Kalau kita pengin tahu tentang apa yang akan terjadi di kehidupan kita
yang akan datang, bagaimana hidup kita 10 tahun yang akan datang, kapan
kita akan menikah dan mempunyai anak. Nggak perlu repot-repot pergi ke
dukun, atau peramal. Nggak perlu juga terjaga semalaman buat bertapa di
tengah gunung yang dingin. Nggak perlu juga menyediakan macam-macam
makanan dan bunga 7 rupa untuk kemudian ditaruh di bawah pohon besar.
Nggak perlu melakukan itu semua. Karena apapun yang kita dapat dari
kegiatan itu semua sangat tidak akurat. Ketika ramalan bintang
mengatakan minggu ini kita akan mendapat rejeki yang melimpah, dijamin
selama seminggu dompet kita nggak akan kosong, lalu kita tidak melakukan
action terbaik dan hanya berharap, maka kita tidak akan mendapatkan
apa-apa. Boro-boro dompet bisa terisi penuh, terisi koin pun nggak akan.
Ada satu kitab yang sangat akurat, kalau kita bisa mengintipnya,
dijamin apa yang tertulis disana adalah sesuatu yang PASTI. Nama kitab
itu adalah Lauhul Mahfuz.
Namun siapa sangka, dari 'lembar-lembar' catatan nasib kita di Lauhul
Mahfudz ada beberapa ruang kerja yang memang dipersiapkan untuk kita
sendiri untuk kita tulis apapun sesuka hati. Kita bebas 'berekspresi'
menuliskan takdir kita sendiri di lembar kosong di kehidupan ini.
Tak hanya itu, saking Maha Pemurah lagi Bijaksananya Allah, takdir yang
sebelumnya telah ditulis di sana (Lauhul Mahfudz) pun dapat kita
rewrite. Coba kita cermati dhawuh-nya Rasulullah SAW ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرُدُّ
الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا
الْبِرُّ. رواه الترمذي
"Tidak ada yang dapat menolak Qodlo' (ketentuan) Allah selain do'a. Dan
tidak ada yang dapat menambah umur selain (perbuatan) baik." (HR
Tirmidzi)
Dari situ kita akan tahu bahwa sebenarnya Qodlo' (ketentuan) Allah SWT
itu memungkinkan untuk diubah sendiri oleh kita dengan doa, jatah umur
pun yang sudah ditulis di Lauhul Mahfudz dapat dihapus kemudian ditulis
ulang dengan perbuatan baik. Perbuatan baik ini bisa dalam bentuk
shodaqoh, menebar kedamaian antar umat beragama, membantu lapangan
pekerjaan bagi pengangguran dan masih banyak lagi perbuatan baik yang
tentunya tidak mungkin saya tulis seluruhnya.
Benar, Allah Ta’ala telah menentukan takdir seluruh makhluk, baik berupa kematian, rezeki, jodoh bahkan masuk neraka atau surga.
Semuanya sudah tercatat di Al Lauh Al Mahfuzh, hal ini berdasarkan
beberapa dalil, baik dari Al Quran Al Karim atau Sunnah yang shahih.
Dalil dari Al Quran:
{ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ} [الحج: 70]
Artinya: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lohmahfuz) Sesungguhnya yang
demikian itu amat mudah bagi Allah”.
{إِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ
وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ} [يس: 12]
Artinya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami
menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang
nyata (Al Lauh Al Mahfuz)”. QS. Yasiin: 12.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
أي: جميع الكائنات مكتوب في كتاب مسطور مضبوط في لوح محفوظ، والإمام المبين
هاهنا هو أم الكتاب. قاله مجاهد، وقتادة، وعبد الرحمن بن زيد بن أسلم،
Artinya: “Maksudnya adalah seluruh yang terjadi telah tertulis di dalam
Kitab, tertulis dan tersebut di dalam Al Lauh Al Mahfuzh, dan Al Imam Al
Mubin di sini maksudnya adalah induknya kitab (Ummu Al Kitab),
sebagaimana yang dinyatakan oleh Mujahid, Qatadah, Abdurrahman bin Zaid
bin Aslamrahimahumullah”. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 6/568.
Berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah:
والمقصود أن قوله وكل شيء أحصيناه في إمام مبين وهو اللوح المحفوظ وهو أم
الكتاب وهو الذكر الذي كتب فيه كل شيء يتضمن كتابة أعمال العباد قبل أن
يعملوها
Artinya: “Maksud dari Firman Allah وكل شيء أحصيناه في إمام مبين adalah
Al lauh Al Mahfuzh dan ia adalah Ummu Al Kitab dan ia juga yang disebut
dengan Adz Dzikr yang telah ditulis di dalamnya segala sesuatu yang
mencakup penulisan amalan-amalan seluruh hamba sebelum mereka
melakukannya”. Lihat kitab Syifa Al ‘Alil, hal. 40.
{وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ
مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا
يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا
يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ} [الأنعام: 59]
Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada
yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam
kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Al Lauh Al Mahfuz)”. QS. Al An’am: 59.
{ قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى (51) قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ
رَبِّي فِي كِتَابٍ لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى (52)} [طه: 51
-52]}
Artinya: “Berkata Firaun: "Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang
dahulu?". “Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku,
di dalam sebuah kitab, Rabb kami tidak akan salah dan tidak (pula)
lupa”. QS. Thaha: 51-52.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ
الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ
أَلْفَ سَنَةٍ - قَالَ - وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ»
Artinya: “Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Aku
telah mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah
telah menuliskan takdir makhluk-makhluk 50 ribu tahun sebelum
menciptakan langit dan bumi dan Asy-Nya di atas air”. HR. Muslim.
عَنْ عَلِىٍّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلاَّ
وَقَدْ كَتَبَ اللَّهُ مَكَانَهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ»
Artinya: “Ali radhiyallahu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Tidak ada seorangpun dari kalian, tidak seorang
jiwapun melainkan telah dituliskan Allah tempatnya di surga dan neraka”.
HR. Bukhari dan Muslim.
Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ إِلاَّ وَقَدْ عُلِمَ مَنْزِلُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ».
Artinya: “Tidak seorangpun kecuali sudah ditentukan tempatnya dari surga dan neraka”. HR. Muslim.
Lalu kalau sudah ditentukan kenapa harus beramal dan berusaha?
Atau pertanyaan lain, kalau sudah ditentukan bagaimana seorang muslim menyikapinya?
Maka perhatikan beberapa hal berikut …
1. Sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada kita agar kita beramal, berusaha mencari jalan yang
diridhai Allah Ta’ala dengan petunjuk dari Allah Ta’ala yang dicontohkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena segala sesuatu
dimudahkan untuk apa yang telah ditakdirkan atasnya.
عَنْ عَلِىٍّ - رضى الله عنه - قَالَ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه
وسلم - فِى جَنَازَةٍ فَأَخَذَ شَيْئًا فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِ الأَرْضَ
فَقَالَ « مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ
النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ قَالَ « اعْمَلُوا
فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ
السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا مَنْ
كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ » .
ثُمَّ قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى
) الآيَةَ .
Artinya: “Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasalllam pada sebuah jenazah, lalu beliau berdiam
sejenak, kemudian beliau menusuk-nusuk tanah, lalu bersabda:“Tidak ada
seorangpun dari kalian melainkan telah dituliskan tempatnya dari neraka
dan tempatnya dari surga”. Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah,
kenapa kita tidak bersandar atas takdir kita dan meninggalkan amal?”,
beliau menajwab: “Beramallah kalian, karena setiap sesuatu dimudahkan
atas apa yang telah diciptakan untuknya, siapa yang termasuk orang yang
ditakdirkan bahagia, maka akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan
penghuni surga, adapun siapa yang ditakdirkan termasuk dari dari orang
yang ditkadirkan sengsara, maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan
amalan penghuni neraka”. Kemudian beliau membaca ayat:
{فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (5) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (6) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (7)} [الليل: 5 - 7]
Artinya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
bertakwa”. “Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)”. “Maka
Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. QS. Al Lail: 5-7.
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
وفي هذه الأحاديث النهي عن ترك العمل والاتكال على ما سبق به القدر بل تجب
الأعمال والتكاليف التي ورد الشرع بها وكل ميسر لما خلق له لا يقدر على
غيره.
Artinya: “Di dalam hadits-hadits ini terdapat larangan untuk
meninggalkan amal dan bersandar dengan apa yang telah ditakdirkan, akan
tetapi wajib beramal dan mengerjakan beban yang disebutkan oleh syariat,
dan setiap sesuatu dimudahkan untuk apa yang telah diciptakan untuknya,
yang tidak ditakdirkan atas selainnya”. Lihat kitab Al Minhaj, Syarah
Shahih Muslim., 16/196.
2. Ketahuilah kehidupan dunia diciptakan Allah untuk suatu hikmah yaitu menguji siapa yang beriman dan tidak.
Allah Ta’ala berfirman:
{الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ } [الملك: 2]
Artinya: “(Dia Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun”. QS. Al Mulk: 2.
Kehidupan dunia ini adalah lahan ujian, dimana Allah menguji
hamba-hamba-Nya dengan diutusnya para Rasul-Nya ‘alaihimussalam dan
diturunkannya kitab-kitab-Nya, siapa yang beriman kepada para Rasul dan
mengamalkan apa yang ada di dalam kitab-kitab tersebut, maka dia akan
menjadi penghuni surga yang diliputi dengan kebahagiaan dan siapa yang
tidak beriman kepada para Rasul‘alaihimussalam, lalu akhirnya tidak
mengerjakan apa yang ada di dalam kitab-kitab tersebut maka dia akan
menjadi penghuni neraka dengan segala macam kesengsaraan di dalamnya.
Sebagian manusia sering bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan di atas
dan tidak bertanya tentang rezeki yang berbeda-beda, padahal
permasalahan di atas dan permasalahan rezeki satu sisi yang sama, yaitu
hal ini adalah sesuatu yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh para
makhluk dan hanya Allah yang mengetahui apa yang akan terjadi.
Maka wajib bagi kita untuk yakin dengan hikmah dan keadilan Allah
Ta’ala, yaitu bahwa Dia tidak akan menyiksa seseorang tanpa dosa yang
berhak atasnya untuk disiksa, itupun Allah telah memaafkan dari
kebanyakan kesalahan kita.
Dan prinsipnya, adalah kita harus menerima terhadap perkara yang telah
ditetapkan oleh Allah, baik yang bisa dirasiokan oleh akal kita atau
tidak bisa, karena pemahaman kita yang sangat pendek, dan kelemahan
serta kekurangan ada pada kita, bukan pada hikmah Allah Ta’ala, bahkan
Allah Maha Suci tidak boleh ditanya apa yang Dia perbuat.
Allah Ta’ala berfirman:
{لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} [الأنبياء: 23]
Artinya: “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai”. QS. Al Anbiya’: 23.
3. Jangan terlalu banyak bertanya dan menyibukkan diri dengan sejenis pertanyaan ini.
Jangan menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, karena
akan sangat berpengaruh buruk kepada keimanannya sedikit-semi sedikit,
perlahan-lahan.
Tetapi, yang harus kita imani adalah bahwa Allah telah:
1. Mengetahui seluruh takdir makhluk dengan ilmunya
2. Menuliskan takdir seluruh makhluk
3. Menghendaki seluruh yang terjadi
4. Menciptakan apapun yang terjadi.
Inilah yang diwajibkan atas seorang muslim mengimaninya.
Adapun hal yang dibelakang ini, sebagaimana yang disebut oleh sebagian
ulama “Sirrul Qadar” (rahasia takdir), maka tidak boleh terlalu
membebani diri dalam pencariannya, inilah maksud dari perkataan Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika seseorang bertanya kepada beliau
tentang takdir:
عبد الملك بن هارون بن عنترة ، عن أبيه ، عن جده قال : أتى رجل علي بن أبي
طالب رضي الله عنه فقال : أخبرني عن القدر ، ؟ قال : « طريق مظلم ، فلا
تسلكه» قال : أخبرني عن القدر ؟ قال : بحر عميق فلا تلجه « قال : أخبرني عن
القدر ؟ قال : » سر الله فلا تكلفه
Abdul Malik bin harun bin ‘Antharah mendapatkan riwayat dari bapaknya
dari kakeknya, beliau berkata: “Seseorang mendatangi Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu, lalu bertanya: “Beritahukan kepadaku tentang
takdir?”, beliau menjawab: “Jalan yang gelap janganlah engkau jalani”,
orang ini mengulangi pertanyaannya, dijawab oleh beliau: “Laut yang
dalam maka janganlah engkau menyelam ke dalamnya”, orang ini mengulangi
pertanyaannya, beliau menjawab: “Rahasia Allah maka jangan engkau
membebani dirimu”. Lihat kitab Asy Syari’ah, karya Al Ajurry, 1/476.
Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa
keimanan terhadap takdir harus mencakup empat prinsip. Keempat prinsip
ini harus diimani oleh setiap muslim.
Pertama: Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang
azali dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang
kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu
perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun perbuatan makhluknya.
Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.
Kedua: Mengimanai bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz
catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun
yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.
Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ
ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {70}
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu
terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian
itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj:70).
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ
مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا
وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي
كِتَابٍ مًّبِينٍ {59}
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).
Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi”
Ketiga: Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik
yang terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil,
baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit
maupun di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak AllahTa’ala, baik itu
perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.
Keempat: Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan
segala sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi.
Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta
sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan
Allah.
Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ {62} لَّهُ
مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِئَايَاتِ
اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ {63}
“.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.
Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan
orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah
orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-63)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُونَ {96}
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96).
Antara Kehendak Makhluk dan Kehendak-Nya
Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak
dan kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini karena dalil syariat dan
realita yang ada menunjukkan bahwa manusia masih memiliki kehendak untuk
melakukan sesuatu.
Dalil dari syariat, Allah Ta’ala telah berfirman tentang kehendak makhluk,
ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَآءَ اتَّخَذَ إِلىَ رَبِّهِ مَئَابًا {39}
“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki,
niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An Nabaa’:39)
نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ… {223}
“Isteri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. …”(Al Baqoroh:223)
Adapun tentang kemampuan makhluk Allah menjelaskan,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا
خَيْرًا لأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ {16}
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah
serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan
barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun :16)
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ رَبَّنَا …{286}
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….”(QS. Al Baqoroh:286)
Sedangkan realita yang ada menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui
bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan
kemampuannya, dia melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia juga bisa
membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti
berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa kehendaknya, (seperti
gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan makhluk itu
terjadi dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la karena Allah
berfirman,
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29).
Dan karena semuanya adalah milik Allah maka tidak ada satu pun dari
milik-Nya itu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh-Nya.
Macam-Macam Takdir
Pembaca yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa takdir ada beberapa macam:
[1] Takdir Azali. Yakni ketetapan Allah sebelum penciptaan langit dan
bumi ketika Allah Ta’ala menciptakan qolam (pena). Allah berfirman,
قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلاَّ مَاكَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ {51}
“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang
telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya
kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At
Taubah:51)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ
الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ
أَلْفَ سَنَةٍ - قَالَ - وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ»
Artinya: “Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Aku
telah mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah
telah menuliskan takdir makhluk-makhluk 50 ribu tahun sebelum
menciptakan langit dan bumi dan Asy-Nya di atas air”. HR. Muslim.
[2] Takdir Kitaabah. Yakni pencatatan perjanjian ketika manusia ditanya
oleh Allah:”Bukankah Aku Tuhan kalian?”. Allah Ta’ala berfirman,
} وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى
شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا
غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ
وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ
الْمُبْطِلُونَ {173}
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: “Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)”. atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua
kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah
anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau
akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?”
(QS. Al A’raaf 172-173).
[3] Takdir ‘Umri. Yakni ketetapan Allah ketika penciptaan nutfah di
dalam rahim, telah ditentukan jenis kelaminnya, ajal, amal, susah
senangnya, dan rizkinya. Semuanya telah ditetapkan, tidak akan bertambah
dan tidak berkurang. Allah Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِناَّ
خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ
مِن مُضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ
وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَانَشَآءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ
نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أُشُدَّكُمْ وَمِنكُم مَّن
يُتَوَفَّى وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلاَ
يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى اْلأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ
أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ
زَوْجٍ بَهِيجٍ {5}
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur),
maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari
segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar
Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah
kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula)
di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu
lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di
atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al Hajj:5)
[5] Takdir Hauli. Yakni takdir yang Allah tetapkan pada malam lailatul
qadar, Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi dalam satu tahun.
Allah berfirman,
حم {1} وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ {2} إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ
مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ {3} فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ
حَكِيمٍ {4} أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ {5}
“Haa miim . Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah
yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang
penuh hikmah , (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya
Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul” (QS. Ad Dukhaan:1-5)
[5] Takdir Yaumi. Yakni pnentuan terjadinya takdir pada waktu yang telah ditakdirkan sbelumnya. Allah berfirman,
يَسْئَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ {29}
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap
waktu Dia dalam kesibukan . “ (QS. Ar Rahmaan: 29). Ibnu Jarir
meriwayatkan dari Munib bin Abdillah bin Munib Al Azdiy dari bapaknya
berkata, “Rasulullah membaca firman Allah “ Setiap waktu Dia dalam
kesibukan”, maka kami bertanya: Wahai Rasulullah apakah kesibukan yang
dimaksud?. Rasulullah bersabda :” Allah mengampuni dosa, menghilangkan
kesusahan, dan meninggikan suara serta merendahkan suara yang lain”[7]
Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir
Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami
Al Qur’an dan As Sunnah, Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah
menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang
akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut,
semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.
Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, mereka
bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain
melampaui batas. Kelompok Qodariyyah, mereka mengingkari adanya takdir.
Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut
mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang
menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap
amal hamba.
Kelompok yang lain adalah yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan
takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan
dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam
perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan
semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam
perbuatannya.
Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahai takdir sebagaimana
ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya firman Allah ‘Azza wa
Jalla,
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At Takwiir:28-29)
Pada ayat (yang artinya), “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang
menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena
pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini
bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa
tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya),
وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.”
Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa
kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba tanpa
sesuai dengan kehendak Allah karena Allah mengaitkan kehendak hamba
dengan kehendak-Nya.
Takdir Baik dan Takdir Buruk
Takdir terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir
yang baik sudah jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir
yang buruk? Apakah berarti Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal
ini kita perlu memahami antara takdir yang merupakan perbuatan Allah dan
dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir disifati buruk, maka
yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan
takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada satu pun
perbuatan Allah yang buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung kebaikan
dan hikmah. Jadi keburukan yang dimaksud ditinjau dari sesuatu yang
ditakdirkan/hasil perbuatan, bukan ditinjau dari perbuatan Allah. Untuk
lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut.
Seseorang yang terkena kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang
membutuhkan tindakan amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah
penyebaran kanker tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah
sesuatu yang buruk. Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi
(pemotongan kaki) adalah perbuatan yang baik. Walaupun hasil
perbuatannya buruk (yakni terpotongnya kaki), namun tindakan amputasi
adalah perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita memahami takdir
yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun
terkadang hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambanya.
Namun yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang
di satu sisi buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain.
Allah Ta’ala berfirman :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي
النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
{41}
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
(QS. Ar Ruum:41).
Kerusakan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena
itu, keburukan yang terjadi dalam takdir bukanlah keburukan yang hakiki,
karena terkadang akan menimbulkan hasil akhir berupa kebaikan.
Bersemangatlah Dalam Berusaha, Jangan Hanya Bersandar Pada Takdir
Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir.
Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali.
Sunngguh, ini adalah kesalahan yang nyata. Bukankah Allah juga
memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap
malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang
tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena
semuanya sudah merupakan ketetapan Allah. Oleh karena itu, Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ
أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا.
وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ
عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah
pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah,
maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan
demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir
Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena
perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon."
Faedah Penting
Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya sebagai berikut :
Pertama: Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab,
dan tidak bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu
tergantung pada takdir Allah.
Kedua: Seseorang tidak sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai
tujuannya, karena keberhasilan yang ia dapatkan merupakan nikmat dari
Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan yang memang telah
ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman terhadap dirinya sendiri akan
melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.
Ketiga: Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir Allah yang
menimpa dirinya, sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya sesuatu yang
dicintainya atau ketika mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Sebab
semuanya itu terjadi dengan ketentuan Allah. Allah berfirman,
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي
كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ
{22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ
ءَاتَاكُمْ …{23}
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. Al
Hadiid:22-23).
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda