حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، قَالَ:
حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ، أُتِيتُ
بِقَدَحِ لَبَنٍ، فَشَرِبْتُ حَتَّى إِنِّي لَأَرَى الرِّيَّ يَخْرُجُ فِي
أَظْفَارِي، ثُمَّ أَعْطَيْتُ فَضْلِي عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ» قَالُوا:
فَمَا أَوَّلْتَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «العِلْمَ»
انظر أيضا حديث رقم 7006، 7007، 7027، 7032
وانظر أيضا صحيح مسلم حديث رقم 2391
[Imam Bukhari berkata]: telah menceritakan kepada kami Sa’id bin
‘Ufair, ia berkata: telah menceritakan kepadaku Al-Laits, ia berkata:
telah menceritakan kepadaku ‘Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Hamzah bin
Abdullah bin ‘Umar, bahwasanya Ibnu Umar berkata: Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “Pada suatu kali, selagi saya tidur, tiba-tiba
saya diberi satu gelas susu, lalu aku meminumnya sampai segar, sungguh,
aku melihat kesegaran itu mengalir keluar melalui kuku-kuku-ku, kemudian
aku berikan sisanya kepada Umar bin Al-Khaththab”. Mereka (para
sahabat) bertanya: “Apa tafsiran engkau terhadap mimpi itu wahai
Rasulullah SAW? Rasulullah SAW bersabda: “Ilmu”.
Lihat pula hadits ini pada Shahih Bukhari di no. 7006, 7007, 7027, 7032.
Lihat pula di Shahih Muslim hadits no. 2391.
Ada banyak pelajaran dari hadits Nabi Muhammad SAW ini, di antaranya:
1. Rasulullah SAW telah meminum air susu sehingga beliau merasakan
badannya begitu segar, sampai-sampai kesegaran itu dapat beliau lihat
mengalir dan menjalar sampai ke kuku-kuku beliau SAW, dan bahkan
kesegaran itu memancar keluar dari kuku-kuku tersebut.
2. Air susu satu gelas yang beliau minum dalam mimpi itu beliau
tafsirkan sebagai ilmu. Artinya, diri beliau SAW telah terisi dengan
ilmu, sehingga ilmu itu telah merasuk begitu merata ke sekujur tubuh
beliau, sebagaimana mengalirnya rasa segar tersebut.
3. Susu yang terlihat dalam mimpi ditafsirkan sebagai ilmu, sebab
sama-sama memberi manfaat, dan sama-sama memberi nutrisi; air susu
memberi nutrisi bagi tubuh, dan ilmu memberi nutrisi bagi akal.
4. Ada satu hal yang lebih menarik lagi, yaitu, Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani, salah seorang pen-syarah Shahih Bukhari yang paling
masyhur, memaknai “ilmu” itu sebagai “ilmu politik” yang dipergunakan
oleh Umar bin Al-Khaththab RA untuk menyiasati dan menata masyarakat dan
rakyatnya, sehingga di zamannya, masyarakat dan rakyatnya:
Aman,
Tidak terjadi kekacauan dan perpecahan,
Semuanya tunduk dan taat kepada kepemimpinannya.
5. Kenapa “ilmu politik” itu diberikan kepada Umar? Sebab:
Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA memerintah sebagai khalifah sangat pendek
dan singkat, sehingga aspek penerapan “ilmu politik” itu belum kelihatan
secara gamblang.
Bukan pula diberikan kepada khalifah Utsman bin Affan RA yang masa
memerintahnya lebih panjang dari Umar, sebab, di akhir masa Utsman,
terjadi “kekacauan” dan “perpecahan”, bahkan sampai ke tingkat
terbunuhnya beliau RA sebagai seorang khalifah yang syahid.
Bukan pula diberikan kepada Ali bin Abi Thalib RA, sebab di zamannya,
“kekacauan” dan “perpecahan” lebih berat daripada di zaman Utsman RA.
Kaum sekuler –baik Barat maupun Timur- tidak akan ada kata henti
menyerukan manusia; jauhkan agama dari politik, jauhkan Islam dari
Negara. Seruan ini, bukan barang baru, dalam sejarah keagamaan dia
memiliki akar dalam ‘kesucian’ teks agama Nasrani. Dalam Bible
disebutkan: “Berikan Hak Kaisar kepada Kaisar dan berikan hak Tuhan
kepada Tuhan.” Inilah pemisahan ekstrim antara keterkaitan kekuasaan dan
agama, tetapi bukan dari Islam, bukan dari Allah dan RasulNya, tidak
dikenal oleh para sahabat, dan asing dalam seluruh literatur mu’tabarah
para ulama dan sejarawan Islam.
Tahun terus berjalan, abad berganti abad, upaya mereka untuk memadamkan
agama Allah Ta’ala dengan mulut-mulut mereka terus bergulir, dengan
wajah dan pakaian baru tetapi isinya sama. Tetapi selalu ada pada tubuh
umat ini segolongan manusia yang membendung mereka, melucuti kebohongan
dan meruntuhkan semua bangunan argumen yang mereka dirikan. Hingga agama
ini tetap menduduki haknya sebagai penguasa dan pengelola dunia ini.
Allah Ta’ala berfirman:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka,
tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir
membencinya.” (QS. Ash Shaf (61): 8)
Kekuasaan Adalah Warisan Allah Kepada Orang Mukmin
Tidak bisa dibenarkan klaim sebagian manusia -sayangnya mereka dikenal
sebagai ‘tokoh Islam’ yang berada dalam komunitas Jam’iyyah Islamiyah-
yang mengatakan Islam tidak pernah mengurus negara dan politik. Tidak
ada daulah dalam Islam. Ini jelas syubhat sekularisme yang mereka
dapatkan melalui pendidikan dan interaksi akademis yang bebas nilai.
Banyak sekali ayat-ayat yang menjadi dalil wajibnya berdiri Daulah Islamiyah. Allah Ta’ala berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
(QS. An Nuur (24): 55)
FirmanNya yang lain:
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ
الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al Hajj (22): 41)
FirmanNya yang lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي
الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى
بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ
بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ
رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih.” (QS. Al Baqarah (2): 178)
FirmanNya yang lain:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa (4): 58-59)
Ayat-ayat ini menuntut didirikan Daulah Islamiyah, bagaimana bisa amanat
dan pesan agung yang ada pada ayat-ayat ini bisa berjalan secara utuh
dan sempurna tanpa adanya negara yang menerapkan dan menjaganya?
Perhatikan ayat 58, objek pembicaraan pada ayat ini adalah pemerintah
dan penguasa, di mana mereka diperintahkan untuk memelihara amanah yang
dibebankan kepadanya dan menetapkan hukum secara adil. Lalu pada ayat
59, objek pembicaraannya adalah rakyat yang beriman. Mereka harus taat
kepada Ulil Amri yang berasal dari mereka sendiri dengan syarat Ulil
Amri tersebut telah mentaati Allah dan RasulNya. Mereka pun menjadikan
ketaatan kepada Ulil Amri, adalah tahapan lanjutan dari ketaatan kepada
Allah dan RasulNya. Selain itu, mereka juga diharuskan meredam
perselisihan dengan cara mengembalikannya kepada konstitusi syar’i,
yakni kepada Allah dan RasulNya yakni Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menjalankan semua ini, agar berjalan
sempurna dan utuh, tentu melazimkan adanya pada sebuah Negara, tidak
hanya sekadar kehidupan individu.
Oleh karena itu, surat An Nisa ayat 58-59 ini telah dijadikan landasan
utama oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menulis kitabnya As
Siyasah Asy Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah.
Dalam Al Quran masih banyak ayat-ayat yang membahas tema-tema sosial,
politik, ekonomi, perjuangan, dan militer. Ayat-ayat ini telah menjadi
perhatian khusus para imam kaum muslimin. Mereka menamakannya dengan
ayatul ahkam (ayat-ayat hukum). Tak kurang dari Imam Asy Syafi’i, Imam
Al Jashash, dan Imam Ibnul ‘Arabi membuat kitab tafsir khusus membahas
ayat-ayat hukum, dengan judul yang sama: Ahkamul Quran. Ulama
kontemporer juga ada yang melakukannya yakni Syaikh Prof. Dr. Ali Ash
Shabuni menyusun kitab Rawa’i Al Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam minal
Quran.
Pengabaran As Sunnah
Banyak sekali hadits shahih -puluhan bahkan ratusan- yang membahas
tentang khalifah, kekuasaan kepemimpinan, bai’at, pengadilan, dan
karakteristik pemimpin. Juga dibahas tentang cara menasihati mereka,
bermusyawarah dengan mereka, serta menyikapi mereka baik yang adil
maupun yang zhalim. Pemimpin seperti apa yang layak ditaati dan yang
bagaimana yang tidak boleh ditaati. Juga, hak dan kewajiban mereka,
Para imam ahli hadits pun telah membuat pembahasan dalam kitab mereka
bab khusus tentang kepemimpinan dan hak-hak yang terkait dengan wewenang
pemimpin. Imam Bukhari dalam Jami’ush Shahih-nya membuat Kitab Al
Hudud, Kitab Ad Diyat, juga Kitab Al Ahkam yang membuat bab-bab tentang
Al Imamah dan Al Imarah (kepemimpinan). Begitu pula Imam Muslim, dalam
kitab Jami’ush Shahih-nya membuat Kitab Al Imarah, juga Kitab Al Hudud,
dan Al Qasamah wal Muharibin wal Qishash wal Diyat. Hal sama dilakukan
juga para pengarang kitab Sunan.
Fakta ilmiyah ini merupakan jawaban atas tudingan sebagian pihak yang
mengatakan bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki akar yuridis dalam
Islam. Bagaimana bisa mereka mengatakan demikian padahal As Sunnah
adalah salah satu dasar yuridis Islam, dan telah begitu banyak As Sunnah
membicarakan kepemimpinan, kekuasaan khilafah, bai’at, dan pembahasan
lain yang terkait.
Contoh hadits berikut:
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا خرج ثلاثةٌ في سفرٍ فليؤَمِّروا أحدهم
“Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka
menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Daud No. 2608. Syaikh Al Albani
mengatakan hasan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2608)
Jika urusan safar saja Islam ikut mengambil bagian untuk menetapkan
adanya pemimpin, maka tidak syak lagi bagi urusan yang lebih urgen dan
besar dari itu seperti kenegaraan. Maka, adalah hal yang mustahil Islam
luput dari hal-hal besar seperti politik dan Negara.
Hadits lain:
الامام ظل الله في الارض
“Pemimpin adalah naungan Allah di muka bumi.” (HR. Ahmad dan Ath
Thabarani, Al Haitsami mengatakan para perawi Ahmad adalah tsiqat. Lihat
Majma’ Az Zawaid, 5/215)
Hadits ini menunjukkan posisi penting kepemimpinan dalam pandangan
Islam. Maka, bagaimana mungkin mereka mengatakan Islam sama sekali tidak
pernah bicara kekuasaan?
Fakta Warisan Pemikiran Islam
Tema tentang kepemimpinan, kekuasaan, dan apa-apa yang menjadi tautannya
seperti hudud, bai’at, diyat, pengadilan, dan lainnya. Telah
dibicarakan para ulama Islam sejak masa-masa awal hingga zaman modern.
Baik pembahasan yang includedengan kajian fiqih lainnya, atau pembahasan
khusus pada kitab khusus pula.
Tidak pernah sepi di kolong langit ini para ulama yang mengkaji
permasalahan kepemimpinan, kenegaraan, pidana, dan politik Islam. Imam
Abul Hasan Al Mawardi menyusun kitab Al Ahkam As Sulthaniyah
(Hukum-hukum Kekuasaan). Begitu pula Imam Abu Ya’ala dengan judul yang
sama. Imam Al Haramain menyusun kitab Al Ghiyats. Imam Ibnu Taimiyah
menyusun kitab As Siyasah Asy Syar’iyyah. Sedangkan muridnya, Imam Ibnul
Qayyim menyusun kitab Ath Thuruq Al Hukmiyah (metode-metode
pemerintahan). Imam As Suyuthi menyusun kitab Al Asathin fi ‘Adamil
Muji’ As Salathin. Ibnu Syidad menyusun kitab An Nawadir As Sulthaniyah,
lain sebagainya.
Fakta ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dengan Negara
dan politik. Adanya karya-karya ini serta perhatian para sarjana muslim
sejak masa klasik membuktikan bahwa memang keterkaitan antara Islam dan
Negara adalah memang wujud (ada). Sebab, adalah hal mustahil para imam
ini membicarakan sesuatu yang sia-sia, yang tidak pernah terjadi dalam
Islam dan dunianya. Dia dibicarakan karena dia ada. Hakikat ini sangat
jelas bagi orang-orang yang berakal.
Fakta Sejarah Kepemimpinan Islam
Sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dilanjutkan
para khalifah yang empat, lalu dilanjutkan oleh para khilafah dinasti,
hingga berakhirnya khilafah Turki Utsmani tahun 1924M, dan pada masa itu
selalu ada ulama Islam yang memberikan sumbangan pemikiran untuk
kemakmuran Negara, adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah bahwa
agama ini sangat perhatian dengan masalah kepemimpinan, kekuasaan,
wilayahnya, serta negara. Ini juga menunjukkan, tidak mungkin selama
belasan abad lamanya umat Islam dan para ulamanya melakukan kesalahan
langkah karena ‘mencampurkan’ agama dan Negara, apalagi disebut tidak
memiliki akar sejarah dan teologis.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن الله لا يجمع أمتي أو قال أمة محمد صلى الله عليه وسلم على ضلالة ويد الله مع الجماعة
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengumpulkan umatku – atau Beliau bersabda:
Umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- di atas kesesatan, dan
tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2167)
Seringkali kaum sekuler dan liberal menjadikan sejarah hitam kekuasaan
Islam sebagai bukti untuk memperkuat hawa nafsu mereka. Mereka
membeberkan adanya konflik, bahkan pertumpahan darah pada sebagian
masa-masa khilafah Islamiyah. Pandangan mereka sama sekali tidak bisa
dibenarkan. Peristiwa-peristiwa yang dilahirkan dari kejahatan manusia,
serta kepentingan duniawi pelakunya, sama sekali bukanlah noda serta
bukan pula alasan untuk menafikan nilai dan bangunan sistem yang ada.
Perilaku konflik mereka hendaknya disandarkan sebagai sikap dan perilaku
pribadi manusianya, bukan karena nilai yang dianut dan yang berlaku
saat itu. Lalu, kenapa mereka tidak berkaca pada fakta sejarah
kegemilangan Khalifah yang empat dan Umar bin Abdul Aziz? Apa yang
membuat mereka menutup mata terhadap fragmen yang lain? Jika bukan
kebodohan dan mata kebencian terhadap Islam, nama apalagi yang cocok
buat sikap mereka ini?!
Selain itu, kaum sekuler juga membangun argumentasi mereka dengan dasar
pobhia negara teokrasi a la Barat. Mereka menyangka jika Islam dijadikan
dasar pemerintahan kekuasaan dan hukum-hukumnya, akan mengulangi
kekuasaan kaum gerejani di Eropa yang absolute. Kekuasaan yang selalu
mengatasnamakan semua perbuatan dan keputusan pemimpin berasal dari
Tuhan. Sehingga, tidak ada celah untuk bertanya ‘mengapa?’, lebih-lebih
mengatakan ‘tidak!’. Pemikiran dan ketakutan mereka ini sangat rapuh,
bodoh, dan tidak sesuai fakta sejarah kepemimpinan rahmatan lil
‘Alamin-nya Islam. Dan, Islam sendiri menolak sistem Teokrasi, yang
memposisikan suara pemimpin adalah suara Tuhan.
Tidak cukup dengan itu, mereka juga sok membela agama dengan mengatakan
agama adalah sakral dan suci yang tidak selayaknya dicampuradukkan ke
dunia politik dan kekuasaan yang penuh intrik dan hawa nafsu. Ini juga
pemikiran yang dibangun bukan berdasarkan nilai-nilai Islam yang utuh
dan menyeluruh dan menafikan sikap Islam terhadap politik, melainkan
berdasarkan asumsi dan kasus manusia yang mereka lihat saja.
Jahatnya lagi adalah mereka tidak pernah mempermasalahkan lahirnya
Negara sosialis, komunis, kapitalis, serta Negara Kristen vatikan, Hindu
India, dan Yahudi Israel. Semua ini bebas hidup dan menghirup udara
segar di alam demokrasi versi mereka. Tetapi, tangan mereka terkepal,
bom mereka siap diluncurkan, serta syubuhat pemikiran pun
dipublikasikan, ketika berhadapan dengan ide dan gagasan Negara Islam.
Padahal baru sekadar gagasan!
Fakta sejarah bahwa Islam senantiasa ada dalam panggung kekuasaan juga
telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ
يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثَمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ
عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ
ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً
عَاضًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً جَبْرِيًّا فَتَكُوْنُ
مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ
يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ.
ثُمَّ سَكَتَ
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yg Allah kehendaki Allah
mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada
masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian
Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg
sangat kuat selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila
Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan selama yg Allah kehendaki
kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi
masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.”
(HR. Ahmad No. 17680. Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya tsiqat. Lihat Majma’ Az Zawaid 5/188-189)
Sebagai mukmin kita akan meyakini sign dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ini. Dan, sebagai seorang yang berilmu kita telah
menunjukkan fakta-fakta sejarah, serta nilai-nilai yuridis teologis
bahwa memang Islam dan Kekuasaan adalah senyawa tak terpisah sejak awal
lahirnya hingga berakhirnya dunia.
Ayat Qur'an Dan Hadits Tentang Kepemimpinan;
Kekuasaan Pemimpin
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ
الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء
بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: ”Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan
dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS. Al-'Imran (3):26)
Ketaatan Kepada Pemimpin
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ
الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS.An-Nisa (4):59)
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ
فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ وَكَانُوا
لَنَا عَابِدِينَ
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka
mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan
hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, (QS. Al-Anbiya (21):73)
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar . Dan adalah mereka
meyakini ayat-ayat Kami. (QS. As-Sajdah (32) :24)
Pemimpin yang Beriman dan Bertakwa
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ بِطَانَةً مِّن
دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّواْ مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ
الْبَغْضَاء مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ
بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh
telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
(QS. Al-'Imran (3) :118).
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ
عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً
إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka) . Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya , maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisaa’: 34)
Hadits tentang pemimpin dan tanggungjawab atas apa yang dipimpinannya.
Setiap orang dari kita adalah pemimpin, dan setiap kita akan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا
وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ
سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Dari Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad, beliau telah bersabda, “Setiap orang
dari kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungan jawab terhadap apa yang di pimpinnya. Seorang raja adalah
pemimpin bagi rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungan jawab atas
apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi anggota
keluarganya dan ia akan dimintai pertanggunganjawab atas apa yang
dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga suami dan
anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang
dipimpinnya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin bagi harta tuannya dan
ia akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya.
Ketahuilah bahwa setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR
Muslim 6/8)
Hadits tentang orang yang diberi jabatan, kemudian ia membebankan (menyusahkan) atau bersikap lembut.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ
أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ
أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ
هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ
لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ
فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ
النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي
مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي
هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ
عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا
فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ
Dari Abdurrahman bin Syumasah, dia berkata, “Saya pernah menemui Aisyah
untuk menanyakan sesuatu kepadanya.” Kemudian ia -Aisyah binti Abu
Bakar- bertanya kepada saya, “Siapakah kamu?” Saya menjawab, “Saya
adalah seorang lelaki dari negeri Mesir.” Lalu ia bertanya lagi kepada
saya, “Bagaimanakah sikap pemimpin negerimu di sana?” Saya menjawab,
“Menurut hemat saya, kami semua menyukainya. Ia sangat baik hati dan
dermawan. Apabila ada seseorang di antara kami yang untanya mati, maka
ia pun akan menggantinya dengan unta yang lain. Begitu pula halnya
apabila ada seseorang di antara kami yang budaknya meninggal dunia, maka
ia pun akan menggantinya dengan budak yang lain. Bahkan, ia tidak
segan-segan untuk memberikan bantuan kepada rakyat yang membutuhkannya,”
Aisyah berkata, “Sungguh saya tidak peduli terhadap apa yang telah
dilakukan kepada Muhammad bin Abu Bakar, saudaraku sendiri. Tetapi, di
sini, saya hanya hendak memberitahukan sesuatu yang pernah saya dengar
langsung dari Rasulullah kepadamu. Pada suatu ketika, beliau pernah
berdoa di dalam rumah saya ini, “Ya Allah, barang siapa yang menjadi
pemimpin umatku dalam suatu hal, lalu ia menyusahkan mereka, maka
balaslah perbuatannya itu dengan kesusahan. Dan barang siapa yang
menjadi pemimpin umatku dalam suatu hal, lalu ia bersikap lembut
terhadap mereka, maka berikanlah kelembutan (kasih sayang) kepadanya”
(HR Muslim 6/7)
Hadits tentang pengkhiaanatan para pemimpin.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَذَكَرَ الْغُلُولَ فَعَظَّمَهُ
وَعَظَّمَ أَمْرَهُ ثُمَّ قَالَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ يَقُولُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ
لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ
فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ
لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ
يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ يَقُولُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ
أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
عَلَى رَقَبَتِهِ نَفْسٌ لَهَا صِيَاحٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا
أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ
رِقَاعٌ تَخْفِقُ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا
أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ
يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ فَيَقُولُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ
أَبْلَغْتُكَ
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Rasulullah hadir di
tengah-tengah kami. Setelah itu beliau menyinggung dan menerangkan
tentang nasib buruk orang-orang yang suka menipu dan berkhianat dengan
sangat serius. Beliau berkata, ‘Pada hari kiamat kelak, aku akan
mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa seekor
unta yang sedang melenguh di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru,
“Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku
tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku
sampaikan kepadamu” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah
seorang di antara kalian datang dengan membawa seekor kuda yang
meringkik di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah,
tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab seruannya, “Aku tidak
mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku
sampaikan kepadamu.’” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah
seorang di antara kalian datang dengan membawa seekor kambing yang
sedang mengembik di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya
Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak
mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku
sampaikan kepadamu.” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah
seorang di antara kalian datang dengan membawa seorang manusia yang
sedang menjerit di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya
Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak
mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku
sampaikan kepadamu”Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah
seorang di antara kalian datang dengan membawa sehelai pakaian yang
compang-camping di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya
Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak
mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku
sampaikan kepadamu.” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah
seorang di antara kalian datang dengan membawa harta yang berlimpah
berupa emas dan perak di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya
Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak
mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku
sampaikan kepadamu.’” (HR Muslim 6/10)
Hadits tentang taat kepada para pemimpin, meskipun mereka tidak memberikan hak.
عن وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ
الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ
يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا
فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي
الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ
وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا
وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا
الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَقَالَ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا
فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
Dari Wa’il Al Hadhrami, dia berkata, “Salama bin Yazid al-Ju’fi pernah
bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, bagaimana menurut
pendapat engkau jika ada para pemimpin di tengah-tengah kami yang selalu
menuntut haknya kepada kami, tetapi mereka sendiri enggan untuk
memberikan hak kami yang ada pada mereka. Apakah yang akan engkau
perintahkan kepada kami saat itu?” Ternyata, setelah mendengar
pertanyaan tersebut, Rasulullah malah berpaling darinya. Bahkan ketika
pertanyaan itu diulang sampai tiga kali, beliau masih tetap saja terdiam
dan tidak memberikan komentarnya. Setelah didesak oleh Asy’ats bin
Qais, akhirnya beliau menjawab pertanyaan tersebut dan bersabda, “Kalian
harus tetap patuh dan taat. Karena, bagaimanapun, mereka akan
menanggung perbuatan mereka sendiri dan kalian juga akan menanggung
perbuatan kalian sendiri.” Dalam satu riwayat Wa’il berkata, “Al Asy’ats
mendesaknya, maka Rasulullah bersabda, ‘Taatilah dan patuhilah,
sesungguhnya atas mereka apa yang telah mereka perbuat dan atas kamu apa
yang telah kamu perbuat.’ (HR Muslim 6/19)
Sejarah telah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang
diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah SAW
adalah persoalan politik atau yang biasa disebut persoalan al-Imamah
(kepemimpinan). Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan
diangkatnya Abu Bakar (w. 13 H/634 M) sebagai khalifah, namun dalam
waktu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali dalam
lingkungan umat Islam. Kalau pada pertama kalinya, perselisihan yang
terjadi adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, maka pada kali ini
perselisihan yang terjadi adalah antara khalifah Ali bin Abi Thalib (w.
41 H/661 M) dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan (w. 64 H/689 M) dan berakhir
dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Mu`awiyah sebagai
khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.
Mencuatnya persoalan-persoalan tersebut dikarenakan al-Qur`an maupun
al-Hadis sebagai sumber hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara
pasti mengenai sistem pemerintahan dalam Islam, konsepsi kekuasaan dan
kedaulatan serta ide-ide tentang konstitusi.
Term bahasa Arab yang secara eksplisit bermakna negara atau pemerintahan
(Daulah dan Hukumah) tidak pernah disebut-sebut oleh al-Qur`an dengan
pasti. Selain itu Nabi sendiri tidak memberikan konsep pemerintahan yang
baku dan mapan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan memiliki
peluang yang besar untuk dikembangkan. Demikian pula bentuk negara dalam
Islam bukan merupakan hal yang essensial, karena yang essensial adalah
unsur-unsur, sendi-sendi, dan prinsip-prinsip dalam menjalankan
pemerintahan.
Perkembangan yang baru, terjadi dalam abad XIX akibat terjadinya kontak
peradaban dengan dunia Barat. Kaum pembaru dalam dunia Islam berusaha
melakukan pembaruan dengan menerapkan nilai-nilai Barat atau dengan
menggali dan mengkaji ulang ajaran-ajaran Islam ataupun dengan memadu
kedua unsur-unsur tersebut. Gerakan pembaruan ini berdampak antara lain
dalam kehidupan politik. Kerajaan Turki Usmani yang dipandang sebagai
khilafah dan pemerintahan Islam sedunia tidak dapat mempertahankan
eksistensinya, ia dibubarkan pada bulan Maret 1924 setelah pembentukan
Negara nasional sekuler Republik Turki tanggal 29 Oktober 1923. Dengan
demikian institusi yang dipandang sebagai lambang supremasi politik
Islam telah lenyap.
Pemikiran politik sesungguhnya telah dikenal oleh sejarah sejak zaman
Yunani kuno. Karya-karya besar sebagai perintis telah ditulis misalnya
buku The Republic karya Plato (428/7-348/7 SM) dan buku Politics dari
Aristoteles (384-322 SM). Kedua karya ini kemudian terlihat mempengaruhi
pemikiran filosof muslim seperti al-Farabi (260-339 H/870-950 M), Ibnu
Sina (370-428 H/980-1037 M), Ibnu Bajah (w. 1138 M), dan Ibnu Rusyd
(520-595 H/1126-1198 M). Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa
pemikiran politik yang berkembang dalam dunia Islam hanya diilhami oleh
pemikiran Barat, sebab sebelum munculnya kaum filosof muslim tersebut
pemikiran politik telah dikenal dalam lingkungan fuqaha seperti Abu
Hanifah (80-150 H/699-769 M) dan Abu Yusuf (l. 117 H/731 M). Demikian
pula dalam karya Imam Syafi`i (150-204 H), pemikiran politik dapat
ditemukan, hanya saja sebagai faqih, pemikiran mereka bersifat
legalistik normatif karena berakar pada teks-teks al-Qur`an dan Sunnah.
Namun memasuki abad V H, pemikiran legalistik normatif ini mengambil
pula unsur kesejarahan seperti yang tampak dalam karya Ali bin Muhammad
al-Mawardi (w. 450 H) dan al-Farra (w. 458 M). Pemikiran yang legalistik
tetapi memiliki dasar filsafat moral terlihat dalam karya Imam
al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) dan pemikiran sosiologis historis
dikemukakan oleh Abd al-Rahman bin Khaldun (732-808 H/1332-1406 M).
Kemunduran kerajaan-kerajaan besar Islam dalam abad XVIII membangunkan
dunia Islam untuk mengamati dan mempelajari kekalahannya dan mencari
pemecahan masalah yang dihadapi. Kerajaan Turki Usmani mencoba mengambil
peradaban Barat yang lebih maju terutama dalam bidang teknik dan
kemiliteran. Sedang di India tampil Ahmad Syah Waliyullah bin Abd
al-Rahman al-Dahlawi (1703-1762 M) mengemukakan gagasan agar sistem
pemerintahan yang telah dikembangkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun (para
khalifah yang mendapat petunjuk).
Pemikiran politik yang berkembang dalam dua abad berikutnya bercabang
dari dua pola pemikiran di atas. Pengambilan dan penerapan nilai-nilai
kebudayaan Barat (Westernisasi) dapat dibedakan atas bentuk ekstrem dan
bentuk moderat. Westernisasi ekstrem terlihat dalam Kemalism (Aliran
Kemalis, Kemalisme) yang berhasil mendirikan Republik Turki (1923 M) dan
membebaskan segala institusi politik dari kekuasaan agama. Sedangkan
Westernisasi moderat terlihat dalam pemikiran kelompok Turki Muda,
khususnya pada tokoh-tokoh seperti Ahmad Riza (1859-1931 M) dan Pangeran
Sahabuddin (1877-1948 M). Mereka ingin menerapkan nilai-nilai
kebudayaan Barat yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam
seperti ajaran konstitusi dan ajaran mengenai pengembangan kemampuan
berdiri sendiri. Pada sisi lain aliran yang bertumpu pada ajaran Islam
dapat pula dibedakan atas pemikiran yang ingin mengembalikan ajaran
Islam yang bersumber al-Qur`an dan Sunnah dan yang bersumber dari fiqih
para imam madzhab dan para mujtahid pengikut mereka dan pemikiran yang
bermaksud mengembangkan konsepsi-konsepsi dari al-Qur`an dan Sunnah.
Aliran pertama yang dapat disebut sebagai aliran tradisional dalam
konteks pembaharuan di Turki terlihat dalam pemikiran Nemik Kemal
(1840-1888 M). Meskipun ia menghendaki pembaruan, tetapi ia tetap
mempertahankan tradisi-tradisi yang ada. Aliran kedua yang dapat disebut
dengan meminjam istilah Linguistik sebagai “Puritanisme”, atau
mempertahankan kemurnian. Jamal al-Din al-Afghani (1839-1877 M) yang
menjadi pelopor Pan Islamisme adalah contoh pemikir puritanisme dari
kalangan pembaru di Mesir.
Takhtimah
تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ
يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثَمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ
عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ
ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً
عَاضًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً جَبْرِيًّا فَتَكُوْنُ
مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ
يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ.
ثُمَّ سَكَتَ
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yg Allah kehendaki Allah
mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada
masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian
Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg
sangat kuat selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila
Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan selama yg Allah kehendaki
kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi
masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.”
Dalam hadits di atas sangat jelas bahwa khilafah di atas manhaj nubuwwah
merupakan suatu karunia Allah semata. tdk seorang muslim pun yg beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya kecuali pasti dia akan mengharapkan terwujud
khilafah tersebut. Rasulullah dgn tegas mengatakan bahwa hal itu pasti
terjadi pada umat ini. Janji ini telah teralisasi pada masa generasi
terbaik umat ini dan Allah tetap menjanjikan kepada umat ini akan
terwujud kembali khilafah tersebut di tengah-tengah mereka jika memang
syarat-syarat telah dipenuhi sebagaimana firman-Nya:
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِي لاَ
يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُوْنَ
“Allah telah berjanji kepada orang2 yg beriman di antara kalian dan
mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang2 yg
sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka
agama yg telah diridhai-Nya utk mereka dan Dia dia benar-benar akan
menggantikan kondisi mereka setelah mereka berada dlm ketakutan menjadi
aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dgn tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yg kafir sesudah itu mk
mereka itulah orang2 yg fasiq.”
Barangsiapa yg ingin mengetahui bagaimana gambaran Khilafah ‘ala
Manhajin Nubuwwah mk hendak dia melihat pada daulah yg dipimpin oleh
Rasulullah dan para Khulafa`ur Rasyidin sepeninggal beliau.. Diperangi
segala bentuk bid’ah baik dalam akidah ibadah maupun muamalah.
Dite-gakkan syariat Islam oleh tiap muslim sebelum ditegakkan oleh
pemerintahnya. Kondisi masyarakat senantiasa mengutamakan dan
mementingkan ilmu syar’i jauh dari kungkungan filsafat dan pengagungan
rasio. Masyarakat taat dan patuh kepada pemerintah serta menegakkan
jihad syar’i bersama pemerintah.