Pengetahuan tentang najis sangat penting bagi seorang muslim karena
berkaitan erat dengan ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuannya,
benda yang sebenarnya hanya kotoran biasa dianggap najis dan sebaliknya
menganggap remeh benda-benda yang dianggap najis oleh syariat.
Para ulama mujtahid yang muktabar telah melakukan usaha maksimal dengan
mengerahkan segenap kemampuan dan keilmuannya, maka tidak ada dosa di
hadapan Allah subhanahu wata’ala manakala ternyata ada ikhtilaf
(perbedaan pendapat) di antara mereka dan kemudian ternyata ada salah
satu yang salah di antara perbedaan (ikhtilaf) yang ada, karena Allah
Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Tidak ada hak bagi kita untuk menghakimi sesat manakala ternyata kitra
berpegang pada salah satu pendapat ulama yang tergolong sebagai seorang
mujtahid yang muktabar (ahli ilmu yang diakui oleh dunia tingkat
keilmuannya. Jika kita menghakimi sesat terhadap saudara kita yang
berpegang kepada salah satu pendapat di antara perbedaan pendapat hasil
ijtihad para mujtahid, berarti kita telah melampaui wewenang Allah
subhanahu wata’ala, karena Allah subhanahu wata’ala saja sudah
mengampuni dosa atas kesalahan tersebut, bahkan tetap memberikan pahala
di dalamnya.
Dan yang paling penting adalah, jaga ukhwah jangan sampai perbedaan yang
ada bisa menimbulkan rasa saling benci, karena tulisan ini bertujuan
salah satunya adalah agar kita bisa saling memahami dan mengerti
perbedaan yang ada sehingga tidak mudah bagi kita untuk memaki dan
mencaci pada saudara kita yang berbeda pendapat dengan kita di dalam
masalah fiqih.
Untuk sekedar mengingatkan saja, bahwa perbedaan pendapat yang terjadi
di kalangan ulama ahlus sunnah dan ahli ilmu adalah bukan suatu hal yang
tercela, dan tidak ada yang salah serta berdosa di dalamnya, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.
“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan
benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu
berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”.( Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy 13/268 dan Muslim no. 1716 dari hadits ‘Amru bin Al-‘Aash
radliyallaahu ‘anhu.)
Najis menurut bahasa artinya kotor, sedangkan menurut syara’ dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
Pertama:
Najis yang tidak boleh dimakan dan diminum, seperti diterangkan dalam surat Al-Maidah: 90
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. (المائدة: 90)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.
dan Al-An’am:145
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ
لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ. (الأنعام: 145)
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –karena
sesungguhnya semua itu kotor– atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kedua:
Najis dalam I’tiqad; seperti diterangkan dalam surat at-taubah ayat 28
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا
يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ
عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini.
Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan
kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Al-Haj: 30
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ
رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ
الزُّورِ(30)
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang
terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi
Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak,
terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu
berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.
Ketiga:
Najis yang diperintah untuk dibersihkan sebelum salat, baik pada badan,
pakaian maupun tempat salat, yaitu berupa air kencing dan kotoran
manusia, darah haid dan nifas, wadzi dan madziy. Adapun dalil-dalilnya
sebagai berikut:
قال عَبْدُ اللَّهِ أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ
حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً
فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ
هَذَا رِكْسٌ. (البخاري)
Abdullah (bin Mas’ud) berkata, “Nabi saw datang ke tempat buang air
besar. Beliau menyuruhku untuk membawa tiga buah batu. Aku hanya
mendapatkan dua batu lalu aku mencari yang ketiganya tetapi tidak
mendapatkannya. Lalu aku mengambil rautsah (kotoran kering) dan
membawanya. Beliau membawa dua batu dan melemparkan rautsah itu seraya
berkata, “ini kotor”. (HR Al-Bukhariy)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دَخَلَ حَائِطًا وَتَبِعَهُ غُلَامٌ مَعَهُ مِيضَأَةٌ هُوَ
أَصْغَرُنَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ سِدْرَةٍ فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجَتَهُ فَخَرَجَ عَلَيْنَا وَقَدْ
اسْتَنْجَى بِالْمَاءِ. (رواه مسلم)
Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Rasulullah saw masuk ke wc dan diikuti
oleh seorang anak yang membawa wadah berisikan air – dia anak yang
paling muda di antara kami – lalu dia menyimpannya di samping sidroh
lalu rasulullah saw selesai hujatnya kemudian keluar menemui kami dan
telah bersuci dengan air. (HR Muslim)
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيضُ فِي الثَّوْبِ
كَيْفَ تَصْنَعُ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ
وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّي فِيهِ. (البخاري)
Dari Asma, berkata: Istri Nabi saw telah datang dan bertanya (kepada
Nabi saw): Bagaimana menurut anda jika salah seorang di antara kami haid
kena pada kain, bagaimana yang harus dia perbuat? Beliau bersabda, “dia
mesti menggosok kain itu, lalu mencucinya dengan air kemudian
membilasnya kemudian ia salat padanya. (HR Al-Bukhariy)
Najiskah Tubuh orang yang JUNUB???
Sebagian orang berpendapat, bahwa tubuh orang yang junub adalah najis ;
tidak boleh disentuh, tidak boleh menyentuh al quran, dan tidak boleh
masuk mesjid. Pendapat ini memahami hadats sama dengan najis. Orang yang
berhadats adalah najis dan orang yang najis adalah berhadats.
Asumsi tersebut jelas keliru, karena najis dengan hadats jelas berbeda.
hadast itu membatalkan shalat, wudu, dan tayamum, sedangkan najis tidak.
Hadats bukan najis, dan najis bukan hadats. Orang yang berhadats
shalatnya tidak akan diterima, sedangkan orang yang najis shalatnya sah
tapi dia berdosa karena membawa najisnya. (lihat pembahasan tentang
hadats dan najis)
Kemudian dalam sebuah hadis diterangkan, bahwa orang mukmin (meskipun
junub) tidak najis dan tentu saja boleh disentuh. Perhatikan hadisnya ;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : عَنْ أَبِي رَافِعٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ لَقِيَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي طَرِيقٍ مِنْ طُرُقِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ جُنُبٌ فَانْسَلَّ
فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ فَتَفَقَّدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمَّا جَاءَهُ قَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقِيتَنِي وَأَنَا جُنُبٌ فَكَرِهْتُ أَنْ
أُجَالِسَكَ حَتَّى أَغْتَسِلَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ *
البخاري
dari Abu Hurairah bahwa ia ditemui Nabi saw. dalam keadaan junub di
salah satu jalan di Madinah. Ia menyelinap pelan-pelan dan pergi mandi.
Rasulullah saw. kehilangannya. Ketika ia datang beliau bertanya: Ke mana
engkau, hai Abu Hurairah? Ia menjawab: Wahai Rasulullah, baginda
bertemu saya, sedangkan saya dalam keadaan junub. Saya tidak senang
menemani Anda sebelum saya mandi. Rasulullah saw. bersabda: Maha Suci
Allah! Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis (HR bukhari)
Dan mengenai orang junub tidak boleh masuk mesjid, maksudnya tinggal
diam (menetap) di dalamnya. Untuk hanya sekedar lewat justru
diperbolehkan. Perhatikan ayatnya dengan lengkap ;
يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ولا جنبا إلا عابري سبيل حتى تغتسلوا …
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. (QS an nisa 43)
Kesimpulannya, orang yang junub tidak najis, mereka wajib mandi karena berhadats besar.
Najis kah Mani????
Mani benurut bahasa adalah air-nya seorang laki-laki atau perempuan.
Sedangkan mani menurut istilah adalah air kental yang keluar memancar
dari kemaluan seseorang ketika merasakan kelezatan syahwat.
Mari kita langsung saja ke pembahasan utama kita yaitu apakah air mani
itu termasuk benda najis atau bukan. Karena banyak sekali riwayat hadits
yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang hukum
mani itu sendiri. Dan semua riwayat hadits itu saling bertentangan
hingga menimbulkan perbedaan cara pandang para ulama dalam menentukan
hukum air mani tersebut.
Ada beberapa dalil dari hadits nabi tentang hukum mani, diantaranya adalah sebagai berikut :
كنت أغسله من ثوب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فيخرج إلى الصلاة وإن بقع الماء في ثوبه
“dulu saya (aisyah) pernah mencuci mani yang menempel pada pakaian
rosululloh. Kemudian rosululloh langsung pergi sholat walaupun ada bekas
air di pakaiannya” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan juga hadits lain menyebutkan :
أنه - صلى الله عليه وسلم - كان يغسل المني ثم يخرج إلى الصلاة في ذلك الثوب وأنا أنظر إلى أثر الغسل فيه
Sesungguhnya rosululloh mencuci air mani kemudian langsung sholat dengan
pakaiannya. Dan saya melihat bekas cucian mani tersebut).”(H.R. Muslim)
Dan juga hadits lain menyebutkan :
عن عمار بن ياسر قال «أتى علي رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وأنا على
بئر أدلو ماء في ركوة قال: يا عمار ما تصنع؟ قلت: يا رسول الله بأبي وأمي
أغسل ثوبي من نخامة أصابته، فقال: يا عمار إنما يغسل الثوب من خمس: من
الغائط والبول، والقيء، والدم، والمني، يا عمار ما نخامتك ودموع عينك
والماء الذي في ركوتك إلا سواء
Rosululloh SAW bersabda : “ wahai Ammar sesungguhnya pakaian itu dicuci
karena 5 perkara : karena kotoran,air kencing,muntah,darah dan air
mani.”.( HR. Ad-Daruqutni )
Dan juga hadits lain menyebutkan :
أنه سئل عن المني يصيب الثوب فقال: إنما هو بمنزلة المخاط أو البزاق، وقال: إنما يكفيك أن تمسحه بخرقة أو إذخرة
Nabi pernah ditanya tenang air mani, beliau bersabda : air mani itu
seperi ingus atau air ludah. Cukup bagimu untuk menghilangkannya dengan
kain.” (HR. Ad-Daruqutni)
Dari sinilah muncul perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqih
mengenai hukum air mani. Berikut ini akan saya paparkan beberapa
pendapat ulama fiqih pada tiap tiap madzhab mengenai hukum air mani.
Madzhab Hanafi
Ibnul Humam (w. 681 H) dalam kitab Fathul Qadir mengatakan secara tegas bahwa air mani itu hukumnya najis.
والمني نجس يجب غسله إن كان رطبا (فإذا جف على الثوب أجزأ فيه الفرك) لقوله
- عليه الصلاة والسلام - لعائشة «فاغسليه إن كان رطبا وافركيه إن كان
يابسا» وقال الشافعي - رحمه الله -: المني طاهر، والحجة عليه ما رويناه
Air mani hukumnya najis dan wajib mencucinya jika masih basah, jika air
mani tersebut sudah kering maka cukup dengan mengeriknya.
Ibnu Abdin (w. 1252 H) dalam kitab Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar
mengatakan bahwa air mani termasuk benda najis mugholadzoh. Akan tetapi
dalam madzhab hanafi istilah najis mugholadzoh tidak sama seperti
istilah mugholadzoh dalam madzhab syafii. Karena yang dimaksud dengan
najis mugholadzoh dalam madzhab hanafi adalah najis yang secara tegas
dalilnya disebutkan oleh syara’.
نجاسة المني عندنا مغلظة
Kenajisan air mani menurut pendapat kami adalah termasuk najis mugholadzoh.
Madzhab Maliki
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Al-kafi Fi Fiqhi Ahli Al-Madinah
mengatakan bahwa air mani termasuk benda najis. Karena menurut beliau
sesuatu yang keluar dari kemaluan adalah termasuk benda najis. Termasuk
juga disini air mani.
والنجاسات كل ما خرج من مخرجي بني آدم
Najis adalah sesuatu yang keluar dari dua jalan kemaluan.
Al-Qarafi (w. 684 H) dalam kitab Adz-Dzakhirah berpendapat bahwa air mani hukumnya najis.
وكل رطوبة أو بلل يخرج من السبيلين فهو نجس ومنه المني
Dan setiap benda basah yang keluar dari kemaluan termasuk benda najis. Diantaranya adalah air mani.
Madzhab Asy-Syafi’i
Imam An-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab Roudhotu At-Tholibiin Wa Umdatu Al-Muftiin mengatakan bahwa air mani hukumnya suci.
وأما المني، فمن الآدمي طاهر
Adapun air mani anak adam hukumnya suci.
Asy-Syirbiniy (w. 977 H) penulis kitab Mughni Al-Muhtaj syarh Al-Minhaj
mengatakan bahwasanya air mani itu suci. Dalam hal ini beliau sependapat
dengan Imam An-Nawawi.
وأما مني الآدمي فطاهر على الأظهر لحديث عائشة - رضي الله تعالى عنها -
«أنها كانت تحك المني من ثوب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ثم يصلي فيه
Adapun air mani anak adam hukumnya adalah suci. Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh aisyah. dia telah mengerik mani dari
pakaian rosululloh kemudian rosululloh sholat.
Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah (w. 620 H) di dalam kitab Al-Mughni mengatakan bahwa air
mani hukumnya suci. Bahkan ini adalah salah satu pendapat Imam Ahmad bin
Hanbal yang paling masyhur.
والمني طاهر. وعن أبي عبد الله، رحمه الله رواية أخرى، أنه كالدم اختلفت
الرواية عن أحمد في المني، فالمشهور: أنه طاهر. وعنه أنه كالدم، أي أنه
نجس. ويعفى عن يسيره. وعنه: أنه لا يعفى عن يسيره. ويجزئ فرك يابسه على كل
حال. والرواية الأولى هي المشهورة في المذهب. ولنا، ما روت عائشة - رضي
الله عنها - قالت: «كنت أفرك المني من ثوب رسول الله - صلى الله عليه وسلم
-، فيصلي فيه» . متفق عليه. وقال ابن عباس: امسحه عنك بإذخرة أو بخرقة، ولا
تغسله، إنما هو كالبزاق والمخاط
Air mani itu hukumnya suci. Dan ada dua riwayat dari imam Ahmad, akan
tetapi yang paling masyhur adalah air mani itu suci. Dan ini pendapat
masyhur dalam madzhab. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan
oleh Aisyah : aku telah mengerik mani dari pakaian nabi kemudian nabi
sholat. Dan berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas :
hilangkanlah air mani itu dengar kain. Dan jangan kamu cuci. Karena air
mani itu seperti air ludah dan ingus.
Ibnu Taimiyah (w. 728 H) mengatakan di dalam kitabnya Al-Fatawa Al-Kubro
bahwa air mani hukumnya ada tiga pendapat. Namun beliau lebih condong
kepada pendapat yang mengatakan bahwa air mani itu tidak najis. Hanya
saja air mani termasuk benda yang menjijikkan.
الفصل الثاني في مني الآدمي وفيه أقوال ثلاثة
أحدها: إنه نجس، كالبول، فيجب غسله رطبا ويابسا من البدن والثوب. وهذا قول
مالك، والأوزاعي، والثوري، وطائفة. وثانيها: إنه نجس، يجزئ فرك يابسه، وهذا
قول أبي حنيفة، وإسحاق، ورواية عن أحمد
ثم هنا أوجه قيل يجزئ فرك يابسه، ومسح رطبه من الرجل دون المرأة؛ لأنه يعفى
عن يسيره، ومني الرجل يتأتى فركه ومسحه، بخلاف مني المرأة، فإنه رقيق
كالمذي، وهذا منصوص أحمد
وقيل: يجزئ فركه فقط منهما، لذهابه بالفرك، وبقاء أثره بالمسح
وقيل: بل الجواز مختص بالفرك من الرجل دون المرأة، كما جاءت به السنة كما
سنذكره. وثالثها: إنه مستقذر، كالمخاط، والبصاق، وهذا قول الشافعي، وأحمد
في المشهور عنه، وهو الذي نصرناه
Ada tiga pendapat dalam masalah air mani. Pendapat pertama mengatakan
bahwa air mani termasuk benda najis yang harus dicuci bersih. Ini adalah
pendapat imam Malik, Al-Auzaiy, dan Tsauriy. Pendapat kedua mengatakan
bahwa air mani juga najis. Tapi cara mensucikannya hanya cukup dengan
mengerik air mani tersebut. ini adalah pendapat imam Abu Hanifah, ishaq
dan salah satu riwayat Ahmad. Adapun pendapat yang ketiga adalah air
mani termasuk benda yang menjijikkan seperti air ludah dan ingus. Dan
ini adalah pendapat imam Syafii dan imam Ahmad yang masyhur. Dan
pendapat ini pula yang kami unggulkan.
Madzhab Adz-Dzahiri
Ibnu Hazm (w. 456 H) berpendapat di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar
bahwa air mani hukumnya suci. Bahkan tidak diwajibkan bagi seseorang
untuk menghilangkannya atau mencucinya.
والمني طاهر في الماء كان أو في الجسد أو في الثوب ولا تجب إزالته، والبصاق مثله ولا فرق
Air mani itu hukumnya suci. Baik berada di air atau yang menempel pada
tubuh atau pada pakaian. Dan tidak diwajibkan untuk menghilangkannya.
Begitu juga dengan air ludah dan yang semisalnya.
Jadi kesimpulan dari tulisan ini bahwasanya hukum air mani itu berbeda
beda. Ada diantara para ulama yang mengatakan bahwa air mani itu najis.
Dan ini adalah pendapat dari kalangan madzhab Hanafi dan Maliki. Adapun
madzhab Syafii, Hanbali dan Dzohiri mereka berpendapat bahwa air mani
itu hukumnya suci.
Pembagian Jenis Najis
Secara umum najis dibagi menjadi tiga, yaitu najis mukhoffafah,
mutawassithah, dan mugalladhah. Mekanisme menghilangkan najis juga
berbeda-beda, sesuai jenis najis.
1. Mukhaffafah (Ringan)
Yaitu najis air kencing bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun
serta hanya mengkonsumsi air susu ibu sebagai makanan pokoknya.
Dinamakan mukhaffafah (ringan), karena syari’at telah memberikan
keringanan hukum menghilangkan najis tersebut.
Mekanisme menghilangkan najis mukhaffafah, dimulai dengan menghilangkan
najis dan sifat-sifatnya serta memercikkan air secara merata terhadap
tempat najis, sekira air percikan melebihi ukuran tempat najis, meskipun
tidak sampai mengalir.
Air kencing dihukumi, baik berasal dari anak kecil ataupun orang dewasa berdasarkan Hadits Nabi :
تَنَزَّهُوْا مِنَ الْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ .)رواه البخاري(
“Basuhlah air kencing kalian semua karena faktor umum siska kubur disebabkan air kencing.” (H.R. Al-Bhukhâry)
Lafadhالْبَوْلُ merupakan lafadh yang ‘âmm (umum), yang menunjukkan
keumuman artinya, sesuai dalam kajian ilmu ushûl al-fiqh, bahwa lafadh
yang disertai al (ال ) yang memiliki arti jenis akan menunjukkan arti
yang umum. Sementara tidak ada Hadits lain yang mempersempit (takhshîsh)
keumuman Hadits di atas, sehingga Hadits tersebut tetap memberikan
kefahaman bahwa semua bentuk air kencing hukumnya adalah najis.
Namun walaupun semua air kencing hukumnya sama-sama najis, bukan
berarti sama dalam mekanisme menghilangkannya. Mekanisme menghilangkan
najis makhaffafah lebih mudah, sebagaimana keterangan di atas. Hal ini
berdasarkan pada sebuah Hadits mengenai cara mensucikan air kencing anak
kecil yang masih dalam masa susuan :
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُنْضَحُ مَنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ .)رواه الترمذي وغيره(
“Air kencing bayi perempuan dibasuh dan air kencing bayi laki-laki diperciki air.” (H.R. At-Tirmidzy & lainnya)
Dan juga Hadits berikut :
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ
لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
فَأَجْلَسَهُ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ حِجْرِهِ فَبَالَ
عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ. (رواه
البخاري)
“Diceritakan dari Ummu Qois bahwa ia datang menemui Rosûlullah. Dengan
membawa anak kecil yang tidak mengkonsumsi (selain susu), kemudian ia
meletakkan anak kecil tersebut di pangkuan Rosûlullah.. Setelah dipangku
oleh Beliau, anak kecil tersebut kencing di baju Beliau. Kemudian
Beliau meminta diambilkan air, dan oleh Beliau air itu dipercikan ke
bajunya, tanpa membasuhnya.” (H.R. Al-Bukhâry)
Hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhâry ini secara tersirat
menunjukkan bahwa najis mukhoffafah hanyalah najis air kencing anak
kecil laki-laki yang belum mengkonsumsi makanan pokok selain air susu
ibu.
2. Mutawassithah (Sedang)
Najis ini mencakup semua najis, selain najis mukhoffafah dan
mugalladhah. Disebut Mutawassithah (sedang), karena syari’at telah
memberikan jalan tengah dalam mensucikannya, tidak terlalu ringan atau
terlalu berat.
Tidak ada dalil khusus yang menyebutkan kreteria mensucikannya secara
utuh, hanya saja Rasûlullah pernah menjelaskan cara membasuh air
kencing anak kecil perempuan yang sangat berbeda dengan cara mensucikan
najis air kencing anak kecil laki-laki, sebagaimana disebutkan dalam
Hadist di atas. Dan sudah maklum, bahwa air kencing anak laki-laki bukan
termasuk najis mukhoffafah atau mugalladhah.
Najis mutawassithah dibagi menjadi dua, yaitu hukmiyyah dan ‘ainiyyah :
Hukmiyyah
Yaitu najis yang sudah tidak ada bentuk, warna, aroma dan rasanya.
Disebut hukmiyyah, karena meskipun tanpa ada bentuk dan sifat-sifat
najis, tempat yang terkena najis tetap dihukumi najis. Mekanisme
mensucikanya ialah cukup dengan mengalirkan air sampai air basuhan
melebihi ukuran tempat yang terkena najis.
‘Ainiyyah
Yaitu najis yang masih mempunyai salah satu dari bentuk, warna, aroma
dan rasanya. Mekanisme mensucikanya dengan dibasuh air sehingga najis
dan sifatnya hilang.
Mekanisme mensucikan najis tersebut berdasarkan Hadits :
جَاءَتْ امْرَأَةٌ إلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ :
إِحْدَانَا يُصِيْبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ ؟
قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ
تُصَلِّيْ فِيْهِ .)رواه البخاري ومسلم(
"Seorang perempuan datang menghadap Rasûlullah. Kemudian ia bertanya
;“Baju salah satu dari kami terkena darah haidl. Bagaimana sikap kami?”
Rasûlullah . menjawab “ Digosok sekiranya sifat-sifatnya hilang. Setelah
itu dibasuh, kemudian gunakanlah baju tersebut untuk shalat”(H.R.
Al-Bukhâry & Muslim)
3. Mughalladhah (Berat)
Najis ini adalah najis yang paling berat dibanding najis yang lain,
sesuai dengan namanya. Najis mugholladlah ialah najis anjing, babi dan
peranakannya, meskipun peranakan dengan hewan yang suci, seperti dengan
kambing.
Adapun dalil yang menajiskan anjing :
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا
وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ
بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ
وَلِلتِّرْمِذِيِّ أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Sucinya tempat air seseorang diantara kamu
jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya
dicampur dengan debu tanah." Dikeluarkan oleh Muslim. Dalam riwayat lain
disebutkan: "Hendaklah ia membuang air itu." Menurut riwayat Tirmidzi:
"Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah).
Asy-Syarbini mengatakan :
(وما نجس ) من جامد ولو بعضا من صيد أو غيره ( بملاقاة شيء من كلب ) سواء
في ذلك لعابه وبوله وسائر رطوباته وأجزائه الجافة إذا لاقت رطبا ( غسل سبعا
إحداهن ) في غير أرض ترابية ( بتراب )
“ – Dan apa yang najis – dari sesuatu yang padat walaupun sebagiannya
dari buruan atau lainnya – karena besentuhan dengan bagian anjing – sama
ada itu air liurnya atau kencingnya dan semua bagiannya yang basah dan
anggota tubuhnya yang yang kering jika menyentuh sesuatu yang basah –
maka mensucikannya tujuh kali saah satunya dengan tanah."
Artinya jika menyentuh anjing salah satunya (anjing atau yang menyentuh)
sama ada tubuh, pakaian atau tempat dalam keadaan basah, maka menjadi
najis dan mensucikannnya tujuh kali cucian salah satunya dicampur dengan
tanah. Mafhumnya jika keduanya tidak basah, maka tidaklah najis.
Imam an-Nawawi berkata :
مذهبنا أن الكلاب كلها نجسة، المُعَلَّم وغيره، الصغير والكبير، وبه قال الأوزاعي وأبو حنيفة وأحمد وإسحاق وأبو ثور وأبو عبيد
“ Madzhab kami, mengatakan bahwa anjing seluruh bagiannya adalah najis,
sama ada anjing terlatih atau bukan, kecil ataupun besar. Pendapat ini
juga dikatakan oleh al-Awza’i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu
Tsaur dan Abu Ubaid “.
Syaikhul Islam Zakariyah al-Anshari mengatakan :
والكلب ولو معلما لخبر الصحيحين «إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليرقه ثم
ليغسله سبع مرات» ولخبر مسلم «طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله
سبع مرات أولاهن بالتراب»وجه الدلالة أن الماء لو لم يكن نجسا لما أمر
بإراقته لما فيها من إتلاف المال المنهي عن إضاعته وأن الطهارة إما عن حدث
أو نجس ولا حدث على الإناء فتعينت طهارة النجس فثبت نجاسة فمه وهو أطيب
أجزائه بل هو أطيب الحيوان نكهة لكثرة ما يلهث فبقيتها أولى
“…(najis juga) anjing walaupun terlatih karena ada dua hadits sahih, “
Jika anjing menjilat bejana salah seorang kalian, maka tumpahkanlah dan
cuicilah tujuh kali “, dan juga hadits Muslim : ““Sucinya bejana di
antara kalian yaitu apabila anjing menjilatnya adalah dengan dicuci
tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” Sisi pendalilannya adalah
sesungguhnya air itu tidak menjadi najis, maka niscaya tidak akan
diperintahkan menumpahkannya karena termasuk membuang harta yang
terlarang untuk dihilangkan. Dan sesungguhnya bersuci itu adakalanya
karena sebab hadats atau najis, sedangkan tidak ada istilah hadats pada
bejana, maka menjadi nyata bahwa itu adalah membersihkan dari najis.
Maka nyatalah kenajisan mulut anjing tersebut, dan mulut adalah anggota
tubuh yang paling bagus bahkan ia paling bagusnya bau mulut hewan karena
seringnya menjulurkan lidahnya, maka anggota tubuh lainnya lebih utama
(untuk dihukumi najis)
Dalam hadits sahih Muslim pun disebutkan :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم أَصْبَحَ يَوْمًا وَاجِمًا،
فَقَالَتْ مَيْمُونَةُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدِ اسْتَنْكَرْتُ
هَيْئَتَكَ مُنْذُ الْيَوْمِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم :
” إِنَّ جِبْرِيلَ كَانَ وَعَدَنِي أَنْ يَلْقَانِي اللَّيْلَةَ فَلَمْ
يَلْقَنِي أَمَ وَاللَّهِ مَا أَخْلَفَنِي “، قَالَ : فَظَلَّ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَوْمَهُ ذَلِكَ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ وَقَعَ
فِي نَفْسِهِ جِرْوُ كَلْبٍ تَحْتَ فُسْطَاطٍ لَنَا، فَأَمَرَ بِهِ
فَأُخْرِجَ ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهِ مَاءً، فَنَضَحَ مَكَانَهُ فَلَمَّا
أَمْسَى لَقِيَهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ لَهُ قَدْ كُنْتَ وَعَدْتَنِي أَنْ
تَلْقَانِي الْبَارِحَةَ قَالَ أَجَلْ وَلَكِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا
فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ فَأَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ فَأَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ حَتَّى
إِنَّهُ يَأْمُرُ بِقَتْلِ كَلْبِ الْحَائِطِ الصَّغِيرِ وَيَتْرُكُ كَلْبَ
الْحَائِطِ الْكَبِيرِ
“ Sesungguhnya pada suatu pagi Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam
kelihatan diam karena susah dan sedih. Maimunah berkata; “Ya,
Rasululloh! Aku heran melihat sikap Anda sehari ini. Apa yang telah
terjadi?” Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Jibril
berjanji akan datang menemuiku malam tadi, ternyata dia tidak datang.
Ketahuilah, dia pasti tidak menyalahi janji denganku! ‘ Demikianlah
Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam senantiasa kelihatan susah dan
sedih sehari itu. Kemudian beliau melihat seekor anak anjing di bawah
tempat tidur kami, lalu beliau menyuruh keluarkan anak anjing itu.
Kemudian diambilnya air lalu dipercikinya (bekas-bekas) tempat anjing
itu. Ketika hari sudah petang, Jibril datang menemui beliau. Kata beliau
kepada Jibril: ‘Anda berjanji akan datang pagi-pagi.’ Jibril menjawab;
‘Benar! Tetapi kami tidak dapat masuk ke rumah yang di dalamnya ada
anjing dan gambar-gambar.’ Pada pagi harinya Rasululloh shallallohu
‘alaihi wasallam memerintahkan supaya membunuh semua anjing, sampai
anjing penjaga kebun yang sempit, tetapi beliau membiarkan anjing
penjaga kebun yang luas.’ (HR. Muslim)
Dari hadits di atas, diketahui bahwa seandainya anjing tidak najis, maka
Nabi tidak akan memercikkan bekas-bekas tempat anjing tersebut dengan
air.
Dengan ini bagi kami yang paling rajih adalah pendapat yang menghukumi
kenajisan seluruh bagian anjing jika disentuhnya dalam keadaan basah
salah satunya. Maka tidak sepatutnya memaksa kami mengikuti pendapat
sebalilknya, apatah lagi kaum muslimin Malaysia, Indonesia dan lainnya
mayoritas mengikuti pendapat Syafi’iyyah, sepatutnya mereka menghormati
pendapat ini yang sudah dipegang selama puluhan tahun secara turun
menurun. Apakah pengikut Syafi’iyyah atau Hanbaliyyah boleh memaksakan
penduduk Libia yang mayoritas bermadzhab Maliki untuk mengikuti
pendapatnya saat berada di Libia ? tentu akan terjadi konflik bila hal
ini terjadi.
Kalau pun masing-masing pendapat masih samar mana yang rajih, maka yang
patut dipegang dan diambil adalah pendapat yang lebih mendekati
kehati-hatian dalam Agama. Karena melaksakan perintah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam :
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
“ Tinggalkan apa yang membuatmu ragu kepada apa yang tidak membuatmu ragu “. (HR. At-Turmudzi)
Mekanisme mensucikannya adalah dengan menghilangkan tempat yang terkena
najis dari bentuk, dan sifat-sifatnya (warna, bentuk, dan aroma).
Setelah itu dibasuh tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan debu.
Rasûlullah Bersabda :
إذَاوَلَغَ الْكَلْبُ فِي الْإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ.)رَوَاهُ مُسْلِمٌ(
"Ketika anjing menjilati bejana, maka basuhlah tujuhkali dengan dicampuri debu pada awal pembasuhanya." (H.R. Muslim)
Secara teks, Rasûlullah tidak menegaskan bahwa anijing adalah najis.
Namun kalau kita kaji secara mendalam, secara tersirat perintah Beliau
untuk membasuh bekas jilatannya mengindikasikan bahwa bekas jilatan
terrsebut tidak mungkin dalam kondisi suci, melainkan dalam kondisi
najis atau hadats. Sedangkan keberadaan hadats dalam hal ini tidak
mungkin. Dengan demikian, perintah pembasuhan tersebut pastilah
dikarenakan adanya najis.
Pemahaman seperti ini didukung Hadits lain :
طُهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ
يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ .(رواه مسلم)
"Sucinya bejana kalian semua ketika dijilati anjing adalah dengan
dibasuh tujuh kali, yang pertama dicampuri dengan debu.".(H.R. Muslim)
Hewan babi disamakan dengan anjing dalam hal pembasuhan tujuh kali
karena mempunyai ciri khas yang sama, yaitu tubuhnya sama-sama najis
(najis 'ain), bahkan babi lebih buruk daripada anjing, karena babi tidak
tidak boleh untuk dipeihara sama sekali dan sunah dibunuh meskipun
tidak berbahaya, dan juga keharaman daging babi sangat tegas disebutkan
dalam al-Qur’ân.
Namun menurut imam an-Nawawy, tidak ada dalil yang tegas mengenai hukum
najis babi. Pendapat ini berbeda dengan pendapat imam al-Mâwardy yang
mengatakan bahwa kenajisan babi secara tegas disebutkan dalam kitab
suci.
Allah berfirman :
قُلْ لاَ أَجِدُ فِيْ مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْحًا أَوْ
لَحْمَ خِنزيْرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ
رَحِيمٌ .(الانعام : 145 )
" Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Q.S. Al-An'âm : 145)
Menurut imam al-Mâwardy, lafadh لَحْمَ خِنْزِيْرٍ أَوْ (atau daging
babi) adalah seluruh bagian tubuhnya, bukan dagingnya saja, termasuk
majaz mursal ; mengucapkan sebagian namun menghendaki keseluruhan.
Dengan pola pemahaman seperti ini dapat disimpulkan, bahwa ayat di atas
adalah dalil yang menunjukkan kenajisan seluruh tubuh babi. Hal ini
didukung bahwa lafadh رِجْسٌ dalam ayat di atas meskipun secara bahasa
hanya diartikan sebagai sesuatu yang menjijikan, namun secara syari'at
diartikan sebagai sesuatu yang najis .
Sudah disebutkan dalam awal pembahasan, bahwa cara menghilangkan najis
mugalladhah adalah dengan dibasuh tujuh kali dengan dicampur debu pada
salah satu pembasuhan. Hanya saja, dalam dalam hal ini terdapat dua
redaksi Hadits yang berbeda.
Menurut Hadits riwayat imam Muslim disebutkan :
أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Basuhan pertama (dicampur) dengan debu.”
Namun dalam Hadits riwayat imam Abû Dâwûd disebutkan :
السَّابِعَةُ بِالتُّرَابِ
“Basuhan yang ketujuh (dicampur) dengan debu.”
Dalam menghadapi dua redaksi yang kontras ini, ilmu ushûl fiqh sangatlah
berperan. Dalam kajian usûl fiqh disebutkan, bahwa ketika terjadi
kontradiksi antara dua dalil dan tidak bisa dikompromikan, maka kedua
dalil tersebut tidak dapat digunakan pedoman dalam memutuskan sebuah
hukum, karena tidak ada salah satu yang dianggap unggul .
Air sebagai alat untuk menghilangkan najis
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
“…dan Allah menurunkan kepadamu air dari langit untuk menyucikan kamu dengannya…”. (al-Anfal; 11)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ أَبَا ثَعْلَبَةَ قَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَفْتِنَا فِي آنِيَةِ الْمَجُوسِ إِذَا اضْطُرِرْنَا
إِلَيْهَا قَالَ إِذَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهَا فَاغْسِلُوهَا بِالْمَاءِ
وَاطْبُخُوا فِيهَا
Dari Abdillah bin Umar, bahwa Abi Tsa’labah pernah bertanya: Ya
Rasulullah, berilah kami fatwa tentang bejana orang Majusi, kalau kami
terpaksa (menggunakannya). Nabi saw. Menjawab: “Apabila kamu terpaksa
(menggunakannya), maka cucilah dengan air dan masaklah dengannya.” (HR.
Ahmad)
Air adalah pokok alat untuk mensucikan, karena telah disifati di dalam
Qur’an dan Sunah secara mutlak dengan tanpa dibatasi. Tetapi pendapat
yang menentukan hanya air saja sebagai alat untuk mensucikan, sedang
yang lain tidak, adalah ditentang dengan hadis tentang “mengusap kasut”,
“mengerik mani”, “mengerik mani dan menghilangkannya dengan rumput
idzkhir” dan banyak yang lainnya.
Membersihkan Tanah Yang terkena Najis
Tanah yang terkena najis bisa disucikan dengan menyiramkan air ke atasnya, berdasarkan hadist:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ
فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ
ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا
مُعَسِّرِينَ
Dari abu Hurairah berkata: Berdirilah seorang Baduwi lalu kencing di
dalam mesjid, kemudian orang-orang berdiri untuk memukulnya, lalu
Rasulullah saw. Bersabda: Biarkanlah dia, dan tuangkanlah setimba air di
atasnya, karena sesungguhnya kamu di utus untuk memudahkan dan tidak di
utus untuk mempersukar”. (HR Jama’ah kecuali Muslim)
Tanah yang terkena najis juga bisa suci dengan keringnya tanah tersebut,
hal ini juga bisa dianalogikan untuk yang semisalnya, seperti pohon dan
bangunan.
قالت عائشة: زكاة الأرض يـبسها. (رواه ابن أبي شيبة)
‘Aisyah berkata: “Sucinya tanah adalah (dengan) keringnya”
Hal itu berlaku jika najisnya cair, tapi jika tidak cair, maka tidak
bisa dihilangkan kecuali dengan membuangnya atau memindahkannya.
Membersihkan alas kaki
Alas kaki dan yang sejenisnya itu sucinya adalah dengan menggosokkannya
ke tanah, baik basah atau kering serta melihat dzatnya. Tidak ada
bedanya antara najis yang bermacam-macam, bahkan semua kotoran yang
mengenai alas kaki, sucinya adalah digosok dengan debu.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ
فَلْيَقْلِبْ نَعْلَهُ فَلْيَنْظُرْ فِيهمَا فَإِنْ رَأَى خَبَثًا
فَلْيُمِسَّهُ بِالْأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيهِمَا
Dari Abi Sai’d, bahwa Rasul saw. bersabda: “Apabila salah seorang di
antara kamu datang ke mesjid, maka baliklah kedua alas kakinya dan
lihatlah pada keduanya, kalau ia melihat kotoran, maka gosoklah dengan
tanah kemudian sembahyanglah dengan memakai kedua terompah itu.” (HR.
Ahmad dan Abu Daud)
Dan juga dicukupkan dengan mengusapnya dengan benda keras seperti
istinja, bahkan itu lebih utama menurut Sayyid Sabiq, karena
menghilangkannya dua kali atau tiga kali seperti halnya istinja.
Membersihkan Minyak dan yang sejenisnya
Jika najis yang terjatuh ke dalam minyak itu tidak mencemari
keseluruhannya, maka cara menghilangkannya ialah dengan membuang najis
itu dan minyak yang tercemari disekitarnya.
عَنْ مَيْمُونَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سُئِلَ عَنْ فَأْرَةٍ سَقَطَتْ فِي سَمْنٍ فَقَالَ أَلْقُوهَا وَمَا
حَوْلَهَا فَاطْرَحُوهُ وَكُلُوا سَمْنَكُمْ
Dari Maimunah, bahwasanya Rasulullah saw. ditanya tentang tikus yang
jatuh ke dalam minyak, lalu Rasul menjawab: “Buanglah tikus itu dan
minyak disekitarnya, dan makanlah minyak kamu”. (HR. Bukhari)
Tetapi jika najis itu cair, maka pendapat jumhur adalah minyak itu harus
dibuang semuanya (tidak bisa dipakai lagi) karena menjadi tercemar
seluruhnya dengan terjatuhnya najis tersebut.
Imam Zuhri dan Auza’i berpendapat sesuatu yang cair hukumnya sama
seperti air, yaitu tidak najis kecuali air itu berubah dengan sebab
kejatuhan najis itu. Tetapi jika tidak berubah, maka tetap suci. Ini
juga pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Bukhari.
Membersihkan najis dari benda-benda yang mengkilap dan sejenisnya
Mensucikan cermin, pisau, kuku, tulang, kaca, bejana yang berminyak, dan
setiap benda yang mengkilap yang tidak berpori adalah dengan
mengusapnya, karena para sahabat pernah shalat sambil membawa pedang
mereka yang terkena darah, mereka mengusapnya dan mereka merasa cukup
dengan yang demikian itu (usapan itu cukup untuk mensucikannya).