Di dalam Hadits, yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ
، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ ، صُقِلَ مِنْهَا قَلْبُهُ فَإِنْ
زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَا قَلْبَهُ ، فَذَلِكَ الرَّانُ، قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى : كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
“Sesungguhnya seorang mukmin, bila dia melakukan dosa, terdapat noda
hitam di dalam hatinya; bila dia bertaubat, benar-benar menyesali, dan
minta ampun (atas dosa-dosanya tadi), dibersihkan hatinya dari dosa-dosa
tersebut; tetapi, bila dia menambah dosanya, maka titik hitam itu
semakin bertambah, sehingga memenuhi hatiya. Itulah yang disebut
al-raan”, sebagaimana firman-Nya: “Sekali-kali tidak, bahkan hati mereka
telah tertutupi (oleh tabiat buruk), terhadap apa yang mereka usahakan”
(QS. Al-Muthaffifin/83: 14).” (HR. Muslim). Kata al-raan di dalam
Hadits di atas berartial-thab’ wa al-dans; artinya dikuasai oleh tabiat
yang buruk.
Hati, bila ingin bersih: taubat, meyesali, dan minta ampun (istighfar);
bila ingin sebaliknya: tidak perlu bertaubat, tidak perlu menyesali, dan
tidak perlu minta ampun (istighfar).
Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di
hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda
atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada
saudaranya.
Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut
su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita.
Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si A begini, si B begitu,
si C demikian, si D demikian dan demikian. Yang parahnya, terkadang
persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata
sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita
membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita
membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan
kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara
yang terlarang. Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari
persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu
merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk
menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita
menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas
suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah
terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah
yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang
tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk
menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang
terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan
yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu
Riyadhis Shalihin, 3/191)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu
menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain
tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa
yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam
rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul
Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali
engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari
saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan
pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)
Perilaku buruk sangka dewasa ini merebak kemana-mana dan sepertinya
merupakan hal yang dianggap lumrah dan biasa , dimana dalam keseharian
nya bila berbincang bincang diantara lebih dari satu orang , maka
biasanya tidak pernah lupa membicarakan orang lain terutama sekali yang
terkait dengan hal-hal yang tidak pada tempatnya untuk dibincangkan
karena berkaitan dengan orang lain atau pihak ketiga.
Buruk sangka sangat terkait dengan ghibah, dan biasanya apabila
seseorang mengghibah dapat dipastikan di dalam membicarakan orang lain
tersebut terkandung buruk sangka terhadap orang yang dibicarakan (
digunjingkan).
Berkaitan dengan buruk sangka ini, maka bagaimanakah sesungguhnya sikap
dan pandangan syari’at Islam terhadap buruk sangka yang banyak terdapat
dikalangan masyarakat. Sehubungan dengan itu dalam ulasan berikut ini
diungkapkan bagaimana penegasan al-Qur’an dan as-Sunnah serta pendapat
para ulama dalam menyikapi perilaku buruk sangka .
Hukum Buruk Sangka Terhadap Sesama Islam
Buruk sangka (su'u dzan) adalah salah satu daripada sifat-sifat mazmumah
(buruk/tercela). Manakala mencari-cari kesalahan orang lain pula hadir
apabila wujudnya sangkaan buruk di dalam hati manusia. Apabila timbulnya
buruk sangka, maka sudah tentu rasa ingin mencari kesalahan seseorang
itu timbul sehingga terbukalah kesalahan, aib atau kelemahan seseorang
itu yang menyebabkan si pelaku itu berasa puas. Ia adalah suatu penyakit
hati yang akan menyerang sesiapa sahaja.
Berburuk sangka merupakan kecurigaan atau menduga terhadap orang atau
pihak lain dengan sesuatu yang bersifat negatif dan mengandung celaan.
Sedangkan sesuatu yang dituduhkan kepada seseorang atau pihak lain itu
masih dalam dugaan yang perlu dipertanyakan kebenarannya.
Allah 'Azza wa-Jalla telah mengharamkan sikap buruk sangka terhadap
sesama mukmin, karena ia akan menyebabkan timbulnya fitnah atau tuduhan .
Buruk sangka ini mungkin terjadi antara sdatu individu lainnya atau
bahkan dapat pula terjadi antara anggota/jamaah kelompok kelompok
sesama kaum muslimin. Apabila sikap terkutuk ini terdapat di kalangan
anggota jamaah maka akan mengwujudkan perasaan saling tidak percaya,
saling meragukan , benci-membenci, pertengkaran, perpecahan dan akhirnya
bermusuh-musuhan di antara sesama Islam.
Allah Subhanahu wa-Ta'ala mengharamkan hambaNya yang beriman dari
menyimpan perasaan persangkaan atau sangka-sangka buruk terhadap Allah
dan terhadap saudara-saudaranya yang seagama. Malah Allah mengharamkan
juga segala unsur, bibit atau segala sesuatu yang dapat menyebabkan
timbulnya rasa buruk sangka di kalangan sesama muslim. Pengharaman ini
telah ditegaskan di dalam al-Quran dan hadith-hadith Nabi sallallahu
'alaihi wa-sallam sebagaimana firman Allah dan sabda Nabi
shallallahu’alaihi wasallam .
Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ
بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم
بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang.(QS. Al Hujuraat:12 )
Dengan ayat ke 12 surah al Hujuraat tersebut diatas Allah subhanahu wa
ta’ala memerintahkan hamnba-hamba-N ya untuk menjauhkan diri dari
berburuk sangka kepada saesama mukmin. Demikian pula , tiodak
dibenarkan mencara-cari aib sesama mukmin karena perbuatan tersebut
termasuk perilaku yang buruk dan keji.
Allah subhanahu wa ta’ala melalui ayat tersebut juga mememerintahkan
untuk menjauhi perbujatan ghibah atau membicarakan keburukan
saudaranya. Allah subhanahu wa ta’ala mengumpamakan orang yang
melakuykan ghibah ini seperti orang memakan daging saudaranya yang sudah
mati.
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk
menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita
menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas
suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah
terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah
yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang
tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk
menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang
terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan
yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu
Riyadhis Shalihin, 3/191)
Telah diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir sebuah keterangan yang bersumber
dari Ibnu Juraji, b erkenaan dengan sebab turunnya surah al-Hujuraatayat
ke 12 sebagaimana tersebut diatas bahwa dikemukakan tentang kebiasaan
Salman al-Farisi yanmg langsung tidur mendengkur bila selesai makan.
Lantas muncullah seseorang mepergunjingkan perbuata salman tersebut.
Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ke 12 tersebut yang
melarang perbuatan mengumpat dan menceritakan aib oranglain.
Imam Bukhari rahimahullaah ta’ala meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhyalllahu’anhuma :
صحيح البخاري ٥٦٠٦: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا
مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ
وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا
تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا
تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Shahih Bukhari 5606: dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jauhilah prasangka
buruk, karena prasangka buruk ucapan yang paling dusta, dan janganlah
kalian saling mendiamkan, saling mencari kejelekan, saling menipu dalam
jual beli, saling mendengki, saling memusuhi dan janganlah saling
membelakangi, dan jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang
bersaudara."
Sesungguhnya prasangka buruk datang dari syaithan kedalam hati manusia .
Dengan kelihaiannya syaithan mempengaruhi manusia untuk meyakinkan
kebenaran prasangka buruk tersebut. Oleh karena itu barang siapa
senantiasa mengikuti hawa nafsu nya untguk berburuk sangka, niscaya ia
akan binasa. Allah subhanahu wa ta’ala b erfirman :
بَلْ ظَنَنتُمْ أَن لَّن يَنقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى
أَهْلِيهِمْ أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنتُمْ ظَنَّ
السَّوْءِ وَكُنتُمْ قَوْمًا بُورًا
Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mu'min tidak sekali-
kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan syaitan
telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan
kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum
yang binasa.(QS.Al Fath: 12 )
Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata
ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan
dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang
dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak
tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan
tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda
yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek.
Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak
darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang
terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka
terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang
mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr,
berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara
yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah
terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an
16/217, Ruhul Ma’ani 13/219)
Beberapa Pendapat para ulama tentang buruk sangka
Beberapa orang ulama dari kalangan salafus shalih rahimahullah ta’ala
mengemukakan pendapat mereka tentan berburuk sangka , antara lain :
1. Dari Haritha bin an-Nukman berkata:
Bersabda Rasulullah s.a.w: Tiga perkara yang sentiasa ada pada umatku:
Kepercayaan sial. Hasad dengki. Prasangka. Beliau bertanya: Apakah yang
boleh menghilangkan dari itu (semua) wahai Rasulullah bagi sesiapa yang
telah ada pada dirinya perkara-perkara tersebut? Baginda bersabda:
Apabila berhasad dengki mintalah ampun, apabila berprasangka janganlah
diteruskan dan apabila mempercayai tataiyur hendaklah dihapuskan". H/R
at-Tabrani.
2.. Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang berkata :
“Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian
tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa.
Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.
(Tahdzib At-Tahdzib)
3 Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata :
“Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai,
maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak
mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri,
“Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan
perbuatan tersebut”. [kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) ]
4.Sufyan bin Husain berkata,
“Aku pernah menyebutkan keburukn seseorang di hadapan Iyas bin
Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu
pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau
bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind , Hind (India) atau Turki?”
Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa
Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari kburuknmu sementara saudaramu
yang muslim tidak selamat dari keburukanmu?” Setelah kejadian itu, aku
tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” ( Bidayah wa Nihayah,
Ibnu Kathir (XIII/121))
5.Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata:
Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan
meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan
keburukan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan
keburukan dirinya sendiri dan melupakan keburukan orang lain, maka
hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa gelisah. Setiap kali dia
melihat keburukan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina
tatkala melihat keburukan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara
orang yang senantiasa sibuk memperhatikan keburukan orang lain dan
melupakan keburukannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan
merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan keburukan
dirinya”.[Raudhah Al-‘Uqala (hal.131)]
Beliau juga berkata,:
“Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya
prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal
akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih
dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk
kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya
menderita”.[Raudhah Al-‘Uqala (hal.133)]
6. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas ulama
dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang
yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan
yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil
Qur`an, 16/21
Berburuk sangka Termasuk membuka aib seseorang
Banyak diantara kaum muslimin yang tidak menyadari bahwa sebenarnya
dalam berburuk sangka terhadap orang lain sebenarnya di dalamnya
terkandung pula hal-hal yang bersifat negatif seperti mencari-cari aib
seseorang, mencela, iri hasad dan dengki.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ
تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ
تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا
عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ
الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ،
التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ
امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ
اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ،
وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu
adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan
orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian
mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba
untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci,
dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang
bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah
saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya,
jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan
jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau
mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari
kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim
terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya.
Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke
rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR.
ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata
ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan
dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang
dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak
tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan
tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda
yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek.
Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak
darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang
terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka
terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang
mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr,
berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara
yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah
terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an
16/217, Ruhul Ma’ani 13/219)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas ulama
dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang
yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan
yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil
Qur`an, 16/218)
Karenanya, Ibnu Hubairah Al-Wazir Al-Hanbali berkata, “Demi Allah, tidak
halal berbaik sangka kepada orang yang menolak kebenaran, tidak pula
kepada orang yang menyelisihi syariat.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/70)
Dari hadits:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Khaththabi
tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan
adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami
hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa
bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar
kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di
hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja.”Lafadz hadits
yang dimaksud adalah:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِإُمَّتِي مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di jiwa
mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari
no. 2528 dan Muslim no. 327) (Al-Minhaj, 16/335)
Sufyan rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila
seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam /menyimpannya dan
tidak membicarakan nya maka ia tidak berdosa.”
Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu, bahwa zhan yang
dilarang adalah zhan yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di atas
asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id
Muslim, 8/28)
Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta menjaga
kehormatannya, tidaklah pantas kita berzhan buruk. Bila sampai pada kita
berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita
lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya. Karena itu, tatkala
terjadi peristiwa Ifk di masa Nubuwwah, di mana orang-orang munafik
menyebarkan fitnah berupa berita dusta bahwa istri Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, shalihah, dan thahirah (suci
dari perbuatan nista) Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina,
wal’iyadzubillah, dengan sahabat yang mulia Shafwan ibnu Mu’aththal
radhiyallahu ‘anhu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman agar tetap berprasangka baik dan tidak
ikut-ikutan dengan munafikin menyebarkan kedustaan tersebut. Dalam
Tanzil-Nya, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang
mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri
dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang
nyata’.” (An-Nur: 12)
Dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang
Badui yang takut berperang ketika mereka diajak untuk keluar bersama
pasukan mujahidin yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Orang-orang Badui ini dihinggapi dengan zhan yang jelek.
سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ اْلأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا
أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا يَقُولُونَ
بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ
مِنَ اللهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ
نَفْعًا بَلْ كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا. بَلْ ظَنَنْتُمْ
أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ
أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ
وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا
“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan
mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami, maka
mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidah mereka
apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Katakanlah, “Maka siapakah
gerangan yang dapat menghalangi-halangi kehendak Allah jika Dia
menghendaki kemudaratan bagi kalian atau jika Dia menghendaki manfaat
bagi kalian. Bahkan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.
Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan orang-orang yang beriman
sekali-kali tidak akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan
setan telah menjadikan kalian memandang baik dalam hati kalian
persangkaan tersebut. Dan kalian telah menyangka dengan sangkaan yang
buruk, kalian pun menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 11-12)
Berburuk sangka kepada seseorang kemudian membeberkannya kepada yang
lainnya merupakan rangkaian perbuatan membuka aib orang lain, padahal
membuka aib orang lain sangatlah tercela dan dilarang menurut agama,
sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa
sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim
rahimahullaah ta’ala dari Abu Hurairah radhyalllahu’anhuma :
صحيح مسلم ٤٦٩٢: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
عَفَّانُ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا سُهَيْلٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسْتُرُ
عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
Shahih Muslim 4692: dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam beliau bersabda: "Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di
dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak."
Selain itu imam Muslim rahimahullah dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan
hadits dari Abu Hurairah radhyallaahu’anhuma bahwa Rasullullah
shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda :
صحيح مسلم ٤٦٧٧: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ مَنْ كَانَ
فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ
مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ
يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
Shahih Muslim 4677: dari Salim dari Bapaknya bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang muslim dengan muslim
yang lain adalah bersaudara. Ia tidak boleh berbuat zhalim dan aniaya
kepada saudaranya yang muslim. Barang siapa yang membantu kebutuhan
saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa
membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan
membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barang siapa
menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari
kiamat kelak."
Menurut hadits tersebut diatas, orang-orang yang menutupi aib seorang
muslim yaitu tidak membuka dan membicarakannya kepada pihak lain, maka
Allah subhanahu wa ta’ala akan menutupi aibnya, karena sesungguhnya aib
yang namanya anak manusia itu begitu banyaknya, namun karena Allah
subhanahu wa ta’ala menolong menutupinya maka aib tersebut tidak nampak
kepermukaan.
Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh imam Abu Daud dalam Sunan-nya dari Salim :
سنن أبي داوود ٤٢٤٨: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا
اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ
أَخِيهِ فَإِنَّ اللَّهَ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ
كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
Sunan Abu Daud 4248: dari Salim dari Bapaknya dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Seorang muslim itu saudara bagi
muslim lainnya, tidak boleh menzhalimi atau merendahkannya. Barang siapa
memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.
Dan Barang siapa membebaskan kesulitan seorang muslim di dunia, maka
Allah akan membebaskan kesulitannya di akhirat. Dan barangsiapa menutupi
aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat."
Dampak Negatif Berburuk Sangka
Banyak diantara kaum muslimin yang selalu berburuk sangka dan
mengeluarkan pernyataan tanpa memikirkan kesannya terhadap individu dan
perasaan orang lain dari ingin mencari kesalahan-kesalahan orang
yang tidak sejalan , malah ditabur fitnah dan penuh dengan buruk sangka.
Berburuk sangka kepada saudara sesama muslim merupakan cikal bakal dari
adanya rasa benci yang akan tumbuh dari hati seseorang yang berburuk
sangka kepada orang-orang yang dicurigai.
Buruk sangka merupakan sumber tumbuhnya hal-hal yang tercela seperti
timbulnya pergunjingan ( ghibah ) tentang keburukan seseorang, kemudian
mencari-cari kesalahan atau cela seseorang dan membuka aib diri orang
lain . Semua itu merupakan akumulasi dari dampak negative dari buruk
sangka
.Diantara hal-hal yang dapat meretakkan persaudaraan di kalangan kaum
muslimin adalah perbuatan buruk sangka. Yang dimaksud dengan buruk
sangka ialah menjatuhkan dugaan-dugaan buruk kepada seorang muslim,
sehingga tindakan-tindakan maupun ucapannya senantiasa dicurigai. Allah
subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa buruk sangka termasuk perbuatan
berdosa, karena mengkibatkan keburukan yang sangat besar. Biasanya
seseorang yang berburuk sangka kepada orang lain cenderung menolak
bahkan membenci orang tersebut. Lebih buruk lagi, tidak sedikit diantara
mereka yang berusaha mempen garhui orang lain untuk membencinya juga,
Akhirnya ternodalah persaudaraan muslim
Banyak diantara kaum muslimin yang selalu berburuk sangka dan
mengeluarkan pernyataan tanpa memikirkan kesannya terhadap individu dan
perasaan orang lain dari ingin mencari kesalahan-kesalahan orang
yang tidak sejalan , malah ditabur fitnah dan penuh dengan buruk sangka.
Sehingga dapat melahirkan fitnah ( tuduhan) yang tidak benar kepada
seseorang yang juga tidak lain adalah saudara sesama muslim. Pada
gilirannya timbulah perselisihan dan bahkan permusuhan diantara sesama
saudara seagama yang dikhawatirkan akan berdampak lebih buruk lagi bagi
hubungan persaudaraan sesama muslim.
Berburuk sangka juga akan memberikan dampak negative berupa lahirnya
rasa hasad dan dengki kepada orang lain, padahal hasad dan dengki juga
merupakan perbuatan yang terlarang dalam islam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَلاَ تَتَمَنَّوْاْ مَا فَضَّلَ اللّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُواْ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا
اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمًا
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi
orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.(QS.An Nisaa : 32 )
Selain dari itu adapula hadits yang menegaskan tentang terlarangnya
dasad dan dengki sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Bukhari
rahimahullaah ta’ala dari Abdullah bin Umar radhyalllaahu’anhuma :
صحيح البخاري ٤٦٣٧: حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ
الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا
حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَقَامَ
بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَرَجُلٌ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ
يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
Shahih Bukhari 4637: dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma berkata;
Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak
diperbolehkan hasad kecuali pada dua hal, yaitu; Seorang yang diberi
karunia Alquran oleh Allah sehingga ia membacanya (shalat dengannya) di
pertengahan malam dan siang. Dan seseorang yang diberi karunia harta
oleh, sehingga ia menginfakkannya pada malam dan siang hari."
Selain hadits diatas juga diriwayatkan sebuah hadits oleh imam Abu Daud
rahimahullah ta’ala dari Abu Huhairah radhyallaahu’anhuma, Raslullah
shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda :
سنن أبي داوود ٤٢٥٧: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ الْبَغْدَادِيُّ
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ يَعْنِي عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي أَسِيدٍ
عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ
وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ
النَّارُ الْحَطَبَ أَوْ قَالَ الْعُشْبَ
Sunan Abu Daud 4257: dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Jauhilah hasad (dengki), karena hasad dapat memakan
kabaikan seperti api memakan kayu bakar."
Berbaik Sangka Kepada Sesama Muslim
Islam sesungguhnya senantiasa selalu menyuruh agar bersangka baik
sesama insan, baik kepada Muslim dan bukan Muslim bukan sebaliknya
berburuk sangka. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada
hamba-hamba-Nya untuk saling mempererat persaudaraan diantara kaum
mukminin , sebagaimana firman Allah ta’ala :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kamu mendapat rahmat.(QS.Al Hujuraat : 10)
Ayat Allah itu membawa suatu petunjuk kepada kita bahawa orang beriman
itu saling bersaudara satu sama lain tidak saling buruk sangka tetapi
sebaliknya yaitu senantiasa berbaik sangka kepada insan, terutama sesama
Muslim.
Tentang persaudaraan sesama muslim ini, oleh Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam disinggung dalam sebuah hadits riwayat imam
Bukhari rahimahullah ta’ala dari sahabat Anas bin Malik
radhyallaah’anhu :
صحيح البخاري ١٢: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ
شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ
الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Shahih Bukhari 12: dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Dan
dari Husain Al Mu'alim berkata, telah menceritakan kepada kami Qotadah
dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga dia mencintai untuk
saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri".
Dari hadits tersebut diatas secara jelas Rasullullah shallallahu’alahi
wa sallam memberikan contoh salah satu bentuk akrabnya tali persaudaraan
diantara sesama muslim adalah mencintai sesuatu untuk saudaranya
sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri.Kalau dirinya sendiri
tidak menyukai aib diungkapkan, tidak menyukai adanya rasa buruk sangka
orang kepada dirinya atau adanya kecurigaan seseorang pada dirinya, maka
begitulah pulalah hendaknya sikap dan perilaku dirinya kepada saudara
muslim lainnya.
Hadits riwayat imam at-Tirmidzi rahimahullaah ta’ala dari Abu Huharorah radhyallaahu’anhuma :
سنن الترمذي ٢٢٢٧: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ هِلَالٍ الصَّوَّافُ
الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي طَارِقٍ
عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَأْخُذُ
عَنِّي هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ فَيَعْمَلُ بِهِنَّ أَوْ يُعَلِّمُ مَنْ
يَعْمَلُ بِهِنَّ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ أَنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ فَأَخَذَ بِيَدِي فَعَدَّ خَمْسًا وَقَالَ اتَّقِ الْمَحَارِمَ
تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ
أَغْنَى النَّاسِ وَأَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحِبَّ
لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَلَا تُكْثِرْ
الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ
حَدِيثِ جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ وَالْحَسَنُ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ شَيْئًا هَكَذَا رُوِيَ عَنْ أَيُّوبَ وَيُونُسَ بْنِ عُبَيْدٍ
وَعَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ قَالُوا لَمْ يَسْمَعْ الْحَسَنُ مِنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ وَرَوَى أَبُو عُبَيْدَةَ النَّاجِيُّ عَنْ الْحَسَنِ هَذَا
الْحَدِيثَ قَوْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sunan Tirmidzi 2227: dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa salam bersabda: "Siapa yang mau mengambil kalimat-kalimat itu
dariku lalu mengamalkannya atau mengajarkan pada orang yang
mengamalkannya?" Abu Hurairah menjawab: Saya, wahai Rasulullah. beliau
meraih tanganku lalu menyebut lima hal; jagalah dirimu dari
keharaman-keharaman niscaya kamu menjadi orang yang paling ahli ibadah,
terimalah pemberian Allah dengan rela niscaya kau menjadi orang terkaya,
berbuat baiklah terhadap tetanggamu niscaya kamu menjadi orang mu`min,
cintailah untuk sesama seperti yang kau cintai untuk dirimu sendiri
niscaya kau menjadi orang muslim, jangan sering tertawa karena seringnya
tertawa itu mematikan hati."
Orang-orang yang di dalam hatinya tidak pernah terbetik rasa iri
terhadap orang lain akan mendapatkan surga sebagaimana yang dikatakan
oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh imam Ahmad rahimahullah ta’ala dari sahabat Anas bin
Malik radhyallaah’anhuma :
مسند أحمد ١٢٢٣٦: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ
كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ
قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الشِّمَالِ فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ
فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى فَلَمَّا كَانَ
الْيَوْمُ الثَّالِثُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ
حَالِهِ الْأُولَى فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ
إِنِّي لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا
فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ قَالَ
نَعَمْ قَالَ أَنَسٌ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ
مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنْ
اللَّيْلِ شَيْئًا غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى
فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ حَتَّى يَقُومَ
لِصَلَاةِ الْفَجْرِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ
يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا فَلَمَّا مَضَتْ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ
أَحْتَقِرَ عَمَلَهُ قُلْتُ يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي
وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ
يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَطَلَعْتَ
أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا
عَمَلُكَ فَأَقْتَدِيَ بِهِ فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ فَمَا
الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ قَالَ فَلَمَّا وَلَّيْتُ
دَعَانِي فَقَالَ مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ
فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا
عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ هَذِهِ
الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ
Musnad Ahmad 12236: Anas bin Malik berkata, ketika kami sedang duduk
bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Akan
muncul kepada kalian seorang laki-laki penghuni surga", lalu muncul
seorang laki laki Anshor yang jenggotnya masih bertetesan air sisa
wudhu, sambil menggantungkan kedua sandalnya pada tangan kirinya. Esok
harinya Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam bersabda seperti juga, lalu
muncul laki laki itu lagi seperti yang pertama, dan pada hari ketiga
Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam bersabda seperti itu juga dan muncul
laki laki itu kembali seperti keadaan dia yang pertama. Ketika Nabi
Shallallahu'alaihi wa Sallam berdiri, Abdullah bin Amru bin Al-Ash
Radhiyallahu'anhu mengikuti laki-laki tersebut dengan berujar " Kawan,
saya ini sebenarnya sedang bertengkar dengan ayahku dan saya bersumpah
untuk tidak menemuinya selama tiga hari, jika boleh, ijinkan saya
tinggal di tempatmu hingga tiga malam", "Tentu", jawab laki-laki
tersebut. Anas bin Malik berkata, Abdullah Radhiyallahu'anhu bercerita;
aku tinggal bersama laki-laki tersebut selama tiga malam, anehnya tidak
pernah aku temukan mengerjakan shalat malam sama sekali, hanya saja jika
ia bangun dari tidurnya dan beranjak dari ranjangnya, lalu berdzikir
kepada Allah 'azza wajalla dan bertakbir sampai ia mendirikan shalat
fajar, selain itu juga dia tidak pernah mendengar dia berkata kecuali
yang baik baik saja, maka ketika berlalu tiga malam dan hampir hampir
saja saya menganggap sepele amalannya, saya berkata, " Wahai kawan,
sebenarnya antara saya dengan ayahku sama sekali tidak ada percekcokan
dan saling mendiamkan seperti yang telah saya katakan, akan tetapi saya
mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam bersabda tentang
dirimu tiga kali, "akan muncul pada kalian seorang laki-laki penghuni
surga, lalu kamulah yang muncul tiga kali tersebut, maka saya ingin
tinggal bersamamu agar dapat melihat apa saja yang kamu kerjakan hingga
saya dapat mengikutinya, namun saya tidak pernah melihatmu mengerjakan
amalan yang banyak, lalu amalan apa yang membuat Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa Sallam sampai mengatakan engkau ahli surga?",
laki-laki itu menjawab, "Tidak ada amalan yang saya kerjakan melainkan
seperti apa yang telah kamu lihat", maka tatkala aku berpaling laki laki
tersebut memanggilku dan berkata, "Tidak ada amalan yang saya kerjakan
melainkan seperti apa yang telah kamu lihat, hanya saja saya tidak
pernah mendapatkan pada diriku, rasa ingin menipu terhadap siapapun dari
kaum muslimin, dan saya juga tidak pernah merasa iri dengki kepada
seorang atas kebaikan yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada
seseorang", maka Abdullah Radhiyallahu'anhu berkata, "Inilah amalan yang
menjadikanmu sampai pada derajat yang tidak bisa kami lakukan."
Takhtimah
Adanya pikiran buruk sangka dalam diri seseorang muslim terhadap diri
saudara muslim lainnya sesungguhnya merupakan hal yang tercela dan
berakibat kepada timbulnya dosa. Dan disisi lain buruk sangka akan
berkembang terus dengan diungkapkannya kepada pihak ketiga jadilah
buruk sangka menjadi ghibah, mengungkit-ungkit/mencari kesalahan dan
cela orang lain.
Buruk sangka yang merupakan godaan syaithan pada hawa nafsu seseorang
pada gilirannya melahirkan rasa kebencian , kemudian fitnah,
perselisihan dan permusuhan dan mungkin saja hal yang lebih buruk dari
itu dapat saja terjadi.
Sesama muslim itu adalah saling bersaudara, karena nya wajib bagi
setiap muslim itu berbaik sangka kepada satu sama lainnya bukanlah
sebaliknya. Sesama muslim hendaknya menjauhkan diri dari rasa kebencian,
iri hati , hasad dan dengki, pergunjingan dan hal-hal yang buruk
berkaitan dengan terputusnya hubungan persaudaraan sesama muslim.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ، وَعِرْضِهِ، وَمَنْ
وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى
حَوْلَ الْحِمَى، يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ
مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ
“Siapa yang menjauhkan diri dari syubhat, sungguh ia telah menjaga agama
dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam syubhat, ia akan
terjerumus dalam keharaman. Sebagaimana pengembala yang mengembalakan
hewannya di dekat perbatasan sampai ia hampir saja melewati batasnya.
Ketahuilah batas-batas Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya”
(Muttafaqun ‘alaih).
Misalnya, tidak layak seorang Mukmin berada di dekat-dekat tempat
perzinaan (walaupun tidak berzina) tanpa ada hajat, tidak layak seorang
Mukmin sengaja menenteng botol khamr (walaupun tidak diminum) untuk
bercanda atau iseng saja, tidak layak seorang Mukmin berada di restoran
makanan haram (walaupun tidak dimakan) tanpa hajat, dan hal-hal lain
yang bisa menimbulkan tuduhan lainnya.
Diantara akhlak terpuji yang dicontohkan Rasulullah ialah bahwa dia
memiliki sifat sabar dalam kehidupannya. Sabar artinya orang yang mampu
menahan diri atau mampu mengendalikan nafsu amarah. Sabar juga sering
disebut dengan kemampuan seseorang dalam menahan emosi.
Sebenarnya orang yang sabar ialah orang yang keras, yaitu keras dalam menguasai nafsu amarah.
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ . اِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ ( رواه متفق عليه)
“Bukan ukuran kekuatan seseorang itu dengan bergulat, tetapi yang kuat
ialah orang yang menahan hawa nafsunya pada waktu marah” (HR Muttafaqu
Alaihi)
Orang yang sabar bila menerima musibah, ia akan mampu mengendalikan
perasaannya. Sehingga ia tidak terhanyut dalam kesedihan yang
berkepanjangan. Apalagi jika seseorang itu menyadari segala musibah dan
cobaan itu datangnya dari Allah juga.
Adapun sabar dalam pengertian Islam ialah tahan uji dalam menghadapi
suka dan suka hidup, dengan ridha dan ikhlas serta berserah diri kepada
Allah. Sabar itu diperintahkan dalam agama. Dalam Al Qur’an disebutkan:
Artinya: “Hai orang-orana yang beriman, mintalah pertolongan (kepada
Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat.” (QS Al Baqarah ; 153)
Hidup di dunia tidak luput dari berbagai cobaan. Cobaan itu bisa berupa
kesenangan dan kesusahan, sehat dan sakit, serta suka dan duka.
Adakalanya hal itu dialami diri sendiri, keluarga, sahabat dan
sebagainya.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat,