Pembahasan ini merupakan pembahasan yang wajib diketahui oleh setiap
muslim, sebagaimana wajibnya seorang muslim untuk mengenal Tuhannya,
Allah swt. Pembahasan ini merupakan pengantar dari kajian Ilmu Tauhid
(Keesaan Allah swt.). Diharapkan dengan menguasai kajian ini seorang
hamba dapat lebih mengenal dirinya sebagai hamba dan bagaimana
seharusnya bersikap sebagai hamba, dan juga lebih mengenal Tuhannya,
Allah swt., sehingga mengetahui bagaimana ia bersikap di hadapan
Tuhannya serta beribadah sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya menurut
apa yang disukai-Nya.
Sebagai contoh dari harapan pembahasan ini adalah mengenal (salah satu)
Sifat Allah swt. bahwa Dia adalah Maha Besar; dan sebaliknya bahwa
manusia penuh dengan kelemahan. Setelah mengetahuinya diharapkan seorang
hamba akan dapat merasakan kebesaran Allah swt dan merasakan kelemahan
dirinya sehingga tidak ada lagi padanya sifat sombong, merasa hebat,
merasa besar, merasa paling benar dan sebagainya.
Karena Allah adalah zat yang wajib al-wujud yaitu zat yang wajib adanya,
tentulah Allah dapat dikenal, dan kewajiban pertama bagi setiap muslim
adalah terlebih dahulu mengenal kepada yang disembahnya, barulah ia
berbuat ibadah sebagimana sabda Nabi :
أَوَلُ الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ
“Pertama sekali di dalam agama ialah mengenal Allah"
Kenallah dirimu, sebagaimana sabda Nabi SAW;
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ وَمَنْ عَرَفَ رَبَّهُ فَسَدَ جَسَدَهُ
“Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan
barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya".
Pengertian Ma’ri’fat
Istilah ma’rifat berasal dari kata “al-Ma’rifat”, yang berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Apabila di hubungkan dengan
pengalaman tasawuf , maka istilah ma’rifat berarti mengenal Allah ketika
seorang sufi mencapai maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah seperti ini di rumuskan defenisinya oleh beberapa ulama tasuwuf antara lain:
1. Musthofa Zahri mengatakan ma’rifat adalah:
المَعْرِفَةُ جَزْمُ القَلْبِ بِوُجُوْدِ الوَجِبِ المَوْجُوْدِ مُتَّصِفًا بِسَائِرِالْكَلِمَاتِ
Artinya: “Ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya
atau wujud adanya Allah yang menggambarkan kesempurnaannya.”
2. al-Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan Al-khadiry mengatakan tentang ma’rifat sendiri adalah:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعُ الحَقِّ, وَهُوَ القَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الاَنْوَارِ
Artinya: “Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi), yang mana hatinya selalu berhubungan dengan cahaya”.
3. Imam al-Qushairy mengemukakan pendapat Abd al-Rahman ibn Muhammad bin Abdullah yang mengatakan:
اَلمَعْرِفَةُ يوْجِبُ السَّاكِينَةَ فِى القَلْبِ كَمَا أَنَّ العِلْمَ
يوْجِبُ السُّكُوْنَ, فَمَنِ ازْدَدَتْ مَعْرِفتُهُ إِزْدَدَتْ
مَعْرِفَتُهُ.
Artinya: Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang
meningkat Ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).
4. Imam al-Ghazaly menjelaskan Ma’rifat adalah:
اَلمَعْرِفَةُ الإِطْلاَعُ عَلَى أَسْرَارِ الرُّبوْبِيَّةِ وَالعِلْمُ
بِترَتُّبِ الأُمُوْرِ الإِلَهِيَّةِ المُحِيْطَةِ بِكُلِّ المَوْجُوْدَاتِ
Artinya: Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.
5. Menurut Ahmad bin Muhammad bin Abdul karim bin Abdurrahman bin
Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Husain bin Atha’illah al-Iskandary,
Ma’rifat ialah: “Pengenalan terhadap sesuatu baik dzat maupun sifatnya
dengan kenyataan dan sebenarnya”.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa pengertian Ma’rifat yang
didefinisikan para Ulama hanya sebatas mengenal, mengetahui dan melihat
kepada Sang Pencipta melalui sanubari hati. Hal ini merupakan karunia
yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya.
Tujuan makrifat
Makrifat dekat sekali dengan iman dan keyakinan. Oleh karena itu tingkat
keimanan juga ditentukan oleh tingkat makrifat seseorang. Dengan
demikian tujuan dari makrifat (pengetahuan yang sebenarnya) adalah
memperoleh keyakinan atau keimanan. Semakin bertambah keyakinan maka
akan semakin bertambah ketaatan kepada Allah.
سمعت الأستاذ أباعلي الدقاق رحمه الله يقول : من أمارات المعرفة بالله حصول الهيبة من الله, فمن ازداد معرفته ازدادت هيبته
“Saya mendengar dari Ali Daqaq berkata, diantara ciri orang yang
makrifat kepada Allah adalah adanya rasa takut pada Allah, barang siapa
bertambah makrifat maka bertambah pada rasa takutnya.”
وسمعته يقول : المعرفة توجب السكينة فى القلب كما العلم يوجب السكون فمن ازدادت معرفته ازدادت سكينته
“Aku juga mendengar dari Ali Daqaq berkata, makrifat kepada Allah
melahirkan ketenangan di dalam hati sebagaimana ilmu melahirkan
ketenangan, barang siapa bertambah makrifatnya maka bertambah pula
ketenangannya”.
Al-Syatiby berkata,
فعلامة العارف أن يكون قلبه مرآة يري فيه ماغاب من غيره وجلاء القلب لا
يكون إلا بنور الإيمان والإيقان. فعلى قدر قوة الإيمان يكون نور القلب.
وعلى قدر نور القلب تكون مشاهدة الحق وبقدرمشاهدة الحق تكون المعرفة
بأسمائه وصفاته وبقدرها يكون التعظيم لذاته وبقدر التعظيم لذاته يكون كمال
العبد وبقدر كماله يكون استغراقه فيي أوصاف العبودية بقدر استغراقه يكون
قيامه بحقوق الربوبية
“Ciri orang makrifat itu adalah hatinya sebagai cermin untuk melihat hal
ghaib di luar dirinya. Keterang benderangan hati tidak lain dikarenakan
cahaya iman dan keyakinan. Cahaya hati tergantung kadar kekuatan iman,
musyahadah terhadap al-Haq (Allah Yang Maha Benar) tergantung kadar
cahaya hati, makrifat terhadap asma dan sifat-Nya tergantung kadar
musyahadah (penyaksiannya) terhadap al-Haq, sikap ta’dzim terhadap
dzat-Nya tergantung kadar makrifat, kesempurnaan sebagai hamba
tergantung kadar keta’dzimannya, ketenggelamannya kedalam sifat-sifat
penghambaan tergantung kesempurnaan menjadi hamba dan pelaksaan hak-hak
Tuhan tergantung kadar ketenggelaman kedalam sifat-sifat penghambaan”
Dari perkataan al-Syatiby ini dapat disimpulkan:
1. Hati akan menjadi terang benderang kalau diterangi iman dan keyakinan
2. Semakin kuat iman dan keyakinan maka hati akan semakin terang
benderang dan sebaliknya kalau iman dan keyakinannya lemah maka cahaya
hati akan redup.
3. Kalau hati terang benderang maka kebenaran dapat disaksikan bahkan Allah yang Maha Benar dapat disaksikan.
4.Kalau seseorang dapat menyaksikan Allah maka akan mengenal asma dan sifat Allah.
5.Kalau seseorang mengenal asma dan sifat Allah maka semakin ta’dzim pada dzat Allah.
6.Kalau seseorang semakin ta’dzim pada Allah maka akan muncul kesempurnaan sebagai hamba.
7.Kalau seseorang muncul kesempurnaan sebagai hamba maka akan semakin tenggelam kedalam sikap menghambakan diri.
8.Kalau seseorang semakin tenggelam kedalam sikap menghambakan diri maka akan semakin semangat untuk melaksanakan hak-hak Tuhan.
Dengan makrifat seseorang akan menyadari yang sesadar-sadarnya bahwa ia
adalah seorang hamba yang siap untuk diperintah dan melaksanakan
keinginan tuannya. Semakin tahu bahwa dirinya adalah hamba (abd) maka
semakin ta’dzim dan taat kepada Allah yang memiliki dirinya.
Lalu diri mana yang wajib kita kenal? Sungguhnya diri kita terbagi dua sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat 20 :
وَأَسْبَغَ عَليْكُمْ نِعَمَهُ ظَهِرَةً وَبَاطِنَةً
"Dan Allah telah menyempurnakan bagimu nikmat zahir dan nikmat batin".
Jadi berdasarkan ayat di atas, diri kita sesungguhnya terbagi dua:
1. Diri Zahir yaitu diri yang dapat dilihat oleh mata dan dapat diraba oleh tangan.
2. Diri batin yaitu yang tidak dapat dipandang oleh mata dan tidak
dapat diraba oleh tangan, tetapi dapat dirasakan oleh mata hati. Adapun
dalil mengenai terbaginya diri manusia
Karena sedemikian pentingnya peran diri yang batin ini di dalam upaya
untuk memperoleh pengenalan kepada Allah, itulah sebabnya kenapa kita
disuruh melihat ke dalam diri (introspeksi diri) sebagimana firman
Allah dalam surat az-Zariat ayat 21:
وَفِى اَنْفُسِكُمْ اَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
"Dan di dalam diri kamu apakah kamu tidak memperhatikannya".
Allah memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan ke dalam dirinya
disebabkan karena di dalam diri manusia itu Allah telah menciptakan
sebuah mahligai yang mana di dalamnya Allah telah menanamkan rahasia-Nya
sebagaimana sabda Nabi di dalam Hadis Qudsi :
بَنَيْتُ فِى جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ قَصْرًا وَفِى الْقَصْرِ صَدْرً وَفِى
الصَّدْرِ قَلْبًا وَفِى الْقَلْبِ فُؤَادً وَفِى الْفُؤَادِ شَغْافًا
وَفِى الشَّغَافِ لَبًّا وَفِى لَبِّ سِرًّا وَفِى السِّرِّ أَنَا (الحديث
القدسى)
“Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai dan dalam mahligai itu
ada dada dan dalam dada itu ada hati (qalbu) namanya dan dalam hati
(qalbu) ada mata hati (fuad) dan dalam mata hati (fuad) itu ada penutup
mata hati (saghaf) dan dibalik penutup mata hati (saghaf) itu ada
nur/cahaya (labban), dan di dalam nur/cahaya (labban) ada rahasia (sirr)
dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku kata Allah”. (Hadis Qudsi)
Bagaimanakah maksud hadis ini? Tanyalah kepada ahlinya, yaitu ahli
zikir, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahal ayat 43 :
فَاسَئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ
“Tanyalah kepada ahli zikrullah (Ahlus Shufi) kalau kamu benar-benar tidak tahu.”
Karena Allah itu ghaib, maka perkara ini termasuk perkara yang dilarang
untuk menyampaikannya dan haram pula dipaparkan kepada yang bukan
ahlinya (orang awam), seabagimana dikatakan para sufi:
وَلِلَّهِ مَحَارِمٌ فَلاَ تَهْتَكُوْهَا
Artinya: “Bagi Allah itu ada beberapa rahasia yang diharamkan membukakannya kepada yang bukan ahlinyah”.
Nabi juga ada bersabda :
وَعَائِيْنِ مِنَ الْعِلْمِ اَمَّا اَحَدُ هُمَا فَبَشَتْتُهُ لَكُمْ
وَاَمَّااْلأَخِرُ فَلَوْبَثَتْتُ شَيْئًا مِنْهُ قَطَعَ هَذَالْعُلُوْمَ
يَشِيْرُ اِلَى حَلْقِهِ
Artinya: “Telah memberikan kepadaku oleh Rasulullah SAW dua cangkir yang
berisikan ilmu pengetahuan, satu daripadanya akan saya tebarkan kepada
kamu. Akan tetapi yang lainnya bila saya tebarkan akan terputuslah
sekalian ilmu pengetahuan dengan memberikan isyarat kepada lehernya.
اَفَاتُ الْعِلْمِ النِّسْيَانُ وَاِضَاعَتُهُ اَنْ تَحَدَّثْ بِهِ غَيْرِ اَهْلِهِ
Artinya : “Kerusakan dari ilmu pengetahuan ialah dengan lupa, dan
menyebabkan hilangnya ialah bila anda ajarkan kepada yang bukan
ahlinya.”
Adapun tentang Ilmu Fiqih atau Syariat Nabi bersabda:
بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ اَيَةً
Artinya: “Sampaikanlah oleh kamu walau satu ayat saja”.
Adapun Ilmu Fiqih tidak boleh disembunyikan, sebagaimana sabda Nabi SAW:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا لِجَمِّهِ اللهِ بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ
Artinya: “Barangsiapa yang telah menyembunyikan suatu ilmu pengetahuan
(ilmu syariat) akan dikekang oleh Allah ia kelak dengan api neraka”.
Setiap muslim harus meyakini bahwa Allah memiliki semua sifat yang
mulia. Seorang muslim juga harus meyakini bahwa Allah mustahil bersifat
yang menunjukan kekurangan dan kelemahan. Allah mustahil memiliki sifat
yang tidak sempurna, yang menunjukan kelemahan dan kekurangan. Baik
Secara Tersirat maupun Tersurat sifat sifat Allah SWT tersebut adalah
seperti diterangkan dalam alquran.
Sifat Wajib bagi Allah SWT yang pertama Adalah WUJUD :
Wujud artinya “ada” , maka mustahil Allah bersifat “tiada”. Firman Allah dalam Al-Qur’an ( Qs As-Sajadah : 4 )
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ مَا لَكُمْ مِنْ دُونِهِ
مِنْ وَلِيٍّ وَلا شَفِيعٍ أَفَلا تَتَذَكَّرُونَ
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. tidak
ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula)
seorang pemberi syafa'at. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?”
Pertanyaan yang muncul dalam benak kita setelah membaca ayat diatas
adalah bagaimana kita dapat meyakini wujud Allah swt...? Bila Anda
melihat atau menyaksikan pesawat terbang melintas di udara, maka dengan
yakin Anda mengatakan bahwa pasti ada pilot yang mengendalikan pesawat
meskipun Anda tidak melihat nya. Karena jika yang mengendalikan pesawat
itu tidak ada, mustahil pesawat itu dapat terbang dan melalui rutenya
dengan selamat. lalu apa kaitannya dengan wujud Allah?
Jawabnya adalah ketika kita melihat matahari, bulan, bintang dan planet
bergerak teratur, malam dan siang berganti dengan keteraturan yang amat
detil. Mungkinkah mereka ada dan bergerak sendiri? Tidak diragukan lagi
bahwa semuanya telah diciptakan dan diatur oleh Allah swt. mustahil
matahari, bulan, bintang-bintang, planet, siang, dan malam menjadi ada
dan bertahan dengan pergerakannya yang amat teratur. Dengan demikian
pula tidak akan ada makhluk yang sangat tergantung dengan mereka semua.
Firman Allah Swt QS Al A'raaf :54
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ
النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ
مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ
رَبُّ الْعَالَمِينَ (٥٤
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan
malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya
pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada
perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.
Maha suci Allah, Tuhan semesta alam”
Firman Allah Swt QS Lukman : 25
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ
اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ (٢٥
“dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah".
Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.”
Firman Allah Swt QS Al Hajj : 18
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ
فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ
وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ
عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ
اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ (١٨
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada
di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan,
binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan
banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan
Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang
memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”
Wujud adanya Allah Swt dapat dapat dibuktikan melalui 4 macam :
Dalil Fitrah.
Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta
merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau
belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang
yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya.
Firman Allah Subhanahu Wata'ala
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘ (Betul Engkau
Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar
kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu
tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak
keturunan yang datang setelah mereka.’” (QS. Al A’raf: 172-173).
Dalil Indrawi
Bukti indera tentang wujud Allah sebenarnya sudah sering kita rasakan
dan kita alami. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa
orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada
orang-orang yang mendapatkan musibah. Tanda-tanda para Nabi yang disebut
mu’jizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan
bukti yang jelas tentang keberadaan Allah Swt, karena hal-hal itu berada
di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan
penolong bagi para Rasul. Adanya langit, bumi dan isinya adalah bukti
nyata yang dapat kita rasakan dengan indera kita.
Dalil ‘Aqli (dalil akal pikiran)
Bukti akal tentang adanya Allah swt adalah proses terjadinya semua
makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang,
pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya
sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin
wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat
menciptakan dirinya sendiri.
Firman Allah Swt :( Qs Ath Thuur 35-37)
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ (٣٥
" Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?"
أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بَل لا يُوقِنُونَ (٣٦)
"ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)."
أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ الْمُسَيْطِرُونَ (٣٧)
" ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekakah yang berkuasa?"
Dalil Naqli (Dalil Syara’)
Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit berbicara
tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang
dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang
dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan
makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh
realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga
merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang
Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.
Firman Allah Subhanahu Wata'ala
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا (٨٢)
"Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya."
Setelah kita mengenal dan mengimani keberadaan Allah sebagaimana telah
dijelaskan diatas, maka perlu kita kenali Allah swt sebagai Rabb yang
telah menciptakan, memiliki dan mengatur semua makhluknya, Dialah
satu-satunya pencipta yang mengadakan sesuatu dari ketiadaan,
Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk
menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan
kepadanya:”Jadilah”. Lalu jadilah ia. (QS. Al Baqarah:117) Dialah Allah
Swt satu-satunya pemilik sebagaimana Dia Allah Swt adalah satu-satunya
pencipta, demikian juga Dia Allah Swt yang mengatur segala sesuatu.
Ilmu hati/jiwa dalam Mengenal Alloh
Hati memegang peranan penting bagi manusia. Baik dan buruknya seseorang ditentukan oleh hati sebagaimana Hadis Nabi:
...اَلاَوَاِنَّ فِى الْجَسَدِ مُدْغَةً اِذَاصَلُحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ آلآوَهِيَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal darah, bila ia telah
baik maka baiklah sekalian badan.Dan bila ia rusak, maka rusaklah
sekalian badan. Dan bila ia rusak maka binasalah sekalian badan, itulah
yang dikatakan hati”.
Demikianlah pentingnya peranan hati bagi manusia, oleh sebab itu manusia
wajib menjaga kesucian hatinya. Adapun yang menjadi penyebab kotornya
hati manusia itu adalah disebabkan berbagai penyakit yang terdapat
padanya sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:
فِى قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ
“Di dalam hati mereka ada penyakit”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
Terdapat 6666 ayat Al-Qur’an dan 6666 urat di dalam tubuh manusia,
demikian halnya dengan hati manusia, ada 6666 penyakit di dalam hati
manusia. Dari sekian banyak penyakit yang ada di dalam hati manusia, ada
beberapa penyakit hati yang paling berbahaya, di antaranya: hawa nafsu,
cinta dunia, loba, tamak, rakus, pemarah, pengiri, dendam, hasad,
munafiq, ria, ujub, takabbur. Jadi bila tidak diobati, maka sambungan
ayat mengatakan:
فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا
“Lalu ditambah Allah penyakitnya”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
Demikianlah bahayanya apabila manusia itu tidak segera membersihkan
hatinya, maka Allah akan terus menambah penyakitnya. Oleh sebab itu
kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu ia harus
mensucikan hatinya sebagaimana firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّ
“Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan mengingat Tuhan-Nya, maka didirikannya sembanhyang”. (Q.S. 87 Al-A’la: 14-15)
Dari penjelasan surah Al-A’la di ayat 14 dan 15 di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa ada tiga kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada
manusia:
1. Kewajiban Mensucikan Hati
Di dalam surah Al-A’la ayat 14 Allah menyatakan bahwa orang-orang yang
telah mensucikan hatinya sesungguhnya telah memperoleh keberuntungan.
Lalu dibenak kita timbul beberapa pertanyaan:
- Apa yang dimaksud dengan hati yang bersih?
- Bagaimana cara membersihkan hati?
- Mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung?
- Apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya?
Pertama, apa yang dimaksud dengan hati yang bersih? Yang dimaksud dengan
hati yang bersih yaitu tidak ada di dalam hati itu selain Allah.
Artinya seseorang yang disebut hatinya bersih adalah orang yang
senantiasa selalu mengingat Allah. Itulah sebabnya para sufi berkata:
قَلْبُ الْمُؤْمِنِيْنَ بَيْتُ اللهُ
“Hati orang mukmin itu adalah rumah Allah”.
Kedua, bagaimana cara membersihkan hati? Satu-satunya cara membersihkan
hati yaitu dengan mempelajari ilmu hati. Ilmu hati ini lazim disebut
dengan beberapa nama di antaranya: ilmu batin, ilmu hakikat, ilmu
tarekat. tujuan mempelajari ilmu hati adalah untuk mengenal Allah, sebab
hati merupakan sarana yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dapat
menyaksikan-Nya sebagaimana firman Allah:
مَاكَذَبَ الْفُؤَادُ مَارَآى
“Tidak dusta apa yang telah dilihat oleh mata hati”.(Q.S. An-Najm: 11)
Jadi hanya dengan mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal
Allah. Apabila kita telah dapat mengenal Allah, barulah kita dapat
mengingat-Nya. Dan mengingat Allah merupakan satu-satunya cara untuk
membersihkan hati sebagaimana Hadis Nabi:
لِكُلِّ شَيْءٍ صَقَلَةٌ وَصَقَلَةُ الْقَلْبُ ذِكْرُاللهُ
“Segala sesuatu ada alat pembersihnya dan alat pembersih hati yaitu mengingat Allah”.
Ketiga, mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang
beruntung? Penyebab Allah menyebut orang-orang yang telah mensucikan
hatinya sebagai orang-orang yang beruntung adalah disebabkan karena
sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang
dapat mengenal Allah. Menurut al-Ghazali hati manusia berfungsi sebagai
cermin yang hanya bisa menangkap cahaya ghaib (Allah) apabila tida
tertutup oleh kotoran-kotoran keduniaan. Sesungguhnya hanya orang-orang
yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan merekalah
yang disebut sebagai orang-orang yang beruntung.
Keempat, apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan
hatinya? keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan
hatinya adalah dapat mengenal Tuhannya. Itulah sebabnya Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّهَا
“Beruntunglah orang yang telah mensucikan hatinya dan merugilah orang yang telah mengotorinya”. (Q.S. 91 As-Syamsi: 9-10)
Itulah sebabnya pada ayat di atas Allah memuji orang-orang yang telah
mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang telah mensucikan
hatinya yang dapat mengenal Allah. Adapun orang-orang yang mengotorinya
adalah orang-orang yang merugi, karena sesungguhnya orang-orang yang
hatinya kotor tidak akan pernah dapat mengenal Tuhannya.
2. Kewajiban Mengingat Allah
Kewajiban yang kedua adalah mengingat Allah, sebab mustahil kita dapat
mengingat Allah kalau kita belum mengenal-Nya dan mustahil kita dapat
mengenal-Nya kalau kita belum pernah berjumpa. Dan mustahil kita dapat
berjumpa dengan Allah tanpa terlebih dahulu menyertakan diri dan belajar
kepada orang yang telah dapat beserta Allah. Itulah sebabnya Nabi
memerinthakan kepada kita agar menyertakan diri kepada orang yang telah
serta Allah sebagaimana sabda Nabi:
كُنْ مَعَ اللهُ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
“Sertakanlah kepada Allah, apabila kamu tidak dapat beserta Allah maka
sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan
mengenalkan kamu kepada Allah”.
Berdasarkan Hadis di atas, maka kewajiban pertama bagi manusia adalah
mencari guru (wasilah) agar ia dapat memperoleh pengenalan kepada
Tuhannya. Setelah manusia itu dapat mengenal Allah maka kewajiban kedua
baginya adalah mengingat Tuhan-Nya.
3. Kewajiban Mengerjakan Shalat
Shalat merupakan tiang agama yang dilaksanakan apabila kita telah
melaksanakan kewajiban pertama dan kedua, sebab tujuan shalat adalah
untuk mengingat-Nya sebagaimana firman Allah:
اِنَّنِى أَنَااللهُ لاَإِلَهَ اِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِى وَأَقِمِ الصَّلَوةَ لَذِكْرِى
“Sesungguhnya Aku inilah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Q.S. 20
Thaha: 14)
Firman Allah di atas senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat
14 dan 15 yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk mengetahui secara jelas
persamaan makna yang terdapat pada kedua ayat tersebut penulis akan
menguraikan kalimat perkalimat pada surat Thaha ayat 14 serta
membandingkannya dengan surat Al-A’la ayat 14.
Pertama, pada bagian awal surat Thaha ayat 14 Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku ini Allah”. Bila kita menganalisis firman Allah
tersebut maka dapatlah kita ketahui bahwa sesungguhnya Allah itu ingin
dikenal. Firman Allah pada surat Thaha tersebut senada dengan firman
Allah pada surat Al-A’la ayat 14: “Beruntunglah orang-orang yang
mensucikan hatinya”. Makna beruntung pada ayat ini adalah bahwa
keuntungan yang diperoleh oleh orang-orang yang mensucikan hatinya
adalah dapat mengenal Allah. Bahkan bila kita analisis lebih jauh selain
memiliki persamaan makna, kedua ayat tersebut juga memiliki kaitan di
mana ayat yang satu berfungsi sebagai penjelas bagi yang lain. Pada
surah Thaha Allah berfirman:“Sesungguhnya Aku ini Allah”. Ayat tersebut
mengintruksikan kepada manusia kewajiban untuk mengenal Allah. Pada
surah al-A’la ayat 14 Allah berfirman: “Beruntunglah orang-orang yang
mensucikan hatinya”. Pada ayat ini Allah memuji orang-orang yang
mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang mensucikan hatinyalah
yang dapat mengenal Allah dan merekalah yang dinyatakan Allah sebagai
orang-orang yang beruntung. Dari uraian singkat di atas dapat
disimpulkan bahwa firman Allah pada surat Thaha ayat 14 keduanya
mengindikasikan bahwa kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih
dahulu mensucikan hatinya agar ia dapat mengenal Tuhannya.
Kedua, pada bagian tengah surat Thaha Allah berfirman: “Tiada Tuhan
selain Aku”. Bila kita analisis firman Allah di atas, maka dapat kita
ketahui bahwa maksud yang terkandung di dalamnya adalah perintah untuk
mengingat-Nya, sebab kalimat “Tiada Tuhan selain Allah”,bermakna tidak
ada yang boleh diingat selain Allah. Firman Allah pada surat al-A’la
ayat 15:“Dan mengingat Tuhannya”. Dari uraian singkat di atas dapat
disimpulkan bahwa kewajiban yang kedua bagi manusia adalah mengingat
Tuhannya.
Ketiga, pada bagian akhir surat Thaha Allah berfirman: “Sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. Bila kita analisis pada ayat
di atas bahwa printah sembah datang setelah terlebih dahulu Allah
memerintahkan untuk mengenal dan mengingatnya. Perintah sembah tersebut
diwujudkan dengan mendirikan shalat yang tujuannya adalah untuk
mengingat-Nya. Firman Allah tersebut senada dengan firman Allah pada
surat al-A’la ayat 15: “Maka dirikanlah shlalat”. Dari uraian di atas
dapat diketahui bahwa kedua ayat tersebut sama-sama mengindikasikan
bahwa shalat merupakan kewajiban ketiga.
Dari penjelasan di atas dapatlah kita ketahui mengapa para sufi menaruh
perhatian besar terhadap hati (qalb) dan menempatkan shalat sebagai
kewajiban ketiga. Karena sesungguhnya perintah shalat itu diterima
setelah terlebih dahulu Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad sebelum ia
menghadap Allah. Sebab Allah itu tidak dapat dilihat oleh mata kepala
Nabi Muhammad tetapi hanya dapat dilihat oleh mata hati Nabi Muhammad.
Oleh sebab itu sebelum Nabi Muhammad berjumpa dengan Allah, terlebih
dahulu Jibril mensucikan hatinya, agar nur yang ada di dalam mata
hatinya itu dapat memancar, sebab dengan nur itulah Nabi Muhammad dapat
menyaksikan Allah. Itulah sebabnya di dalam surah al-Isra’ ayat 1 Allah
menggunakan kalimat Maha Suci, sebab Allah itu Maha Suci dan hanya dapat
dilihat oleh hamba-hamba-Nya apabila mereka telah mensucikan hati
mereka.
Adapun makna Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad pada hakikatnya adalah
sesungguhnya Malaikat Jibril menyampaikan pengenalan kepada Allah dalam
istilah ilmu tarekat lazim disebut dengan bai’at. Praktik bai’at yang
diterima oleh Nabi dari gurunya Malaikat Jibril diteruskan kepada Ali
ibn Abi Thalib dan praktik seperti ini terus berlanjut dari guru ke
murid dalam rangkaian silsilah hingga saat ini. Praktik bai’at yang
diterapkan di kalangan ahli tarekat sesungguhnya mengacu pada pola yang
dilaksanakan oleh Nabi. Jadi berdasarkan tradisi bai’at inilah muncul
istilah bahwa“Barangsiapa yang tidak mempunyai syekh maka gurunya adalah
setan” sebab Nabi sendiri tidak dapat mengenal Allah tanpa berguru
kepada Malaikat Jibril, apalagi kita sebagai manusia biasa yang hina dan
dhaif yang tidak mempunyai kedudukan apa-apa di sisi Allah maka
mustahil dapat mengenal Allah tanpa guru. Oleh sebab itu Nabi bersabda:
اَلْعِلْمُ عِلْمَانِ فَعِلْمُ بَطِنِ فِى قَلْبِى فَذَالِكَ هُوَ نَفِعِى
“ilmu itu ada dua macam, adapun ilmu batin yang di dalam hati itu jauh lebih bermanfaat”.
Dari penjelasan Hadis di atas dapatlah kita ketahui bahwa tidak hanya
para sufi yang menaruh perhatian besar terhadap hati, bahkan Nabi
sendiri lewat Hadisnya secara tegas menyatakan keutamaan ilmu hatilah
manusia dapat mengenal Allah.
Banyak kekeliruan umat Islam saat ini adalah tidak mau mempelajari ilmu
hati dan lebih mengutamakan ilmu syari’at. Oleh sebab itu menurutnya
mayoritas umat Islam saat ini tidak mengenal yang mereka sembah dan
sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata sebagaimana firman
Allah:
فَوَيْلٌ لِلْقَسِيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِكْرِاللهِ أُلَئِكَ فِى ضَلَلٍ مُّبِيْنٍ
“Maka celakalah bagi orang yang hatinya tidak dapat mengingat Allah,
mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. 39 az-Zumar: 22)
Demikianlah celaan Allah terhadap orang-orang yang tidak dapat
mengingat-Nya, yang kesemuanya itu disebabkan karena mereka tidak
mempelajari soal hati. Namun kebanyakan umat Islam saat ini tidak tahu
kalau mereka itu tidak tahu. Mereka menganggap bahwa amal ibadah mereka
dapat diterima oleh Allah SWT, karena merasa bahwa tauhid mereka telah
sempurna, padahal sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata.
Sesungguhnya orang-orang yang bertauhid si sisi Allah adalah
orang-orang yang telah mempelajari ilmu hati. Sebab hanya dengan
mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal Allah. Jadi
sesungguhnya orang-orang yang tidak mempelajari ilmu hati adalah
orang-orang yang bertauhid di sisi manusia tetapi sesungguhnya kafir di
sisi Allah, sebab tauhid mereka hanya di lidah, namun hatinya tidak
pernah menyaksikan Allah. Mereka menganggap bahwa dengan mengucap dua
kalimah syahadat dan percaya dalam hati berarti telah Islam dan beriman
di sisi Allah. Padahal keislaman dan keimanan mereka itu barulah sebatas
percaya kepada Allah. Oleh sebab itu orang-orang yang mengabaikan atau
tidak mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat) sesungguhnya adalah
orang-orang yang mengabaikan tauhid.
Dari uraian di atas dapatlah kita ketahui betapa pentingnya mempelajari
ilmu hati (ilmu tarekat). Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu tauhid yang
sesungguhnya adalah dengan mempelajari ilmu hati.
Dalam ilmu Tasawwuf ada istilah ‘al-Maqamat’ atau tahapan / tingkatan
yang akan dilalui oleh seseorang untuk mencapai ‘makrifat’ atau mengenal
Allah. Perjalanan panjang menuju tujuan tersebut disebut dengan
‘suluk’.
Suluk tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ
بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ
مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ
الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ
الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ
سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ (البخارى
6502)
“Sesungguhnya Allah berfirman (Hadis Qudsi) : Barangsiapa yang memusuhi
seorang wali maka Aku mengizinkan berperang. Tidak ada yang seorang
hamba yang mendekatkan diri kepadaKu yang lebih Aku cintai daripada
hal-hal yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hambaku tiada berhenti
mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah sunah hingga Aku mencintainya.
Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya,
tangan yang dipukulnya, langkah kakinya. dan jika ia meminta maka sunggu
Aku kabulkan, dan jika ia berlindung kepadaKu, niscaya Aku lindungi”
(HR al-Bukhari)
al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
قَالَ الطُّوفِيُّ : هَذَا الْحَدِيثُ أَصْلٌ فِي السُّلُوكِ إِلَى اللَّه
وَالْوُصُول إِلَى مَعْرِفَتِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَطَرِيقِهِ ، إِذْ
الْمُفْتَرَضَاتُ الْبَاطِنَةُ وَهِيَ الْإِيمَان وَالظَّاهِرَة وَهِيَ
الْإِسْلَام وَالْمُرَكَّبُ مِنْهُمَا وَهُوَ الْإِحْسَانُ فِيهِمَا كَمَا
تَضَمَّنَهُ حَدِيثُ جِبْرِيل ، وَالْإِحْسَان يَتَضَمَّنُ مَقَامَاتِ
السَّالِكِينَ مِنْ الزُّهْد وَالْإِخْلَاص وَالْمُرَاقَبَة وَغَيْرهَا ،
وَفِي الْحَدِيث أَيْضًا أَنَّ مَنْ أَتَى بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِ
وَتَقَرَّبَ بِالنَّوَافِلِ لَمْ يُرَدَّ دُعَاؤُهُ لِوُجُودِ هَذَا
الْوَعْد الصَّادِق الْمُؤَكَّد بِالْقَسَمِ (فتح الباري لابن حجر - ج 18 /
ص 342)
“ath-Thufi berkata: Hadis ini adalah dalil dasar dalam melakukan suluk
(tahapan / jenjang) menuju Allah dan sampai pada makrifat (mengenal)
Allah dan mencintainya. Sebab kewajiban-kewajiban batin seperti iman,
dan kewajiban-kewajiban fisik yaitu Islam, dan yang tersusun dari
keduanya, yaitu Ihsan sebagaimana dalam hadis yang disampaikan dalam
kisah Malaikat Jibril. Sementara Ihsan mengandung tahapan-tahapan yang
dilalui oleh pelaksana, seperti zuhud, ikhlas, diawasi oleh Allah dan
lainnya. Dalam hadis ini juga dijelaskan bahwa orang yang melakukan
ibadah wajib dan mendekatkan diri dengan ibadah sunah donya tidak akan
ditolak, sebab telah ada janji yang dikuatkan dengan sumpah” (Fathul
Bari 18/342)
Suluk yang berarti menempuh jalan menuju kepada Tuhan Allah SWT. Suluk
juga disebut khalwat, yaitu berada ditempat yang sunyi sepi, agar dapat
beribadat dengan khusuk dan sempurna. Suluk ini juga disebut iktikaf.
Seseorang yang melaksanakan suluk dinamakan salik. Orang suluk
beriktikaf di masjid atau surau, sebagaimana yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW atau Salafus Shaleh. Masa suluk itu dilaksanakan 10 hari,
20 hari atau 40 hari. Orang yang melaksanakan suluk itu wajib di bawah
pimpinan seorang yang telah ma’rifat, dalam hal ini adalah Syekh
Mursyid.
Pengertian suluk adalah ikhtiar menempuh jalan menuju kepada Tuhan
Allah, semata-mata untuk mencari keridlaan-Nya. Hakikat suluk adalah
usaha, ikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan diri rohani
maupun jasmani, dengan bertobat dan mengosongkan diri pribadi dari
sifat-sifat buruk (maksiat lahir maupun batin), dan mengisinya dengan
sifat-sifat terpuji, taat lahir maupun batin. Setiap orang yang suluk
meyakini, bahwa dirinya akan menjadi bersih dan tobatnya akan diterima
oleh Allah SWT, sehingga dia menjadi taqarrub, dekat diri kepada-Nya.
Orang dalam suluk seluruh hidup dan kehidupannya harus bernilai ibadat
dan tidak boleh ada padanya yang bernilai sia-sia. Karena itu
ibadat-ibadat yang dilakukan baik yang wajib maupun yang sunat, sama
saja dengan ibadat yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suluk,
sesuai dengan ketentuan syariat. Orang dalam suluk berusaha
bermujahadah, bersungguh-sungguh melaksanakan itu semua dengan lebih
intensif, dengan konsentrasi penuh, dengan khusuk lillahi ta’ala. Tidak
ada sedikit pun peramalan itu yang menyimpang, apalagi keluar dari
ketentuan syariat. Tidak ada peramalan bid’ah, apalagi menjurus kepada
khurafat dan syirik, bahkan orang suluk berusaha untuk mendapatkan
tauhid yang semurni-murninya, tidak hanya dalam bentuk ilmul yakin atau
‘ainul yakin tapi dalam bentuk hakkul yakin.