-syarat Mandi Wajib
Syarat melakukan mandi wajib hanya satu yaitu menggunakan air yang suci
menyucikan. Tidak boleh menggunakan air yang bernajis, sudah pernah
digunakan untuk bersuci atau suci tapi tidak menyucikan.
Rukun Mandi Wajib
Rukun dalam mandi wajib hanya tiga yaitu:
1. Niat. Dilakukan saat pertama kali mengalirkan air ke tubuh.
2. Menghilangkan najis yang ada di badan atau anggota badan.
3. Menyiram air ke seluruh kulit badan dan rambut.
Tata Cara (Sifat Mandi)
Tata cara mandi junub terbagi atas 2 cara :
1) Cara yang sempurna/yang terpilih.
2) Cara yang mujzi` (yang mencukupi/memadai)
(Lihat Al-Mughny :1/287, Al-Majmu’ : 2/209, Al-Muhalla: 2/28, dan lain-lain.)
Batasan antara cara yang sempurna dengan yang cukup adalah apa-apa yang
mencakup wajib maka itu sifat cukup, dan apa-apa yang mencakup wajib dan
sunnah maka itu sifat sempurna.
Adapun tata cara yang mujzi` :
1. Niat.
Menetapkan niat dalam mandi ini merupakan hal yang wajib bagi laki-laki maupun wanita.
Dari Umar bin Khaththab, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.”
Bacaan niat untuk melakukan mandi wajib berbeda-beda sesuai dengan
sebab-sebab mandi wajib yang sudah disebutkan di atas. Namun, berniat
seperti “aku niat mandi wajib untuk mengangkat hadats besar” ketika
pertama kali mengalirkan air sudah cukup dan sudah sah. Niat tersebut
juga cukup diqashadkan (dihadirkan) dalam hati, tidak harus diucapkan.
Jika ingin lebih sempurna, maka niat-niat tersebut bisa dijabarkan seperti ini:
A. Bacaan niat karena keluar mani
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ مِنَ الْجِنَابَةِ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
Artinya: Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar junub karena Allah SWT.
B. Bacaan niat karena haidl:
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْأَكْبَرِ مِنَ الْحَيْضِ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
Artinya: Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar haidl karena Allah SWT.
C. Bacaan niat kerena nifas
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْأَكْبَرِ مِنَ النِّفَاسِ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
Artinya: Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar nifas karena Allah SWT.
D. Hadas besar kerna melahirkan (wiladah)
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْأَكْبَرِ مِنَ الْوِلَادَةِ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
Artinya: Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar melahirkan karena Allah SWT.
2. Menyiram kepala sampai ke dasar rambut dan seluruh anggota badan dengan air.
Dalil-dalilnya :
1) Firman Allah Ta’ala :
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kalian junub maka bersucilah”. (QS. Al-Ma`idah : 6).
Kata Ibnu Hazm : Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi-Pent) maka dia
telah menunaikan kewajibannya yang Allah wajibkan padanya (Lihat
Al-Muhalla : 2/28)
2) Hadits Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu :
قَالَ تَذَاكَرْنَا غُسْلَ الْجَنَابَةِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَمَا أَنَا فَيَكْفِيْنِيْ
أَنْ أُصُبُّ عَلَى رَأْسِيْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَفِيْضُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ
جَسَدِيْ.
“Kami (para shahabat) saling membicarakan tentang mandi junub di sisi
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam maka beliau berkata :
Adapun saya, cukup dengan menuangkan air di atas kepalaku tiga kali
kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh badanku”. (HR. Ahmad dan
dishohihkan oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/209 dan asal hadits ini
dalam riwayat Bukhary-Muslim).
3). Dari ‘Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu, riwayat Bukhary-Muslim dalam hadits yang panjang, beliau berkata :
وَكَانَ آخِرَ ذَاكَ أَنْ أَعْطِيَ الََّذِيْ أَصَابَتْهُ الْجَنَابَةُ إِنَاءً مِنْ مَاءٍ فَقَالَ : إِذْهَبْ فَافْرُغْهُ عَلَيْكَ
“Dan yang terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada yang orang
yang terkena janabah lalu beliau (Nabi) bersabda : Pergilah dan
tuangkanlah atas dirimu air itu “.
Adapun sifat atau tata cara mandi junub yang sempurna :
Yang menjadi pokok pendalilan sifat atau tata cara mandi junub yang
sempurna ada dua hadits, yaitu hadits Aisyah dan hadits Maimunah
radhiyallahu ‘anhuma.
Satu : Sifat mandi junub dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Lafazh hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :
Hadits Pertama
عن عائشة رضي الله عنها قالت : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا اغتسل
من الجنابة غسل يديه ، ثم توضأ وضوءه للصلاة ، ثم اغتسل ، ثم يخلل بيده
شعره حتى إذا ظن أنه قد أروى بشرته أفاض عليه الماء ثلاث مرات ، ثم غسل
سائر جسده
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha; dia berkata, “Bahwa jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dari janabah maka beliau mulai
dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian berwudhu sebagaimana
wudhunya untuk shalat, kemudian memasukkan jari-jarinya kedalam air
kemudian menyela dasar-dasar rambutnya, sampai beliau menyangka air
sampai kedasar rambutnya kemudian menyiram kepalanya dengan kedua
tangannya sebanyak tiga kali kemudian beliau menyiram seluruh tubuhnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Faedah hadits-pertama:
(1) Dari hadits di atas kita dapati salah satu keutamaan Aisyah
radhiallahu ‘anha dan juga istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang lain, yaitu turut andil dalam menyampaikan ilmu agama,
terutama yang bersifat pribadi. Merekalah yang bisa meriwayatkan tata
cara mandi junub Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara rinci,
juga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain di
dalam rumah. Para shahabat pun tidak mungkin mengetahui semua
sunnah-sunnah apa saja yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam apabila beliau sedang berada di rumah, melainkan mengetahuinya
dari istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(2) Dalam hadits tersebut terdapat kata “kana” (كان), yang dalam bahasa Arab bisa saja memiliki dua arti atau dua maksud:
kana yang berarti perbuatan masa lampau, maksudnya adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam “pernah” mandi junub seperti yang
dijelaskan dalam hadits.
kana yang berarti perbuatan yang berulang-ulang/berkesinambungan
(istimrar), maksudnya adalah Rasulullah “senantiasa” mandi junub
(setelah jima’ dengan istrinya) seperti yang dijelaskan dalam hadits.
→ Dan pendapat yang kuat menurut para ulama ialah maksud yang kedua,
yaitu kana yang berarti “senantiasa”, pula didukung dengan kata “idza”
(yang juga bermakna “senantiasa” pada kalimat idza-ghtasala (jika mandi:
setiap kali mandi). Jadi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
senantiasa mandi junub (setelah jima’ dengan istrinya) seperti yang
dijelaskan dalam hadits.
(3) Dikatakan dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berwudhu sebelum mandi junub, yaitu seperti wudhunya orang yang akan
shalat, bukan wudhu dalam makna bahasa (hanya membersihkan diri).
(4) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan dua tangannya
untuk menggosok bagian rambutnya ketika mandi junub, bukan hanya satu
tangan.
(5) Dalam hadits pula terdapat kata “saira“, yang dalam konteks hadits
di atas, dapat diartikan sebagai “sisa bagian tubuh yang lain yang belum
terkena air”. Jadi, setelah bagian-bagian wudhu terkena air, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membasahi sisa bagian tubuh yang lain
yang belum terkena air, sehingga basahlah seluruh tubuhnya.
Hadits kedua
وعن عائشة رضي الله عنها قالت : كنت أغتسل أنا ورسول الله صلى الله عليه وسلم من إناء واحد نغترف منه جميعا
Aisyah radhiallahu ‘anha juga berkata, “Aku mandi bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu tempayan, dan kami sama-sama
mengambil air dari tempayan tersebut.” (HR. Muslim)
Sebagai dalil bolehnya suami-istri mandi bersama.
Mandi-bersama tersebut akan menjadi sunnah (petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,.) ketika diniatkan untuk meniru amalan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai dalil tentang bolehnya melihat kemaluan istri/suami.
Beberapa Catatan
µ Hendaknya memulai dengan anggota-anggota badan bagian kanan
Dalil-dalilnya :
1. Hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim :
كَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِي
شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyenangi yang
kanan dalam bersendal (sepatu), bersisir, bersuci dan dalam seluruh
perkaranya”.
2. Hadits ‘Aisyah juga yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary :
كَناَ إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةُ أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا
فَوْقَ رَأْسِهِ ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدَيْهَا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ
وَبِيَدِهَا الْأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الْأَيْسَرِ
“Kami (istri-istri Nabi-Pent) jika salah seorang diantara kami junub,
maka dia mengambil dengan kedua tangannya tiga kali diatas kepalanya
kemudian mengambil dengan salah satu tangannya diatas bagian kepalanya
yang kanan dan tangannya yang lainnya diatas bagian kepalanya yang
kiri.”
(Lihat: Al-Mughny: 1/287, Al-Majmu’: 2/209, At-Tamhid: 2/275,dan lain-lainnya)
µ Dalam riwayat Muslim ada tambahan dalam hadits ‘Aisyah dengan lafazh :
فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا
“Maka beliau mencuci kedua telapak tangannya tiga kali”.
Tambahan “tiga kali” dalam hadits diatas dikritik oleh Imam Abul Fadhl
Ibnu ‘Ammar sehingga beliau menganggap bahwa tambahan tersebut ghairu
mahfuzh (tidak terjaga) atau dengan kata lain sebagai tambahan yang
lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Dan kritikan tersebut dikuatkan pula
oleh Ibnu Rajab rahimahullah.
Lihat : ‘Ilalul Ahadits Fii Kitab Ash-Shohih li Muslim bin Hajjaj hal.
69-72 karya Abul Fadhl Ibnu ‘Ammar dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halaby
dan Fathul Bary fii Syarah Shohih Al-Bukhary 1/234 karya Ibnu Rajab
(cet. Dar Ibnul Jauzy)
µ Ada tambahan lain dalam hadits ‘Aisyah juga riwayat Muslim, lafazhnya sebagai berikut :
ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
“Kemudian beliau mencuci kedua kakinya”.
Tambahan diatas juga dilemahkan oleh Abul Fadhl Ibnu ‘Ammar dengan
alasan bahwa Abu Mu’awiyah bersendirian dalam meriwayatkannya dari
Hisyam. Sedangkan sedangkan murid-murid hisyam lainnya tidak yang
meriwayatkannya, seperti Za`idah, Hammad bin zaid, Jarir, Waki’, ‘Ali
bin Mushir dan lain-lainnya. Dan Imam Muslim sendiri telah memberikan
isyarat bahwa tammbahan itu adalah lemah.
Lihat : ‘Ilalul Ahadits Fii Kitab Ash-Shohih li Muslim bin Hajjaj hal.
69-72 dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halaby dan Fathul Bary fii Syarah
Shohih Al-Bukhary 1/233-234 bersama ta’liq Thoriq bin ‘Iwadhullah.
Kesimpulan Cara Mandi Dalam Hadits ‘Aisyah
Mencuci kedua telapak tangan sebelum dimasukkan ke dalam bejana,
kemudian menuangkan air dengan tangan kanan keatas tangan kiri lalu
mencuci kemaluan, lalu berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana
berwudhu untuk sholat, kemudian memasukkan kedua tangan kedalam bejana,
lalu menciduk air dari satu cidukan lalu menuangkan air tadi diatas
kepala dan menyela-nyelai rambut sampai ke dasar kepala, kemudian
menyiram air kesemua bagian tubuh.
Dua : Sifat mandi junub dalam hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha.
Adapun cara yang kedua :
Lafazh hadits Maimunah bintul Harits radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :
عن ميمونة بنت الحارث رضي الله عنها زوجة النبي صلى الله عليه وسلم أنها
قالت : وضعتُ لرسول الله صلى الله عليه وسلم وَضوء الجنابة ، فأكفا بيمينه
على يساره مرتين أو ثلاثا ، ثم غسل فرجه ، ثم ضرب يده بالأرض أو الحائط –
مرتين أو ثلاثا – ثم تمضمض واستنشق ، ثم غسل وجهه وذراعيه ، ثم أفاض على
رأسه الماء ، ثم غسل سائر جسده ، ثم تنحّى فغسل رجليه ، قالت : فأتيته
بخرقة فلم يُردها ، وجعل ينفض الماء بيده
Dari Maimunah binti Al-Harits radhiyallahu ‘anha; dia mengatakan, “Saya
menyiapkan air bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mandi
junub. Kemudian beliau menuangkan (air tersebut) dengan tangan kanannya
di atas tangan kirinya sebanyak dua kali – atau tiga kali, kemudian
beliau cuci kemaluannya, lalu menggosokkan tangannya di tanah atau di
tembok sebanyak dua kali – atau tiga kali. Selanjutnya, beliau
berkumur-kumur dan ber-istinsyaq (menghirup air), kemudian beliau cuci
mukanya dan dua tangannya sampai siku. Kemudian beliau siram kepalanya
lalu seluruh tubuhnya. Kemudian beliau mengambil posisi/tempat,
bergeser, lalu mencuci kedua kakinya. Kemudian saya memberikan kepadanya
kain (semacam handuk, pen.) tetapi beliau tidak menginginkannya, lalu
beliau menyeka air (di tubuhnya) dengan menggunakan kedua tangannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menunjukkan khidmat seorang istri terhadap suaminya.
Contohnya sebagaimana Maimunah binti Al-Harits radhiyallahu ‘anha, istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyiapkan air mandi untuk
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dijelaskan tahapan-tahapan mandi junub yang lebih rinci dari hadits Aisyah sebelumnya.
Kita dapati dari hadits, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencuci kemaluan dengan tangan kirinya.
Rasulullah berwudhu sebelum mandi, persis seperti wudhunya orang yang
akan shalat, ber-istinsyaq, berkumur-kumur, membasuh muka, dan
seterusnya.
Dalil bahwa tidak mengapa menghilangkan bekas air wudhu dari badan.
Adapun mandi wajib yang sebatas sah, yang dikatakan para ulama, ialah
tidak berwudhu terlebih dahulu, tidak mengapa.
Dalam sifat mandi junub riwayat Maimunah diatas berbeda dengan sifat mandi junub dalan hadits ‘Aisyah pada beberapa perkara :
µ Dalam hadits Maimunah ada tambahan menggosokkan tangan ke tanah atau tembok.
µ Dalam hadits Maimunah tidak ada penyebutan menyela-nyelai rambut.
µ Dalam salah satu riwayat Bukhary-Muslim pada hadits Maimunah ada
penyebutan bahwa kepala disiram tiga kali, namun tidak diterangkan cara
menuangkan air diatas kepala sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah.
µ Juga riwayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada pengusapan kepala
dalam hadits Maimunah. Yang ada hanyalah menyiram kepala tiga kali.
µ Dalam hadits Maimunah mencucikan kaki dijadikan pada akhir mandi
sedangkan dalam hadits ‘Aisyah mencuci kaki ikut bersama dengan wadhu.
Dalam mandi junub, berwudhu itu tidak wajib. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kalian junub maka bersucilah.” (QS. Al-Ma`idah : 6)
Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala tidak menyebutkan tata cara mandi secara
rinci; berbeda dengan wudhu yang disebutkan satu per satu urutannya. Hal
itu menunjukkan bahwa wudhu harus dilakukan seperti itu (sesuai dengan
rincian), berbeda dengan mandi.
Juga hadits Imran bin Husein dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada seorang shahabat yang dalam keadaan junub dan belum
shalat,
خذ هذا فأفرغه عليك
“Ambil (air) ini, dan tumpahkan ke tubuhmu.”
Oleh karena itu para ulama mengatakan, sebagai permisalan, jika orang
yang junub membaca basmalah, lalu masuk ke dalam kolam air dengan niat
mandi junub, menggosok-gosokkan kepalanya, hingga basah seluruh
tubuhnya, lalu dia keluar dari kolam, maka hal tersebut sudah sah
dikatakan mandi junub, meskipun dia tidak berwudhu.
Demikian hal tersebut ialah syarat minimal sahnya mandi junub. Adapun
apabila mandi dengan diawali wudhu maka itu lebih afdhal (utama), karena
hal tersebut yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Berwudhu itu hukumnya sunnah, karena perbuatan Nabi
hukum asalnya sunnah, tidak menunjukkan kewajiban. Akan tetapi kita
diperintahkan oleh Allah subhanahu wa Ta’ala untuk mencontoh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beberapa Masalah Yang Berkaitan Dengan Tata Cara Mandi Junub
1. Apakah disyariatkan menyela-nyelai jenggot
Para Fuqoha` menyebutkan perkara ini dalam tata cara mandi junub,
seperti Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/209 dan Imam Ibnu Qudamah dalam
Al-Mughny 1/287. Berkata Imam Ibnu Abdil Bar (At-Tamhid 2/278) didalam
hadits ‘Aisyah didapatkan apa yang menguatkan pendapat yang
menyela-nyelai (jenggotnya-pent) karena ucapannya ‘Aisyah :
فَيَدْخُلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُوْلَ الشَّعْرِ
“Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memasukkan
jari-jarinya ke dalam air kemudian menyela-nyelai dengan jari-jarinya
dasar-dasar rambut”
Menunjukkan umumnya rambut jenggot dan kepala walaupun yang paling nampak didalamnya adalah rambut kepalanya.
2. Tata cara mandi janabah ini juga berlaku bagi perempuan dan tidak ada
perbedaan kecuali dalam hal membuka kepang rambutnya. Dan membuka
kepang rambut bagi perempuan tidaklah wajib bila air dapat sampai ke
pangkal rambut tanpa membuka kepangnya, sebagaimana dalam hadits Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha :
إِنَّ امْرَأَةً قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشَدُّ
ضَفْرِ رَأْسِيْ أَفَأَنْقُضُهُ لِلْجَنَابَةِ ؟ قَالَ : لاَ، إِنَّمَا
يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ
تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِيْنَ.
“Sesungguhnya ada seorang perempuan bertanya : wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya perempuan yang sangat keras kepang rambutku apakah
saya harus membukanya untuk mandi janabah ? Rasulullah menjawab : Tidak,
sesungguhnya cukup bagi kamu untuk menyela-nyelai kepalamu tiga kali
kemudian menyiram air diatasnya, maka kamu sudah suci”. (HSR. Muslim )
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ : بَلََغَ عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللهِ
بْنَ عَمْرٍو يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ
رُؤُوْسَهُنَّ فَقَالَتْ : يَا عَجَبًا لِاِبْنِ عَمْرٍو هَذَا ! يَأْمُرُ
النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوْسَهُنَّ !! أَفَلاَ
يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُؤُوْسَهُنَّ ؟ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ
أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَلَا أَزِيْدُ عَلَى أَنْ
أَفْرُغَ عَلَى رَأْسِيْ ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ.
“Dari ‘Ubaid bin ‘Umair, beliau berkata : telah sampai kepada ‘Aisyah
bahwasanya Abdullah ibnu ‘Amr memerintahkan para perempuan untuk membuka
kepang rambut bila mandi janabah. Maka ‘Aisyah berkata : Alangkah
mengherankan Ibnu ‘Amr ini, ia memerintahkan para perempuan untuk
membuka kepang rambutnya, kenapa dia tidak memerintahkan mereka untuk
menggundul rambutnya?. Sesungguhnya saya mandi bersama Rasulullah dari
satu bejana dan tidaklah saya menambah dari menyiram kepalaku tiga kali
siraman”. (HSR. Muslim )
Berkata Imam Al-Baghawy : Mengamalkan hal ini adalah pilihan semua Ahlul
‘Ilmi bahwasanya membuka kepang rambut tidak wajib pada mandi junub
jika air bisa masuk ke pangkal rambutnya. (Syarh Sunnah 2/18)
3. Adapun orang yang haid atau nifas, maka tata cara mandinya sama dengan mandi janabah kecuali dalam beberapa perkara :
a. Disunnahkan baginya untuk mengambil potongan kain, kapas atau yang
sejenisnya kemudian diberi wangi-wangian/harum-haruman kemudian
dioleskan/digosokkan pada tempat keluarnya darah (kemaluannya) untuk
membersihkan dan mensucikan dari bau yang kurang sedap.
Hal ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah :
أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ عَنْ الْغُسْلِ مِنَ الْحَيْضِ فَقَالَ :
خُذِيْ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهَّرِيْ بِهَا فَقَالَتْ : كَيْفَ
أَتَطَهَّرُِ بِهَا فَقَالَ : تَطَهَّرِيْ بِهَا ؟ قَالَتْ : كَيْفَ ؟
قَالَ : سُبْحَانَ اللهُ تَطَهَّرِيْ. فَاجْتَذَبَتْهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ :
تَتَبَّعِيْ أَثَرَ الدَّمِ.
“Sesungguhnya ada seorang perempuan datang kepada Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bertanya tentang mandi dari Haid. Maka
Nabi menjawab ambillah secarik kain yang diberi wangi-wangian kemudian
kamu bersuci dengannya. Dia bertanya lagi : Bagaimana saya bersuci
dengannya?. Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjawab :
Bersucilah dengannya . Dia bertanya lagi bagaimana?. Nabi Menjawab :
Subhanallah, bersucilah dengannya. Kemudian akupun menarik perempuan itu
ke arahku, kemudian saya berkata : Ikutilah (cucila) bekas-bekas darah
(kemaluan)”. (HR. Bukhary-Muslim)
Dan ini dilakukan sesudah selesai mandi sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah
bahwasanya Asma` bintu Syakal bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam tentang mandi Haid, maka Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjawab :
تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ
الطُّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدْلِكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا
حَتَى يَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ
ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا. فَقَالَتْ
أَسْمَاءُ : وَكَيْفَ أَتَطَهَّرُ بِهَا ؟ فَقَالَ : سُبْحَانَ الله
تَطَهَّرِيْنَ بِهَا. فَقَالَتْ عَائِشَةُ : كَأَنَّهَا تَخْفَى ذَلِكَ
تَتَبَّعِيْنَ أَثَرَ الدَّمِ.
“Hendaklah salah seorang di antara kalian mengambil air dan daun bidara
kemudian bersuci dengan sempurna kemudian menyiram kepalanya dan
menyela-nyelanya dengan keras sampai ke dasar rambutnya kemudian
menyiram kepalanya dengan air. Kemudian mengambil sepotong kain (atau
yang semisalnya-pent.) yang telah diberi wangi-wangian kemudian dia
bersuci dengannya. Kemudian Asma` bertanya lagi : “Bagaimana saya
bersuci dengannya?”. Nabi menjawab : “Subhanallah, bersuci dengannya”.
Kata ‘Aisyah : “Seakan-akan Asma` tidak paham dengan yang demikian, maka
ikutilah (cucilah) bekas-bekas darah (kemaluan)”. (HSR. Muslim)
(Lihat Al-Majmu’ 2/218, Al-Mughny 1/302, dll)
b. Disunnahkan pula untuk mandi dengan air dan daun bidara sebagaimana
hadist ‘Aisyah diatas.c. Disunnahkan bagi wanita untuk membuka kepang
rambutnya, sebagaimana hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhary : أُنْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَامْسِكِي عَنْ
عُمْرَتِكِ”Bukalah kepang rambutmu dan bersisirlah dan tahanlah ‘umrah
kamu”. Sisi pendalilannya : walaupun ‘Aisyah disini mandi untuk tahlil
(untuk haji) bukan mandi haid tetapi tahlul (untuk haji) disini
mengharuskan dia untuk mandi karena mandi itu merupakan sunnah untuk
ihram dan dari situlah datang perintah mandi secara jelas dalam kisah
ini, sebagaimana diriwaatkan oleh Imam Muslim dari jalan Abi Azzubair
dari Jabir
فَاغْتَسِلِي ثُمَّ أَهَلِّي بِالْحَجِّ
”Maka mandilah dan tahallullah untuk haji”
Jadi kalau boleh baginya untuk bersisir dalam mandi ihram padahal hukum
mandinya hanya sunnah, maka bolehnya untuk mandi haid yang hukumnya
wajib adalah lebih utama.
Tetapi hukum membuka kepang rambut disini hanya sunnah tidak sampai wajib karena hadits Ummu Salamah :
قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِي امْرَأَةٌ أَشَدُّ ضُفْرِ رَأْسِي
أَفَاَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ ؟ قَالَ : لاَ وَفِي رِوَايَةٍ :
لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ
“Ummu Salamah bertanya : “Ya Rasulullah, saya adalah perempuan yang
sangat kuat kepang rambutku. Apakah saya membukanya untuk mandi jenabah
?. Rasulullah menjawab : “Tidak”. Dan dalam salah satu riwayat : “Untuk
mandi haid dan janabah”. (HSR. Muslim).
Dan Imam Bukhary membawakan bab : فقضى المرأة شعرها عند غسل المحيضWanita membuka kepang rambutnya ketika mandi dari haid.
Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Wallahu A’lam.
Periksa : Al-Majmu’ 2/216, Al-Mughny 1/300, Fathul Bary 1/417 , dan Al-Muhalla 2/38
Kemudian dari sisi pandangan :
a. Ketika mandi janabah tidak perlu membuka kepang rambut sebagai
kemudahan karena sering dilakukan, maka tentu memberatkan kalau harus
dibuka. Berbeda dengan mandi haid karena hanya dilakukan sekali sebulan
umumnya pada wanita normal.
b. Karena mandi janabah, rentang waktu antara junubnya dengan mandinya
lebih pendek dari mandi haid, yang bisa menunggu sampai berhari-hari,
maka untuk kesempurnaan mandinya dan kesegarannya maka disyari’atkan
dibuka kepang rambutnya. Wallahu A’lam
4. Tidaklah makruh mengeringkan badan dengan kain, handuk, tissu atau
yang sejenisnya, karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal
tersebut, dan asalnya adalah mubah.
Tapi tidaklah diragukan bahwa yang paling utama adalah membiarkannya
tanpa dikeringkan berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
riwayat Bukhary-Muslim :
أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
بِالْعِشَاءِ فَخَرَجَ عَمَرُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ رَقَدَ
النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ وَرَأْسُهُ يَقْطُرُ مَاءً يَقُوْلُ :
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ
بِهَذِهِ الصَّلَاةِ فِيْ هَذِهِ السَّاعَةِ.
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengakhirkan sholat
‘Isya sampai mendekati pertengahan malam. Maka keluarlah ‘Umar lalu
berkata : “Wahai Rasulullah, para perempuan dan anak kecil telah tidur’.
Maka keluarlah beliau dan kepalanya masih meneteskan air seraya berkata
: “Andaikata tidak memberatkan umatku atau manusia maka saya akan
memerintahkan mereka untuk melakukan sholat (‘Isya) pada waktu ini”.”.
Berkata Ibnul Mulaqqin dalam Al-I’lam 2/292 : “Dalam (hadits ini)
menunjukkan tidak ber-tansyif (menyeka air dari anggota tubuh) karena
andaikata beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ber-
tansyif niscaya kepalanya tidak meneteskan air dan tidak seorangpun yang
berpendapat bahwa ada perbedaan antara kepala dan badan dalam hal
tansyif “.
Adapun lafadz yang dipakai sebagian ulama tentang makruhnya hal tersebut yaitu lafadz dalam hadits Maimunah :
فَأَتَيْتُهُ بِحِرْقَةٍ فَلَمْ يًُرِدْهَا
“Maka sayapun memberikan kepada beliau secarik kain maka beliau tidak menginginkannya”.
Maka dapat dijawab dari beberapa sisi :
a. Sebagian rawi keliru dalam menetapkan lafadz ini dengan membacanya فَلَمْ يَرُدَّ هَا yang benarnya adalah فلم يُِردْهَا .
Kata Al-Hafidz Ibnu Hajar : Dengan di-dhomma awalnya dan dal-nya disukun
dari الْإِرَادَةُ dan asalnya ” يُرِيْدُهَا ” tetapi di-jazm-kan dengan
lam. Maka siapa yang membacanya di-fathah awalnya (ya`-nya) dan
di-tasydid dal-nya maka dia merubah dan merusak maknanya. Dan Imam Ahmad
meriwayatkan dari Affan dari Abu ‘Awanah dengan sanad ini dan
diakhirnya beliau berkata :
فَقَالَ : هَكَذَا وَأَشَارَ بِيَدِهِ أَنْ لاَ أُرِيْدُهَا.
“Dan dia berkata demikian dan memberikan isyarat dengan tangannya
bahwasanya dia tidak menginginkannya”. (Lihat : Fathul Bary 1/376)
b. Ini kejadian tersendiri dan kenyatan tertentu yang tidak boleh
diterapkan sebagai dalil secara umum. Apalagi memuat beberapa
kemungkinan seperti kemungkinan kotor, basah, merasa cukup dan tidak
perlu dan lain-lain. Wallahu A’lam.
c. Maimunah yang memberikan kain kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam menunjukkan bahwa kebiasaan beliau setelah mandi
adalah menggunakan kain tapi dalam kesempatan ini saja beliau tidak
memakainya. Dari keterangan ini, boleh jadi hadits ini bermakna sunnah
sebagai kebalikan dari apa yang mereka pahami bahwa mamakai kain setelah
mandi adalah makruh.
Dan ini adalah pendapat Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin, Sufyan Ats-Tsauri,
Ahmad, Malik, dan lain-lain. (Lihat : Syarh Sunnah : 2/15, Ihkamul Ahkam
: 1/97, At-Tamhid : 2/276 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ : 1/253).
5. Sudah cukup mandi dari wudhu, maka barang siapa yang mandi dan tidak
berwudhu. Maka sudah terangkat darinya dua hadats, yaitu hadats kecil
dan besar dan boleh baginya untuk sholat sebagaimana firman Allah Ta’ala
:
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Dan (jangan pula dekati sholat) sedangkan kalian dalam keadaan junub
kecuali sekedar berlalu sampai kalian mandi”. (QS. An-Nisa` : 43).
Kata Ibnu Qudamah : dijadikan mandi itu sebagai puncak/tujuan dari
larangan untuk sholat, maka jika dia telah mandi wajib maka tidak
terlarang lagi baginya untuk sholat. Dan sesungguhnya keduanya yaitu
mandi dan wudhu, dua ibadah yang sejenis, maka masuk yang kecil kedalam
yang besar seperti umrah dalam haji (Lihat :Al-Mughny 1/289).
Kata Ibnu Abdil Bar : orang yang mandi dari janabah jika dia belum
berwudhu dan menyiram seluruh badannya maka sungguh dia telah
menunaikannya yang wajib baginya, karena sesungguhnya Allah Ta’ala hanya
mewajibkan kepada yang junub mandi dari janabah tanpa wudhu dengan
firmannya.
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kalian junub, maka bersucilah”. (QS. Al-Ma`idah : 6).
Dan itu adalah ijma’ tidak ada khilaf di kalangan para ulama mereka juga
sepakat tentang sunnahnya wudhu sebelum mandi mencontoh Rasulullah dan
karena wudhu tersebut membantu mandi dan lebih membersihkan padanya.
(Lihat : Al-Istidzkar 1/327-328 ).
Kata Imam Asy-Syafi’iy : Allah mewajibkan mandi secara mutlaq, tidak
disebut didalamnya sesuatu yang dimulai dengannya sebelum sesuatu. Maka
jika orang yang mandi itu telah mandi (junub-pent), itu sudah cukup
baginya dan Allah lebih tahu tentang bagaimana yang Dia datangkan
demikian pula tidak ada batasan tentang air pada mandi janabah kecuali
agar mendatangkan dengan menyiram seluruh tubuhnya. (Lihat : Al-Umm
1/40, Al-Fath 1/360-361)
Kata Imam Al-Baghawy : Dan ini adalah pendapat kebanyakan para ulama dan
diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin
Umar mandi kemudian berwudhu, maka saya berkata padanya : wahai bapakku
bukankah cukup bagimu mandi dari wudhu ? Ibnu Umar menjawab : iya, akan
tetapi saya kadang-kadang memegang kemaluanku, maka saya berwudhu.
Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatho’ 1/43 dan dishohihkan
sanadnya oleh Al-Arna`uth dalam ta’liqnya pada Syarh Sunnah 2/13. (Lihat
pula Majmu’ Fatawa :21/396-397, 1/397, Al-Muhalla : 2/44).
6. Tidak disyaratkan berwudhu lagi sesudah mandi janabah, karena Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam langsung sholat sesudah
mandi janabah tanpa berwudhu lagi, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
يَغْتَسِلُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَصَلاَةَ الْغَدَاةِ وَلاَ أَرَاهُ
يُحْدِثُ وُضُوْءًا بَعْدَ الْغُسْلِ
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mandi
janabah dan sholat dua raka’at kemudian sholat shubuh dan saya tidak
melihatnya berwudhu lagi setelah mandi”. (HR. Imam Abu Daud 1/172 no.
250).
Dan dari ‘Aisyah :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لاَ
يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ وَزَادَ ابْنُ مَاجَه : مِنَ الْجَنَابَةِ
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak berwudhu
lagi sesudah mandi. Dan ditambahkan oleh Ibnu Majah : Dari mandi
janabah”. (HR. At-Tirmidzy 1/179 no. 107 dan berkata : Hadits ini Hasan
Shohih dan An-Nasa`i 1/137 no. 252 dan Ibnu Majah 1/191 no. 579 dan
dishohihkan oleh Syeikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 1/548).
Kata Imam An-Nawawy (Al-Majmu’ 2/225) : Dan Ar-Rafi’i dan yang lainnya
telah menukil kesepakatan bahwasanya tidak disyariatkan wudhu dan
mudah-mudahan itu adalah ijma’.
Tapi perlu diingat bahwa tidak perlunya berwudhu setelah mandi, bila dia
meniatkan wadhu bersama dengan mandi sebagaimana telah dimaklumi
tentang wajibnya niat pada setiap ‘ibadah. Baca Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da`imah 5/326.
7. Disunnahkan untuk tidak kurang dari satu sho’ (empat mudd).
Sebagaimana dalam hadits Safinah radhiyallahu ‘anhu :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ وَيَتَطَهَّرُ بِالْمًدِّ
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mandi dengan
satu sho’ dan berwudhu dengan satu mudd (ukuran dua telapak tangan
normal). (HSR. Muslim).
Dan dalam hadits Anas :
بِالصَّاِع إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ
“Dengan satu sho’ sampai lima mudd”. (HR. Bukhary-Muslim).
Dan juga diriwayatkan dalam Shohih Al-Bukhary dari hadits Jabir dan ‘Aisyah.
8. Dan boleh kurang dari satu sho’.
Hal ini juga ditunjukkan oleh banyak hadits diantaranya :
a. Hadits ‘Aisyah
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ يَسَعُ ثَلاَثَةَ أَمْدَادٍ
وَقَرِيْباً مِنْ ذَلِكَ
“Saya mandi bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam dari satu bejana memuat tiga mudd atau sekitar itu”. (HR.
Muslim).
b. Hadits ‘Aisyah yang lain :
كُنْتُ أًغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ تَخْتَلِفُ أَيْدِيْنَا فِيْهِ مِنَ
الْجَنَابَةِ
“Saya mandi janabah bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam dari satu bejana dan tangan kami berebutan didalamnya”. (HR.
Bukhary-Muslim).
c. Hadits Ibnu Abbas :
أَنَّ النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُوْنَةَ كَانَا يَغْسِلاَنِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan
Maimunah keduanya mandi dari satu bejana”. (HR. Bukhary-Muslim).
9. Tidak boleh dan tercelanya berlebih-lebihan (boros) dalam menggunakan air dalam wudhu dan mandi junub.
Hal ini dtunjukkan oleh hadits Abdullah bin Mughoffal dengan sanad yang
shohih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الطََّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ
“Sesungguhnya akan ada pada ummat ini suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdo’a”.
Apakah boleh menggabungkan antara mandi Jumat dan mandi junub?
Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini
kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah
mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2: 28).
Adapun dalil dari hadits ,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ
“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya:
menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka
wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Walaupun tidak keluar mani.”
Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.
Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits,
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ
“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa
mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An Nasai no. 1380, At
Tirmidzi no. 497 dan Ibnu Majah no. 1091).
Imam Nawawi mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu
sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika
ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama
dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu
Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in
serta ulama setelah itu.” (Al Majmu’, 4: 284).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut
pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang
baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga
setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak.
Selain itu tidak disunnahkan.”
Imam Nawawi juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam
madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk
waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi
jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat
Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari
tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al Majmu, 1: 161)
Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah
disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu
Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk
mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu
‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan
Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al
Majmu’, 4: 285).