Secara istilah fiqih Islam ijtihad adalah mengerahkan kemampuan untuk
melakukan dan mengambil keputusan (istinbat) hukum syariah.
Secara etimologis (istilah bahasa) ijtihad berarti mengerahkan energi
untuk menyatakan suatu perkara tertentu baik itu bersifat materi atau
maknawi.
بذل الجهد لاستنباط واستخراج الأحكام الشرعية الفرعية من أدلتها التفصيلية
Secara istilah fiqih Islam ijtihad adalah
(a) mengerahkan upaya serius untuk melakukana pengambilan hukum syariah dari dalil-dalil syariah.; atau
(b) Upaya yang sungguh-sungguh untuk mengusahakan produk hukum syariah
baik yang aqliyah atau naqliyah berdasarkan sumber-sumber yang sudah
tetap seperti Al Quran, hadits, ijmak, qiyas dan lain-lain
DALIL DASAR IJTIHAD
1. QS An-Nahl 16:43 dan An-Nisa' 04:105
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: .. maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An-Nahl 16:43)
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu” (Q.S An Nisa : 105)
3. Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan Ahmad
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Artinya: Apabila seorang hakim membuat keputusan apabila dia berijtihad
dan benar maka dia mendapat dua pahala apabila salah maka ia mendapat
satu pahala.
4. Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi
ولما بعث النبي معاذ بن جبل إلى اليمن قاضيا، قال له: (كيف تقضي إذا عرض لك
قضاء؟) قال: أقضي بكتاب الله تعالى، قال: فإن لم تجد ؟ قال: فبسنة رسول
الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإن لم تجد؟ قال: أجتهد رأيي ولا آلو، قال
معاذ: فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم في صدري وقال: الحمد لله الذي وفق
رسول رسول الله لما يرضي رسول الله
Artinya: Ketika Nabi mengutus Sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai
hakim Nabi bertanya: Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum?
Muadz menjawab: Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya: Apabila
tidak kamu temukan dalam Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah
Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau tidak kamu temukan? Muadz menjawab:
Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan melihat ke
lainnya. Muadz berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan bersabda: Segala
puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan pada utusannya Rasulullah
karena Nabi menyukai sikap Muadz.
HUKUM IJTIHAD
Hukum ijtihad adalah wajib bagi yang mampu dan memenuhi syarat untuk
melakukannya. Adapun ijtihad adalah proses pengambilan hukum (istinbat
al-hukm) yang harus dilakukan dengan hati-hati oleh ahli di bidangnya.
BIDANG IJTIHAD
Bidang yang dapat diijtihadi adalah hukum syariah praktis yang tidak
terdapat hukum yang pasti dalam Quran dan hadits. Sedangkan masalah yang
pasti tidak berada dalam domain ijtihad seperti wajibnya shalat dan
jumlah rakaatnya. Dan perkara yang diharamkan yang sudah tetap
berdasarkan dalil yang pasti seperti haramnya riba dan membunuh tanpa
hak.
MENGAPA HARUS ADA IJTIHAD
Sebagaimana diakui oleh Nabi dalam hadits Mua'adz bin Jabal di atas,
bahwa ada kemungkinan Quran dan hadits tidak menyebut secara langsung
sejumlah kasus hukum dan solusinya. Dalam konteks ini maka pintu ijtihad
terbuka bagi mereka yang memiliki pemahaman ilmu agama yang diperlukan.
Tujuannya: untuk memberi solusi hukum bagi masyarakat Islam di setiap
zaman dan generasi yang berbeda.
SYARAT-SYARAT IJTIHAD & ORANG YANG DAPAT MENJADI MUJTAHID
Para ulama sepakat bahwa ijtihad boleh dilakukan oleh ahlinya yang
memenuhi persyaratan keilmuan seorang mujtahid. Beberapa persyaratan
keilmuan seorang mujtahid yang tersebut dalam kitab-kitab ushul adalah
sebagai berikut:
1. Islam, berakal sehat, dewasa (baligh).
2. Menguasai nash (teks) Al-Quran yang berkaitan dengan hukum yang sering disebut ayat ahkam. Jumlahnya sekitar 500 ayat.
3. Mengetahui hadits-hadits yang terkait dengan hukum .
4. Mengetahui masalah hukum yang sudah menjadi ijmak (kesepakatan) ulama
dan yang masih terjadi khilaf/ikhtilaf (perbedaan) di antara fuqoha
(ulama fiqih). Tujuannya agar tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan
dengan ijmak atau mengaku ijmak pada hukum yang bukan ijmak atau
mengeluarkan pendapat baru yang belum terjadi.
5. Mengetahui qiyas karena qiyah adalah rujukan ijtihad dan awal dari
pendapat. Dari qiyas muncul produk hukum. Orang yang tidak mengetahui
qiyas tidak memungkinkan melakukan pengambilan hukum (instinbt
al-hukmi).
6. Harus menguasai bahasa Arab dan konteks pembicaraannya sehingga dapat
membedakan antara hukum-hukum yang pemahamannya harus merujuk pada
bahasa, seperti kalam sharih (teks eksplisit) dan teks faktual (dzahirul
kalam), ringkasan (mujmal) dan detail, umum dan khusus, pengertian
hakikat dan majaz (kiasan).
7. Mengetahui nasikh dan mansukh baik yang terdapat dalam Quran maupun
hadits sehingg tidak membuat produk hukum berdasar pada nash (teks) yang
sudah dimansukh.
8. Mengetahui keadaan perawi hadits dalam segi kekuatan dan
kelemahannya. Membedakan hadits sahih dari yang dhaif atau maudhu', yang
maqbul (diterima) dari yang mardud (tertolak).
9. Memiliki kecerdasan dan kemampuan dalam bidang pengembilan hukum yang
dihasilkan dari pembelajaran dan pendalaman dalam masalah dan studi
hukum syariah.
10. Adil. Dalam arti bukan fasiq. Fasiq adalah orang yang pernah melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.
Syarat-syarat keilmuan di atas tidak harus dikuasai secara sangat
mendalam. Yang terpenting adalah memiliki pemahaman yang baik (tingkat
menengah) pada ilmu-ilmu di atas.
Sebagian ulama juga mensyaratkan penguasaan pada ilmu mantiq dan ilmu kalam. Namun, sebagian besar ulama tidak mensyaratkannya.
BENTUK PENYEBARAN IJTIHAD
Seorang ulama yang ahli di bidang hukum fiqih (syariah) memiliki
beberapa cara untuk mengeluarkan dan menyebarkan hasil ijtihadnya
sebagai berikut:
1. Fatwa. Menerbitkan fatwa sudah menjadi tradisi yang dilakukan sejak
zaman Sahabat. Yang paling terkenal seperti Muadz bin Jabal, Umar bin
Khatab, Zaid bin Tsabit. Pada saat ini, pemberian fatwa dilakukan dengan
beberapa cara mulai dari peneribitan majalah dan internet yang kemudian
dibukukan.
2. Studi kajian dan pembahasan mendalam pada tingkat master atau
doktoral di universitas. Seperti Kitabuz Zakah karya Yusuf Qardhawi yang
merupakan disertasi doktoralnya dari Al-Azhar.
3. Kodifikasi hukum untuk bidang-bidang tertentu. Ini biasa dilakukan
oleh para ahli hukum fiqih yang juga menjadi pejabat pengadilan agama di
negara masing-masing. Di Indonesia contohnya seperti UU Perkawinan No
01 tahun 1974 dan KHI atau Kodifikasi Hukum Islam.
CARA ISTINBAT (PENGAMBILAN) HUKUM DARI QURAN HADTS
Seseorang yang memiliki keahlian di bidang agama dapat mengambil
keputusan hukum (intibat al-hukm) langsung berdasarkan Quran dan Hadits
asal memenuhi syarat-syaratnya seperti tersebut dalam syarat-syarat
ijtihad.
Seorang muslim yang hanya mengetahui ayat Quran dan hadits Nabi belum
dapat menjadi mujtahid atau mengambil hukum langsung dari kedua sumber
utama Islam itu kecuali apabila memiliki ilmu-ilmu tambahan yang
diperlukan untuk melakukan istinbat hukum.
KITAB RUJUKAN IJTIHAD
Beberapa kitab di bawah dapat dijadikan rujukan dan bacaan lanjutan untuk soal ijtihad ini:
Ulama madzhab Syafi'i
- Az-Zarkasyi dalam Al-Bahrul Muhith
- Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa
- As-Subki dalam Jam'ul Jawamik Syarhul Mahalli.
- At-Taftazani dalam At-Tawsyih.
- dll
Ulama madzhab Hanafi
- Al-Jassas dalam Al-Fushul fil Ushul
- Abdul Aziz Al-Bukhari dalam Kashful Amrar
- Ibnu Amir Al-Haj dalam At-Taqrir wat Tahbir
- dll
Ulama madzhab Maliki
- Ibnu Farhun dalam Tabshiratul Hukkam
- Al-Mardawi dalam Al-Inshaf
- Al-Futuhi dalam Syarhul Kaukab
- dll
ULAMA MADZHAB HANBALI
- Al Husain Al-Samuri dalam Al-Mustaw‘ib
- Ibnu Muflih dalam Al-Furu'
- Al-Muqoddasi dalam Al-Mughni
- dll
Dalam prakteknya, dalil di atas tidak digunakan secara keseluruhan oleh
para ulama ushul. Misalnya dalam madzhab Hanafi, dalil yang dijadikan
pegangan dalam menginstinbathkan hukum hanya ada delapan, yaitu; Qur’an,
Sunnah, atsar, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf. Madzhab Maliki dalam
menetapkan suatu hukum berpegang pada dalil Qur’an, Sunnah, ijma’,
qiyas, perbuatan ahli Madinah, maslahat mursalah, istihsan, dzara’i,
‘urf, dan istishhab. Sedangkan pada kalangan al-Syafi’i, dalil yang
digunakan pada umunya berupa Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas.6
Dengan demikian, meskipun dalil-dalil hukum itu jumlahnya banyak, tetapi
dalam penerapannya para ulama berpegang pada dalil-dalil yang
diyakininya saja sebagai dalil hukum yang dianggapnya dapat dijadikan
sebagai hujjah.
Dalil-dalil tersebut dilihat dari segi kualitasnya dapat dibagi kepada
dua macam, yaitu dalil qath’i dan dalil dhanni. Dalil qath’i adalah
dalil yang menunjukkan pada sesuatu yang jelas, tidak mungkin
dita’wilkan dan dipahami lain. Yang termasuk ke dalam dalil qath’i ialah
ayat-ayat Qur’an yang dalalahnya sangat jelas dan hadits-hadits
mutawatir. Sedangkan dalil dhanni berarti sebaliknya, ia menunjukkan
sesuatu yang belum jelas, sehingga ada kemungkinan untuk dita’wilkan
atau dipahami lain. Yang termasuk ke dalam dalil ini adalah selain dari
kedua jenis dalil di atas.
Dengan demikian, istilah dalil qath’i dan dhanni berhubungan dengan
nilai dan kualitas sesuatu dalil, hal-hal yang qath’i atau tegas tidak
diragukan lagi, sudah tentu berbeda dengan yang dhanni baik dalam
fungsinya maupun di dalam tempatnya. Mengenai kehujjahannya, dalil yang
bernilai qath’i baik dari segiwurudnya maupun dari segi dalalahnya
(penunjukannya) adalah dalil yang tertinggi nilainya dan merupakan
pegangan yang mutlak untuk dijadikan dasar suatu hukum, ia juga bukan
lapangan ijtihad. Sedangkan dalil yang dhanni merupakan lapangan
ijtihad, dan hasil ijtihadnya pun bernilai dhanni pula.
Dilihat dari segi cakupan maknanya, dalil-dalil hukum syara’ dibagi
kepada dalil kully dan dalil juz’iy.dalil kully adalah dalil yang
maknanya mencakup keseluruhan dan bersifat umum, ia tidak menunjukkan
kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukallaf. Sedangkan
dalil yang juz’iy ialah dalil yang menunjuk kepada suatu persoalan dan
suatu hukum tertentu.7
Dalil kully adakalanya berupa ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah yang kully. Contoh dari ketiganya ialah:
Firman Allah surah al-Baqarah ayat 29:
هُوَالَّذِى خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا
“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.”
Ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini
boleh untuk dipergunakan oleh manusia. Kata مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا
(segala sesuatu yang ada di bumi) bersifat umum mencakup semua yang ada
di darat dan di laut.
Dari ayat ini diambil dasar kaidah:
الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ
“Pokok hukum segala sesuatu adalah membolehkan”.
Hadist Nabi yang berbunyi:
عَنْ أَبِى سَعِيْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سَنَانٍ الخُدْرِى قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sanan al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw:
“Tidak boleh memadlaratkan diri sendiri dan tidak boleh dimadlaratkan
orang lain” (H.R. Ibnu Majah dan Daru Quthniy).
Hadits di atas melahirkan kaidah kemaslahatan, yakni membina segala ketetapan dibangun atas dasar kemaslahatan.
Kaidah fikih yang berbunyi:
االمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesukaran itu mendatangkan kemudahan”.
Di antara contoh dalil yang juz’iy adalah ayat:
يَآ أَبـُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sekalian”.
Dalam pembahasan mengenai kedua dalil ini harus dibedakan antara dalil
yang kully dengan lafadz ‘am,dan dalil yang juz’iy dengan lafadz khas.
Istilah ‘amdan khas, dikenal di dalam kajian lafadz atau pendekatan
linguistik (kebahasaan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an, di mana yang
difokuskan adalah makna ayat dari sudut pandang kata perkata.
Predikat mujtahid memiliki empat tingkatan, yaitu:
Mujtahid mutlak. Mereka adalah mujtahid yang membangun madzhab hukum
tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Hanifah, Malik,
Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, beserta orang-orang yang setaraf dengan
para imam madzhab seperti Zaid bin Tsabit, Ja’far al-Shadiq,
al-Tsauri,al-Auza’i,dan sebagainya.
Mujtahid fi al-madzhab (mujtahid madzhab). Mereka adalah mujtahid yang
mengikuti imam madzhabnya akan tetapi bila terdapat sesuatu permasalahan
yang tidak ditemukan dalam pendapat imamnya, mereka berijtihad menurut
kaidah yang dipergunakan dalam madzhabnya, lalu mengeluarkan pendapatnya
menurut cara-cara yang dipergunakannya. Yang termasuk dalam kelompok
ini adalah Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Hasan, dan Zufar dalam madzhab
Hanafi; al-Muzany dalam madzhab Syafi’i.
Mujtahid fi al-masa’il (mujtahid fatwa). Mereka adalah mujtahid yang
mendalami madzhab imamnya dan mampu menentukan pendapat mana yang kuat
dan mana yang lemah, serta mampu menetapkan cara berdalil yang kuat dan
cara berdalil yang lemah yang dipergunakan para shahabat dan para imam
madzhabnya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Thahawi dalam
madzhab Hanafi, al-Ghazali dalam madzhab Syafi’i, dan al-Khiraqi dalam
madzhab Hanbali.
Mujtahid muqayyad atau ashhab al-Takhrij(Ahli takhrij). Mereka adalah
orang-orang yang mengikatkan diri dengan pendapat-pendapat salaf dan
mengikuti pendapat mereka. Hanya saja mereka mengetahui madarik al-ahkam
dan memahami dalalah-dalalahnya. Mereka juga memiliki kemampuan untuk
menentukan mana yang lebih utama dari pendapat-pendapat yang berbeda
dalam suatu madzhab dan dapat membedakan riwayat yang kuat dari riwayat
yang lemah. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Karakhi dan
al-Qaduri dalam madzhab Hanafi, al-Rafi’i dan al-Nawawi dalam madzhab
Syafi’i.
Kembali pada uraian di atas, ijtihad merupakan sebuah proses kerja yang
dilakukan oleh seorang mujtahid dengan upaya yang maksimal dalam
menemukan dan menetapkan hukum syar’i.
Dalam Istilah ushul fikih, hukum syar’i didefinisikan sebagai:
خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا
“Firman Syari’ (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau berupa ketetapan”.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwaSyari’ atau pembuat hukum
adalah Allah, karena hukum Islam adalah peraturan-peraturan agama yang
bersumber pada kewahyuan. Wahyu di sini ada yang redaksinya langsung
dari Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad
saw, dan ada yang redaksinya disampaikan langsung oleh Nabi. Jenis
wahyu pertama disebut dengan al-Qur’an, dan jenis wahyu yang kedua
disebut dengan al-Sunnah.
Kedua wahyu tersebut selanjutnya dikenal secara familiar sebagai sumber
hukum Islam. Keduanya mengandung makna sebagai tempat atau rujukan utama
dan asal dari segala hukum Islam. Dalam hal ini, Ahmad Hasan menyatakan
bahwa sumebr materi pokok hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Otoritas keduanya tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan.
Sementara itu, qiyas dan ijma’ sesungguhnya adalah alat atau jalan untuk
menetapkan suatu hukum mengenai masalah-masalah baru di mana tidak ada
bimbingan atau petunjuk langsung dari Qur’an dan Sunnah untuk
menyelesaikannya. Oleh karenanya, qiyas dan ijma’tidak dipandang sebagai
sumber hukum, ia lebih tepat disebut dengan dalil hukum. Kebenaran
dalil-dalil ini akan ditentukan oleh sejauh mana kedua dalil ini sesuai
dengan ruh dan syari’at yang terdapat dalam Qur’an dan Sunnah.
Berkenaan dengan Syari’ atau pembuat hukum, para ulama sepakat bahwa hak
untuk menentukan hukum syar’i adalah hak mutlak Allah. Hukum yang
dibuat-Nya disampaikan kepada manusia melalui wahyu, baik secara
langsung melalui perantaraan malaikat maupun secara tidak langsung,
yakni disampaikan melalui “kebijakan” Nabi. Manusia tidak memiliki
kebebasan untuk menciptakan hukum syar’i berdasarkan pada keinginan dan
pertimbangan kemanusiaannya semata.
Tugas manusia dalam kaitannya dengan hukum syar’i, secara teknis
terbatas pada penafsiran terhadap kehendak Tuhan dalam menentukan
hukum-hukumnya. Secara rinci tugas manusia (yang lebih kompeten; para
mujtahid) dalam kerangka istinbath hukum adalah:
menerangkan wahyu Allah baik berupa al-Qur’an maupun al-Sunnah apabila
dirasakan tidak cukup jelas, sehingga dapat diketahui apa isi
perintahnya atau apa norma-norma yang terkandung di dalamnya.
memperluas hukum atau norma yang ada, sehingga dapat diterapkan pada
berbagai perbuatan atau masalah sejenis yang tidak ditemukan aturannya
(tidak di atur secara rinci dalam al-Qur’an dan Sunnah)
Dari uraian di atas kiranya perlu dipahami bahwa tugas para mujtahid
dalam menetapkan hukum Islam secara substantif adalah menerangkan wahyu
Allah yang dianggap belum jelas isi dan kandungan perintahnya, dan
memperluas hukum syara’ atas semua peristiwa atau masalah sejenis yang
tidak diatur secara jelas di dalam wahyu-Nya. Kata memperluas hukum di
sini dapat dilakukan dengan melalui analogi dan semisalnya.
Dengan demikian tugas mujtahid dapat diarahkan pada dua hal, yaitu
menafsirkan ayat-ayat hukum yang belum diketahui dengan pasti ketetapan
hukumnya, dan menerapkan hukum yang telah ada serta menjadikannya
sebagai sandaran di dalam menetapkan hukum atas permasalahan yang baru
di mana ketetapan hukumnya belum diketahui.
Oleh karena itu masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah
masalah-masalah hukum syara’ yang tidak ada padanya dalil qath’i (dalil
yang sudah jelas maknanya). Dalam kalimat lain, lapangan ijtihad adalah
masalah-masalah hukum yang dalil-dalilnya bersifat dhanni, terutama
masalah-masalah furu’ (cabang) yang bersifat praktis.
Dalam hal ini ijtihad tidak terbatas pada ruang lingkup masalah yang
baru saja, tetapi ia memiliki kepentingan lain yang berkaitan dengan
khazanah hukum Islam, yaitu dengan mengadakan peninjauan kembali
masalah-masalah yang ada di dalamnya berdasarkan kondisi yang terjadi
pada masa sekarang dan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memilih mana
pendapat yang terkuat dan yang paling cocok, dengan merealisasikan
tujuan-tujuan syari’at dan kemaslahatan manusia. Sesuai dengan kaidah
fiqih bahwa, “perubahan fatwa itu disebabkan karena perubahannya zaman,
tempat dan keadaan”.
Dalam kaitannya dengan ruang lingkup ijtihad di atas, maka tugas
mujtahid sekarang diarahkan pada dua hal, yang pertama; tugas yang
berhubungan dengan masa lalu yakni dengan melakukan upaya-upaya
peninjauan kembali atas masalah-masalah yang sudah dibahas oleh para
mujtahid sebelumnya kemudian disesuaikan dengan kondisi yang terjadi
pada masa kini; serta melakukan upaya-upaya tarjih(mencari pendapat yang
terkuat) dan pendapat yang dianggap sesuai dengan kondisi sekarang yang
didasarkan pada maqashid al-syari’ah dan kemashlahatan umum. Yang
kedua; tugas yang berhubungan dengan masa kini, yakni menemukan dan
menetapkan hukum serta menerapkannya pada masalah-masalah baru yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf.
Itulah sebabnya (barangkali), kenapa mujtahid jika ketetapannya salah
dia masih mendapatkan pahala. Setidaknya ada dua alasan; pertama:
masalah yang diijtihadi adalah masalah-masalah dhanni, dan kedua: ia
diberi pahala karena pengabdiannya atas usahanya itu secara maksimal,
akan tetapi ia tidak mencapai kebenaran itu lantaran kurangnya
bukti-bukti dan dalil-dalil atau minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh
mujtahid yang bersangkutan tentang permasalahan yang dibahasnya.
DEFINISI TAQLID
Dalam pengertian bahasa taqlid (taklid) berasal dari bahasa Arab yaitu
qallada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan
mengikuti.
Pengertian taklid dalam istilah syariah (fiqih)
Yaitu mengambil atau mengikuti pendapat mujtahid yang sudah memenuhi
persyaratan ber-ijtihad dan mengamalkan pendapatnya dalam segala masalah
hukum yang lima yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah (boleh).
Orang yang bertaqlid disebut mukallid (muqallid).
Pengertian taqlid menurut Para Ulama
Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa
التّقليد قبول بغير حجّّة وليس طريقا للعلم لافى الاْصول ولافى الفروع
Artinya: Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tanpa hujjah. Dan
taqlid itu tidak dapat menjadi jalan menuju pengetahuan (keyakinan),
urusan ushul maupun dalam urusan furu.
Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul Jawamik
التقليد هو اخذ القول من غير معرفة دليل
Artinya: Taklid adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.
Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam VI/60
Sesuatu yang diyakini benar oleh seseorang tanpa dalil karena beberapa orang (ulama) selain Nabi telah mengatakannya.
Ibnu Abdil Barr dalam Jamik Bayan Al-Ilm II/37
Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bishri Al-Maliki berkata: Makna
taklid secara syariah adalah: merujuk pada suatu pendapat yang tanpa
hujjah (dalil) dari yang mengeluarkan pendapat itu. Ini dilarang dalam
syariah. Sedangkan Ittibak adalah pendapat yang disertai hujjah atau
dalil.
Ibnu Abdil Barr dalam Jamik Bayan Al-Ilm II/117
Taqlid menurut segolongan ulama adalah yang bukan ittibak. Karena
ittibak adalah seseorang mengikuti perkataan orang lain (ulama)
berdasarkan pada keutamaan ucapan dan kebenaran madzhabnya. Sedangkan
taklid adalah anda berkata (mengutip) dengan ucapannya sedangkan anda
tidak mengetahuinya dari sisi pendapat dan maksudnya.
Khatib Al-Baghdadi dalam Al Faqih wal Mutafaqqih, hlm. II/66
Taklid adalah menurut pendapat seseorang (ulama) tanpa dalil.
Qadhi Abdul Wahab Al-Maliki dikutip oleh Suyuthi dalam Ar-Radd ala man Akhlada ilal Ard, hlm. 125
Taklid adalah mengikuti pendapat seseorang karena orang itu berkata demikian tanpa pengetahuan atas benar atau salahnya.
As-Syaukani
Taqlid adalah menerima suatu pendapat tanpa dalil (hujjah). Tidak
termasuk taklid apabila seseorang melakukan suatu karena perkataan Nabi
atau ijmak ulama, atau merujuknya orang awam pada pendapat mufti, atau
merujuknya hakim pada kesaksian orang yang adil karena ada hujjah dalam
hal tersebut. Adapun mengamalkan perkataan Nabi dan ijmak maka sudah
dijelaskan dalilnya dalam soal itu dalam tujuan Sunnah dan Ijmak.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang
lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang
suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik
atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat)
yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau
dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain
tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat
istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik
kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut
dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir
dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana
mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan
mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai
dalil dan argumen sama sekali.
Allah swt berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ
نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ
لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُون
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang
menyekutukan Allah swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah
Allah swt turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa
yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek
moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah
( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).
HUKUM TAKLID BAGI ORANG AWAM
Ada 2 (dua) pendapat tentang hukum taqlid bagi orang awam. (a) Wajib atau boleh; (b) Haram; .
Pendapat pertama wajibnya taqlid bagi orang awam adalah pendapat jumhur
(mayoritas ulama). Baik taklid dalam soal akidah (ushul) atau fiqih
(furu'iyah).
Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa mengatakan:
العامي يجب عليه الاستفتاء واتباع العلماء
Artinya: Orang awam wajib meminta fatwa dan ikut pada (pendapat) ulama.
Ibnu Abdil Barr mengatakan dalam Jami' Bayanil Ilmi wa Fadhlihi mengatakan
العامة لا بد لها من تقليد علمائها عند النازلة تنزل بها؛ لأنها لا تتبين
موقع الحجة، ولا تصل بعدم الفهم إلى علم ذلك؛ لأن العلم درجات لا سبيل منها
إلى أعلاها إلا بنيل أسفلها، وهذا هو الحائل بين العامة وبين طلب الحجة"،
.. "ولم تختلف العلماء أن العامة عليها تقليد علمائها، وأنهم المرادون
بقوله -عز وجل-: فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ .
Arti ringkasan: Orang awam harus taklid pada ulama mereka karena orang
awam tidak memiliki kapasitas keilmuan untuk memahami argumen tingkat
tinggi inilah yang menjadi penghalang antara orang awam untuk mencapai
argumen sendiri. Ulama sepakat bahwa orang awam wajib taklid pada ulama
mereka itulah yang dimaksud Allah dalam Quran QS An-Nahl :43
Pendapat kedua bahwa taklid bagi orang awam itu haram adalah pendapat
dari sebagian golongan Qadariyah dan Ibnu Hazm. Ini adalah pendapat yang
sangat minoritas dari kalangan ulama Islam.
Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum:
Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan
ketiga, Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek
moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
Taqlid yang dibolehkan
Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’
kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya
tersembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang
lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak
tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya
sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain,
karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan.
Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama
sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad
apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan,
dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu
berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda)
sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena
tidak nampak dalil baginya”
Taqlid yang diwajibkan
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar
hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang
dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan
agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan
al-Hadis yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu
mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah swt dan hikmah (Sunnah Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34)
lnilah Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita selalu
ittiba’(mengikuti) kepadanya, dan Allah swt perintahkan orang yang tidak
memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas
setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah
swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan
kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak
boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.
Taqlid yang Berkembang
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid
kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam
Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam
suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi
hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang
mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal,
sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam
kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad
Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang
mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu
adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau
pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum
diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan
meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa
pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d. Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar
mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang
yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki
lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya,
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ
آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي
قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا
آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ
أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ ۖ
قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat
petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka". Dan demikianlah, Kami tidak
mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu)
berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa
untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang
kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya
kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” (QS.
az-Zukhruf[43] : 22-24)
Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’
Terdapat perbedaan antara taqlid dan ittiba’ diantara hal yang
menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah
larangan para imam kepada para pengikutnya untuk taqlid dan perintah
mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:
Pertama, Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun
mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami
mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu
dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”
Kedua, Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang
bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan
Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan
Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”
Ketiga, Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah
Rasulullah saw, ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada
perkataan siapapun”
Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadis shahih
yang menyelisihinya, maka hadis Nabi lebih utama untuk diikuti.
Janganlah kalian taqlid kepadaku”.
Keempat, Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah engkau taqlid dalam agamamu
kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para
sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang
mengikuti apa yang datang dari Nabi saw dan para sahabatnya”
Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada Mereka
lbnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian
semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada
di atas petunjuk, maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di
atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.
Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis
membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini
adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka
sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Allah swt . Maka
barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam
ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka
jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan
termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.
Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah,
tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan
perkataannya sebagai timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali
Rasulullah saw.
ITTIBA`
Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata
bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ)yang berarti mengikuti. Ada
beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa’
(اقتفاء)(menelusuri jejak), qudwah(قدوة) (bersuri teladan) dan
uswah(أسوة) (berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan
mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna
menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.
Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang
baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang
dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap
orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau
adalah muttabi’(orang yang mengikuti).
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang
diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata
lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang
dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan
yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba`
ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.
2. Macam-Macam Ittiba`
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan.
Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan
kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang
lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat
dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para
Nabi).
3. Tujuan Ittiba`
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia
orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh
keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah
atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan
keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat
sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
Ittiba’
Kepada siapa kita wajib ittiba’?
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita
berittiba’ kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan
dalil yang jelas, dalam hal ini Rasulullah saw adalah orang yang paling
berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Allah swt berfirman,
قال الله تعالى : ﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ
اللَّهَ كَثِيرًا ﴾
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik.,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari
akhirat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab[33]:21).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr[59]: 7).
Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw dan para shahabatnya.
Ittiba’ kepada Nabi saw dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini
apa yang diyakini oleh Nabi saw sesuai dengan bagaimana beliau
meyakininya – apakah merupakan kewajiban, kebid’ahan ataukah merupakan
pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak
kesempurnaannya dst – dengan alasan karena beliau saw meyakininya.
Ittiba’ kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan
melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan
mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja.
Sebagai contoh sabda beliau saw:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”.(HR. Bukhori).
Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.
Sedangkan ittiba’ kepada Nabi saw di dalam perkara-perkara yang
ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau
tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan
tatacara dan ketentuan Nabi saw di dalam meninggalkannya, dengan alasan
karena beliau saw meninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama
dengan batasan ittiba’ di dalam perbuatan.
Hukum Ittiba’
Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan
yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak
ayat al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’
kepada Rasulullah saw di antaranya firman Allah swt.
قال الله تعالى : ﴿ قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ﴾
“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali
lmran[3]: 32).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ
يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah swt dan
Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurat[49]:1).
Demikian juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada
sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam
dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:
قال الله تعالى : ﴿ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
(QS. An-Nisa’[4]: 115).
Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam
Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi
dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk
Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang
ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima
amal. Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya
ibadah ada dua:
1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.
2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan
tiga perkara: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan
ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa
mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah swt semata
dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima
oleh Allah swt. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat
tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt.
Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka
hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya.
Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting
niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya baik."
Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Allah swt berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَحِيمٌ ﴾
"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran[3]: 31).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini
sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt,
akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang
seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah swt
sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala
ucapan dan tindak tanduknya."
Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara
waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali
Allah swt dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah swt
kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah saw dan syari'at yang
dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin. Barangsiapa
mengaku cinta kepada Allah swt dan mengaku sebagai wali Allah swt,
tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan
kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah swt dan sebagai
wali syaitan."
Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan
karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq,
karena Allah swt tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang
lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk
senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhai-Nya yaitu istiqamah
di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali
Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali
Allah swt sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
قال الله تعالى : ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴾
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus[10]:
62).
Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam
dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
ittiba' kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal yang teramat besar
dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah swt menjadikan kita
termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek
kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah swt dengan membawa
husnul khatimah. Amien, ya Rabbal Alami