Perkawinan dalam Islam adl sesuatu ikatan yg kuat & perjanjian yg
teguh yg ditegakkan di atas landasan niat utk bergaul antara
suami-isteri dgn abadi, supaya dpt memetik buah kejiwaan yg telah
digariskan Allah dalam al-Quran, yaitu ketenteraman, kecintaan &
kasih sayang. Sedang tujuannya yg bersifat duniawi yaitu demi
berkembangnya keturunan & kelangsungan jenis manusia. Seperti yg
diterangkan Allah dalam al-Quran:
وَاللّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ
أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ
أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
Allah telah menjadikan jodoh utk kamu dari jenismu sendiri, & Ia
menjadikan utk kamu dari perjodohanmu itu anak-anak & cucu. (Al
Qur’an Surat: An-Nahl: 72)
Kita sering mendengar seorang perempuan yang mengidap penyakit kemaluan
semacam spilis atau lainnya. Itu bukan suatu yang mustahil terjadi, kita
tidak mengatakannya karena terjerumus kedalam lembah hitam pelacuran,
karena hal itu sangat jauh untuk dilakukan oleh mereka meskipun tidak
mustahil. Akan tetapi hal ini terjadi disebabkan praktek nikah mut’ah
atau nikah kontrak yang sesungguhnya telah dilarang dalam syari’at
Islam. Yang mana nikah model ini membuat seorang wanita boleh bergonta
ganti pasangan dalam nikah mut’ahnya.
Adapun kawin mut’ah adl ikatan seorang laki-laki dgn seorang perempuan
dalam batas waktu tertentu dgn upah tertentu pula. Oleh karena itu tdk
mungkin perkawinan semacam ini dpt menghasilkan arti yg kami sebutkan di
atas. Kawin mut’ah ini pernah diperkenankan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebelum stabilnya syariah Islamiah, yaitu
diperkenankannya ketika dalam bepergian & peperangan, kemudian
diharamkannya utk selama-lamanya.
DEFINISI NIKAH MUT'AH
Yang dimaksud nikah mut'ah adalah, seseorang menikah dengan seorang
wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya,
berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah
selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan
tanpa warisan.
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa
harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar
(upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau
kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan
ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada
nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra`
(yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita
biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan
tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.
Jadi, rukun nikah mut'ah -menurut Syiah Imamiah- ada tiga :
1. Shighat, seperti ucapan : "aku nikahi engkau”, atau “aku mut'ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4. Jangka waktu tertentu.
Syiah menyatakan kalau nikah mut’ah dihalalkan dan terdapat ayat Al
Qur’an yang menyebutkannya yaitu An Nisaa’ ayat 24. Salafy yang suka
sekali mengatakan nikah mut’ah sebagai zina berusaha menolak klaim
Syiah. Mereka mengatakan ayat tersebut bukan tentang nikah mut’ah.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ
تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا
اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan [diharamkan juga kamu mengawini] wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian
[yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk
berzina. Maka wanita [istri] yang telah kamu nikmati [istamta’tum] di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban
dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana [An Nisaa’ ayat 24]
حدثنا ابن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن أبي مسلمة عن
أبي نضرة قال قرأت هذه الآية على ابن عباس “ فما استمتعتم به منهن ” قال
ابن عباس “ إلى أجل مسمى ” قال قلت ما أقرؤها كذلك! قال والله لأنزلها الله
كذلك! ثلاث مرات
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Maslamah dari Abi Nadhrah yang
berkata : aku membacakan ayat ini kepada Ibnu Abbas “maka wanita yang
kamu nikmati [istamta’tum]”, Ibnu Abbas berkata “sampai batas waktu
tertentu”. Aku berkata “aku tidak membacanya seperti itu”. Ibnu Abbas
berkata “demi Allah, Allah telah mewahyukannya seperti itu” [ia
mengulangnya tiga kali] [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin
Abdul Muhsin At Turqiy]
Riwayat ini sanadnya shahih. Para perawinya tsiqat atau terpercaya.
Riwayat ini juga disebutkan Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 2 no 3192
dan Ibnu Abi Dawud dalam Al Masahif no 185 semuanya dengan jalan dari
Syu’bah dari Abu Maslamah dari Abu Nadhrah dari Ibnu Abbas.
NIKAH MUT'AH PADA MASA PENSYARIATAN, ANTARA BOLEH DAN LARANGAN
Nikah mut'ah, pada awal Islam -saat kondisi darurat- diperbolehkan, kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat.
Di antara hadits yang menyebutkan dibolehkannya nikah mut'ah pada awal Islam ialah :
عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ
رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي
قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ
إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ
عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا
مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً " .
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya ia
bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:
"Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian
melakukan mut'ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai
sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa
yang telah diberikan”.
وَ عَنْهُ قَالَ : أَََمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ
نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا
Dari beliau, juga berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk mut'ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika
kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mengharamkannya atas kami".
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
Dari Salamah bin Akwa` Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mut'ah
selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang
Hunain), kemudian beliau melarang kami".
Muncul pertanyaan, semenjak kapan Islam melarang mut'ah? Untuk
menjawabnya, kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini
terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mut'ah
berbeda-beda.
Berikut kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mut'ah, sesuai dengan urutan waktunya.
1. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mut'ah dimulai ketika perang Khaibar (Muharram 7H).
2. Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3. Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu.
Berikut ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.
• Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mut'ah dimulai pada umrah
Qadha, perang Tabuk dan Haji Wada' tidak lepas dari kritikan, dan tidak
dapat dijadikan pegangan.
Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman
mut'ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang
Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut :
Riwayat pengharaman nikah mut'ah pada masa perang Khaibar :
عَنْ مُحّمَّد بنِ عَلي أََنَّ عَليِاًّ رضى الله عنه قاَلَ لِابْنِ
عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : إِنَّ النَِّي صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ
الْمُتْعَة ِوَ عِنْ لُحُوْمِ الْأَهْليِة ِزَمَنَ خَيْبَرَ
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin
Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas
Radhiyalahu 'anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang mut'ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.
Riwayat pengharaman nikah mut'ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu
riwayat dari Rabi' bin Sabrah Radhiyallahu 'anhu, bahwa ayahnya
berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada
penaklukkan kota Mekkah. Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami diperbolehkan untuk
mut'ah. Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku
mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih
mendekati jelek. Setiap kami membawa sal, salku jelek, sedangkan sal
anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki
Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan,
panjang lehernya semampai. Kami berkata,”Apakah engkau mau bermut'ah
dengan salah seorang dari kami?" Dia berkata,”Dengan apa kalian bayar?”
Maka setiap kami membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan
sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia
jelek, sedangkan salku baru, mengkilap". Dia berucap,"Salnya tidak
apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku melakukan mut'ah dengannya. Belum
usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mengharamkannya.
Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mut'ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin al Akwa`.
• Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.
Pertama : Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan, bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat
Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan,
karena beliau berucap kepada Ibnu 'Abbas jauh setelah kejadian.
Seharusnya ucapan beliau, "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut'ah".
Dengan demikian, larangan mut'ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara
tegas waktu Khaibar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Para ulama berselisih, apakah mut'ah
dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan
hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu
Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu
'Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang
mut'ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk
memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu
'Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali
kepada dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna".
Sedangkan riwayat pengharaman mut'ah pada perang Awthas atau Hunain,
yaitu hadits Salamah bin Akwa`. Berhubung perang Awthas dan tahun
penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama
menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
Kedua : Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mut'ah,
bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali.
Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan
tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"Tidak ada keraguan lagi, mut'ah
diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia
dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian
dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan
pengharaman berlaku terjadi beberapa kali."
Al Qurthubi berkata,"Telah berkata Ibnul 'Arabi,'Adapun mut'ah, maka ia
termasuk salah satu keunikan syari'ah; karena mut'ah diperbolehkan pada
awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan
lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung
pengharaman. Dan mut'ah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya,
kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua
kali, kemudian baru hukumnya stabil'."
Bahkan sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang mut'ah,
mereka mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali
pelarangan.
Kesimpulan Dari Pembahasan Di Atas.
Pertama : Telah terjadi perselisihan tentang waktu pengharaman. Ibnul
Qayyim rahimahullah menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa
pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Mekkah.
Kedua : Bagaimanapun perselisihan ini tidak mengusik haramnya nikah
mut'ah; karena, sekalipun terjadi perselisihan, akan tetapi telah
terjadi kesapakatan Ahlus Sunnah tentang haramnya.
Al Qurthubi berkata,”Pengharaman mut'ah telah berlaku stabil. Dan
dinukilkan dari Ibnul 'Arabi, bahwa tekah terjadi Ijma' (kesepakatan)
atas pengharamannya (yaitu ijma` Ahlus Sunnah yang datang kemudian,
wallahu a`lam, Pen)."
HUKUM ISLAM TENTANG Haramnya NIKAH MUT'AH
Nikah mut'ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma', dan secara akal.
• Dari al Qur`an :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari
yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
[al Maarij : 29-31]
Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan
hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan
wanita mut'ah, bukanlah istri dan bukan pula budak.
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن
بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ
أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ
نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ
الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain,
karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang
memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil
laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri
dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina),
maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang
takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu,
dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut'ah diperbolehkan,
maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang
kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar
untuk tidak menikah. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah
mut'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman "karena itu kawinilah
mereka dengan seizin tuan mereka". Sebagaimana diketahui, bahwa nikah
seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan,
yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut'ah, tidak
mensyariatkan demikian.
• Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut'ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut'ah.
Di antara pernyataan tersebut ialah :
1. Perkataan Ibnul 'Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2. Imam Thahawi berkata,"Umar telah melarang mut'ah di hadapan para
sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini
menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang.
Dan juga bukti Ijma' mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum
tersebut telah dihapus.
3. Qadhi Iyadh berkata,"Telah terjadi Ijma' dari seluruh ulama atas
pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi'ah, Pen)".
4. Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris
menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin.), kecuali dari
sebagian Syi'ah”.
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :
1. Sesungguhnya nikah mut'ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah
diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka
ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
2. 'Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada
masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka
tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat 'Umar tersebut
salah.
3. Haramnya nikah mut'ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya;
a. Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut'ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
b. Disia-siakannya anak hasil mut'ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c. Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.
SEPUTAR IJTIHAD IBNU ABBAS RADHIYALLAHU 'ANHU DALAM MASALAH MUT'AH
Dalam permasalahan ini, Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu mempunyai tiga pendapat.
• Membolehkannya secara mutlak.
Disebutkan dari 'Atha`, beliau mendengar Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berpendapat bahwa nikah mut'ah boleh
• Membolehkannya dalam keadaan darurat. Riwayat ini yang termasyhur dari beliau.
Di antaranya riwayat dari Ubaidillah: "Bahwa Abdullah bin Abbas berfatwa
tentang mut'ah. Para ahli ilmu mencelanya karenanya, akan tetapi beliau
tidak bergeming dari pendapatnya, hingga para ahli syair melantunkan
syair tentang fatwanya :
Wahai kawan, kenapa engkau tidak melakukan fatwa Ibnu 'Abbas?
Apakah engkau tidak mau dengan si perawan sintal, dan seterusnya …
Maka berkatalah Ibnu Abbas: “Bukan itu yang aku maksud, dan bukan begitu
yang aku fatwakan. Sesungguhnya mut'ah tidak halal, kecuali bagi yang
terpaksa. Ketahuilah, bahwa ia tidak ubahnya seperti makan bangkai,
darah dan daging babi”.
• Melarangnya secara mutlak, akan tetapi riwayat ini lemah.
TANGGAPAN ULAMA TENTANG FATWA IBNU ABBAS RADHIYALLAHU A'NHU
• Tanggapan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Salim budak Ibnu 'Umar, ia berkata :
Dikatakan kepada Ibnu Umar: "Ibnu Abbas memberi keringanan terhadap
mut'ah". Beliau (Ibnu 'Umar,) berkata,"Aku tidak percaya Ibnu Abbas
mengucapkan itu." Mereka berkata,"Benar, demi Allah, beliau telah
mengucapkannya,” lalu Ibnu Umar berkata,"Demi Allah, dia tidak akan
berani mengucapkan itu pada masa Umar. Jika dia hidup, tentu dia hukum
setiap yang melakukannya. Aku tidak mengetahuinya, kecuali (mut'ah, Red)
itu perbuatan zina."
• Khattabi berkata,"Ibnu Abbas membolehkannya bagi orang yang terdesak,
karena lamanya membujang, kurangnya kemampuan. Lalu beliau berhenti dari
fatwa tersebut (yaitu rujuk)." Hal yang sama juga disampaikan oleh
Ibnul Qayyim.
• Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,"Kalangan ulama menilai fatwa Ibnu Abbas
dalam masalah mut'ah merupakan satu-satunya fatwa yang mengatakan
boleh."
Nikah Mut’ah Menurut Para Ulama
Berdasarkan hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H)
mengatakan: “Nikah mut’ah ini bathil menurut madzhab kami. Demikian pula
Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H) mengatakan: “Tidak boleh nikah
yang bersifat sementara, yaitu nikah mut’ah”.
Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) mengatakan :
“hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah mencapai peringkat
mutawatir” Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) mengatakan :
“Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka
nikahnya batil.”
Dari Madzhab Syafi’, Imam Syafi’i (wafat 204 H) mengatakan : “Nikah yang
dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki
kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari
atau satu bulan.” Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) mengatakan :
“Nikah mut’ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya
adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi
dengan waktu.”
Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) mengatakan :
“Nikah Mut’ah ini adalah nikah yang bathil.” Ibnu Qudamah juga menukil
pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah
mut’ah adalah haram.
Ibnu Qudamah:
نِكَاحُ اْمُتْعَةِ اَنْ يَتَزَوَّجَ اْلمَرْأَةَمُدَّةً, مِثْلُ اَنْ
يَقُوْلَ زَوَّجْتُكَ ابْنَتِى شَهْرًا اَوْسَنَةً اَوْاِلى انْقِضَاءِ
اْمُوْسِمِ اَوْقُدُوْمِ اْلحَاجِّ وَشِبْهِهِ سَوَاءٌ كَانَتِ اْلمُدَّةُ
مَعْلُوْمَةً اَوْ مَجْهُوْلَةً.
Artinya: “nikah mut’ah adalah adanya seseorang mengawini wanita (dengan
terikat) hanya waktu yang tertentu saja; misalnya (seorang wali)
mengatakan: saya mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau
setahun, atau sampai habis musim ini, atau sampai berakhir perjalan haji
ini dan sebagainya. Sama halnya dengan waktu yang telah ditentukan atau
yang belum.
Sayyid Saabiq mengatakan:
نِكَاحُ اْلمُتْعَةِ: اَنْ يَعْقِدَ الرَّجُلُ عَلَى اْلمَرْأَةِ يَوْمً
اَوْ اُسْبُوْعًااَوْشَهْرًا. وَيُسَمّى بِالْمُتْعَةِ: لِاَنَّ الرَّجُلَ
يَنْتْفِعُ وَيَتَبَلَّغُ بِالزَّوَاجِ وَيَتَمَتَّعُ اِلَى اْلاَجْلِ
الَّذِىْ وَقَّتَهُ.
Artinya: “perkawinan mut’ah adalah adanya seseorang pria mengawini
wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut’ah
karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan
melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang
telah ditentukannya.
Bertolak dari definisi di atas, maka pengertian nikah mutah adalah suatu
ikatan perkawinan yang terikat dengan waktu tertentu, sehingga bila
waktu tersebut sudah habis.
Maka Untuk menentukan status hukum tentang nikah mut’ah maka dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam pendapat; yaitu:
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Al-Laits dan Imam
al-Auzaa’iy mengatakan; “Perkawinan mut’ah itu hukumnya haram”.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa Hadits yang antara lain berbunyi:
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ حَرَّمَ اْلمُتْعَلةَ
فَقَالَ: يَااَيُّهَ النَّاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذَّنْتُ لَكُمْ فِى
الْاِسْتِمْتَاعِ, اَلاَوَاِنَّ اللهَ قَدْحَرَّمَهَا اِلَل ىَوْمِ
الْقِيَامِةِ. رواه ابن ماجه.
Artinya: “bahwasanya Rasulullah SAW mengharamkan kawin mut’ah, maka ia
berkata: hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu sekalian
kawin mut’ah. Maka sekarang ketahuilah, bahwa Allah mengharamkannya
sampai hari kiamat”. (H.R. Ibnu Majjah).
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ
النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لحُوُمِ اْلحُرُوْمِ اْلاَهْلِيَّةِ
(رواه النسائى
Artinya: “bahwasanya Rasulullah SAW telah melarang perkawinan mut’ah
terhadap wanita pada peperangan Khaibar dan (melarang pula) makan daging
keledai peliharaan”. (H.R. An-Nasaa’i)
Dampak negatif dan positif adanya kawin kontrak.
1. Dampak Positif.
Selain dampak negatif, nikah mut’ah pun ternyata juga mempunyai dampak
postif. Dampak positifnya adalah memerlukan seseorang, karena ia
khawatir terjerumus ke dalam fitnah dan salah satu cara pemeliharaan
diri dari zina dan perbuatan keji, hal ini adalah pendapat Jumhur ulama,
sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab Al-Mughni, yaitu
Muwaffiquddin Ibnu Qudamah Rahimahullah.
2. Dampak negatif.
a. Kawin kontrak merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum wanita. Jadi pihak wanita sangat dirugikan.
b. Kawin kontrak mengganggu keharmonisan keluarga dan meresahkan masyarakat.
c. Kawin kontrak berakibat menelantarkan generasi yang dihasilkan oleh perkawinan itu.
d. Kawin kontrak bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan No.1/1974 pasal 1 dan 2.
e. Kawin kontrak dicurigai dapat menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin.
f. Kawin kontrak sangat potensial untuk merusak kepribadian dan budaya luhur bangsa Indonesia.
Takhtimah
Nikah mut’ah adalah satu ikatan pernikahan yang dibatasi oleh waktu
tertentu. Artinya jika waktu yang disepakati telah habis maka secara
otomatis ikatan tersebut terputus atau berakhir tanpa ada lafadz talaq.
Ikatan tersebut tidak mewajibkan memberi nafkah dan tempat tinggal dan
tidak ada saling mewarisi jika salah satunya meninggal sebelum selesai
masa kotrak. Atau dengan bahasa sederhananya adalah nikah mut’ah adalah
kawin kontrak.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam,
tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi
dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:
وَالصَّوَاب الْمُخْتَار أَنَّ التَّحْرِيم وَالْإِبَاحَة كَانَا
مَرَّتَيْنِ، وَكَانَتْ حَلَالًا قَبْل خَيْبَر ، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْم
خَيْبَر، ثُمَّ أُبِيحَتْ يَوْم فَتْح مَكَّة وَهُوَ يَوْم أَوْطَاس،
لِاتِّصَالِهِمَا، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْمئِذٍ بَعْد ثَلَاثَة أَيَّام
تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا إِلَى يَوْم الْقِيَامَة، وَاسْتَمَرَّ التَّحْرِيم
“Yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah
dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan
sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar.
Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari
perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai
hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena
ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para
sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu
masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar
jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika
itu.
Dalil dari Hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa:
3496 – وَحَدَّثَنِى سَلَمَةَ بْنُ شَبِيبٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ
أَعْيَنَ حَدَّثَنَا مَعْقِلٌ عَنِ ابْنِ أَبِى عَبْلَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ
عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِىُّ
عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ
الْمُتْعَةِ وَقَالَ « أَلاَ إِنَّهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كَانَ أَعْطَى شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ ».
صحيح مسلم – (ج 4 / ص 134)
Dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani, ia berkata: Kami bersama Nabi Muhammad
SAW dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama
saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami
mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang)
yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: Ada
selimut seperti selimut._ Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya
satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjid Al-Haram, dan
tiba-tiba aku melihat Nabi SAW sedang berpidato di antara pintu Ka’bah
dan Hijir Ismail. Beliau bersabda: Wahai sekalian manusia, Aku pernah
mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang
siapa yang mempunyai istri dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia
menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya
janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah Azza wa Jalla telah
mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat._
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim
(II/ 1024), Imam Abu Dawud dalam kitabnya Sunan Abi Dawud (II/ 226,
2072), Imam Ibnu Majah dalam kitabnya Sunan Ibnu Majah (I/ 631), Imam
al-Nasa’i dalam kitabnya _Sunan al-Nasa’i (VI/ 1303), Imam al- Darimi
dalam kitabnya _Sunan al-Darimi (II/ 140) dan Imam Ibnu Syahin dalam
kitabnya _al- Nasikh wa al- Mansukh min al-Hadits hal 215).
Dalil Hadits lainnya:
4825 – حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ
أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا
أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ
وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ صحيح البخاري –
(ج 5 / ص 1966)
Dari Ali bin Abi Tholib r.a. ia berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa
Nabi Muhammad SAW melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak
pada waktu perang Khaibar.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (Ibnu hajar al-Asqolani,
_Fath al- Bari, IX/71), Imam al- Tirmidzi (al-Mubarokafuri, Tuhfah
al-Ahwadzi, IV/225), Imam Malik bin Anas dalam kitabnya al-Muwatta’,
(I/427), Imam Ibni Hibban (Ibn Balban, Shahih Ibn Hibban bi Tartib Ibn
Balban IX/ 448, 450), Imam al-Baihaqi dalam kitabnya _al-Sunan
al-Kubra_, VII/ 327), Imam al-Daruqutni dalam kitabnya _Sunan
al-Daruqutni_, III/ 141) dan Imam Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya
_al-Kitab al- Mushannaf III/ 147).
Kawin kontrak merupakan pernikahan yang dilarang dalam Islam. Jadi harus
ditemukan jalan keluar untuk mencegah maraknya kawin kontrak. Solusinya
adalah dengan mengadakan seminar dan penyuluhan tentang hukum kawin
kontak serta menjelaskan sebab akibat dari kawin kontak. Dengan tujuan
masyarakat sadar bahwa sebuah perkawinan merupakan bagian hidup yang
sakral.
Demikian permasalahan nikah mut'ah, atau padanan dalam bahasa kita
dikenal dengan istilah kawin kontrak. Tak diragukan lagi, bahwa
Rasulullah telah mengharamkan praktek nikah mut'ah ini. Islam menutup
sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor dan menjijikan. Islam
mengharamkan perzinaan yang berbalutkan pernikahan, atau pelacuran
menggunakan baju kehormatan
Semoga Kita Semua Dijauhkan Dari Perbuatan Keji Dan Mungkar