Nikah, kumpul kebo, dan pelacuran termasuk perkara yang sudah ada dan
dikenal dalam sistem masyarakat Jahiliyah. Ketika Islam datang dengan
membawa hidayah dan agama yang benar kepada seluruh manusia, agama ini
menetapkan syariat nikah dan mengatur hubungan antara laki-laki dan
wanita dalam bentuk yang terbaik.
Bentuk-bentuk pernikahan, baik dalam arti akad maupun senggama, yang
berlaku pada masa Jahiliyah secara jelas tergambar dalam uraian berikut.
عَنْ عُرْوَةَ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهُ: اَنَّ النِّكَاحَ فِى
اْلجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى اَرْبَعَةِ اَنْحَاءٍ. فَنِكَاحٌ مِنْهَا
نِكَاحُ النَّاسِ اْليَوْمَ. يَخْطُبُ الرَّجُلُ اِلَى الرَّجُلِ
وَلِيَّتَهُ اَوِ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا، ثُمَّ يَنْكِحُهَا.
Dari ‘Urwah : Sesungguhnya ‘Aisyah RA pernah memberitahukan kepadanya,
bahwa pernikahan di jaman jahiliyah itu ada 4 macam. 1. Pernikahan
seperti yang berlaku sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang
wanita atau anak perempuan kepada walinya, lalu membayar mahar,kemudian
menikahinya.
وَ نِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُوْلُ ِلامْرَأَتِهِ: اِذَا ظَهَرَتْ
مِنْ طَمْثِهَا اَرْسَلَ اِلىَ فُلاَنٍ فَاسْتَبْضِعِى مِنْهُ وَ
يَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَ لاَ يَمَسُّهَا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا
مِنْ ذلِكَ الرَّجُلِ الَّذِى تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ، فَاِذَا تَبَيَّنَ
حَمْلُهَا اَصَابَهَا زَوْجُهَا اِذَا اَحَبَّ. وَ اِنَّمَا يَفْعَلُ ذلِكَ
رَغْبَةً فِى نَجَابَةِ اْلوَلَدِ. فَكَانَ هذَا النِّكَاحُ يُسَمَّى
نِكَاحَ اْلاِسْتِبْضَاعِ.
Bentuk pernikahan yang lain yaitu, 2. seorang laki-laki berkata kepada
istrinya, ketika istrinya itu telah suci dari haidl, “Pergilah kepada si
Fulan, kemudian mintalah untuk dikumpulinya”, dan suaminya sendiri
menjauhinya, tidak menyentuhnya sehingga jelas istrinya itu telah
mengandung dari hasil hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila
telah jelas kehamilannya, lalu suaminya itu melanjutkan mengumpulinya
apabila dia suka. Dan hal itu diperbuat karena keinginan untuk
mendapatkan anak yang cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini disebut
nikah istibdla’.
وَ نِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ دُوْنَ اْلعَشْرَةِ فَيَدْخُلُوْنَ
عَلَى اْلمَرْأَةِ كُلُّهُمْ. فَيُصِيْبُوْنَهَا. فَاِذَا حَمَلَتْ وَ
وَضَعَتْ وَ مَرَّ لَيَالٍ بَعْدَ اَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا اَرْسَلَتْ
اِلَيْهِمْ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ اَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى
يَجْتَمِعُوْا عِنْدهَا، فَتَقُوْلُ لَهُمْ. قَدْ عَرَفْتُمُ الَّذِى كَانَ
مِنْ اَمْرِكُمْ، وَ قَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلاَنُ،
فَتُسَمِّى مَنْ اَحَبَّتْ بِاسْمِهِ. فَيُلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لاَ
يَسْتَطِيْعُ اَنْ يَمْتَنِعَ مِنْهُ الرَّجُلُ.
Kemudian bentuk yang lain, 3. Yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari 10
orang berkumpul, lalu mereka semua mencampuri seorang wanita. Apabila
wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari
maka perempuan itu memanggil mereka dan tidak ada seorang pun diantara
mereka yang dapat menolak panggilan tersebut sehingga merekapun
berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita itu berkata kepada
mereka, “Sungguh anda semua telahmengetahui urusan kalian, sedang aku
sekarang telah melahirkan, dan anak ini adalah anakmu hai fulan”. Dan
wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga
dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak
boleh menolaknya.
وَ نِكَاحٌ رَابِعٌ يَجْتَمِعُ النَّاسُ اْلكَثِيْرُ وَ يَدْخُلُوْنَ عَلَى
اْلمَرْأَةِ لاَ تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَ هُنَّ اْلبَغَايَا.
يَنْصُبْنَ عَلَى اَبْوَابِهِنَّ الرَّايَاتِ وَ تَكُوْنُ عَلَمًا. فَمَنْ
اَرَادَهُنَّ دَخَل عَلَيْهِنَّ، فَاِذَا حَمَلَتْ اِحْدَاهُنَّ وَ
وَضَعَتْ جَمَعُوْا لَهَا وَ دَعَوْ لَهَا اَلْقَافَةَ، ثُمَّ اْلحَقُوْا
وَلَدَهَا بِالَّذِى يَرَوْنَ. فَالْتَاطَ بِهِ وَ دُعِيَ ابْنَهُ لاَ
يَمْتَنِعُ مِنْ ذلِكَ. فَلَمَّا بَعَثَ اللهُ مُحَمَّدًا ص بِاْلحَقِّ
هَدَمَ نِكَاحَ اْلجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ اِلاَّ نِكَاحَ النَّاسِ
اْليَوْمَ. البخارى و ابو داود. فى نيل الاوطار 6:178-179
Bentuk ke-4 yaitu, berhimpun laki-laki yang banyak, lalu mereka
mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap
laki-laki yang mendatanginya, sebab mereka itu adalah pelacur-pelacur
yang memasang bendera-bendera di muka pintu mereka sebagai tanda, siapa
saja yang menginginkannya boleh masuk. Kemudian jika salah seorang
diantara wanita itu ada yang hamil dan melahirkan anaknya, maka para
laki-laki tadi berkumpul di situ, dan mereka pun memanggil orang-orang
ahli firasat, lalu dihubungkanlah anak itu kepada ayahnya oleh
orang-orang ahli firasat itu menurut anggapan mereka. Maka anak itupun
diakuinya, dan dipanggil sebagai anaknya, dimana orang (yang dianggap
sebagai ayahnya) itu tidak boleh menolaknya.Kemudian setelah Allah
mengutus nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dengan jalan haq, beliau
menghapus pernikahan model jahiliyah tersebut keseluruhannya, kecuali
pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini. [HR. Bukhari, Abu
Dawud dalam Nailul Authar juz 6, hal. 178-179]
Sunan Abu Dawud Nomor 1934
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ بْنُ خَالِدٍ
حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنِ يَزِيدَ قَالَ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمِ
بْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ النِّكَاحَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى
أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ فَكَانَ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ
الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا
وَنِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ
مِنْ طَمْثِهَا أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ
وَيَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَلَا يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا
تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا زَوْجُهَا إِنْ أَحَبَّ وَإِنَّمَا
يَفْعَلُ ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ الْوَلَدِ فَكَانَ هَذَا
النِّكَاحُ يُسَمَّى نِكَاحَ الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ
الرَّهْطُ دُونَ الْعَشَرَةِ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كُلُّهُمْ
يُصِيبُهَا فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ وَمَرَّ لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ
تَضَعَ حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ
أَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا فَتَقُولُ لَهُمْ قَدْ
عَرَفْتُمْ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ وَهُوَ ابْنُكَ
يَا فُلَانُ فَتُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ مِنْهُمْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ
وَلَدُهَا وَنِكَاحٌ رَابِعٌ يَجْتَمِعُ النَّاسُ الْكَثِيرُ
فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَهُنَّ
الْبَغَايَا كُنَّ يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ يَكُنَّ
عَلَمًا لِمَنْ أَرَادَهُنَّ دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا حَمَلَتْ
فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا جُمِعُوا لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ الْقَافَةَ ثُمَّ
أَلْحَقُوا وَلَدَهَا بِالَّذِي يَرَوْنَ فَالْتَاطَهُ وَدُعِيَ ابْنَهُ
لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا بَعَثَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدَمَ نِكَاحَ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ
إِلَّا نِكَاحَ أَهْلِ الْإِسْلَامِ الْيَوْمَ
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Shalih], telah menceritakan
kepada kami ['Anbasah bin Khalid], telah menceritakan kepadaku [Yunus
bin Yazid], ia berkata; [Muhammad bin Muslim bin Syihab] berkata; telah
mengabarkan kepadaku ['Urwah bin Az Zubair], bahwa [Aisyah] radliallahu
'anha isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia telah mengabarkan
kepadanya bahwa pernikahan pada masa jahiliyah berdasarkan empat macam,
diantara pernikahan tersebut adalah pernikahan orang-orang pada zaman
sekarang, yaitu seorang laki-laki melamar wali wanita seseorang
kepadanya, kemudian memberinya mahar, kemudian laki-laki tersebut
menikahinya. Dan pernikahan yang lain adalah seorang laki-laki berkata
kepada isterinya; apabila ia telah suci dari haidnya; pergilah kepada si
Fulan dan bersetebuhlah dengannya! Dan suaminya meninggalkannya serta
tidak menggaulinya selamanya hingga jelas kehamilannya dari laki-laki
yang telah mensetubuhinya tersebut. Kemudian apabila telah jelas
kehamilannya maka suaminya menggaulinya apabila ia berkeinginan, dan ia
melakukan hal tersebut karena ingin mendapatkan kecerdasan anak
tersebut. Dan pernikahan ini dinamakan pernikahan istibdha', nikah yang
lain adalah beberapa orang kurang dari sepuluh berkumpul dan menemui
seorang wanita dan seluruh mereka menggaulinya, kemudian apabila wanita
tersebut hamil dan telah melahirkan serta telah berlalu beberapa malam
setelah melahirkan kandungannya, ia mengirimkan utusan kepada mereka dan
tidak ada seorangpun diantara mereka yang dapat menolak hingga mereka
berkumpul di hadapannya. Lalu wanita itu berkata kepada mereka; kalian
telah mengetahui permasalahan kalian dahulu, sementara aku telah
melahirkan, dan ia adalah anakmu wahai Fulan. Wanita tersebut
menyebutkan nama orang yang ia senangi diantara mereka, maka anak
tersebut mengikutinya. Dan pernikahan yang keempat adalah orang banyak
berkumpul dan mendatangi wanita yang tidak menolak siapapun yang datang
kepadanya, mereka adalah para pelacur dan dahulu mereka menancapkan
bendera di atas pintu mereka yang menjadi tanda bagi orang yang
menginginkan mereka serta menemui mereka. Kemudian apabila wanita
tersebut hamil dan telah melahirkan kandungannya mereka dikumpulkan dan
mereka datangkan orang yang pandai mengenai jejak, kemudian mereka
menisbatkan anak tersebut kepada orang yang mereka lihat, kemudian orang
tersebut mengambilnya sebagai anak dan anak tersebut dipanggil sebagai
anaknya, orang tersebut tidak boleh menolaknya. Kemudian tatkala Allah
mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, beliau menghancurkan
seluruh pernikahan jahiliyah kecuali pernikahan orang Islam pada saat
ini. [HR. Abu Dawud Nomor 1934]
Penjelasan Hadits Tentang Jenis Pernikahan Jahiliyah
Sudah membudaya pada masyakat Jahiliah pada saat itu pernikahan-pernikahan berikut ini:
Nikahul-badl, yaitu seorang lelaki merelakan istrinya untuk lelaki lain,
agar orang lain tersebut merelakan istrinya kepadanya. Tujuan
pernikahan semacam ini adalah memuaskan nafsu seksual kaum laki-laki.
Imam Ad-Daraquthni, dalam As-Sunan, meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah
yang menyatakan bahwa badal pada masa Jahiliyah terjadi jika seorang
laki-laki berkata kepada yang lain, “Singgahkanlah istrimu untukku dan
aku akan menyediakan istriku bagimu. Bahkan aku bisa menambah
(masanya)”.
Keterangan:
Hadis ini lengkapnya sebagai berikut, “Allah SWT menurunkan ayat (Dan
janganlah engkau menggantikan pasanganmu walaupun kecantikannya membuat
kamu kagum). Ia berkata, ‘Lalu Uyainah bin Hishan al-Fazari menghadap
Rasulullah Saw sedangkan di samping Rasul ada Aisyah. Ia masuk tanpa
izin. Lalu Rasulullah Saw bersabda kepadanya, ‘Hai Uyainah, di mana kau
letakkan permintaan izin?’ Ia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku tidak pernah
meminta izin kepada seorang pun di kalangan Mudhar sejak aku
mengenalnya’. Ia berkata lagi, ‘Siapakah al-humaira (yang kulitnya
kemerah-merahan) yang ada di sampingmu ini?’ Rasul menjawab, ‘Ini Aisyah
Ummul Mukminin’. Ia berkata lagi, ‘Bukankah telah turun bagimu dari
orang yang paling baik akhlaknya’. Beliau bersabda, ‘Hai Uyainah,
sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu’. Abu Hurairah berkata,
‘Maka ketika ia keluar, Aisyah bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah dia?’
Rasul menjawab, ‘Orang dungu yang ditaati dan ia, sebagaimana engkau
lihat, adalah tokoh bagi kaumnya’. Demikianlah periwayatan hadis
tersebut.
Nikahur rahth, yaitu sejumlah laki-laki kurang dari sepuluh orang
menggauli seorang perempuan, mereka mencampurinya secara bergantian
dalam selang waktu yang tidak begitu lama; setelah itu si perempuan
menolak hubungan seks dengan mereka, apabila ia hamil, lalu melahirkan,
maka ia memanggil semua lelaki yang telah mencampurinya itu kemudian ia
menentukan ayah bayi yang baru lahir tersebut dari salah satu di antara
mereka yang ia suka, lalu lelaki itu pun menerimanya dan nasab bayi
itupun dengan sendirinya disahkan kepada mereka berdua.
Nikah Syigar (silang), Nikah syighar ialah apabilah seorang laki-laki
menikahkan seorang perempuan dibawah kekuasaanya dengan laki-laki lain,
dengan syarat bahwa lelaki ini menikahkan anaknya tanpa membayar mahar.
Nikah syighar adalah nikah pertukaran. Ilustrasinya adalah bahwa seorang
laki-laki memiliki seorang anak perempuan, lalu ada seorang laki-laki
yang ingin menikahi anaknya itu, karena ia tidak memiliki uang untuk
membayar mahar, ia pun menikahkan anaknya tanpa harus membayar mahar.
Oleh karena itu, nikah syighar seperti tukar guling, seorang wali
memberikan anak perempuanya kepada seorang laki-laki untuk dinikahi,
sedangkan seorang laki-laki yang dimaksudkan membebaskan mahar bagi wali
yang telah memberikan anaknya. Hukum nikah syighat menurut kesepakatan
para ulama adalah haram.
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim menyatakan:
قال رسول الله صلي الله علبه وسلم:: لا شغار في الاسلام۰(رواه مسلم)
“Rasulullah SAW. Telah bersabda, Tidak ada syighar dalam islam(H. R. Imam Muslim)
عن ابن عمر, نهي رسول الله صلي الله عليه وسلم عن الشغاري والشغار, ان
يقول الرجال الرجال, زوجني ابنتك علي ان ازوجك ابنتي او لختي وليس بينهما
صداق۰(رواه ابن ماجه)
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW. Melarang kawin syighar, dan contoh
kawin syighar, yaitu seorang laki-laki berkata kepada temanya,”
kawinkanlah putrimu atau saudara perempuanmu dengan saya, nanti saya
kawinkan kamu dengan putriku atau saudara perempuanku dengan syarat
keduanya bebas mahar.” (H.R. ibnu majah).
Nikahul istibdha’, contohnya adalah seorang suami mengatakan kepada
istrinya sesudah ia bersih dari haidh, “Datanglah kepada lelaki yang
terkenal dengan keberanian dan kedermawanannya itu, lalu mintalah
bersenggama dengannya”. Tujuannya adalah agar ia memperoleh seseorang
yang mempunyai sifat seperti sifat orang yang terkenal dengan keberanian
dan kedermawanannya itu. Selagi si istri belum hamil dari hubungannya
dengan laki-laki yang dimaksud, maka sang suami tidak akan mendekatinya.
Nikahul Khadan wash-shadaqah (kawin selingkuh). Adalah merupakan
kebiasaan orang-orang di masa Jahiliyah mengatakan (kepada laki-laki):
“Sembunyi-sembunyilah (dalam berzina) dan itu tidak apa-apa, yang
tercela adalah kalau dilakukan secara terang-terangan”. Maka Islam
datang mengharamkan dua bentuk hubungan seks ini, seraya Allah
berfirman,artinya, “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji (zina),
baik yang tampak maupun yang tersembunyi.”
Nikahul katsrah, yaitu datang sejumlah laki-laki kepada seorang
perempuan yang biasa melakukan pelacuran, lalu mereka melakukan hubungan
sek dengannya, hingga apabila si perempuan itu hamil dan melahirkan,
maka mereka pun menghadiri si perempuan jalang itu, lalu orang yang ahli
dalam masalah kemiripan menentukan ayah bayi itu di antara salah
seorang mereka yang paling mirip dengannya, maka bayi itu ditentukan
sebagai anaknya.
Dalam masyarakat modern ini pun masih terdapat pernikahan-pernikahan
(perkawinan) yang mirip dan sama dengan pernikahan-pernikahan tersebut
di atas, dengan cara dan model yang baru. Sebagai contoh, apa yang
disebut di zaman Jahiliah dengan nikahu istibdha’ ada di zaman kita
sekarang ini, yaitu apa yang disebut dengan “proses pembuahan janin
secara medis” (talqih shina’iy). Yaitu menyuntikkan sperma laki-laki
lain (bukan suami) yang dikenal dengan kesuburannya ke dalam rahim
seorang istri atas persetujuan dia dan suaminya. Dan ada kalanya
penyuntikan itu berulang-ulang beberapa kali, bahkan adakalanya seperma
pun berasal dari beberapa orang lelaki, dan laki-laki itu terkadang
masih ada hubungan kerabat dengan si perempuan itu dan ada kalanya tidak
demikian.
Yang sama dengan nikahul-badl di mana dahulu pernah ada di dalam
masyarakat Jahiliyah adalah apa yang dikenal pada abad modern ini dan di
masyarakat Amerika dengan nama “saling bergantian istri”. Gonta ganti
pasangan ini dapat tercapai dengan berbagai cara, di antaranya adalah
melalui permainan rullete (permainan berasal dari Italia). Ringkasnya,
dalam permainan ini beberapa istri berkumpul dalam bentuk lingkaran,
lalu salah seorang suami duduk di tengah-tengah lingkaran tersebut
sambil memutar cermin ke arah lingkaran itu, apabila cermin itu berhenti
pada salah seorang di antara para perempuan itu, maka si perempuan itu
pun berdiri dan pergi bersama lelaki yang memutar cermin tadi untuk
tidur bersamanya selama satu malam.
Di sana masih ada satu hal lagi yang sangat mendasar di dalam permainan
gila tadi, yaitu istri si lelaki yang memutar cermin tidak diperbolehkan
duduk bersama para perempuan di dalam lingkaran di saat suaminya sedang
memutar cermin, karena dikhawatirkan cermin berhenti menghadap kepada
istrinya sendiri, sebab pada dasarnya si suami tidak menghendakinya dan
yang ia kehendaki adalah istri orang lain.
Saling bergantian istri di atas sangat mirip dengan nikah Mut’ah atau
Nikah syighar yang dikenal di masa jahiliyah, sebab pembatasan waktu
menggauli istri (orang lain) dalam satu malam itu membuatnya hampir sama
dengan nikah mut’ah; sedangkan kerelaan menyerahkan istri untuk digauli
oleh lelaki lain dengan syarat istrinya direlakan untuk digaulinya
sangat mirip dengan nikah syighar.
Nikah Mut’ah. Bentuk pernikahan ini tidak bertujuan kecuali kenikmatan
seksual belaka, dan itu merupakan nikah dalam jangka waktu tertentu.
Adakalanya jangka waktunya itu telah sama-sama diketahui, seperti si
wali mengatakan kepada laki-laki (yang akan menikah), “Saya nikahkan
kamu dengan putriku”, atau “saudara perempuanku dalam jangka waktu satu
hari saja”, atau “satu bulan saja”, atau “satu tahun”. Dan ada kalanya
tidak diketahui jangka waktunya, seperti seseorang mengatakan, “Aku
nikahkan kamu dengan putriku”, atau “dengan saudariku hingga si anu
datang dari kepergiannya”. Maka apabila sehari atau sebulan berlalu,
sebagaimana kesepakatan, atau si anu tadi datang dari perjalanan
jauhnya, maka kedua pasangan sudah harus berpisah.
Islam pada awal mulanya membolehkan pernikahan mut’ah itu karena kondisi
tertentu, yang pada awalnya untuk memberi kesempatan waktu agar jiwa
siap untuk meninggalkan suatu tradisi yang biasa mereka dilakukan
sebelum Islam. Ini adalah salah satu metode pendekatan yang dilakukan
oleh Islam di dalam menanggulangi beberapa problematika sosial,
sebagaimana terjadi ketika mengharamkan minuman keras (khamar) secara
bertahap tidak sekaligus. Setelah jiwa mereka siap menerima pergeseran
dari tradisi yang sudah mengakar kuat tersebut, maka nikah mut’ah
diharamkan hingga hari kiamat.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menuturkan tentang hal di atas:
“Kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kami tidak membawa istri, maka di antara kami ada yang berkata,
“Mengapa kita tidak mengkebiri diri saja?” Namun Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam melarang kami akan perbuatan itu, lalu beliau
memberikan keringanan bagi kami nikah kontrak dengan mahar pakaian.”
(Ini adalah suatu riwayat yang muttafaq ‘alaih).
Sesungguhnya diperbolehkannya nikah mut’ah itu tidak mempunyai kaedah
hukum kontinu atau abadi, karena terdapat riwayat yang dinukil oleh Imam
Ahmad dan Imam Muslim, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
telah bersabda,
إِنِّيْ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَأَنَّ
اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ
عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ، وَلاَ تَأْخُذُوْا
مِمَّا آتيَتْمُوْهُنَّ شَيْئًا.
“Sesungguhnya aku dahulu pernah mengijinkan kalian nikah mut’ah, dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Maka
Barangsiapa di antara kalian yang masih mempunyai ikatan mut’ah dengan
mereka (para perempuan) maka hendaklah ia membebaskannya, dan janganlah
kalian mengambil sesuatu yang telah diberikan kepada mereka.”
Berdasarkan hadits di atas pengharaman nikah mut’ah adalah pengharaman
abadi sepanjang masa, tidak ada batas waktunya. Inilah yang dipegang
teguh oleh para Ulama dan para ahli fiqih di seluruh penjuru dunia,
selain sekte (agama) Syi’ah yang berpandangan bahwa nikah mut’ah adalah
merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diperbolehkan di dalam
Islam, dan ia utuh selagi prinsip-prinsip ajaran Islam utuh. Mereka
dalam masalah ini menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para
shahabat Nabi yang bukan dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, dengan anggapan bahwa para shahabat itu tidak adil, karena
tidak mengakui keberhakkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
memegang tampuk Khilafah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Bentuk pernikahan seperti ini, dalam pandangan penulis, tidak lain hanya
sebagai legalisasi dari perzinaan, dan sangat serupa dengan praktik
yang dikenal pada zaman modern ini dengan hubungan perselingkuhan antara
laki-laki dan perempuan, apabila kita menganggap bahwa pemberian
hadiyah lelaki kepada lawan jenisnya itu sebagai (upah) mahar.
Semua bentuk pernikahan tersebut di atas menunjukkan betapa buruknya
status dan kondisi perempuan di dalam masyarakat non muslim yang
komitmen kepada Islamnya, juga menunjukkan, setidaknya, tidak adanya
perhatian terhadap harkat dan martabat kaum perempuan.
Maka ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau hapuskan semua pernikahan kaum Jahiliyah tersebut kecuali
pernikahan yang ada saat ini.
Dalam tradisi mereka, antara laki-laki dan wanita harus selalu berkumpul
bersama dan diadakan dibawah kilauan ketajaman mata pedang dan
hulu-hulu tombak. Pemenang dalam perang antar suku berhak menyandera
wanita-wanita suku yang kalah dan menghalalkannya. Anak-anak yang ibunya
mendapatkan perlakuan semacam ini akan mendapatkan kehinaan semasa
hidupnya.
Kaum Jahiliyah terkenal dengan kehidupan dengan banyak isteri (poligami)
tanpa batasan tertentu. Mereka mengawini dua bersaudara, mereka juga
mengawini isteri bapak-bapak mereka bila telah ditalak atau karena
ditinggal mati oleh bapak mereka.
Allah berfirman:
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ
سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاء سَبِيلاً حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ
اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ
نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ
اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ
سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan
itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (Dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”. [Q.,s. 4/an-Nisa’: 22-23].
Maka dari itu Islam menghapus semua bentuk praktik pernikahan tersebut,
sekaligus mendekralasikan bahwa harkat dan martabat kaum perempuan di
masyarakat yang sebenarnya tidak sejalan dengan pelecehan yang tidak
layak bagi kaum perempuan sebagai sosok manusia yang seharusnya
memperoleh penghormatan dan penghargaan. Islam mengganti
paraktik-praktik pernikahan hina itu dengan satu bentuk pernikahan yang
mempunyai nilai ikatan suci antara laki-laki dan perempuan yang dibangun
di atas dasar kerelaan, rasa cinta dan sama-sama berupaya untuk saling
merealisasikan kebahagiaan di antara kedua pasangan suami-istri
sepanjang hayat; sebagaimana Allah tegaskan di dalam firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk
kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum: 21).
Pernikahan yang Dilarang Dalam Islam
1. Nikah Syighar
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنِ
الشِّغَارِ. وَ الشِّغَارُ اَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى اَنْ
يُزَوِّجَهُ ابْنَتَهُ وَ لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ. الخمسة، لكن الترمذى
لم يذكر تفسير الشغار. و ابو داود جعله من كلام نافع. و هو كذلك فى رواية
احمد و البخارى و مسلم
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah
syighar. Sedang nikah syighar itu ialah seorang laki-laki menikahkan
anak perempuannya kepada seseorang dengan syarat imbalan, ia harus
dikawinkan dengan anak perempuan orang tersebut, dan keduanya tanpa
mahar. [HR. Jama’ah, tetapi Tirmidzi tanpa menyebutkan penjelasan arti
syighar dan Abu Dawud menjadikan penjelasan arti syighar itu sebagai
perkataan Nafi’. Dan hadits seperti itu diriwayatkan juga oleh Ahmad,
Bukhari dan Muslim].
Yaitu seseorang menikahkan orang lain dengan anak perempuannya, saudara
perempuannya atau selain dari keduanya yang masih dalam perwaliannya
dengan syarat ia, anaknya atau anak saudaranya juga dinikahkan dengan
anak perempuan, saudara perempuan atau anak perempuan dari saudara orang
yang dinikahkan tersebut.
Pernikahan seperti ini tidaklah sah (rusak), baik dengan menyebutkan
mahar ataupun tidak. Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
telah melarang keras hal tersebut dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” [Al-Hasyr: 7]
Dalam ash-Shahiihain dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ.
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah
Syighar” [Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/162, no. 5112),
Shahiih Muslim (II/1034, no. 1415), Sunan an-Nasa-i (VI/112).]
Dan dalam Shahiih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah syighar.
Beliau bersabda:
وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ
وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِيْ، أَوْ زَوِّجْنِيْ أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ
أُخْتِيْ.
“Dan nikah syighar adalah, seseorang berkata kepada orang lain,
‘Nikahkan aku dengan anak perempuanmu, maka aku akan menikahkan anak
perempuanku denganmu,’ atau, ‘Nikahkan aku dengan saudara perempuanmu,
maka aku nikahkan engkau dengan saudara perempuan-ku.’”
[Shahih:Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 808), Shahiih Muslim (II/1035,
no. 1416)]
Dalam hadits yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ.
“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” [Shahih:Shahiih al-Jaami’ish
Shaghiir (no. 7501), Shahiih Muslim (II/ 1035, no. 1415 (60))]
Beberapa hadits shahih yang telah disebutkan di atas menjadi dalil atas
keharaman dan rusaknya nikah syighar, juga menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut menyelisihi syari’at Allah. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak membedakan apakah dalam nikah syighar tersebut disebutkan
maskawin ataupun tidak.
Adapun apa yang disebutkan dalam riwayat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
tentang tafsir syighar, yaitu: seseorang menikahkan orang lain dengan
anak perempuannya dengan syarat ia dinikahkan dengan anak perempuan
orang itu juga tanpa ada maskawin di antara keduanya. Para ulama telah
menyebutkan bahwa sebenarnya tafsir tersebut berasal dari perkataan
Nafi’ yang meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Umar dan bukan merupakan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan tafsir Nikah
Syighar dari beliau adalah hadits riwayat Abu Hurairah yang telah
disebutkan di atas, yaitu: seseorang menikahkan orang lain dengan anak
perempuan atau saudara perempuannya dengan syarat ia dinikahkan dengan
anak perempuan atau saudara perempuannya pula, dan Rasulullah
Shallallahu ‘aliahi wa sallam tidak menyebutkan tentang tidak adanya
maskawin di antara keduanya.
Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan menyebutkan atau tanpa menyebutkan
maskawin dalam nikah syighar tidak berpengaruh apa pun. Akan tetapi
yang menyebabkan rusaknya nikah tersebut adalah adanya syarat mubadalah
(pertukaran).
Perbuatan tersebut mengandung kerusakan yang sangat besar karena akan
mengakibatkan adanya pemaksaan terhadap wanita atas pernikahan yang
tidak diinginkannya karena mementingkan maslahat bagi para wali dengan
mengenyampingkan maslahat wanita. Tidak diragukan lagi bahwa hal
tersebut merupakan kemunkaran dan kezhaliman terhadap kaum Hawa.
Pernikahan semacam ini akan dapat mengakibatkan wanita tidak mendapatkan
maskawin seperti wanita-wanita lainnya sebagaimana yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat yang melakukan akad pernikahan yang munkar ini
kecuali orang yang dikehendaki oleh Allah. Sebagaimana juga dapat
mengakibatkan perselisihan dan permusuhan setelah terjadinya pernikahan.
Dan yang demikian itu termasuk hukuman Allah yang disegerakan bagi
orang yang menyelisihi syari’at-Nya.
2. Nikah Muhallil
Nikah tahlil, ialah seorang laki-laki menikahi wanita dengan niat akan
menceraikannya setelah mencampurinya agar wanita itu bisa menikah
kembali dengan bekas suaminya yang telah menthalaqnya tiga kali. Maka
laki-laki tersebut disebut Muhallil, adapun bekas suami/istri yang
menghendaki demikian disebut Muhallal lahu.
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص اْلمُحَلِّلَ وَ اْلمُحَلَّلَ لَهُ. احمد و النسائى و الترمذى و صححه
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat muhallil (yang
menghalalkan) dan orang yang dihalalkannya”. [HR. Ahmad, Nasai dan
Tirmidzi. Dan Tirmidzi mengesahkannya].
Yaitu, seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sudah ditalak tiga
kali setelah selesai ‘iddahnya, kemudian mentalak kembali dengan tujuan
agar wanita itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang
pertama.
Pernikahan semacam ini termasuk salah satu di antara dosa-dosa besar dan
perbuatan keji. Hukumnya adalah haram, baik keduanya mensyaratkan pada
saat akad, atau keduanya telah sepakat sebelum akad atau dengan niat
salah satu di antara keduanya. Dan orang yang melakukannya akan
dilaknat.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat al-Muhallil
(laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan tujuan agar perempuan itu
dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama) dan
al-Muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas
isterinya agar isteri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi)
[Shahih: Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5101), Sunan Abi Dawud
(VI/88, no. 2062), Sunan at-Tirmidzi (II/294, no. 1128), Sunan Ibni
Majah (I/622, no. 1935).]
Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ قاَلُوْا: بَلَى يَا
رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: هُوَ الْمُحَلِّلُ، لَعَنَ اللهُ المُحَلِّلَ
وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
‘Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang at-Taisil Musta’aar (domba
pejantan yang disewakan)?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, wahai
Rasulullah” Beliau kemudian bersabda, “Ia adalah al-Muhallil, Allah akan
melaknat al-Muhallil dan al-Muhallal lahu.’” [Hasan:[Shahiih Sunan Ibni
Majah (no. 1572)], Sunan Ibni Majah (I/623, no. 1936), al-Mustadrak
(II/198), al-Baihaqi (VII/208)]
Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ c فَسَأَلَهُ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ ثَلاَثًا، فَتَزَوَّجَهَا أَخٌ لَهُ مِنْ غَيْرِ مُؤَامَرَةٍ
مِنْهُ لِيَحِلَّهُ ِلأَخِيْهِ، هَلْ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ؟ قَالَ: لاَ،
إِلاَّ نِكَاحَ رَغْيَةٍ، كُنَّا
نَعُدُّ هَذَا سَفَاحًا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Telah datang seorang lelaki kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu dan
menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan
talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi wanita tersebut tanpa
adanya persetujuan dengan suami pertama agar wanita tersebut halal
kembali bagi saudaranya, maka apakah wanita tersebut halal dinikahi
kembali oleh suaminya yang pertama?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali
nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap hal tersebut adalah suatu
hal yang keji pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
[Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil VI/311], Mustadrak al-Hakim (II/199),
al-Baihaqi (VII/208)]
3. Nikah Mut’ah
Disebut juga dengan az-Zawaj al-Mu’aqqat (nikah sementara) dan az-Zawaj
al-Munqati’ (nikah terputus), yaitu, seorang laki-laki menikahi seorang
perempuan untuk jangka waktu satu hari, satu minggu atau satu bulan atau
beberapa waktu yang telah ditentukan.
Para ulama telah sepakat atas pengharaman nikah mut’ah dan jika terjadi, maka nikahnya adalah bathil. [Fiqhus Sunnah (II/35)]
Dari Shabrah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُتْعَةِ
عَامَ الْفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى
نَهَانَا عَنْهَا.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh kami untuk
melakukan mut’ah pada saat pembukaan kota Makkah tatkala kami memasuki
Makkah, kemudian kami tidak keluar darinya sampai beliau melarangnya
kembali.” [Shahih: Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 812), Shahiih Muslim
(II/1023, no. 1406)]
4. Nikah Dengan Niat Talak
Syaikh Sayyid Sabiq -rahimahullah- dalam kitab Fiqhus Sunnah (II/38)
berkata, “Para ahli fiqih telah sepakat bahwa orang yang menikahi wanita
tanpa mensyaratkan zaman, akan tetapi ia mempunyai niat untuk
menceraikannya setelah beberapa waktu atau setelah keperluannya di
negara yang sedang ia tempati telah selesai, maka nikahnya tetap sah.”
Akan tetapi al-Auza’i -rahimahullah- menyelisihi pendapat tersebut dan menganggapnya termasuk nikah mut’ah.
Syaikh Rasyid Ridha -rahimahullah- berkomentar tentang masalah ini dalam
tafsir al-Manaar, “Bahwa sikap keras para ulama Salaf (terdahulu) dan
khalaf (yang datang belakangan) dalam mengharamkan nikah mut’ah
menunjukkan atas pengharaman mereka terhadap nikah dengan niat talak,
meskipun para ahli fiqih menyatakan bahwa akad nikah dianggap sah jika
seseorang berniat menikah untuk beberapa waktu saja tanpa
mensyaratkannya di dalam shighah akad.
Akan tetapi menyembunyikan niat talak tersebut termasuk tipuan dan
kecurangan sehingga hal itu dinilai lebih dekat dengan kebathilan
daripada sebuah akad yang dengan terang-terangan mensyaratkan adanya
jenjang waktu yang telah diridhai antara pihak laki-laki, wanita dan
wali. Tidak ada kerusakan yang disebabkan oleh nikah semacam ini kecuali
berbuat curang terhadap ikatan kemanusiaan yang sangat agung dan lebih
mengutamakan di ladang syahwat antara para penikmat syahwat laki-laki
dan wanita yang menimbulkan kemunkaran.
Jika dalam akad pernikahan tersebut tidak disyaratkan adanya jenjang
waktu, maka yang demikian itu termasuk penipuan dan kecurangan yang akan
menyebabkan kerusakan dan permasalahan seperti permusuhan dan kebencian
serta hilangnya kepercayaan sampai pun kepada orang yang benar-benar
akan menikah secara sah dan serius, yaitu untuk saling menjaga antara
suami dan isteri, adanya keikhlasan di antara keduanya dan saling
tolong-menolong dalam membangun rumah tangga yang sakinah.”
(Aku berkata), “Apa yang dikatakan oleh Rasyid Ridha diperkuat oleh
atsar ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata, ‘Telah
datang seorang laki-laki kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dan
menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan
talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi perempuan tersebut
tanpa adanya persetujuan dengan suami yang pertama, agar perempuan
tersebut halal kembali bagi saudaranya, maka apakah perempuan tersebut
halal dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama?’ Beliau menjawab,
‘Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap hal
tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.’”