Pandangan Hukum Agama seputar Bisnis dan Proses Akad pindah tangan hewan
kucing perlu di cermati. Pada perkembangan globalisasi saat ini anjing
merupakan aset yang sangat menguntungkan bagi orang-orang yang memiliki
usaha dalam bidang bisnis ternak anjing, selain itu juga pada saat ini
anjing merupakan sahabat dari manusia. Anjing adalah mamalia karnivora
yang telah mengalami domestikasi dari srigala sejak tahun 15.000 tahun
yang lalu atau mungkin 100.000 tahun yang lalu berdasarkan bukti genetic
fosil dan tes DNA.
Dari Rofi’ bin Khodij, beliau mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْحَجَّامِ وَكَسْبُ الْكَلْبِ وَثَمَنُ الْبَغِىِّ مَهْرُ الْكَسْبِ شَرُّ
“Sejelek-jelek penghasilan adalah upah pelacur, hasil penjualan anjing dan penghasilan tukang bedah.” (HR. Muslim)
Juga dari Rofi’ bin Khodij, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَبِيثٌ الْحَجَّامِ وَكَسْبُ خَبِيثٌ الْبَغِىِّ وَمَهْرُ خَبِيثٌ الْكَلْبِ ثَمَنُ
“Hasil penjualan anjing adalah penghasilan yang buruk. Upah pelacur juga
buruk. Begitu pula penghasilan tukang bedah adalah khobits (jelek).”
(HR. Muslim)
Syariat Islam melarang kita untuk membunuh kucing atau binatang lainnya
yang tidak mengganggu. Bila kita tidak sudi untuk memberinya makanan,
maka hendaknya kita juga tidak mengganggunya, apalagi menyiksa dan
membunuhnya.
عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِى هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَخَلَتْ
فِيهَا النَّارَ ، لاَ هِىَ أَطْعَمَتْهَا وَلاَ سَقَتْهَا إِذْ
حَبَسَتْهَا ، وَلاَ هِىَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ متفق
عليه
“Ada seorang wanita yang disiksa karena seekor kucing, wanita itu
mengurung seekor kucing hingga mati, akibatnya wanita itupun masuk ke
neraka. Tatkala wanita itu mengurung kucing, ia tidak memberinya makan,
tidak juga memberinya minum, tidak juga ia membiarkannya pergi mencari
makanan sendiri dengan menangkap serangga.” (Muttafaqun ‘alaih)
Sebaliknya, Islam menganjurkan umatnya untuk berbuat baik kepada binatang-binatang yang tidak mengganggu mereka,
بينما رجل يمشي بطريق، اشتد عليه العطش، فوجد بئرا فنزل فيها، فشرب، ثم
خرج، فإذا كلب يلهث يأكل الثرى من العطش، فقال الرجل: لقد بلغ هذا الكلب من
العطش مثل الذي كان بلغ مني، فنزل البئر فملأ خفه ماء، ثم أمسكه بفيه حتى
رقى، فسقى الكلب، فشكر الله له، فغفر له. قالوا: يا رسول الله، وإن لنا في
هذه البهائم لأجرا؟ فقال: في كل كبد رطبة أجر. متفق عليه
“Tatkala seseorang sedang berjalan di suatu jalan, ia ditimpa rasa haus
yang amat sangat, kemudian ia mendapatkan sumur. Iapun segera turun ke
dalamnya, dan minum airnya. Setelah merasa cukup, ia segera keluar.
Sekeluarnya dari sumur, ia mendapatkan seekor anjing yang sedang
menjulur-julurkan lidahnya sambil menjilati tanah karena kehausan.
Menyaksikan pemandangan ini, orang tersebut berkata: Sungguh anjing ini
sedang merasakan kehausan sebagaimana yang tadi aku rasakan, maka iapun
bergegas turun kembali ke dalam sumur. Ia mengisikan air ke dalam
sepatunya, lalu dengan mulutnya menggigit sepatunya itu hingga ia keluar
dari sumur. Tanpa menunggu sejenakpun, ia meminumkan air itu ke anjing
tersebut. Allah berterima kasih (menerima amalannya) dan mengampuninya.
Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah (perlakuan) kita kepada
binatang-binatang semacam ini akan mendapatkan pahala?” Beliau menjawab:
“Pada setiap makhluq yang berhati basah (masih hidup) terdapat pahala.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Ini adalah salah satu bukti nyata bahwa agama Islam adalah agama pembawa
kerahmatan bukan hanya untuk pemeluknya saja, akan tetapi bagi alam
semesta, termasuk binatang. Karena itu Islam mengharamkan atas umatnya
untuk membunuh binatang tanpa tujuan yang jelas dan dibenarkan.
لا تتخذوا شيئا فيه الروح غرضا. مسلم
“Janganlah engkau jadikan makhluq bernyawa sebagai sasaran.” (Riwayat Muslim)
Bila hal ini telah kita ketahui bersama maka jelaslah bahwa kita tidak dibenarkan dengan sengaja menabrak kucing atau lainnya.
Akan tetapi bila tidak disengaja dan kita telah berusaha sebisa mungkin
untuk menghindari kucing yang melintas, dan ternyata tetap tertabrak
juga, insya Allah tidak apa-apa. Tidak ada kafarat (tebusan)nya, karena
anda tidak berbuat kesalahan.
Dan kucing termasuk binatang yang tidak boleh diperjualbelikan.
Karenanya, walaupun kucing yang anda tabrak adalah kucing piaraan
seseorang, maka anda tidak berkewajiban untuk mengganti rugi atau
menebusnya.
Ada beberapa hadits yang menunjukkan larangan jual beli kucing. Di antaranya:
Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ثمن الكلب والسنور
“Rasulullah SHallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang harga dari Anjing dan
Kucing.” (HR. At Tirmidzi No. 1279, Abu Daud No. 3479, An Nasa’i No.
4668, Ibnu Majah No. 2161, Al-Hakim No. 2244, 2245, Ad Daruquthni No.
276, Al-Baihaqi, As Sunan Al-KubraNo. 10749, Ibnu Abi Syaibah,
Al-Mushannaf, 54/4. Abu Ya’la No. 2275)
Imam At Tirmidzi mengatakan, hadits ini idhthirab(guncang), dan tidak
shahih dalam hal menjual kucing. (Lihat Sunan At Ttirmidzi No. 1279) dan
Imam An Nasa’i mengatakan hadits ini: munkar!(Lihat Sunan An Nasa’i No.
4668)
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfuri Rahimahullah mengatakan:
وقال الخطابي: وقد تكلم بعض العلماء في إسناد هذا الحديث. وزعم أنه غير
ثابت عن النبي صلى الله عليه وسلم. وقال أبو عمر بن عبد البر: حديث بيع
السنور لا يثبت رفعه. هذا آخر كلامه.
“Berkata Al-Khathabi: sebagian ulama membicarakan isnad hadits ini dan
mengira bahwa hadits ini tidak tsabit (shahih) dari NabiShallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Berkata Abu Umar bin Abdil Bar: hadits tentang
menjual kucing tidak ada yang shahih marfu’. Inilah akhir ucapannya.”
(Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfah Al-Ahwadzi,
4/501. Cet. 2, 1383H-1963M. Maktabah As Salafiyah. Lihat juga Imam Abu
Thayyib Syamsul Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 9/271. Darul Kutub
Al-‘Ilmiyah)
Berkata Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah:
وليس في السنور شيء صحيح وهو على أصل الإباحة وبالله التوفيق
“Tidak ada yang shahih sedikit pun tentang kucing, dan dia menurut hukum
asalnya adalah mubah (untuk dijual). (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid,
8/403. Muasasah Al-Qurthubah)
Pendhaifan yang dilakukan para imam di atas telah dikritik oleh Imam lainnya. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ الْخَطَّابِيّ وَأَبُو عَمْرو بْن عَبْد الْبَرّ
مِنْ أَنَّ الْحَدِيث فِي النَّهْي عَنْهُ ضَعِيف فَلَيْسَ كَمَا قَالَا ،
بَلْ الْحَدِيث صَحِيح رَوَاهُ مُسْلِم وَغَيْره . وَقَوْل اِبْن عَبْد
الْبَرّ: إِنَّهُ لَمْ يَرْوِهِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْر غَيْر حَمَّاد بْن
سَلَمَة غَلَط مِنْهُ أَيْضًا ؛ لِأَنَّ مُسْلِمًا قَدْ رَوَاهُ فِي
صَحِيحه كَمَا يُرْوَى مِنْ رِوَايَة مَعْقِل بْن عُبَيْد اللَّه عَنْ
أَبِي الزُّبَيْر ؛ فَهَذَانِ ثِقَتَانِ رَوَيَاهُ عَنْ أَبِي الزُّبَيْر ،
وَهُوَ ثِقَة أَيْضًا . وَاَللَّه أَعْلَم .
“Ada pun apa yang dikatakan Al-Khathabi dan Ibnu Abdil Bar, bahwa hadits
ini dhaif, tidaklah seperti yang dikatakan mereka berdua, bahkan hadits
inishahih diriwayatkan oleh Imam Muslim dan selainnya. Sedangkan ucapan
Ibnu Abdil Bar bahwa tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Az
Zubair selain Hammad bin Salamah saja, itu merupakan pernyataan yang
salah darinya juga, karena Imam Muslim telah meriwayatkan dalam
Shahihnya sebagaimana diriwayatkan dari riwayat Ma’qil bin Abaidillah
dari Abu Az Zubair, dan keduanya adalah tsiqah, dan dua riwayat dari Az
Zubair juga tsiqah . ” (Imam An Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim,
5/420. Mawqi’ Ruh Al-Islam. Lihat juga Imam Al-Mula ‘Ali Al-Qari,Mirqah
Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Mashabih, Mawqi’ Ruh Al-Islam.)
Berkata Syaikh Al-Mubarakfuri Rahimahullah:
لا شك أن الحديث صحيح فإن مسلما أخرجه في صحيحه كما ستعرف
“Tidak ragu lagi, bahwa hadits ini adalah shahih karena Imam Muslim
telah mengeluarkannya dalam kitab Shahihnya sebagaimana yang akan kau
ketahui.” (Tuhfah Al-Ahwadzi, 4/500)
Imam Al-Mundziri Rahimahullah mengatakan:
والحديث أخرجه البيهقي في السنن الكبرى من طريقين عن عيسى بن يونس وعن حفص
بن غياث كلاهما عن الأعمش عن أبي سفيان عن جابر ثم قال: أخرجه أبو داود في
السنن عن جماعة عن عيسى بن يونس . قال البيهقي: وهذا حديث صحيح على شرط
مسلم دون البخاري .
“Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As Sunan Al-Kubra dari dua
jalan, dari ‘Isa bin Yunus dan dari Hafsh bin Ghiyats, keduanya dari
Al-A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir. Kemudian dia berkata: Abu Dua
mengeluarkannya dalam As Sunan, dari Jamaah dari ‘Isa bin Yunus. Berkata
Al-Baihaqi: Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim tanpa Al-Bukhari.”
(Tuhfah Al-Ahwadzi , 4/500-501,‘Aunul Ma’bud , 9/270)
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum jual-beli kucing. Dan
ulama yang tidak memperbolehkan jual-beli kucing secara mutlak
mendasarkan kepada hadits riwayat Imam Muslim berikut ini:
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ
وَالسِّنَّوْرِ، فَقَالَ: زَجَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ --رواه مسلم
“Dari Abi az-Zubair ra ia berkata, saya bertanya kepada Jabir ra tentang
hasil penjualan anjing dan kucing. Lantas Zabir ra pun menjawab, bahwa
Rasulullah melarang hal tersebut”. (H.R.Muslim)
Hadits ini shahih. Dan, secara zhahir menunjukkan keharaman jual beli kucing, Imam An Nawawi menyebutkan:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَة وَطَاوُسٍ وَمُجَاهِد وَجَابِر بْن زَيْد أَنَّهُ لَا يَجُوز بَيْعه ، وَاحْتَجُّوا بِالْحَدِيثِ
Dari Abu Hurairah, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, bahwa tidak boleh
menjual kucing. Mereka berhujjah dengan hadits ini. (Al Minhaj, 5/420)
Dalam Nailul Authar, Imam Asy Syaukani mengatakan:
وفيه دليل على تحريم بيع الهروبه قال أبو هريرة ومجاهد وجابر وابن زيد
“Dalam hadits ini terdapat dalil haramnya menjual kucing, inilah
pendapat Abu Hurairah, Jabir, dan Ibnu Zaid.” (Nailul Authar, 5/145)
Nampak ada perbedaan dengan apa yang dikatakan Imam An Nawawi dan Imam
Abu Thayyib yang menyebutkan Jabir bin Zaid (sebagai satu orang),
sedangkan di sisi lain Imam Asy Syaukani dan Syaikh Al-Mubarakuri
menyebut Jabir, lalu Ibnu Zaid, sebagai dua orang yang berbeda.
Perbedaan lain adalah tentang posisi Thawus. Beliau disebut oleh Imam An
Nawawi (dalam Al-Minhaj) dan Imam Abu Thayyib (dalam ‘Aunul Ma’bud)
termasuk yang mengharamkan, tetapi oleh Imam Asy Syaukani (dalam Nailul
Authar) dan Syaikh Al-Mubarakfuri (Tuhfah Al-Ahwadzi)disebutkan bahwa
Thawus membolehkan menjual kucing. Wallahu A’lam
Ada pun jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa menjual kucing adalah
boleh, karena dhaifnya hadits tersebut. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 4/500).
Namun, yang benar adalah hadits tersebut adalah shahih sebagaimana
diriwayatkan Imam Muslim dan lainnya.
Tetapi, apakah makna pelarangan ini? Apakah bermakna haram? Demikianlah
yang menjadi pandangan sebagian ulama. Namun sebagian lain mengartikan
bahwa larangan ini menunjukkan makruh saja, yaitu makruh tanzih (makruh
yang mendekati kebolehan) sebab menjual kucing bukanlah perbuatan yang
menunjukan akhlak baik dan muru’ah (citra diri). (Ibid)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan;
وَأَمَّا النَّهْي عَنْ ثَمَن السِّنَّوْر فَهُوَ مَحْمُول عَلَى أَنَّهُ
لَا يَنْفَع ، أَوْ عَلَى أَنَّهُ نَهْي تَنْزِيه حَتَّى يَعْتَاد النَّاس
هِبَته وَإِعَارَته وَالسَّمَاحَة بِهِ كَمَا هُوَ الْغَالِب . فَإِنْ
كَانَ مِمَّا يَنْفَع وَبَاعَهُ صَحَّ الْبَيْع ، وَكَانَ ثَمَنه حَلَالًا
هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْعُلَمَاء كَافَّة إِلَّا مَا حَكَى اِبْن
الْمُنْذِر . وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَة وَطَاوُسٍ وَمُجَاهِد وَجَابِر بْن
زَيْد أَنَّهُ لَا يَجُوز بَيْعه ، وَاحْتَجُّوا بِالْحَدِيثِ . وَأَجَابَ
الْجُمْهُور عَنْهُ بِأَنَّهُ مَحْمُول عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ ، فَهَذَا
هُوَ الْجَوَاب الْمُعْتَمَد .
“Ada pun tentang larangan mengambil harga kucing, hal itu dimungkinkan
karena hal itu tidak bermanfaat, atau larangannya adalah tanzih,
sehingga manusia terbiasa menjadikannya sebagai barang hibah saja, ada
yang menelantarkannya, dan bermurah hati, sebagaimana yang biasa
terjadi. Jika dia termasuk yang membawa manfaat maka menjualnya adalah
penjualan yang sah dan harganya adalah halal. Inilah pendapat madzhab
kami dan madzhab semua ulama kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibnul
Mundzir. Bahwa dari Abu Hurairah, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid,
mereka tidak membolehkan menjualnya, mereka berhujjah dengan hadits
tersebut. Jumhur menjawab bahwa hadits tersebut maknanya sebagaimana
yang kami sebutkan, dan ini adalah jawaban yang dapat dijadikan
pegangan.” (Al Minhaj, 5/420. Mawqi’ Ruh Al-Islam)
Demikian. Jadi menurut mayoritas ulama, larangan itu bukan bermakna
haram tetapi masalah kepantasan dan adab, sebab memang kucing bukan
hewan yang biasa diperjualbelikan sebab keberadaannya yang mudah
didapat, dan manusia pun biasanya bisa seenaknya saja memeliharanya atau
dia membiarkannya. Tetapi, bagi yang ingin berhati-hati dengan
mengikuti pendapat yang mengharamkannya, tentu bukan pilihan yang salah.
Perbedaan dalam hal ini sangat lapang, dan tidak boleh ada sikap keras
dalam mengingkari.
Namun, hadits riwayat Imam Muslim tersebut dipersoalkan oleh para ulama
yang memperbolehkan jual-beli kucing. Dalam sebuah keterangan yang
terdapat dalam kitab Asna al-Mathalib dikatakan bahwa yang dimaksud
larangan (mengambil) hasil penjualan kucing sebagai terdapat dalam
hadits tersebut adalah larangan terhadap kucing liar. Sebab, kucing liar
itu tidak memilik kemanfaatan untuk menghibur dan selainnya. Atau bisa
juga dikatakan bahwa larangan tersebut masuk kategori sebagai makruh
tanzih, bukan makruh tahrim.
وَيَجُوزُ بَيْعُ الْهِرَّةِ الْأَهْلِيَّةِ وَالنَّهْيُ عن ثَمَنِ
الْهِرَّةِ كَمَا في مُسْلِمٍ مُتَأَوَّلٌ أَيْ مَحْمُولٌ على
الْوَحْشِيَّةِ إذْ لَيْسَ فِيهَا مَنْفَعَةُ اسْتِئْنَاسِ وَلَا غَيْرُهُ
أو الْكَرَاهَةُ فيه
“Dan boleh jual-beli kucing. Sedang larangan dari (mengambil) hasil
penjualan kucing sebagaimana hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim
itu ditakwil artinya ditafsirkan bahwa yang dimaksud kucing tersebut
adalah kucing liar. Karena tidak ada manfaat penghibur dan selainnya.
Atau yang yang dimaksud larangan itu adalah makruh tahzih” (Zakariya
al-Anshari, Asna al-Mathalib, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet
ke-1, 1422 H/2000 M, juz, 2, h. 31)
Dengan mengacu kepada keterangan di atas, maka yang tidak diperbolehkan
adalah jual-beli kucing liar, sedang kucing rumahan atau kucing yang
dijadikan sebagai hewan hias seperti kucing anggora adalah boleh. Dari
sini juga dapat dipahami bawa secara umum menjual hewan hias atau
peliharaan adalah boleh sepanjang mengandung kemanfaatan, tidak najis,
tidak membahayakan dan tidak ditemukan dalil yang melarangnya.