Siapa saja yang sudah mengenal al-haq tapi tidak mengamalkannya bahkan
menyelisihinya, maka dia serupa dengan Yahudi. Dan siapa saja yang
menginginkan kebaikan, beribadah tetapi tanpa didasari ilmu, maka dia
serupa dengan Nashara.
Sufyan Ats-Tsauri berkata:
مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا فَفِيْهِ شَبَهٌ بِالْيَهُوْدِ، وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عُبَّادِنَا فَفِيْهِ شَبَهٌ بِالنَّصَارَى
“Siapa yang rusak di antara ulama kita maka dia serupa dengan orang
Yahudi, dan siapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka dia serupa
dengan orang Nashara.”
Hal itu dikarenakan orang-orang Yahudi melakukan penyelisihan
(penyimpangan) sesudah datang ilmu dan keterangan pada mereka; sudah
mengetahui al-haq tapi tidak mengamalkannya. Sedangkan orang-orang
Nashara tersesat karena kebodohannya; mereka beramal tanpa ilmu.
Di antara bentuk kerusakan ulama adalah berakhlak dengan akhlak orang-orang Yahudi, seperti:
– men-tahrif (mengubah-ubah) ayat/ hadits dari makna yang sebenarnya,
– menyembunyikan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, apabila di dalamnya terdapat sesuatu yang menghalangi ambisi/tujuan mereka.
– dengki kepada orang yang diberi karunia oleh Allah dan ingin membunuhnya,
– membunuh orang-orang yang selalu menganjurkan bersikap adil di antara
manusia dan yang mengajak kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi
mereka.
– melakukan tipu muslihat (hilah) untuk meraih sesuatu yang diharamkan oleh Allah dengan berbagai cara.
– mencampuradukkan al-haq dengan kebatilan dan lain-lain.
Sedangkan kerusakan ahli ibadah seperti orang-orang Nashara ialah dengan:
– beribadah kepada Allah dengan hawa nafsunya, bukan dengan sesuatu yang dibawa oleh Rasul-Nya.
– melampaui batas (ghuluw) terhadap para tuan guru (masyayikh) sehingga
menempatkan mereka pada posisi rububiyah (memiliki sifat-sifat dan
kemampuan layaknya Allah seperti mengetahui perkara ghaib, memberi
keselamatan, karunia, dan sebagainya). Ataupun mengkultuskan seorang
guru.
Walhasil, orang yang berilmu, apabila dia melakukan penyelewengan atau
penyimpangan berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya, berarti dia telah
mengenal al-haq tapi menentangnya. Bisa jadi karena mengikuti hawa
nafsu, atau mencari dunia, atau karena mengkhawatirkan dirinya sendiri.
Sedangkan ahli-ahli ibadah yang tersesat, mereka itu tidak mengenal
al-haq, mengada-adakan hal baru lalu menambah dan mengurangi sebagian
dari ajaran Alloh. Pada intinya mereka Ahli ilmu yang terpengaruh
bujukan setan.
Tentang Bal’am bin Ba’ura
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ
مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ
شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ
وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ
يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ
كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian
dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan
(sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti
anjing. Jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu
membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.”
(Al-A'raf: 175-176)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menceritakan sebuah kisah kepada Ahli
Kitab tentang seseorang yang keluar dengan kekafirannya seperti
lepasnya ular dari kulitnya. Dia dikenal dalam kitab-kitab tafsir dengan
nama Bal’am bin Ba’ura, salah seorang ulama dari kalangan Bani Israil
di zaman Nabi Musa 'alaihissalam. Dia termasuk salah seorang yang diberi
ilmu tentang Ismul A’zham (Nama Allah Yang Paling Agung). Di dalam
majelisnya terdapat 12.000 tinta untuk menuliskan uraian-uraian yang
disampaikannya.
Malik bin Dinar rahimahullahu mengatakan bahwa dia termasuk orang yang
terkabul doanya. Mereka (orang-orang Bani Israil) mengajukannya setiap
kali ditimpa kesulitan. Suatu ketika, dia diutus oleh Nabi Musa
'alaihissalam mengajak salah seorang penguasa Madyan kembali kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Raja itu memberinya harta, lalu diapun
meninggalkan ajaran Musa 'alaihissalam dan mengikuti agama raja itu.
Sebagian mufassir mencantumkan kisah-kisah ini dalam kitab-kitab tafsir
mereka. Ada yang hanya sekadar memberi gambaran atau contoh atas apa
yang dimaksud dalam ayat, sebagaimana yang diterangkan Qatadah
rahimahullahu yang dinukil oleh Ath-Thabari rahimahullahu. Ada pula yang
menjadikannya sekaligus sebagai sebab turunnya ayat tersebut.
Ketika menerangkan ayat ini (Al-A’raf: 175-176), Ibnu Katsir
rahimahullahu menyebutkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia
adalah seorang laki-laki Bani Israil, bernama Bal’am bin Abar.
Demikian riwayat Syu’bah dan ulama lain yang tidak hanya satu orang,
dari Manshur dengan sanad ini. Adapun menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, dan
Mujahid, dia adalah Bal’am bin Ba’ura. Beliau menukilkan pula adanya
riwayat lain dari Abdullah bin ‘Amr, melalui jalur yang sahih sampai
kepada beliau, bahwa yang dimaksud adalah Umayyah bin Abi Ash-Shilt.
Seolah-olah, beliau hendak menunjukkan bahwa Umayyah menyerupai Bal’am.
Karena dia mempunyai ilmu tentang syariat umat terdahulu dan mendapati
zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun semua itu tidak
berguna baginya.
Selanjutnya, Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan bahwa yang masyhur
tentang sebab turunnya ayat ini ialah bahwa ayat ini menceritakan
tentang seorang laki-laki yang hidup di kota penguasa yang bengis. Dia
bernama Bal’am.
Menurut cerita dari Ibnu Abbas, pada zaman Nabi Musa ada seorang alim
bernama Bal'am bin Ba'ura. Allah telah menganugerahkan kepada Bal'am
rahasia khasiat-khasiat nama-nama Allah Yang Maha Besar [Do'a Bal'am bin
Ba'ura mustajab]. Setelah peristiwa firaun dilemaskan dalam laut, Musa
AS dan bani Israel yang selamat terus mengembara sehingga hampir sampai
dengan negeri tempat tinggal Bal'am. Raja negeri tersebut ketakutan,
takut kalau-kalau negerinya diserang oleh kaum yang telah berhasil
mengalahkan Firaun. Setelah bermesyuarat dengan penasihat-penasihatnya
Raja tersebut memutuskan untuk meminta pertolongan Bal'am agar Bal'am
menggunakan ilmunya [berdo'a] untuk mengalahkan Musa
Awalnya Wali Allah ini menolak permintaan raja negeri tersebut karena
takut Allah SWT. Seperti juga sejarah Nabi Adam as yang mana iblis
pernah menyuruh Adam memakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah
SWT melalui Hawa. Tetapi Nabi Adam as terpengaruh dengan Hawa karena
bisikan iblis yang halus itu dan melanggar larangan Allah SWT dan diusir
dari surga dan dibuang ke dunia.
Begitu juga raja negeri tersebut telah menggunakan isteri Bal'am seperti
iblis menggunakan Hawa. Firaun telah memberi hadiah berupa
barang-barang kemas dan perhiasan yang mahal kepada istri Bal'am sebagai
umpan agar Bal'am mendoakan akan Musa.
Diantara mereka berkata kepada Bal’am : ”Musa adalah orang kuat, dan dia
memiliki banyak tentara, seandainya mereka menyerang kita, maka kita
akan hancur. Oleh karena itu, berdo’alah kepada Allah agar mencegah
mereka untuk datang kemari,”
Bal’am dengan pengetahuanya berkata : ”Celakalah kamu, Sesungguhnya Nabi
Allah itu disertai oleh malaikat dan kaum mukminin. bagai mana mungkin
aku mendo’akan sesuatu yang buruk kepada mereka padahal aku mengetahui
semua itu dari Allah.”
Tetapi kaum Jababirah tidak begitu saja menyerah untuk merayu Bal’am,
semuaharta yang ada dikerahkan untuk diberikan kepada Bal’am agar mau
mendo’akan Nabi Musa supaya binasa sebelum sampai didaerah Bal’am
tinggal. Sebenarnya Bal’am tidak mau melakukan itu, tapi apa daya istri
Bal’am merayu dan berkata :” “Berdoalah!, mengingat kalauharta yang
berharga itu harus diraih dengan kerja, pastilah akan memakan usia,
bahkan belum tentu seumur hidup akan bisa mendapatkannya”.
Akhirnya Bal’am pun terhasut dan membenarkan setiap ucapan istrinya
danmengikuti nafsu dunia yang fana ini. Kemudian Bal’am beserta pasukan
mencoba mengintai pasukan Nabi musa dipuncak gunung Husban. Kemudia
disitulah Bal’am memanjatkan do’a kepada Allah sesuatu hal yang buruk
agar menimpa Nabi Musa dan pasukanya.
Maka terjadilah apa yang terjadi, sebelum berdoa Bal’am mengatakan bahwa
Allah sangat membenci pada perzinahan, padahal kaum Bani Israil yang
dipimpin Nabi Musa itu merupakan orang pelarian yang kebanyakan tidak
memiliki isteri. Untuk menghancurkan mereka, hendaknya seluruh wanita
kaum Jababirah disarankan segera mendekati kaum Bani Israel dan
menyerahkan tubuh-tubuh mereka agar disetubuhi tanpa dengan ikatan tali
perkawinan, dimana perbuatan itu segera akan mengundang murka Allah yang
selanjutnya mereka akan dihancurkan-Nya dengan tanpa pertumpahan darah.
Maka wanita-wanita itu segera bersolek sedemikian rupa seperti yang
dianjurkan Bal’am dengan di pimpin oleh anak gadis raja mereka sendiri
untuk menjebak Bani Israel. Sebelum berangkat, anak gadis itu disarankan
oleh Bal’am. “Untuk dirimu, wahai putri junjunganku, janganlah kau mau
dizina terkecuali oleh Musa sendiri.”
Maka rombongan para wanita dari kaum Jababirah-pun datang kekamp kamp
kaum Bani Israel dipadang Taih. Dan disitulah kaum bani israil yang
kebanyakan imannya keropos itu pun berpesta pora mengadakan perzinahan
besar-besaran tanpa menggubris lagi seluruh saran dan nasehat Nabi Musa.
Akan halnya anak gadis raja itu setelah mencari-cari Nabi Musa dan
ternyata tidak ada sebuah tanggapan, maka segera mendekati seorang
pemimpin dari dua belas suku keturunan Nabi Ya’qub. Dan ternyata lelaki
itu pun jatuh dalam rayuannya, namun setelah mau berzina, wanita itu
melaporkan dulu mengenai hasil usahanya kepada sang ayah bahwa yang
terkena rayuannya bukan Nabi Musa, akan tetapi hanya seorang pemimpin
dari dua belas pemimpin suku-suku mereka. Setelah berpikir cukup, sang
ayah segera mengizinkan sang putri untuk berzina dengan lelaki itu.
Dan ketika perbuatan itu berlangsung, seorang lelaki dari keturunan Nabi
Harun dapat mengetahui kebejadan dari kaumnya yang berzinah dengan
wanita wanita kaum Jababirah, maka segera saja keduanya dilempar dengan
tombak hingga menemui ajalnya, kemudian tubuhnya diangkat dengan tombak
tinggi-tinggi, agar kaum Bani Israel melihat atas hukuman yang
ditimpakan pada mereka.
Akibat doa Bal’am ini, kaum Bani Israel terkungkung dan terjebak di
Padang Taih, sebuah kawasan yang selalu membuat bingung mereka yang di
dalamnya. Dikisahkan jika saja Bani israel itu pagi-pagi berangkat ke
utara agar bisa keluar dari kawasan itu, maka ketika sore tiba-tiba
telah berada pada tempat mereka ketika berangkat. Demikian pula jika
saja ke daerah timur menjelang petang, maka paginya mereka telah berada
di tempat berangkat itu lagi.
Dari kejadian kejadian itu yang tanpa henti akhirnya Nabi Musa pun
berdo’a dan bertanya kepada Allah sebenarnya Dosa apakah yang telah
diperbuat olehnya sehingga Nabi Musa ikut terkurung didalamnya. Dan
Allah pun menjawab pertanyaan Nabi Musa bahwa yang terjadi dikarenakan
do’a Bal’am bin Bauro. Nabi Musapun tak tinggal diam atas yang dilakukan
oleh Bal’am terhadapnya. Dan Nabi musa pun berdo’a :
“Sebagaimana Engkau telah memperkenankan doa Bal’am untuk mencelakan aku
beserta kaumku, maka perkenankanlah doaku agar dia celaka. Lepaskan
pula ismul A’zham dan iman yang telah Engkau karuniakan kepadanya, ya
Allah.”
Begitu Nabi Musa memohon. Allah pun memperkenankan doa Rasul-Nya,
sehingga ismul A’zham dan iman serta makrifat yang dimiliki Bal’am
terlepas dan keluar dari tubuhnya bagaikan seekor merpati putih yang
terbang. Dan dilain pihak Bal’am merasakan apa yang diakhawatirkan dan
Bal’am berkata :” Sekarang hilang sudah dariku Dunia dan Akhirat, tidak
tersisa padaku kecuali tipu daya muslihat. Dari do’a Musa maka semua
karunia yang dimiliki Bal’am pun lenyap dan dia menjadi manusia biasa
yang hidup dalam kekufuran dan kekafiran sampai dia meninggal. Wallaahu
a’lam
Berkaitan dengan kisah Bal’am, maka turunlah ayat berikut QS. Al-A’raaf ayat 175 -177) :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ
مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ
شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ
وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ
يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ
كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
(176) سَاءَ مَثَلًا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا
وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ (177)
175. dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian
Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh
syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang
sesat.
176. dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti
anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu
membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka
Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
177. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.
Tentang orang-orang dari golongan inilah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya.” (Maryam: 59)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman tentang mereka:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ
هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ
مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ
لَا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ
وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi
Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata:
‘Kami akan diberi ampun’. Dan kelak jika datang kepada mereka harta
benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya
(juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu
bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar,
padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan
kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah
kamu sekalian tidak mengerti?” (Al-A’raf: 169)
Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan bahwa mereka mengambil harta benda
yang rendah ini dalam keadaan mereka mengetahui keharamannya, bahkan
berani mengatakan bahwa “Kami akan diberi ampun.” Dan jika datang kepada
mereka harta benda lainnya, niscaya mereka tetap dalam keadaan
demikian. Itulah yang menjadi pendorong bagi mereka untuk mengatakan
sesuatu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa dasar al-haq.
Sehingga mereka akan mengatakan: “Inilah hukum-Nya, syariat dan
dien-Nya,” dalam keadaan mereka mengetahui bahwa dien-Nya, syariat dan
hukum-Nya menyelisihi apa yang mereka ucapkan.
Atau memang mereka tidak tahu bahwa itu adalah dien-Nya, syariat dan
hukum-Nya. Sehingga kadang-kadang mereka mengatakan sesuatu terhadap
Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang tidak mereka ketahui. Dan suatu
ketika mereka mengucapkan sesuatu terhadap-Nya berupa apa-apa yang sudah
mereka ketahui kebatilannya.
Adapun mereka yang bertakwa, maka mereka mengerti bahwa kampung akhirat
itu lebih baik daripada dunia ini, sehingga kedudukan sebagai pemimpin
dan syahwat itu tidak akan mendorong mereka mementingkan urusan dunia
daripada akhirat.
Sementara jalan untuk itu adalah dengan berpegang teguh kepada Al-Qur`an
dan As-Sunnah, meminta tolong (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala)
melalui kesabaran dan shalat serta merenungi keadaan dunia, kehancuran
dan kerendahannya, serta akhirat yang pasti tiba dan abadi.
Sedangkan mereka ini, mau tidak mau akan mengada-adakan kebid’ahan di
dalam urusan dien ini disertai dengan kejahatan dalam beramal. Sehingga
bertumpuklah dua perkara ini pada mereka. Karena sesungguhnya mengikuti
hawa nafsu akan membuat buta mata hati, sehingga dia tidak mampu
membedakan mana yang sunnah mana yang bid’ah. Atau terjungkir balik,
melihat bid’ah itu sebagai sunnah, dan As-Sunnah sebagai kebid’ahan.
Inilah kerusakan para ulama jika mereka lebih mengutamakan urusan dunia,
mengikuti kedudukan dan syahwat. Ayat-ayat ini pantas buat mereka,
sampai juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ
مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ
شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ
وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ
يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian
dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan
(sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu
menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidahnya (juga).”
Maka inilah perumpamaan orang alim yang buruk, yang berbuat (sesuatu yang) menyelisihi ilmunya.
Perhatikanlah kandungan ayat ini, betapa tercelanya dia:
1. Dia tersesat sesudah dia memiliki ilmu, memilih kekafiran daripada keimanan dengan sengaja, bukan karena jahil (tidak tahu).
2. Dia memisahkan diri dari keimanan dengan perpisahan yang tidak
mungkin kembali kepadanya selama-lamanya. Karena dia lepas dari
ayat-ayat itu secara total, seperti lepasnya ular dari kulitnya.
Andaikata masih tersisa padanya secuil keimanan itu, niscaya dia
tidaklah lepas/tanggal darinya.
3. Bahwasanya setan mendapatkan dan menyusulnya, di mana setan itu
berhasil menguasai dan memangsanya. Sebab itulah Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengatakan: فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ (lalu dia diikuti oleh
setan), dan tidak mengatakan تَبِعَهُ (mengikutinya), karena pada kata
أَتْبَعَهُ terkandung pengertian adrakahu (mendapatkannya) dan lahiqahu
(menyusulnya) yang lebih sempurna daripada lafadz tabi’ah baik dari segi
lafadz dan makna.
4. Dia menyimpang padahal dahulunya dalam keadaan lurus. Al-Ghay adalah
kesesatan dalam ilmu dan tujuan (niat). Ini lebih khusus berkaitan
dengan kerusakan niat dan amal. Sebagaimana kesesatan itu lebih khusus
berkaitan dengan kerusakan ilmu dan i’tiqad. Sehingga jika dipisahkan
salah satunya, masuklah yang lain ke dalamnya, dan kalau bergandengan,
maka terpisahlah pengertian keduanya.
5. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan tentang rendahnya
kemauannya, di mana dia lebih memilih sesuatu yang rendah daripada yang
lebih tinggi.
6. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak hendak mengangkat derajatnya dengan
ilmu itu, sehingga hal itu menjadi sebab kebinasaannya. Karena diapun
tidak naik derajatnya dengan ilmu tersebut, akhirnya ilmu itu menjadi
bencana baginya. Maka seandainya dia bukan orang yang berilmu, tentu itu
lebih baik bagi dia dan lebih ringan azabnya.
7. Dia memilih yang rendah, bukan karena lintasan pikiran dan bisikan
jiwanya, tetapi karena kecenderungannya kepada dunia secara total. Asal
kata ikhlaad (dalam ayat) maknanya adalah terus dan selalu. Seolah-olah
dikatakan dia lebih cenderung kepada dunia. Diungkapkan kecenderungan
itu dengan kata ardh (bumi) karena dunia itu adalah bumi, semua yang ada
padanya dan apa-apa yang dikeluarkan, berupa perhiasan maupun harta
benda.
8. Dia tidak menyukai hidayah-Nya, lebih suka mengikuti hawa nafsunya,
lalu menjadikan hawa nafsunya sebagai imam yang diteladani dan diikuti.
9. Dia diserupakan dengan seekor anjing; hewan yang paling rendah
kemauannya, paling jatuh nilainya, paling bakhil dan paling parah kalab
(kerakusan) nya, sehingga dinamakan kalb.
10. Diserupakan juluran lidahnya terhadap dunia, ketidaksabaran dan
keluhannya (bila) kehilangan dunia, semangatnya memperoleh dunia
sebagaimana juluran lidah anjing dalam dua keadaannya; dibiarkan atau
dihalau dengan usiran dan seterusnya.
Hal ini, kalau dibiarkan, dia menjulurkan lidahnya terhadap dunia dan
kalau diberi peringatan atau teguran, dia juga seperti itu, tetap
menjulurkan lidah. Jadi, menjulurkan lidah ini, tidak dia tinggalkan
dalam segala keadaan, seperti halnya seekor anjing.
Kata Ibnu Qutaibah rahimahullahu: “Segala sesuatu yang menjulurkan
lidahnya, adalah ketika dia haus atau keletihan, kecuali seekor anjing.
Karena dia menjulurkan lidahnya dalam keadaan tenang dan istirahat,
kehausan ataupun tidak. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala buat
perumpamaan ini bagi orang-orang kafir, (seolah-olah) Allah Subhanahu wa
Ta’ala berkata: ‘Kalau engkau menasihatinya, dia tetap sesat. Dan kalau
engkau biarkan dia, maka dia juga sesat. Seperti seekor anjing, kalau
engkau mengusirnya, dia menjulurkan lidah, dan kalau engkau membiarkan
dia seperti itu, maka dia tetap menjulurkan lidahnya’.”
Perumpamaan ini, tidak mutlak pada semua anjing, tapi hanya anjing yang
selalu menjulurkan lidah. Hal itu merupakan keadaan paling rendah dan
paling buruk.
Dalam kitabnya yang lain (Tafsir Ibnul Qayyim), Ibnul Qayyim rahimahullahu menerangkan tafsir ayat ini:
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan orang-orang yang telah diberi
Al-Kitab, diajari-Nya ilmu, yang Dia halangi orang selain dia
memahaminya, lalu orang yang telah memiliki ilmu ini tidak
mengamalkannya dan mengikuti hawa nafsunya serta mengutamakan kemarahan
Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada keridhaan-Nya, mementingkan dunia
daripada akhirat, mengedepankan makhluk daripada Khaliqnya, (seperti)
seekor anjing.
Padahal jelas-jelas anjing itu seburuk-buruk binatang bahkan paling
rendah derajat dan nilainya. (Hewan) yang tekad dan kemauannya tidaklah
melampaui perutnya, paling parah kejahatan dan ketamakannya.
Di antara bentuk ketamakannya, dia tidak berjalan melainkan moncongnya
senantiasa mendekati tanah, mencium dan menghirupnya. Dia selalu mencium
duburnya sendiri, bukan bagian tubuhnya lain. Jika kamu melemparkan
batu ke arahnya niscaya dia kembali mendatangi batu itu untuk
menggigitnya karena rakusnya yang keterlaluan. Binatang paling hina,
paling rela menerima dunia.
Bangkai kotor yang busuk lebih disukainya daripada daging segar. Najis
dan kotoran lebih dia senangi daripada manisan. Kalau dia menemukan
bangkai yang cukup untuk seratus ekor anjing, maka dia tidak akan
biarkan seekor anjing lain mendekatinya melainkan dia usir karena
ketamakan dan kekikirannya.
Kalau dia melihat orang yang berpakaian dekil, buruk, niscaya dia
menggonggongnya dan mengusirnya, seolah-olah orang itu menyainginya dan
merebut kekuasaannya. Tapi kalau dia melihat orang yang berbaju indah,
rapi dan berkedudukan, maka dia rendahkan moncongnya ke tanah, merunduk,
dan tidak berani mengangkat kepalanya kepada orang tersebut.
Waspadailah Fitnah Orang Alim yang Fajir dan ‘Abid yang Jahil
Demikianlah keadaan orang alim yang lebih mementingkan urusan dunia
daripada akhirat. Adapun ‘abid (ahli ibadah) yang jahil (bodoh terhadap
urusan diennya), maka kerusakannya ialah berupa sikap menjauhnya dia
dari ilmu dan hukum-hukumnya, dikuasai oleh khayalan dan perasaannya,
serta apa-apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya.
Oleh sebab itulah Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullahu mengatakan:
“Jauhilah fitnah orang alim yang fajir (jahat) dan fitnah ‘abid yang
jahil, karena fitnah keduanya adalah fitnah bagi segenap orang yang
terfitnah. Yang satu dengan kejahilannya, dia menghalangi manusia dari
ilmu dan konsekuensinya. Dan yang satu dengan kesesatannya (ghay), dia
mengajak manusia kepada perbuatan-perbuatan keji.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan perumpamaan contoh jenis kedua, dengan firman-Nya:
كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ
قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ.
فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَا أَنَّهُمَا فِي النَّارِ خَالِدَيْنِ فِيهَا
وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ
“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika
dia berkata kepada manusia: ‘Kafirlah kamu’, maka tatkala manusia itu
telah kafir ia berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena
sesungguhnya aku takut kepada Allah Rabb semesta alam.’ Maka adalah
kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka,
mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zalim.”
(Al-Hasyr: 16-17)
Ibnu Katsir rahimahullahu menceritakan:
Konon, di zaman Bani Israil dahulu ada seorang rahib yang tekun
beribadah selama 60 tahun. Setan ingin menggodanya tapi selalu gagal.
Akhirnya setan mendatangi seorang wanita lantas membuatnya gila. Wanita
itu sendiri mempunyai beberapa saudara laki-laki. Setan kemudian
membisikkan kepada saudara-saudaranya agar membawanya kepada rahib
tersebut untuk diobati. Wanitapun diobati rahib itu dan tetap tinggal di
sana.
Suatu hari, ternyata wanita itu menarik hati si rahib. Diapun
menggaulinya hingga wanita itu hamil. Melihat kenyataan ini si rahib
takut namanya tercemar lalu membunuh wanita tersebut. Kemudian datanglah
saudara-saudara wanita itu. Ternyata saudara mereka pun dibunuh oleh
rahib itu.
Akhirnya, setan datang menemui si rahib dan mengatakan: “Aku temanmu,
kamu selalu membuatku payah, dan akulah yang mengatur kejadian ini.
Kalau kamu menaatiku pasti aku selamatkan kamu. Sujudlah kamu kepadaku.”
Rahib itupun sujud kepadanya dan setelah dia sujud, setan berkata:
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu. Sesungguhnya aku takut kepada
Allah Rabb semesta alam.”
Demikianlah sepenggal kisahnya.
Jadi, pangkal kekafiran kaum Yahudi adalah tidak mengamalkan ilmu yang
sudah dimiliki. Mereka sudah mengetahui al-haq tapi tidak membuktikannya
dalam bentuk kerja nyata (amal). Adapun kekafiran kaum Nashara dari
sisi pengamalan mereka yang tidak didasari ilmu. Mereka
bersungguh-sungguh dalam berbagai jenis ibadah tanpa dasar syariat dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengatakan sesuatu terhadap Allah
Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu.
رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيْتُ الْقُلُوْبَ * وَقد يُوْرِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا
وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ * وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا
وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّيْنَ إِلاَّ الْمُلُوكُ * وَأَحْبَارُ سُوْءٍ وَرُهْبَانُهَا
Aku melihat dosa itu mematikan hati
terus menerus berbuat dosa mewariskan kehinaan
Meninggalkan dosa (sebab) hidupnya hati
menentangnya lebih baik bagi dirimu
Tiadalah yang merusak dien ini melainkan para raja
ulama jahat dan para pendetanya
Maka bersungguh-sungguhlah wahai saudaraku menjadi ulama akhirat yang cerdas.
Dan jauhilah kedunguan orang-orang yang dangkal pikirannya, pendeknya akal ahli dunia yang bebal.
Alangkah indahnya ungkapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berikut ini:
إِنَّ لِلهِ عِبَـاداً فُطَـنَا * طَلَّقُوا الدُّنْيَا وخَافُوا الْفِتَنَا
نَظَرُوا فيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا * أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا
جَعَلُوهَا لُجَّةً واتَّخَذُوا * صَالِحَ الْأَعْمَالِ فِيهَا سُفُنَا
Sungguh Allah l memiliki hamba-hamba yang cerdas
Yang tinggalkan dunia karena takut fitnahnya
Mereka cermati dunia, dan setelah tahu
Kiranya dunia bukan tempat kehidupan (sejati)
Mereka jadikan dia bak gelombang
dan siapkan amalan shalih sebagai perahu menyeberanginya.
Pelajaran dari Kisah Bal'am
1- Seorang Kyai ataupun Ahli Ilmu Agama harus selalu Berpegang teguh pada Syariat.
2- Ulama' harus punya prinsip dalam Berjuang dan jangan mudah terima hasutan.
3- Kyai hendaknya tidak mendekati penguasa agar tidak goyah dalam.agama.
4- Hubbuddunya bisa menghancurkan keimanan dan ketakwaan.
5- Seorang Ahli Ibadah janganlah menggunakan doa untuk mencelakakan orang lain.
6- Kyai adalah pemimpin umat dan sebagai ahli waris Para Nabi hendaknya berjuang dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.
7- Jika Punya ilmu kesaktian dan ilmu pengetahuan lainnya jangan
digunakan untuk membela individu ataupun golongan yang tidak benar.
8- Seorang tokoh hendaknya waspada pada segala ucapan seorang wanita baik istri sendiri maupun orang lain.
9- Ahli Ilmu yang salah dalam menggunakan ilmunya akan terjebak terseret
pada kemaksiatan dan dosa serta akan hilang kewibawaan kehormatan dan
akan sulit untuk kembali pada kebenaran.
Semoga bermanfaat