Pernikahan adalah sarana untuk menyatukan dua orang manusia yang
berlainan jenis (laki-laki dan perempuan) dalam sebuah ikatan suci guna
mencari ridho Allah swt, namun dalam realitanya, pernikahan banyak di
jadikan oleh sebagian orang sebagai kedok belaka, untuk menjaga gengsi
dan lain sebagainya yang pada dasarnya telah menyalahi tujuan dari di
syariatkannya sebuah pernikahan, yaitu ibadah.
Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan
disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ
فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]
Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul
masalah-masalah yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai
dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa,
sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak
segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa
memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini
harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam. Dengan
demikian, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan
menyeluruh).
Dalam masyarakat kita sering menjumpai berbagai macam kasus atau
kejadian rumah tangga, seperti keretakan rumah tangga yang berujung pada
perceraian, namun lazimnya hak cerai itu dimiliki oleh laki-laki
(suami), namun bukan berarti hal ini menunjukan bentuk diskriminasi
terhadap wanita, karena hukum kita (islam) telah memberikan solusi bagi
wanita yang mengalami gencatan atau beban rumah tangga untuk melakukan
gugatan cerai pada suami, dengan cara memberikan upah atau iwadhsebagai
bentuk membebaskan dirinya dari ikatan suami istri.
Namun pada prakteknya dilapangan, ternyata terjadi kontradiksi antara
konsep gugatan cerai menurut persepektif hukum fiqh dan Pengadilan Agama
dilingkungan kita. Sehingga penulis mencoba untuk mengulas sedikit
tentang masalah gugatan cerai, dengan tujuan menemukan kebenaran, baik
secara nisbiy maupun absolut.
Khulu’ menurut bahasa ialah melepas. Adapun khulu’ menurut istilah
syara’ ialah seorang istri meminta kepada suami supaya dirinya
diceraikan dengan memberikan suatu tebusan (‘iwadl), misalnya
mengembalikan mahar yang dulu diberikan oleh suaminya.
HUKUM AL-KHULU’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا
افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ
يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka
itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah : 229]
Surat An-Nisa ayat 4:
وَءَاتُوْ النِّسَاءَ صَدَقَتِهِنَّ نِحْلَةً فَأِنْ تِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.”
Surat An-Nisa ayat 19:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا
النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضٍ مَّا
ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ أِلاَّ أَنْ يَأتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ فَأِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَي أَنْ
تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلُ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Surat An-Nisa ayat 21:
وَكَيْفَ تَأخُذُوْنَهُ وَقَدْ أَفْضَي بَعْضُكُمْ أِلَي بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيْثَاقاً غَلِيْظًا
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang
kuat.”
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ
شَمَّاسٍ اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنّى مَا
اَعْتِبُ عَلَيْهِ فِى خُلُقٍ وَ لاَ دِيْنٍ، وَ لَكِنّى اَكْرَهُ
اْلكُفْرَ فِى اْلاِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَتَرُدّيْنَ
عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص:
اِقْبَلِ اْلحَدِيْقَةَ وَ طَلّقْهَا تَطْلِيْقَةً. البخارى و النسائى، فى
نيل الاوطار 6:276
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang
kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak
mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan agamanya, tetapi aku tidak
menyukai kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya,
“Maukah kamu mengembalikan kebunmu kepadanya ?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu
Rasulullah SAW bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan
thalaqlah dia sekali”. [HR. Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz
6, hal. 276]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ جَمِيْلَةَ بِنْتَ سَلُوْلٍ اَتَتِ النَّبِيَّ ص
فَقَالَتْ: وَ اللهِ مَا اَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِى دِيْنٍ وَ لاَ خُلُقٍ
وَ لكِنّى اَكْرَهُ اْلكُفْرَ فِى اْلاِسْلاَمِ، لاَ اُطِيْقُهُ بُغْضًا.
فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ ص: اَتَرُدّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ:
نَعَمْ. فَاَمَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيْقَتَهُ
وَ لاَ يَزْدَادَ. ابن ماجه
Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Jamilah binti Salul datang kepada Nabi SAW
lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak mencela kepada Tsabit tentang agama
dan akhlaqnya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam, aku
tidak kuat menahan rasa benci kepadanya”. Lalu Nabi SAW bertanya,
“Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepadanya ?” Ia menjawab, “Ya”.
Kemudian Rasulullah SAW menyuruh Tsabit agar mengambil kembali kebunnya
dari Jamilah, dan tidak minta tambahan”. HR. Ibnu Majah]
عَنِ الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ اَنَّ ثَابِتَ بْنَ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ
ضَرَبَ امْرَأَتَهُ فَكَسَرَ يَدَهَا وَ هِيَ جَمِيْلَةُ بِنْتُ عَبْدِ
اللهِ بْنِ اُبَيّ، فَاَتَى اَخُوْهَا يَشْتَكِيْهِ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ
ص: فَاَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِلَى ثَابِتٍ فَقَالَ لَهُ: خُذِ الَّذِيْ
لَهَا عَلَيْكَ وَ خَلّ سَبِيْلَهَا. قَالَ: نَعَمْ. فَاَمَرَهَا رَسُوْلُ
اللهِ ص اَنْ تَتَرَبَّصَ حَيْضَةً وَاحِدَةً وَ تَلْحَقَ بِاَهْلِهَا.
النسائى، فى نيل الاوطار 6:277
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas
memukul tangan istrinya yang bernama Jamilah binti ‘Abdullah bin Ubaiy
sehingga patah, kemudian saudaranya datang kepada Rasulullah SAW untuk
mengadukannya, lalu Rasulullah SAW mengutus (seseorang) kepada Tsabit,
kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Ambillah kembali apa yang pernah
kamu berikan kepada istrimu, dan lepaskanlah dia”. Tsabit menjawab,
“Ya”. Lalu Rasulullah SAW menyuruh Jamilah agar menunggu satu kali haidl
dan pulang kepada keluarganya”. [HR. Nasai, dalam Nailul Authar juz 6,
hal. 277]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ
زَوْجِهَا، فَاَمَرَهَا النَّبِيُّ ص اَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ. ابو داود
و الترمذى و قال: حديث حسن غريب
Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya istri Tsabit bin Qais menebus dirinya dari
suaminya, kemudian Nabi SAW menyuruhnya supaya ber’iddah sekali haidl.
[HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits hasan gharib, dalam
Nailul Authar juz 6, hal. 277]
عَنِ الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ اَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ ص فَاَمَرَهَا النَّبِيُّ ص اَوْ اُمِرَتْ اَنْ تَعْتَدَّ
بِحَيْضَةٍ. الترمذى و قال: حديث الربيع الصحيح انها امرت ان تعتد بحيضة،
فى نيل الاوطار 6:277
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz, bahwasanya ia pernah menebus dirinya
(khulu’) di masa Rasulullah SAW, kemudian Nabi SAW menyuruhnya atau dia
disuruh agar ber’iddah sekali haidl. [HR. Tirmidzi, dan ia berkata,
“Hadits Rubayyi’ ini sah, bahwa ia disuruh oleh Nabi SAW agar ber’iddah
dengan sekali haidl, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277]
عَنْ اَبِى الزُّبَيْرِ اَنَّ ثَابِتَ بْنَ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ كَانَتْ
عِنْدَهُ بِنْتُ عَبْدِ اللهِ بْنِ اُبَيّ بْنِ سَلُوْلٍ وَ كَانَ
اَصْدَقَهَا حَدِيْقَةٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ ص اَتَرُدّيْنَ عَلَيْهِ
حَدِيْقَتَهُ الَّتِى اَعْطَاكِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، وَ زِيَادَةً. فَقَالَ
النَّبِيُّ ص: اَمَّا الزّيَادَةُ فَلاَ، وَ لكِنْ حَدِيْقَتُهُ. قَالَتْ:
نَعَمْ. فَاَخَذَهَا لَهُ. وَ خَلَّى سَبِيْلَهَا. فَلَمَّا بَلَغَ ذلِكَ
ثَابِتَ بْنَ قَيْسٍ قَالَ: قَبِلْتُ قَضَاءَ رَسُوْلِ اللهِ ص. الدارقطنى
باسناد صحيح و قال: سمعه ابو الزبير من غير واحد، فى نيل الاوطار 6:277
Dari Abu Zubair bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas mempunyai istri
anak perempuan dari ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul. Dahulu ia memberikan
mahar kepada istrinya berupa sebuah kebun. Kemudian Nabi SAW bertanya
(kepada si istri), “Maukah kamu mengembalikan kebun pemberian suamimu
itu ?”. Ia menjawab, “Ya, dan akan saya tambah”. Lalu Nabi SAW bersabda,
“Adapun tambahan itu tidak usah, cukup kebunnya saja”. Ia berkata,
“Ya”. Kemudian Nabi SAW mengambil kebun itu untuk diberikan kepada
Tsabit dan beliau menceraikannya. Kemudian setelah hal itu sampai kepada
Tsabit bin Qais, ia berkata, “Sungguh aku menerima putusan Rasulullah
SAW”. [HR. Daruquthni dengan sanad yang sah, ia berkata, “Hadits ini
didengar oleh Abu Zubair tidak hanya dari seorang saja”, dalam Nailul
Authar juz 6, hal. 277].
Meskipun khulu diperbolehkan tetapi harus diikuti dengan alasan-alasan
yang kuat, seperti suami seorang pemabuk, pezina, penjudi, tidak
menafkahi keluarganya dan lain-lain. Dalam hal seorang wanita atau
isteri meminta cerai tanpa alasan atau dicari-cari, maka diharamkan
untuknya bau syurga. Sesuai dengan hadits Nabi SAW:
قَالَ رَسُوْْلُ اللهِ صَ مَ : اَيُّمَا امْرَءَةٍ سَاَلَتْ زَوْجَهَا
الطَلاقَ غَيْرُ مَا بَأْسَ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَاءِحَةُ الْجَنَّةَ
Artinya: “Dari Tsauban, Rasul SAW bersabda: “Siapapun perempuan yang
meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau
syurga”.(HR Abu Dawud no 1928, At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah, dan
dihahihkan oleh Syaikh Albani)
Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita
yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang syar'i yang kuat yang
membolehkannya untuk meminta cerai. Berkata Abu At-Toyyib Al'Adziim
Aabaadi, "Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta
cerai…((Maka haram baginya bau surga)) yaitu ia terhalang dari mencium
harumnya surga, dan ini merupakan bentuk ancaman dan bahkan bentuk
mubaalaghoh (berlebih-lebihan) dalam ancaman, atau terjadinya hal
tersebut pada satu kondisi tertentu yaitu artinya ia tidak mencium
wanginya surga tatkala tercium oleh orang-orang yang bertakwa yang
pertama kali mencium wanginya surga, atau memang sama sekali ia tidak
mencium wanginya surga. dan ini merupakan bentuk berlebih-lebihan dalam
ancaman" ('Aunul Ma'buud 6/308)
Ibnu Hajar berkata :
أن الأخبار الواردة في ترهيب المرأة من طلب طلاق زوجها محمولة على ما إذا لم يكن بسبب يقتضى ذلك
"Sesungguhnya hadits-hadits yang datang tentang ancaman terhadap wanita
yang meminta cerai, dibawakan kepada jika sang wanita meminta cerai
tanpa sebab" (Fathul Baari 9/402)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
"Para wanita yang khulu' dari suaminya dan melepaskan dirinya dari
suaminya, mereka itulah para wanita munafiq" (Dishahihkan oleh Al-Albani
dalam As-Shahihah no 632)
Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk meminta cerai dari suami
mereka tanpa ada udzur yang syari' (lihat At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami'
As-Shogiir 1/607)
Berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an serta Hadist tersebut cukuplah menjadi
fakta kekuatan pengadilan dalam menangani kasus khulu. Sehingga untuk
melindungi hak wanita dalam perkawinan, pemberian hak khulu kepada
wanita sangat diperlukan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
terjadi.
Sebab-Sebab Dibolehkan Khulu'
Para ulama telah menyebutkan perkara-perkara yang membolehkan seorang wanita meminta khulu' (pisah) dari suaminya.
Diantara perkara-perkara tersebut adalah :
1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang
suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi
seperti wanita yang tergantung
2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering
melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering
meninggalkan sholat, suka mendengar music, dll
4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak
memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan
kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.
5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik,
misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan
biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau
atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri
yang lain
6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja
sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri
sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh
baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu', karena ia
khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak
suami
7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan
juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak
bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti
cacat, atau buruknya suami
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو
ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه
بعوض تفتدي به نفسها
"Dan kesimpulannya bahwasanya seorang wanita jika membenci suaminya
karena akhlaknya atau perawakannya/rupa dan jasadnya atau karena
agamanya, atau karena tuanya, atau lemahnya, dan yang semisalnya, dan ia
khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami maka
boleh baginya untuk meminta khulu' kepada suaminya dengan memberikan
biaya/ganti untuk membebaskan dirinya" (Al-Mughni 8/174)
Hukum Khulu'
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai tiga hukum
tergantung kondisi dan situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah:
1. Mubah.
Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak
nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat
buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali
atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri
dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini,
Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, sebagaimana firman Allah:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229)
Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS.
Al-Baqarah: 229).
Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا
رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى
الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)),
فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة
وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang
kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati
kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya
saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan
kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu
bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu
menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya".
Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu
dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).
Dalam riwayat ini jelas bahwa istri Tsaabit bin Qois sama sekali tidak
mengeluhkan akan buruknya akhlak suaminya atau kurangnya agama suaminya.
Akan tetapi ia mengeluhkan tentang perkara yang lain. Apakah perkara
tersebut??
Dalam sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa istri Tsabit meminta khulu' karena buruk rupanya Tsabit.
عن حجاج عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال كانت حبيبة بنت سهل تحت ثابت
بن قيس بن شماس وكان رجلا دميما فقالت يا رسول الله والله لولا مخافة الله
إذا دخل علي لبصقت في وجهه
Dari Hajjaj dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dan dari kakeknya
berkata, "Dahulu Habibah binti Sahl adalah istri Tsaabit bin Qois bin
Syammaas. Dan Tsaabit adalah seorang lelaki buruk dan pendek, maka
Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, kalau bukan karena takut
kepada Allah maka jika ia masuk menemuiku maka aku akan meludahi
wajahnya". (HR Ibnu Maajah no 2057 dan didho'ifkan oleh Syaikh
Al-Albani)
Namun telah datang dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas berkata:
إن أول خلع كان في الإسلام، أخت عبد الله بن أبي، أنها أتت رسول الله صلى
الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله لا يجمع رأسي ورأسه شيء أبدا! إني رفعت
جانب الخباء، فرأيته أقبل في عدة، فإذا هو أشدهم سوادا، وأقصرهم قامة،
وأقبحهم وجها! قال زوجها: يا رسول الله، إني أعطيتها أفضل مالي! حديقة، فإن
ردت على حديقتي! قال:"ما تقولين؟" قالت: نعم، وإن شاء زدته! قال: ففرق
بينهما
"Khulu' yang pertama kali dalam sejarah Islam adalah khulu'nya saudari
Abdullah bin Ubay (Yaitu Jamilah bintu Abdullah bin Ubay bin Saluul
gembong orang munafiq, dan saudara Jamilah bernama Abdullah bin Abdullah
bin Ubay bin Saluul-pen). Ia mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam lalu berkata, "Wahai Rasulullah, tidak mungkin ada sesuatu
yang bisa menyatukan kepalaku dengan kepala Tsabit selamanya. Aku telah
mengangkat sisi tirai maka aku melihatnya datang bersama beberapa orang.
Ternyata Tsaabit adalah yang paling hitam diantara mereka, yang paling
pendek, dan yang paling jelek wajahnya"
Suaminya (Tsaabit) berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah memberikan
kepadanya hartaku yang terbaik, sebuah kebun, jika kebunku dikembalikan,
(maka aku setuju untuk berpisah)". Nabi berkata,"Apa pendapatmu (wahai
jamilah)?". Jamilah berkata, "Setuju, dan jika dia mau akan aku tambah".
Maka Nabipun memisahkan antara keduanya" (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
At-Thobari dalam tafsirnya (4/552-553, no 3807), tatkala menafsirkan
surat Al-Baqoroh ayat 229, dan sanadnya dinilai shahih oleh para
pentahqiq Tafsir At-Thobari)
Catatan :
Pertama : Para ulama berselisih tentang nama istri Tsabit bin Qois,
apakah namanya Jamilah binti Abdillah bin Ubay bin Saluul ataukah
Habibah binti Sahl?. Akan tetapi Ibnu Hajar rahimahullah condong bahwa
Tsabit pernah menikahi Habibah lalu terjadi khuluk, kemudian ia menikahi
Jamilah dan juga terjadi khulu' (lihat Fathul Baari 9/399)
Kedua : Dalam sebagian riwayat yang shahih menunjukkan bahwa Tsaabit bin
Qois radhiallahu 'anhu pernah memukul istrinya hingga tangannya patah.
Sehingga inilah yang dikeluhkan oleh istri beliau sehingga minta khulu'
Dari Ar-Rubayyi' bin Mu'awwidz berkata :
أن ثابت بن قيس بن شماس ضرب امرأته فكسر يدها وهي جميلة بنت عبد الله بن
أبي فأتى أخوها يشتكيه إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فأرسل رسول الله
صلى الله عليه و سلم إلى ثابت فقال له خذ الذي لها عليك وخل سبيلها قال نعم
فأمرها رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تتربص حيضة واحدة فتلحق بأهلها
"Sesungguhnya Tsaabit bin Qois bin Syammaas memukul istrinya hingga
mematahkan tangannya. Istrinya adalah Jamilah binti Abdillah bin Ubay.
Maka saudara laki-lakinya pun mendatangi Nabi mengeluhkannya. Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan ke Tsabit dan
berkata, "Ambillah harta milik istrimu yang wajib atasmu dan ceraikanlah
dia". Maka Tsaabit berkata, "Iya". Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan Jamilah untuk menunggu (masa 'iddah) satu kali
haid. Lalu iapun pergi ke keluarganya" (HR An-Nasaai no 3487 dan
dishahihkan oleh Al-Albani)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ عِنْدَ ثَابِتِ بْنِ
قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ بَعْضَهَا فَأَتَتْ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ إِلَيْهِ
فَدَعَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ثَابِتًا فَقَالَ « خُذْ بَعْضَ
مَالِهَا وَفَارِقْهَا ».
فَقَالَ وَيَصْلُحُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ
فَإِنِّى أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ وَهُمَا بِيَدِهَا فَقَالَ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « خُذْهُمَا فَفَارِقْهَا ». فَفَعَلَ.
Dari Aisyah bahwasanya Habibah binti Sahl dulunya istri Tsabit bin Qois,
lalu Tsabit memukulnya hingga patahlah sebagian anggota tubuhnya.
Habibah pun mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah
subuh dan mengadukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang
suaminya. Maka Nabi berkata kepada Tsabit, "Ambillah sebagian harta
Habibah, dan berpisahlah darinya"
Tsaabit berkata, "Apakah dibenarkan hal ini wahai Rasulullah?", Nabi
berkata, "Benar". Tsabit berkata, "Aku telah memberikan kepadanya mahar
berupa dua kebun, dan keduanya berada padanya". Maka Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam berkata, "Ambilah kedua kebun tersebut dan berpisalah
dengannya". (HR Abu Dawud no 2230, dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani)
Dari riwayat-riwayat yang ada, seakan-akan ada pertentangan, karena
sebagian riwayat menunjukkan bahwa istri Tsabit meminta cerai karena
perangai Tsaabit yang telah memukulnya hingga menyebabkan patah tangan.
Dan sebagian riwayat yang lain sangat jelas dan tegas bahwa sang istri
tidak mencela akhlak dan agama Tsaabit, akan yang dikeluhkan ada kondisi
tubuh Tsaabit yang hitam, pendek, dan buruk rupa.
Ibnu Hajar menjamak kedua model riwayat diatas dengan menyebutkan suatu riwayat dimana istri Tsabit berkata :
والله ما أعتب على ثابت في دين ولا خلق ولكني أكره الكفر في الإسلام لا أطيقه بغضا
"Demi Allah aku tidak mencela Tsabit karena agamanya dan juga akhlaknya,
akan tetapi aku takutkan kekufuran dalam Islam, aku tidak sanggup
dengannyakarena aku membencinya" (HR Ibnu Maajah no 1673 dan dishahihkan
oleh Al-Albani)
لكن تقدم من رواية النسائي أنه كسر يدها فيحمل على أنها أرادت أنه سيء
الخلق لكنها ما تعيبه بذلك بل بشيء آخر ... لكن لم تشكه واحدة منهما بسبب
ذلك بل وقع التصريح بسبب آخر وهو أنه كان دميم الخلقة
"Akan tetapi telah lalu dalam riwayat An-Nasaai bahwasanya Tsaabit
mematahkan tangan sang istri, maka dibawakan kepada makna bahwasanya
sang istri ingin mengatakan bahwa Tsabit buruk akhlaknya akan tetapi ia
tidak mencela Tsaabit karena hal itu, akan tetapi karena perkara yang
lain…tidak seorangpun dari kedua istrinya (Jamilah maupun Habibah) yang
mencela Tsabit karena "sebab mematahkan tulang", akan tetapi telah
datang penjelasan yang tegas akan sebab yang lain, yaitu perawakan
Tsaabit buruk" (Fathul Baari 9/400)
Dari sinilah para ulama menyatakan bahwa diantara salah satu sebab yang
membolehkan seorang wanita meminta khulu' adalah jika sang suami buruk
rupa, dan sang istri sama sekali tidak bisa mencintai sang suami. Dan
jika sudah tidak cinta maka sulit untuk meraih kebahagiaan dan kasih
sayang yang merupakan salah satu dari tujuan pernikahan. Wallahu A'lam.
2. Haram.
Khulu'' bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
1) Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan
sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak
ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan
Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا
افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229).
Artinya: " Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أيما امرأة سألت زوجها
طلاقا فى غير ما بأس, فحرام عليها رائحة الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه
وأحمد]
Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana
saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka
haram baginya untuk mencium wangi surta" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan
Ahmad).
2) Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si
isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga
haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak
mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja
sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (النساء: 19).
Artinya: "Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata" (QS. An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri
berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja
dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.
3. Sunnah.
Khulu' juga bisa sunnah hukumnya apabila, menurut Hanabilah, si suami
tidak melaksanakan hak-hak Allah, misalnya si suami sudah tidak pernah
melaksanakan shalat wajib, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau
apabila si suami melakukan dosa besar, seperti berzina, nyandu dengan
obat-obat terlarang dan lainnya. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa
untuk kondisi seperti ini, Khulu' bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib
hukumnya.
Rukun Khulu'
Khulu' dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi persyaratan
rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun Khulu' ada empat, yaitu suami
(al-mukhala', yang diKhulu'), isteri (al-mukhtali'ah, yang mengKhulu'),
shigat Khulu' dan iwadh, atau uang tebusan, uang ganti.
1. Al-mukhala' (yang diKhulu' yaitu suami).
Para ulama sepakat bahwasannya orang yang diKhulu'' atau suami hendaknya
orang yang mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada kaidah yang
mengatakan: "man jaza thalakuhu, jaza Khulu' uh (Barangsiapa yang boleh
mentalak, boleh juga untuk mengKhulu' nya)".
2. Al-mukhtali'ah (wanita yang mengKhulu', yakni isteri).
Bagi isteri yang hendak mengKhulu'' disyaratkan hal-hal berikut:
1). Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini
karena Khulu' bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya
posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala
dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak
sah, maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.
Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah boleh mengajukan Khulu'? Untuk hal ini ada dua keadaan:
a) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah karena Thalak Raj'i,
maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan Khulu', lantaran wanita
yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i masih dipandang sebagai
isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk mengajukan
Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.
b) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah Thalak Ba'in, maka
tidak diperbolehkan mengajukan Khulu'. Apabila tetap mengajukan, maka
Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah dipandang
sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan pernikahan.
Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat mengajukan
Khulu'' dan Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat dalam
ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, wanita yang sedang dalam
masa Iddah Talak Ba'in diperbolehkan untuk mengajukan Khulu'. Namun,
pendapat pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati kepada kebenaran.
2). Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah
untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk
berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal
dan dapat dipercaya.
Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang yang tidak waras
akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena baik orang gila maupun anak
kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma dan
menggunakan hartanya.
3. 'Iwadh (Uang ganti)
'Iwadh adalah sejumlah harta yang diambil oleh suami dari isterinya
karena si isteri mengajukan Khulu'. Syarat dari iwadh ini hendaknya
harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas kawin. Semua hal yang
dapat dijadikan mas kawin, maka dapat pula dijadikan sebagai Iwadh dalam
Khulu' (ma jaza an yakuna mahran, jaza an yakuna badalal Khulu').
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah dan
Malikiyyah, Khulu' sah meskipun tidak memakai 'iwadh misalnya si isteri
mengatakan: "Khulu'lah saya ini", lalu si suami mengatakan: "Saya telah
mengKhulu' kamu", tanpa menyebutkan adanya iwadh. Di antara alasannya
adalah:
1) Khulu' adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh sebagaimana talak yang tidak memakai iwadh.
2) Pada dasarnya, Khulu' ini terjadi lantaran si isteri sudah sangat
membenci suaminya lantaran perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya
untuk menceraikannya. Ketika si isteri meminta untuk diKhulu', lalu si
suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja meskipun tidak
memakai iwadh.
Sedangkan menurut Madzhab Syafi'i, Dhahiriyyah dan yang lainnya, bahwa
Khulu' tidak sah kecuali harus memakai iwadh. Di antara dalil dan
alasannya adalah:
1) Dalam firmanNya, Allah mengaitkan Khulu' ini dengan tebusan
sebagaimana firmanNya yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 229:
"Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menebus dirinya". Ini menunjukkan bahwa memang Khulu'' itu
harus memakai iwadh.
2) Ketika isteri dari Tsabit bin Qais hendak melakukan Khulu',
Rasulullah saw memintanya untuk mengembalikan kebunnya. Ini sebagai
syarat bahwa Khulu' baru sah manakala memakai iwadh.
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengambil
pendapat kedua bahwa Khulu' hanya sah apabila memakai iwadh. Hal ini
lantaran sepengetahuan penulis tidak ada nash baik dari ayat al-Qur'an
maupun dari hadits yang membolehkan praktek Khulu' tanpa memakai iwadh.
4. Shigat Khulu'
Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga
terjadinya akad Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari salah
satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya. Dengan demikian, Shigat Khulu'
ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab Qabul dalam
Khulu'.
Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi
yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya
boleh dengan isyarat yang dapat dipahami.
Masa Iddah wanita yang mengajukan Khulu' (al-mukhtali'ah)
Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat. Menurut Jumhur
ulama, Iddah wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita
yang ditalak yaitu tiga kali quru', tiga kali haid. Di antara dalilnya
adalah:
1. Khulu' adalah talak dan karenanya masuk ke dalam keumuman ayat berikut ini:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ (البقرة: 228)
Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'" (QS. Al-Baqarah: 228).
2. Khulu' adalah perceraian setelah dukhul, maka Iddahnya adalah tiga kali haid sebagaimana dengan yang selain Khulu'.
3. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن نافع عن ابن عمر قال: ((عدتها أي المختلعة, عدة المطلقة)) [رواه مالك بسند صحيح]
Artinya: Dari Nafi' dari Ibn Umar berkata: "Iddahnya wanita yang
mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak (yaitu tida
kali haid)" (HR. Malik dengan sanad Shahih).
Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat
ini adalah pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn
Taimiyyah dan yang lainnya. Di antara alasannya adalah:
1. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن الربيع بنت معوذ قالت: اختلعت من زوجى ثم جئت عثمان فسألته: ماذا علي من
العدة؟ فقال: ((لا عدة عليك إلا أن تكونى حديثة عهد به فتمكثى حتى تحيضى
حيضة)) [رواه ابن أبي شيبة بسند صحيح]
Artinya: "Dari ar-Rabi' bint Mu'awwadz berkata: "Saya mengajukan Khulu'
dari suami saya. Lalu saya datang kepada Utsman bin Affan sambil
bertanya: "Apa Iddah saya?" Utsman menjawab: "Tidak ada Iddah bagi kamu
kecuali jika kamu tidak menikah lagi dengannya (dengan suaminya itu),
maka tinggallah (ber-Iddahlah) selama satu kali haid)" (HR. Ibn Abi
Syaibah dengan sanad Shahih).
2. Demikian juga dengan riwayat berikut:
ولابي داودوالترمدي, وحسنه:أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل النبي صلى الله عليه وسلم عدتها حيضة [رواه أبو داود بسند حسن]
Artinya: "dan Bagi Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia hasankan, bahwasannya
isteri Tsabit bin Qais mengajukan Khulu'' dari suaminya. Rasulullah saw
lalu menjadikan Iddahnya satu kali haid" (HR. Abu Dawud dengan sanad
Hasan).
3. Ibnu Qayyim dalam hal ini berkata dalam bukunya Zadul Ma'ad (V/197):
"Iddah wanita yang mengajukan Khulu' satu kali haid, ini lebih mendekati
kepada maksud syara. Karena Iddah itu dijadikan tiga kali haid dengan
maksud untuk memperpanjang kesempatan untuk rujuk, sehingga si suami
dapat merujuknya selama masa Iddah tadi. Apabila sudah tidak ada
kesempatan untuk rujuk, maka maksudnya adalah untuk membersihkan rahim
saja (bara'atur rahm) dari kehamilan, dan hal itu cukup dengan satu kali
haid saja".
Kedudukan Khulu’
Jumhur Fuqoha berpendapat bahwa Khulu adalah talak ba’in, karena apabila
suami dapat merujuk istrinya pada masa iddah, maka penebusannya itu
tidak akan berarti lagi. pendapat ini dikemukakan pula oleh imam Malik.
Abu hanifah menyamakan Khulu’ dengan talak dan fasakh secara bersamaan.
Sedangkan imam syafi’I berpendapat bahwa khulu’ adalah Fasakh pendapat
ini juga dikemukakan Ahmad dan Dawud dan sahabat Ibnu Abbas r.a.
Diriwayatkan pula dari syaf’I bahwa khulu itu adalah kata-kata sindiran.
Jadi, jika dengan kata-kata sindiran itu suami menghendaki talak, maka
talakpun jadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh. Tetapi dalam dalam
pendapat barunya (al-qaul al-jadid) ia menyatakan bahwa khulu’ itu
talak.
Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu’ tidak menggunakan kata-kata
talak, maka suami tidak dapat merujuk istrinya, sedang apabila khulu’
tersebut menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya.
Fuqaha yang menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan, bahwa
fasakh itu tidaklain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai
pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal
dari kehendaknya. Sedangkan khulu’ ini berpangkal pada kehendak, oleh
karenya khulu’itu bukan fasakh.
Adapun fuqaha yang tidak menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan
alasan bahwa dalam Al-Qur’an mula-mula Alloh menyebutkan tentang talak:
الطلاق مرتان. (البقرة: ۲۲۹)
Artinya: “talak yang dapat dirujuk itu dua kali”. (Q.S. albaqarah: 2290
Kemudian Alloh menyebutkan tentang tebusan (Khulu’), dan selanjutnya berfirman:
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan
suami yang lain.” (Q.S. Albaqarah : 230).
Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri tidak
halal lagi bagi suami, kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang
lain itu menjadi talak keempat. Mereka berpendapat bahwa fasakh itu
dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan denga fasakh dalam
jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri.
Jadi jelaslah bahwa Khulu’ Adalah Fasakh, Bukan Talak, Jika seorang
isteri telah menebus dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa
penuh atas dirinya sendiri, sehingga suaminya tidak berhak untuk rujuk
kepadanya, kecuali dengan ridhanya dan perpecahan tidak dianggap sebagai
talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia adalah
perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan
menebus dirinya kepada suaminya.
Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’
bukan talak adalah bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang
berlaku pada talak terhadap (isteri) yang telah dikumpuli jika talak
tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada
khulu’. Pertama: Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam
masa iddah. Kedua: Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi
talak ketiga, isteri tidak halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin lagi
dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya. Ketiga: Iddah yang
berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).
Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan
ijma’ (kesepatakan) bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’.
Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat bahwa
iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh. Demikian pula telah sah juga
berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua
dan talak ketiga. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah
talak. Oleh sebab itu Allah SWT menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk)
dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan Cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik dan tidak halal bagi kamu mengambil
kembali dari sesuatu yang pernah kami berikan pada mereka kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat mejalangkan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).
Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali,
karena hal ini ia mencakup isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh
dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang tidak disebutkan
dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas
akan tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan
sebelumnya atau meliputi juga selain yang sudah disebutkan sebelumnya.
Kemudian Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah
talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.”
(Al-Baqarah:230).
Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan
setelah dicerai, dua kali secara qath’i (pasti) karena dialah yang
disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di khulu’) harus
masuk ke dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami
Imam Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah
saw. agar Allah mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul,
tanpa keraguan. Manakala hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan
dengan hukum-hukum talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya
berlainan. Jadi inilah yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan
dengan pendapat para shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).