Minggu, 29 November 2020

Penjelasan Tentang Tafakkur Alam


Ayat yang menjadi acuan utama mengenai penciptaan alam adalah surat al-Baqarah:117, yang berbunyi:
 
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
 
 “Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengucapkan kepadanya “jadilah” lalu jadilah ia”.

Ayat ini menegaskan bahwa Allah pemilik mutlak dari alam semesta dan penguasa alam yang tidak dapat disangkal, di samping pemeliharaanya yang maha pengasih. Karena kekuasaan-Nya bila Ia hendak menciptakan bumi dan langit, Dia hanya mengatakan “jadilah”.
Secara umum ayat-ayat Alquran tentang penciptaan alam dapat dipetakan melalui dua pendekatan: maudhu’i-mushafi, yaitu pengelompokan ayat-ayat tentang penciptaan alam yang tersebar di berbagai surat sesuai dengan susunannya dalam mushhaf, ‎maudhu’i- tanzili, yaitu pengelompokan ayat-ayat itu yang tersebar di berbagai surat sesuai dengan susunannya waktu diturunkan 

Duhai alangkah ingkarnya manusia itu. Apakah kalian bisa menemukan ada seorang manusia yang mampu merubah hukum-hukum fisika dan hukum-hukum magnet? Hal yang dimampui oleh manusia hanyalah mengarahkan sebagian penerapan hukum-hukum fisika dan magnet untuk kepentingan manusia. Ia mempergunakan akalnya dan membuat inovasi untuk memetik buah-buah dari hukum-hukum tersebut, karena ia tidak akan mampu untuk merubah hukum-hukum tersebut. Ia tidak mampu mengadakan hukum-hukum tersebut, tidak pula menghilangkannya.

Tafakur Alam merupakan perbuatan yang diperintahkan dalam agama dan ditunjukkan bagi mereka yang memiliki pengetahuan untuk merenungkan berbagai fenomena alam.

Allah SWT Berfirman :

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍۢ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ﴿ە۱۹﴾ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًۭا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ﴿۱۹۱﴾

 "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, ( yaitu ) orang -orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi ( seraya berkata ), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalahkami dari siksa neraka.( Q.S 3 Ali-Imran : 190-191 )

Secara umum, objek tafakur adalah memikirkan dan merenungkan makhluk Allah SWT. termasuk dalam kategori Makhluk Allah ialah alam semesta beserta segala yang dikandungnya.

Perenungan terhadap gejala alam sangat bermanfaat dalam rangka mengungkap tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga manusia menjadi tunduk, patuh, dan taat kepada Penciptanya, yaini Allah SWT.

Batasan penting yang harus diperhatikan dalam bertafakur ialah bahwa kaum Mukminim dilarang memikirkan atau merenungkan Dzat Allah SWT. 

Seseorang pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentang bagaimana bersemayamnya Allah ( istawa ) di atas Arrasy, maka sang imam pun berfikir sejenak lantas memberikan jawaban :

الاستواءمعلوم والكيف غير معلوم والايمان به واجب والسوءال عنه بدعة

Istiwa' itu telah diketahui maknanya, tetapi bagaimana caranya tidak diketahui, mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bidah.

Jawaban Imam Malik ini selanjutnya jadi kaidah yang terkenal di kalangan para ulama dalam menyikapi persoalan seputar Dzat dan sifat Allah.

Dengan demikian, terlarang hukumnya bagi seorang Mukmin untuk bertafakur memikirkan Dzat atau Sifat Allah SWT. Syekh Sa'id bin Wahf al-Qahtan menjelaskan dalam kitab Syarhu 'Aqidatil Wasithiyyah, bhawa yang harus kita lakukan mengenai keberadaan dalil-dalil ynag memaparkan tentang Dzat atau SIfat Allah ialah mengimani dan menetapkan tanpa takwil ( tafsir ), takyif ( bertanya tentang caranya ), ta'thil ( menolak sebagian atau seluruhnya ), dan tamtsil ( menyetarakannya dengan zat atau sifat makhluk ).

Selanjutnya, termasuk dalam aktivitas ialah menelaah Ayat-ayat Allah SWT, sehingga dapat dipahami dan diamalkan dengan benar dalam kehidupan sehari-hari. Yang patut menjadi perhatian, sebagaimana disinggung diatas, perintah menafakuri Ayat-ayat Allah hanya ditunjukkan bagi mereka yang memilikki pengetahuann terutama pengetahuan agama.

Memikirkan Ayat-ayat Allah tidak dapat dilakukan kecuali terlebih dahulu mengetahui ilmu yang berhubungan dengan ayat-ayat tersebut. ‎

Sesungguhnya benda-benda langit dan langit yang difirmankan oleh Allah:

(لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ)

"Sungguh penciptaan langit dan bumi itu lebih besar dari penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak memahaminya." (QS. Ghafir [40]: 57)
Benda-benda langit dan langit memiliki hukum-hukum fisika, kimia, matematika, arsitek dan lain-lain; yang mengokohkan dan mengatur urusannya. Semua hukum tersebut dijalankan dan diatur secara langsung oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, tidak ada makhluk yang lebih besar dari-Nya, tidak ada sesuatu makhluk pun yang tersembunyi dan tidak diketahui-Nya. Inilah awal keimanan nabi Ibrahim 'alaihis salam.
Maka lihatlah kembali benda-benda langit dan langit dua kali, niscaya engkau tidak akan melihat ada kekurangan padanya. Sebuah keserasian yang sangat mengagumkan, sebuah karya yang agung dalam pengaturan urusan langit dan bumi, tidak ada celah dan kekurangan padanya.
Manusia menerima amanat yang langit, bumi dan gunung pun keberatan untuk mengembannya. Sungguh manusia itu sangat zalim dan bodoh. Maka langit dan bumi tetap diperjalankan menurut hukum-hukum tersebut yang menjaga keseimbangannya. Sementara kita, umat manusia, menerima amanat tersebut.
Maka Allah menciptakan bagi kita kehidupan dunia dan Allah menyerahkan kepada kita sebagian hukum-hukum-Nya yang tidak tercampuri oleh sedikit pun celah kekurangan. Allah memberi kita pilihan untuk menetapi hukum-hukum tersebut dan hal itu dinamakan-Nya ketaatan. Allah juga memberi kita pilihan untuk tidak menetapi hukum-hukum tersebut dan hal itu dinamakan-Nya kemaksiatan. Sementara hukum-hukum-Nya disebut syariat.
Jika hukum-hukum fisika merupakan praktik keseimbangan bagi alam semesta, maka syariat merupakan hukum-hukum keseimbangan bagi sebagian makhluk bernama "manusia", yang tinggal di planet bumi. Maka seluruh alam semesta dan makhluk dalam kondisi tunduk (istilah Al-Qur'annya adalah sujud) secara totalitas kepada hukum-hukum Allah. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta'ala:

(أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ )

"Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya bersujud kepada Allah segala makhluk yang berada di langit dan di bumi, demikian juga sujud kepada-Nya matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang melata dan banyak manusia? Tetapi banyak manusia yang pantas mendapatkan azab. Dan barangsiapa yang dihinakan oleh Allah niscaya tiada seorang pun yang dapat menjadikannya mulia. Sesungguhnya Allah Maha Mengerjakan apa yang Dia kehendaki."(QS. Al-Hajj [22]: 18)

Sementara itu berkenaan dengan syariat, maka sungguh manusia itu paling banyak membantah. Bukannya melakukan inovasi dalam mempraktekkan hukum-hukum syariat dan mempergunakan akalnya untuk mengambil buah darinya, meminum dari mata airnya; manusia justru menentang hukum-hukum syariat, tidak cerdas memahaminya, bahkan bodoh dan hina. Ia diberi akal oleh Allah, namun ia justru mengkafiri (menolak, mengingkari, membenci dan memusuhi—pent) syariat-Nya dan berdalih ia bebas memilih. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta'ala:

(أَوَلَمْ يَرَ الإِنسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ * وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ .. )

"Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia kemudian menjadi musuh yang nyata. Dan dia membuat perumpamaan bagi kami dan melupakan asal kejadiannya." (QS. Yasin [36]: 77-78)

Syariat bukanlah hukum hudud (pidana Islam) semata, namun ia adalah undang-undang manusia di planet bumi, agar selaras dan serasi dengan alam semesta. Maka Anda tidak akan melihat adanya kekurangan pada penciptaan dan ketetapan-Nya. Dengan begitulah hadits-hadits tentang akhir zaman bisa dipahami, ketika Isa 'alaihis salam memerintah planet bumi dengan Islam:

(يَنْزِلُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ إِمَامًا هَادِيًا وَمِقْسَطًا عَادِلا ، فَإِذَا نَزَلَ كَسَرَ الصَّلِيبَ ، وَقَتَلَ الْخِنْزِيرَ ، وَوَضَعَ الْجِزْيَةَ ، وَتَكُونُ الْمِلَّةُ وَاحِدَةً ، وَيُوضَعُ الأَمْرُ فِي الأَرْضِ ، حَتَّى أَنَّ الأَسَدَ لَيَكُونُ مَعَ الْبَقَرِ تَحْسِبُهُ ثَوْرَهَا ، وَيَكُونُ الذِّئْبُ مَعَ الْغَنَمِ تَحْسِبُهُ كَلْبَهَا ، وَتُرْفَعُ حُمَةُ كُلِّ ذَاتِ حُمَةٍ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ الْحَنَشِ فَلا يَضُرُّهُ ، وَحَتَّى تُفِرَّ الْجَارِيَةُ الأَسَدَ ، كَمَا يُفَرُّ وَلَدُ الْكَلْبِ الصَّغِيرِ ، وَيُقَوَّمَ الْفَرَسُ الْعَرَبِيُّ بِعِشْرِينَ دِرْهَمًا ، وَيُقَوَّمَ الثَّوْرُ بِكَذَا وَكَذَا ، وَتَعُودَ الأَرْضُ كَهَيْئَتِهَا عَلَى عَهْدِ آدَمَ ، وَيَكُونَ الْقِطْفُ يَعْنِي الْعِنْقَادَ يَأْكُلُ مِنْهُ النَّفَرُ ذُو الْعَدَدِ ، وَتَكُونَ الرُّمَّانَةُ يَأْكُلُ مِنْهَا النَّفَرُ ذُو الْعَدَدِ)

"Isa bin Maryam akan turun sebagai seorang pemimpin, pemberi petunjuk dan penguasa yang adil dan menegakkan keadilan. Jika ia telah turun, ia akan mematahkan salib, membunuh babi, menghapuskan jizyah, dan hanya ada satu agama (Islam) dan perintah Allah dilaksanakan di muka bumi. Sampai-sampai seekor singa akan damai bersama dengan kumpulan sapi betina seakan kumpulan sapi betina itu mengganggapnya sebagai sapi jantannya, seekor srigala akan damai bersama kawanan kambing seakan kawanan kambing itu menganggapnya anjing penjaga.
Pada waktu itu bisa dihilangkan dari setiap hewan berbisa, sampai-sampai seseorang meletakkan telapak tangannya pada kepala seekor ular berbisa namun hal itu tidak mencelakainya, sampai-sampai seorang anak perempuan bermain dengan seekor singa seperti bermainnya anak anjing yang kecil.
Pada waktu itu seekor kuda Arab hanya berharga 20 dirham, sementara seekor sapi akan dihargai segini dan segini (sangat mahal, karena zaman tersebut zaman cocok tanam dan kemakmuran, bukan zaman perang, pent). Bumi akan kembali kepada keadaannya semula seperti pada masa nabi Adam. Sampai-sampai setangkai kurma bisa mengenyangkan banyak orang dan setangkai anggur bisa mengenyangkan banyak orang."(HR. Ma'mar bin Rasyid dalam Al-Jami' no. 1465)
Ini yang berkaitan dengan fisika benda-benda langit dan hukum-hukum alam.
Adapun unta adalah Ikhwan yang Allah karuniakan syariat kepada mereka, namun mereka ragu-ragu terhadapnya, malu-malu darinya, dan menawarnya demi meraih ridha Barat, orang-orang liberal dan orang-orang sekuler, dan mereka menuntut daulah madaniyah, negara sipil (Negara berdasar hukum buatan manusia ). Maka pantaslah apabila mereka terkena sabda Nabi yang tercinta:

مَنْ أَرْضَى اللهَ فِي سَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَرْضَى النَّاسَ فِي سَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ

"Barangsiapa membuat Allah ridha walau manusia tidak menyukainya, niscaya Allah akan meridhainya. Dan barangsiapa membuat manusia ridha walau Allah tidak menyukainya, niscaya Allah akan membencinya dan Allah akan membuat manusia membencinya." (HR. Ibnu Hibban)

Penjelasan Tentang Ijtihad, Taqlid Dan Ittiba'


Secara istilah fiqih Islam ijtihad adalah mengerahkan kemampuan untuk melakukan dan mengambil keputusan (istinbat) hukum syariah.

Secara etimologis (istilah bahasa) ijtihad berarti mengerahkan energi untuk menyatakan suatu perkara tertentu baik itu bersifat materi atau maknawi.

بذل الجهد لاستنباط واستخراج الأحكام الشرعية الفرعية من أدلتها التفصيلية
Secara istilah fiqih Islam ijtihad adalah 
(a) mengerahkan upaya serius untuk melakukana pengambilan hukum syariah dari dalil-dalil syariah.; atau
(b) Upaya yang sungguh-sungguh untuk mengusahakan produk hukum syariah baik yang aqliyah atau naqliyah berdasarkan sumber-sumber yang sudah tetap seperti Al Quran, hadits, ijmak, qiyas dan lain-lain

DALIL DASAR IJTIHAD

1. QS An-Nahl 16:43 dan An-Nisa' 04:105‎
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ 

Artinya: .. maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An-Nahl 16:43)

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ    ‎

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu” (Q.S An Nisa : 105)

3. Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan Ahmad

إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر

Artinya: Apabila seorang hakim membuat keputusan apabila dia berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala apabila salah maka ia mendapat satu pahala.

4. Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi

ولما بعث النبي معاذ بن جبل إلى اليمن قاضيا، قال له: (كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟) قال: أقضي بكتاب الله تعالى، قال: فإن لم تجد ؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإن لم تجد؟ قال: أجتهد رأيي ولا آلو، قال معاذ: فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم في صدري وقال: الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله

Artinya: Ketika Nabi mengutus Sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai hakim Nabi bertanya: Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum? Muadz menjawab: Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya: Apabila tidak kamu temukan dalam Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau tidak kamu temukan? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan melihat ke lainnya. Muadz berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan pada utusannya Rasulullah karena Nabi menyukai sikap Muadz.

HUKUM IJTIHAD

Hukum ijtihad adalah wajib bagi yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya. Adapun ijtihad adalah proses pengambilan hukum (istinbat al-hukm) yang harus dilakukan dengan hati-hati oleh ahli di bidangnya.

BIDANG IJTIHAD

Bidang yang dapat diijtihadi adalah hukum syariah praktis yang tidak terdapat hukum yang pasti dalam Quran dan hadits. Sedangkan masalah yang pasti tidak berada dalam domain ijtihad seperti wajibnya shalat dan jumlah rakaatnya. Dan perkara yang diharamkan yang sudah tetap berdasarkan dalil yang pasti seperti haramnya riba dan membunuh tanpa hak.

MENGAPA HARUS ADA IJTIHAD

Sebagaimana diakui oleh Nabi dalam hadits Mua'adz bin Jabal di atas, bahwa ada kemungkinan Quran dan hadits tidak menyebut secara langsung sejumlah kasus hukum dan solusinya. Dalam konteks ini maka pintu ijtihad terbuka bagi mereka yang memiliki pemahaman ilmu agama yang diperlukan. Tujuannya: untuk memberi solusi hukum bagi masyarakat Islam di setiap zaman dan generasi yang berbeda.

SYARAT-SYARAT IJTIHAD & ORANG YANG DAPAT MENJADI MUJTAHID 

Para ulama sepakat bahwa ijtihad boleh dilakukan oleh ahlinya yang memenuhi persyaratan keilmuan seorang mujtahid. Beberapa persyaratan keilmuan seorang mujtahid yang tersebut dalam kitab-kitab ushul adalah sebagai berikut:

1. Islam, berakal sehat, dewasa (baligh).
2. Menguasai nash (teks) Al-Quran yang berkaitan dengan hukum yang sering disebut ayat ahkam. Jumlahnya sekitar 500 ayat.
3. Mengetahui hadits-hadits yang terkait dengan hukum .

4. Mengetahui masalah hukum yang sudah menjadi ijmak (kesepakatan) ulama dan yang masih terjadi khilaf/ikhtilaf (perbedaan) di antara fuqoha (ulama fiqih). Tujuannya agar tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijmak atau mengaku ijmak pada hukum yang bukan ijmak atau mengeluarkan pendapat baru yang belum terjadi.
5. Mengetahui qiyas karena qiyah adalah rujukan ijtihad dan awal dari pendapat. Dari qiyas muncul produk hukum. Orang yang tidak mengetahui qiyas tidak memungkinkan melakukan pengambilan hukum (instinbt al-hukmi).

6. Harus menguasai bahasa Arab dan konteks pembicaraannya sehingga dapat membedakan antara hukum-hukum yang pemahamannya harus merujuk pada bahasa, seperti kalam sharih (teks eksplisit) dan teks faktual (dzahirul kalam), ringkasan (mujmal) dan detail, umum dan khusus, pengertian hakikat dan majaz (kiasan). ‎

7. Mengetahui nasikh dan mansukh baik yang terdapat dalam Quran maupun hadits sehingg tidak membuat produk hukum berdasar pada nash (teks) yang sudah dimansukh.
8. Mengetahui keadaan perawi hadits dalam segi kekuatan dan kelemahannya. Membedakan hadits sahih dari yang dhaif atau maudhu', yang maqbul (diterima) dari yang mardud (tertolak).

9. Memiliki kecerdasan dan kemampuan dalam bidang pengembilan hukum yang dihasilkan dari pembelajaran dan pendalaman dalam masalah dan studi hukum syariah.
10. Adil. Dalam arti bukan fasiq. Fasiq adalah orang yang pernah melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.

Syarat-syarat keilmuan di atas tidak harus dikuasai secara sangat mendalam. Yang terpenting adalah memiliki pemahaman yang baik (tingkat menengah) pada ilmu-ilmu di atas.

Sebagian ulama juga mensyaratkan penguasaan pada ilmu mantiq dan ilmu kalam. Namun, sebagian besar ulama tidak mensyaratkannya. 
 
BENTUK PENYEBARAN IJTIHAD

Seorang ulama yang ahli di bidang hukum fiqih (syariah) memiliki beberapa cara untuk mengeluarkan dan menyebarkan hasil ijtihadnya sebagai berikut:

1. Fatwa. Menerbitkan fatwa sudah menjadi tradisi yang dilakukan sejak zaman Sahabat. Yang paling terkenal seperti Muadz bin Jabal, Umar bin Khatab, Zaid bin Tsabit. Pada saat ini, pemberian fatwa dilakukan dengan beberapa cara mulai dari peneribitan majalah dan internet yang kemudian dibukukan.

2. Studi kajian dan pembahasan mendalam pada tingkat master atau doktoral di universitas. Seperti Kitabuz Zakah karya Yusuf Qardhawi yang merupakan disertasi doktoralnya dari Al-Azhar.

3. Kodifikasi hukum untuk bidang-bidang tertentu. Ini biasa dilakukan oleh para ahli hukum fiqih yang juga menjadi pejabat pengadilan agama di negara masing-masing. Di Indonesia contohnya seperti UU Perkawinan No 01 tahun 1974 dan KHI atau Kodifikasi Hukum Islam.
 
CARA ISTINBAT (PENGAMBILAN) HUKUM DARI QURAN HADTS

Seseorang yang memiliki keahlian di bidang agama dapat mengambil keputusan hukum (intibat al-hukm) langsung berdasarkan Quran dan Hadits asal memenuhi syarat-syaratnya seperti tersebut dalam syarat-syarat ijtihad.

Seorang muslim yang hanya mengetahui ayat Quran dan hadits Nabi belum dapat menjadi mujtahid atau mengambil hukum langsung dari kedua sumber utama Islam itu kecuali apabila memiliki ilmu-ilmu tambahan yang diperlukan untuk melakukan istinbat hukum.


KITAB RUJUKAN IJTIHAD 

Beberapa kitab di bawah dapat dijadikan rujukan dan bacaan lanjutan untuk soal ijtihad ini:

Ulama madzhab Syafi'i

- Az-Zarkasyi dalam Al-Bahrul Muhith
- Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa
- As-Subki dalam Jam'ul Jawamik Syarhul Mahalli.
- At-Taftazani dalam At-Tawsyih.
- dll

Ulama madzhab Hanafi

- Al-Jassas dalam Al-Fushul fil Ushul
- Abdul Aziz Al-Bukhari dalam Kashful Amrar
- Ibnu Amir Al-Haj dalam At-Taqrir wat Tahbir
- dll

Ulama madzhab Maliki

- Ibnu Farhun dalam Tabshiratul Hukkam
- Al-Mardawi dalam Al-Inshaf
- Al-Futuhi dalam Syarhul Kaukab
-‎ dll

 ULAMA MADZHAB HANBALI

- Al Husain Al-Samuri dalam Al-Mustaw‘ib
- Ibnu Muflih dalam Al-Furu'
- Al-Muqoddasi dalam Al-Mughni
- dll

Dalam prakteknya, dalil di atas tidak digunakan secara keseluruhan oleh para ulama ushul. Misalnya dalam madzhab Hanafi, dalil yang dijadikan pegangan dalam menginstinbathkan hukum hanya ada delapan, yaitu; Qur’an, Sunnah, atsar, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf. Madzhab Maliki dalam menetapkan suatu hukum berpegang pada dalil Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, perbuatan ahli Madinah, maslahat mursalah, istihsan, dzara’i, ‘urf, dan istishhab. Sedangkan pada kalangan al-Syafi’i, dalil yang digunakan pada umunya berupa Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas.6

Dengan demikian, meskipun dalil-dalil hukum itu jumlahnya banyak, tetapi dalam penerapannya para ulama berpegang pada dalil-dalil yang diyakininya saja sebagai dalil hukum yang dianggapnya dapat dijadikan sebagai hujjah.

Dalil-dalil tersebut dilihat dari segi kualitasnya dapat dibagi kepada dua macam, yaitu dalil qath’i dan dalil dhanni. Dalil qath’i adalah dalil yang menunjukkan pada sesuatu yang jelas, tidak mungkin dita’wilkan dan dipahami lain. Yang termasuk ke dalam dalil qath’i ialah ayat-ayat Qur’an yang dalalahnya sangat jelas dan hadits-hadits mutawatir. Sedangkan dalil dhanni berarti sebaliknya, ia menunjukkan sesuatu yang belum jelas, sehingga ada kemungkinan untuk dita’wilkan atau dipahami lain. Yang termasuk ke dalam dalil ini adalah selain dari kedua jenis dalil di atas.

Dengan demikian, istilah dalil qath’i dan dhanni berhubungan dengan nilai dan kualitas sesuatu dalil, hal-hal yang qath’i atau tegas tidak diragukan lagi, sudah tentu berbeda dengan yang dhanni baik dalam fungsinya maupun di dalam tempatnya. Mengenai kehujjahannya, dalil yang bernilai qath’i baik dari segiwurudnya maupun dari segi dalalahnya (penunjukannya) adalah dalil yang tertinggi nilainya dan merupakan pegangan yang mutlak untuk dijadikan dasar suatu hukum, ia juga bukan lapangan ijtihad. Sedangkan dalil yang dhanni merupakan lapangan ijtihad, dan hasil ijtihadnya pun bernilai dhanni pula.

Dilihat dari segi cakupan maknanya, dalil-dalil hukum syara’ dibagi kepada dalil kully dan dalil juz’iy.dalil kully adalah dalil yang maknanya mencakup keseluruhan dan bersifat umum, ia tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukallaf. Sedangkan dalil yang juz’iy ialah dalil yang menunjuk kepada suatu persoalan dan suatu hukum tertentu.7

Dalil kully adakalanya berupa ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah yang kully. Contoh dari ketiganya ialah:


Firman Allah surah al-Baqarah ayat 29:
هُوَالَّذِى خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا

“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.”

Ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh untuk dipergunakan oleh manusia. Kata مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا (segala sesuatu yang ada di bumi) bersifat umum mencakup semua yang ada di darat dan di laut.

Dari ayat ini diambil dasar kaidah:

الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ

“Pokok hukum segala sesuatu adalah membolehkan”.


Hadist Nabi yang berbunyi:

عَنْ أَبِى سَعِيْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سَنَانٍ الخُدْرِى قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sanan al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw: “Tidak boleh memadlaratkan diri sendiri dan tidak boleh dimadlaratkan orang lain” (H.R. Ibnu Majah dan Daru Quthniy).

Hadits di atas melahirkan kaidah kemaslahatan, yakni membina segala ketetapan dibangun atas dasar kemaslahatan.


Kaidah fikih yang berbunyi:

االمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

“Kesukaran itu mendatangkan kemudahan”.

Di antara contoh dalil yang juz’iy adalah ayat:

يَآ أَبـُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sekalian”.

Dalam pembahasan mengenai kedua dalil ini harus dibedakan antara dalil yang kully dengan lafadz ‘am,dan dalil yang juz’iy dengan lafadz khas. Istilah ‘amdan khas, dikenal di dalam kajian lafadz atau pendekatan linguistik (kebahasaan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an, di mana yang difokuskan adalah makna ayat dari sudut pandang kata perkata.‎

Predikat mujtahid memiliki empat tingkatan, yaitu:

Mujtahid mutlak. Mereka adalah mujtahid yang membangun madzhab hukum tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, beserta orang-orang yang setaraf dengan para imam madzhab seperti Zaid bin Tsabit, Ja’far al-Shadiq, al-Tsauri,al-Auza’i,dan sebagainya.

Mujtahid fi al-madzhab (mujtahid madzhab). Mereka adalah mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya akan tetapi bila terdapat sesuatu permasalahan yang tidak ditemukan dalam pendapat imamnya, mereka berijtihad menurut kaidah yang dipergunakan dalam madzhabnya, lalu mengeluarkan pendapatnya menurut cara-cara yang dipergunakannya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Hasan, dan Zufar dalam madzhab Hanafi; al-Muzany dalam madzhab Syafi’i.

Mujtahid fi al-masa’il (mujtahid fatwa). Mereka adalah mujtahid yang mendalami madzhab imamnya dan mampu menentukan pendapat mana yang kuat dan mana yang lemah, serta mampu menetapkan cara berdalil yang kuat dan cara berdalil yang lemah yang dipergunakan para shahabat dan para imam madzhabnya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Thahawi dalam madzhab Hanafi, al-Ghazali dalam madzhab Syafi’i, dan al-Khiraqi dalam madzhab Hanbali.

Mujtahid muqayyad atau ashhab al-Takhrij(Ahli takhrij). Mereka adalah orang-orang yang mengikatkan diri dengan pendapat-pendapat salaf dan mengikuti pendapat mereka. Hanya saja mereka mengetahui madarik al-ahkam dan memahami dalalah-dalalahnya. Mereka juga memiliki kemampuan untuk menentukan mana yang lebih utama dari pendapat-pendapat yang berbeda dalam suatu madzhab dan dapat membedakan riwayat yang kuat dari riwayat yang lemah. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Karakhi dan al-Qaduri dalam madzhab Hanafi, al-Rafi’i dan al-Nawawi dalam madzhab Syafi’i.

Kembali pada uraian di atas, ijtihad merupakan sebuah proses kerja yang dilakukan oleh seorang mujtahid dengan upaya yang maksimal dalam menemukan dan menetapkan hukum syar’i.

Dalam Istilah ushul fikih, hukum syar’i didefinisikan sebagai:

خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا

“Firman Syari’ (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau berupa ketetapan”.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwaSyari’ atau pembuat hukum adalah Allah, karena hukum Islam adalah peraturan-peraturan agama yang bersumber pada kewahyuan. Wahyu di sini ada yang redaksinya langsung dari Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw, dan ada yang redaksinya disampaikan langsung oleh Nabi. Jenis wahyu pertama disebut dengan al-Qur’an, dan jenis wahyu yang kedua disebut dengan al-Sunnah.

Kedua wahyu tersebut selanjutnya dikenal secara familiar sebagai sumber hukum Islam. Keduanya mengandung makna sebagai tempat atau rujukan utama dan asal dari segala hukum Islam. Dalam hal ini, Ahmad Hasan menyatakan bahwa sumebr materi pokok hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Otoritas keduanya tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan. Sementara itu, qiyas dan ijma’ sesungguhnya adalah alat atau jalan untuk menetapkan suatu hukum mengenai masalah-masalah baru di mana tidak ada bimbingan atau petunjuk langsung dari Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikannya. Oleh karenanya, qiyas dan ijma’tidak dipandang sebagai sumber hukum, ia lebih tepat disebut dengan dalil hukum. Kebenaran dalil-dalil ini akan ditentukan oleh sejauh mana kedua dalil ini sesuai dengan ruh dan syari’at yang terdapat dalam Qur’an dan Sunnah.

Berkenaan dengan Syari’ atau pembuat hukum, para ulama sepakat bahwa hak untuk menentukan hukum syar’i adalah hak mutlak Allah. Hukum yang dibuat-Nya disampaikan kepada manusia melalui wahyu, baik secara langsung melalui perantaraan malaikat maupun secara tidak langsung, yakni disampaikan melalui “kebijakan” Nabi. Manusia tidak memiliki kebebasan untuk menciptakan hukum syar’i berdasarkan pada keinginan dan pertimbangan kemanusiaannya semata.

Tugas manusia dalam kaitannya dengan hukum syar’i, secara teknis terbatas pada penafsiran terhadap kehendak Tuhan dalam menentukan hukum-hukumnya. Secara rinci tugas manusia (yang lebih kompeten; para mujtahid) dalam kerangka istinbath hukum adalah:

menerangkan wahyu Allah baik berupa al-Qur’an maupun al-Sunnah apabila dirasakan tidak cukup jelas, sehingga dapat diketahui apa isi perintahnya atau apa norma-norma yang terkandung di dalamnya.

memperluas hukum atau norma yang ada, sehingga dapat diterapkan pada berbagai perbuatan atau masalah sejenis yang tidak ditemukan aturannya (tidak di atur secara rinci dalam al-Qur’an dan Sunnah)‎
Dari uraian di atas kiranya perlu dipahami bahwa tugas para mujtahid dalam menetapkan hukum Islam secara substantif adalah menerangkan wahyu Allah yang dianggap belum jelas isi dan kandungan perintahnya, dan memperluas hukum syara’ atas semua peristiwa atau masalah sejenis yang tidak diatur secara jelas di dalam wahyu-Nya. Kata memperluas hukum di sini dapat dilakukan dengan melalui analogi dan semisalnya.

Dengan demikian tugas mujtahid dapat diarahkan pada dua hal, yaitu menafsirkan ayat-ayat hukum yang belum diketahui dengan pasti ketetapan hukumnya, dan menerapkan hukum yang telah ada serta menjadikannya sebagai sandaran di dalam menetapkan hukum atas permasalahan yang baru di mana ketetapan hukumnya belum diketahui.

Oleh karena itu masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah hukum syara’ yang tidak ada padanya dalil qath’i (dalil yang sudah jelas maknanya). Dalam kalimat lain, lapangan ijtihad adalah masalah-masalah hukum yang dalil-dalilnya bersifat dhanni, terutama masalah-masalah furu’ (cabang) yang bersifat praktis.

Dalam hal ini ijtihad tidak terbatas pada ruang lingkup masalah yang baru saja, tetapi ia memiliki kepentingan lain yang berkaitan dengan khazanah hukum Islam, yaitu dengan mengadakan peninjauan kembali masalah-masalah yang ada di dalamnya berdasarkan kondisi yang terjadi pada masa sekarang dan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memilih mana pendapat yang terkuat dan yang paling cocok, dengan merealisasikan tujuan-tujuan syari’at dan kemaslahatan manusia. Sesuai dengan kaidah fiqih bahwa, “perubahan fatwa itu disebabkan karena perubahannya zaman, tempat dan keadaan”.

Dalam kaitannya dengan ruang lingkup ijtihad di atas, maka tugas mujtahid sekarang diarahkan pada dua hal, yang pertama; tugas yang berhubungan dengan masa lalu yakni dengan melakukan upaya-upaya peninjauan kembali atas masalah-masalah yang sudah dibahas oleh para mujtahid sebelumnya kemudian disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa kini; serta melakukan upaya-upaya tarjih(mencari pendapat yang terkuat) dan pendapat yang dianggap sesuai dengan kondisi sekarang yang didasarkan pada maqashid al-syari’ah dan kemashlahatan umum. Yang kedua; tugas yang berhubungan dengan masa kini, yakni menemukan dan menetapkan hukum serta menerapkannya pada masalah-masalah baru yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf.

Itulah sebabnya (barangkali), kenapa mujtahid jika ketetapannya salah dia masih mendapatkan pahala. Setidaknya ada dua alasan; pertama: masalah yang diijtihadi adalah masalah-masalah dhanni, dan kedua: ia diberi pahala karena pengabdiannya atas usahanya itu secara maksimal, akan tetapi ia tidak mencapai kebenaran itu lantaran kurangnya bukti-bukti dan dalil-dalil atau minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh mujtahid yang bersangkutan tentang permasalahan yang dibahasnya.‎

DEFINISI TAQLID

Dalam pengertian bahasa taqlid (taklid) berasal dari bahasa Arab yaitu qallada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti.

Pengertian taklid dalam istilah syariah (fiqih)

Yaitu mengambil atau mengikuti pendapat mujtahid yang sudah memenuhi persyaratan ber-ijtihad dan mengamalkan pendapatnya dalam segala masalah hukum yang lima yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah (boleh). Orang yang bertaqlid disebut mukallid (muqallid).

Pengertian taqlid menurut Para Ulama

Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa
التّقليد قبول بغير حجّّة وليس طريقا للعلم لافى الاْصول ولافى الفروع

Artinya: Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tanpa hujjah. Dan taqlid itu tidak dapat menjadi jalan menuju pengetahuan (keyakinan), urusan ushul maupun dalam urusan furu.

Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul Jawamik

التقليد هو اخذ القول من غير معرفة دليل
 
Artinya: Taklid adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.

Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam VI/60

Sesuatu yang diyakini benar oleh seseorang tanpa dalil karena beberapa orang (ulama) selain Nabi telah mengatakannya.

Ibnu Abdil Barr dalam Jamik Bayan Al-Ilm II/37

Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bishri Al-Maliki berkata: Makna taklid secara syariah adalah: merujuk pada suatu pendapat yang tanpa hujjah (dalil) dari yang mengeluarkan pendapat itu. Ini dilarang dalam syariah. Sedangkan Ittibak adalah pendapat yang disertai hujjah atau dalil. 

Ibnu Abdil Barr dalam Jamik Bayan Al-Ilm II/117

Taqlid menurut segolongan ulama adalah yang bukan ittibak. Karena ittibak adalah seseorang mengikuti perkataan orang lain (ulama) berdasarkan pada keutamaan ucapan dan kebenaran madzhabnya. Sedangkan taklid adalah anda berkata (mengutip) dengan ucapannya sedangkan anda tidak mengetahuinya dari sisi pendapat dan maksudnya. 

Khatib Al-Baghdadi dalam Al Faqih wal Mutafaqqih, hlm. II/66

Taklid adalah menurut pendapat seseorang (ulama) tanpa dalil.

Qadhi Abdul Wahab Al-Maliki dikutip oleh Suyuthi dalam Ar-Radd ala man Akhlada ilal Ard, hlm. 125

Taklid adalah mengikuti pendapat seseorang karena orang itu berkata demikian tanpa pengetahuan atas benar atau salahnya. 

As-Syaukani 

Taqlid adalah menerima suatu pendapat tanpa dalil (hujjah). Tidak termasuk taklid apabila seseorang melakukan suatu karena perkataan Nabi atau ijmak ulama, atau merujuknya orang awam pada pendapat mufti, atau merujuknya hakim pada kesaksian orang yang adil karena ada hujjah dalam hal tersebut. Adapun mengamalkan perkataan Nabi dan ijmak maka sudah dijelaskan dalilnya dalam soal itu dalam tujuan Sunnah dan Ijmak. ‎

Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.

Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. 

Allah swt berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُون

“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).‎

HUKUM TAKLID BAGI ORANG AWAM 

Ada 2 (dua) pendapat tentang hukum taqlid bagi orang awam. (a) Wajib atau boleh; (b) Haram; .

Pendapat pertama wajibnya taqlid bagi orang awam adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Baik taklid dalam soal akidah (ushul) atau fiqih (furu'iyah). 

Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa mengatakan:
العامي يجب عليه الاستفتاء واتباع العلماء

Artinya: Orang awam wajib meminta fatwa dan ikut pada (pendapat) ulama.

Ibnu Abdil Barr mengatakan dalam Jami' Bayanil Ilmi wa Fadhlihi mengatakan

العامة لا بد لها من تقليد علمائها عند النازلة تنزل بها؛ لأنها لا تتبين موقع الحجة، ولا تصل بعدم الفهم إلى علم ذلك؛ لأن العلم درجات لا سبيل منها إلى أعلاها إلا بنيل أسفلها، وهذا هو الحائل بين العامة وبين طلب الحجة"، .. "ولم تختلف العلماء أن العامة عليها تقليد علمائها، وأنهم المرادون بقوله -عز وجل-: فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ .

Arti ringkasan: Orang awam harus taklid pada ulama mereka karena orang awam tidak memiliki kapasitas keilmuan untuk memahami argumen tingkat tinggi inilah yang menjadi penghalang antara orang awam untuk mencapai argumen sendiri. Ulama sepakat bahwa orang awam wajib taklid pada ulama mereka itulah yang dimaksud Allah dalam Quran QS An-Nahl :43

Pendapat kedua bahwa taklid bagi orang awam itu haram adalah pendapat dari sebagian golongan Qadariyah dan Ibnu Hazm. Ini adalah pendapat yang sangat minoritas dari kalangan ulama Islam.

Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum: Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.

Taqlid yang diharamkan.

Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

Taqlid yang dibolehkan

Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.

Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya”

Taqlid yang diwajibkan

Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan al-Hadis yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah swt dan hikmah (Sunnah Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34)

lnilah Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita selalu ittiba’(mengikuti) kepadanya, dan Allah swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.

Taqlid yang Berkembang

Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).

Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.

Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid

a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d. Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.

Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ ۖ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ

Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka". Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” (QS. az-Zukhruf[43] : 22-24)

Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’

Terdapat perbedaan antara taqlid dan ittiba’ diantara hal yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:

Pertama, Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”

Kedua, Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”

Ketiga, Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah saw, ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadis shahih yang menyelisihinya, maka hadis Nabi lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”.

Keempat, Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi saw dan para sahabatnya”

Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada Mereka

lbnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.
Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Allah swt . Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.

Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagai timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah saw.

ITTIBA`

Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ)yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa’ (اقتفاء)(menelusuri jejak), qudwah(قدوة) (bersuri teladan) dan uswah(أسوة) (berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.

Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti).

Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.

Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.
2. Macam-Macam Ittiba`
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya

Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.

Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).

3. Tujuan Ittiba`

Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
Ittiba’

Kepada siapa kita wajib ittiba’?

Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba’ kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal ini Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Allah swt berfirman,

قال الله تعالى : ﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا ﴾

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab[33]:21).

Dalam ayat lain Allah swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr[59]: 7).

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw dan para shahabatnya.

Ittiba’ kepada Nabi saw dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi saw sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya – apakah merupakan kewajiban, kebid’ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya dst – dengan alasan karena beliau saw meyakininya.

Ittiba’ kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja.

 Sebagai contoh sabda beliau saw:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”.(HR. Bukhori).

Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.

Sedangkan ittiba’ kepada Nabi saw di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi saw di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau saw meninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba’ di dalam perbuatan.

Hukum Ittiba’

Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah saw di antaranya firman Allah swt.

قال الله تعالى : ﴿ قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ﴾

“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali lmran[3]: 32).

Dalam ayat lain Allah swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah swt dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurat[49]:1).

Demikian juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:

قال الله تعالى : ﴿ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’[4]: 115).

Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam

Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:

Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:
1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.
2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

    Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah swt semata dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah swt. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya baik."

Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya.

Allah swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾

"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran[3]: 31).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah swt sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala ucapan dan tindak tanduknya."

Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah swt dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah swt kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah saw dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah swt dan mengaku sebagai wali Allah swt, tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah swt dan sebagai wali syaitan."

Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah swt tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhai-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali Allah swt sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قال الله تعالى : ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴾

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus[10]: 62).

Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah swt menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah swt dengan membawa husnul khatimah. Amien, ya Rabbal Alami

Penjelasan Tentang Khurofat


Islam adalah agama yang mengagungkan kebenaran. Tolok ukur kebenaran dalam Islam yaitu bersumber dari wahyu Allah Ta’ala, baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Islam juga mengagungkan ilmu dan mengharamkan berkata tanpa dasar ilmu yang benar.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 147:

﴿ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ ﴾

“Kebenaran itu adalah dari Rabb-mu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”

Diantara cara berfikir yang menyimpang dari kebenaran adalah percaya kepada khurafat dan mitos. Yang dimaksud dengan mitos adalah cerita-cerita bohong tentang suatu hal seperti asal usul tempat, alam, manusia dan sebagainya yang mengandung arti mendalam dan diungkapkan dengan cara gaib. Sedangkan definisi khurafat adalah ajaran atau keyakinan yang tidak mempunyai landasan kebenaran, disebut pula takhayul.

Percaya dan bersandar pada khurafat dan mitos (cerita-cerita bohong) adalah salah satu cara berfikir dan berdalil orang-orang musryik. Mereka tidak menggunakan akal dan hati mereka untuk mencari dan mengamalkan kebenaran. Dan itu merupakan sebab mereka dimasukan ke dalam Neraka.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Mulk ayat 10:

﴿ وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ ﴾

“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuniNeraka yang menyala-nyala.”

Khurafat dan mitos merupakan salah satu sebab disembahnya patung-patung, batu, benda-benda keramat dan sesembahan lainnya selain Allah Ta’ala. Di Indonesia khususnya, banyak khurafat dan mitos yang hingga saat ini dipercaya sebagai sebuah kebenaran secara turun temurun. Bahkan bukan hanya dipercaya tapi kepercayaan itu direalisasaikan dalam bentuk ritual-ritual tertentu yang mengandung unsur kesyirikan.

Pengert Khurafat

Khurafat berasal dari kata (kharufa) yang artinya rusaknya akal karena lanjut usia. Dan kebetulan khurafat adalah nama seorang laki-laki yang dipengaruhi oleh jin, lalu ia bercerita sesuai dengan apa yang ia lihat, maka orang-orang tidak mempercayainya dan mereka mengatakan “Ah itu hanya cerita khurafat”. Jadi khurafat adalah cerita-cerita atau dongeng-dongeng dan kepercayaan-kepercayaan yang dusta (yang tidak berdasar).

Khurafat, menurut Ibnul Mandzur,

والخُرافةُ الحديثُ الـمُسْتَمْلَحُ من الكذِبِ. وقالوا: حديث خُرافةَ

Khurafat adalah berita yang dibumbuhi dengan kedustaan. Masyarakt menyebut, ‘Beritanya khurafat’

Kemudian beliau menyebutkan latar belakang istilah ini,

ذكر ابن الكلبي في قولهم حديثُ خُرافة أَنَّ خُرافةَ من بني عُذْرَةَ أَو من جُهَيْنةَ، اخْتَطَفَتْه الجِنُّ ثم رجع إلى قومه فكان يُحَدِّثُ بأَحاديثَ مـما رأي يَعْجَبُ منها الناسُ؛ فكذَّبوه فجرى على أَلْسُنِ الناس: حديث خُرافةَ

Dijelaskan oleh Ibnul Kalbi tentang pernyataan masyarakat, ‘Beritanya khurafat’ bahwa Khurafat adalah nama orang dari Bani Udzrah atau bani Juhainah. Dia pernah diculik Jin kemudian kembali ke kampungnya. Setelah itu, dia bercerita banyak tentang berbagai kejadian yang dia lihat, sehingga banyak orang terheran-heran. Sampai mereka tidak percaya dan menganggap Khurafat berdusta. Akhirnya jadi terkenal di tengah masyarakat, “Beritanya Khurafat.” (Lisanul Arab, 9/62)

Keterangan yang sama juga disampaikan az-Zirikli,

خرافة : رجل من بني عذرة، غاب عن قبيلته زمناً ثم عاد فزعم أن الجن استهوته وأنه رأى أعاجيب جعل يقصها عليهم، فأكثر، فقالوا في الحديث المكذوب (حديث خرافة)  وقالوا فيه (أكذب من خرافة) حتى سمى الحريري الكذب خرافة

Khurafat adalah nama seorang lelaki dari bani Udzrah, yang hilang dari kampungnya dalam kurun waktu yang lama. Kemudian dia kembali. Dia menyangka telah disekap Jin, dan dia telah melihat berbagai kejadian aneh. Lalu diceritakan kepada masyarakatnya panjang lebar. Hingga jadi istilah mereka untuk menyebut berita dusta, ‘Beritanya Khurafat’. Mereka juga membuat istilah, “Lebih pembohong dari pada Khurafat.” Hingga al-Hariri menyebut setiap kedustaan dengan Khurafat. (al-A’lam, az-Zirikli, 2/303).

NAMA LAIN DARI KHURAFAT

Istilah lain dari khurafat diantaranya Takhayyul, Tathayyur, Syubhat dan lain-lain. Di zaman nabi saw, ada yang dikenal dengan nama ‘Adwa, Thiyaroh, Hamah, Shofar, Nau’ dan Ghul.

‘Adwa adalah penjangkitan atau penularan penyakit. Di zaman jahiliyyah  mereka beranggapan bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya tanpa kehendak dan taqdir Allah swt.

Thiyarah adalah merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk (menganggap firasat jelek) karena melihat sesuatu seperti melihat burung, mendengar suara binatang, melihat bintang, pecahnya barang perabotan, panasnya cincin yang dibuat jadi jimat, bergetarnya keris di dalam sarungnya, melihat garis tangan, menghubungkan angka, tanggal lahir dan lain-lain sebagainya.

Hamah adalah jenis burung yang keluar pada malam hari seperti burung hantu dan lainnya. Orang-orang jahiliyyah merasa bernasib sial kalau melihat burung hantu; apabila ada burung hantu hinggap diatas rumah salah seorang  diantara mereka, dia merasa bahwa burung itu membawa berita kematian dirinya atau salah satu dari anggota keluarganya.

Shafar adalah bulan kedua dalam tahun Hijriyyah, orang-orang jahiliyyah beranggapan bahwa bulan ini membawa nasib sial atau tidak menguntungkan, dan termasuk didalamnya ada hari, atau tanggal yang tidak baik.

Nau’ adalah terbit atau teggelamnya suatu bintang. Orang-orang jahiliyyah menisbahkan (menjadikan sebab) akan turunnya hujan kepada bintang ini dan bintang itu.

Ghul adalah hantu jenis jin atau setan. Dulu orang Arab beranggapan bahwa  ghul menampakkan diri kepada manusia di padang pasir dan dapat berubah-ubah bentuk serta mereka yakin bahwa ghul dapat meyesatkan mereka (orang arab) dalam perjalanan lalu membinasakan mereka.

HUKUM KHURAFAT

Hukum Khurafat adalah haram/dilarang berdasarkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Firman Allah swt.

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ

Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.  [‎Qs. Al A’raaf  7 :131]

«فإذا جاءتهم الحسنة» الخصب والغنى «قالوا لنا هذه» أي نستحقها ولم يشكروا عليها «وإن تصبهم سيئة» جدب وبلاء «يَطَّيَّروا» يتشاءموا «بموسى ومن معه» من المؤمنين «ألا إنما طائرهم» شؤمهم «عند الله» يأتيهم به «ولكن أكثرهم لا يعلمون» أنَّ ما يصيبهم من عنده.
 
(Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran) kesuburan tanah dan kecukupan hidup (mereka berkata, "Ini adalah karena usaha kami") kami berhak memperolehnya, akan tetapi mereka tidak mau mensyukurinya. (Dan jika mereka ditimpa kesusahan) kekeringan dan musibah/bencana (mereka lemparkan sebab kesialan itu) mereka menganggap kesialan itu (kepada Musa dan orang-orang yang besertanya) dari kalangan orang-orang yang beriman. (Ketahuilah sesungguhnya kesialan mereka itu) rasa sial mereka itu (adalah ketetapan dari Allah) yang sengaja diturunkan kepada mereka (akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui) bahwa apa yang menimpa mereka adalah datang dari sisi Allah. (Tafsir Al-Jalalain, Al-A’raf 7:131)
Rasulullah saw bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ثَلاَثًا وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّل [رواه ابو داود]

Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, (beliau mengucapkan) tiga kali, dan tidak ada seorang pun diantara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal itu), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya”.[HR. Abu Daud]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ  [متفق عليه] وزاد مسلم (وَلاَ نَوْءَ وَلاَ غُولَ )

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tidak ada ‘Adwa, Thiyarah, Hamah, dan Shafar”. [‎HR. Muttafaqun Alaihi] Sedangkan dalam riwayat Muslim menambahkan “Tidak ada Nau’ serta tidak ada Ghul”.

BAHAYA KHURAFAT

Bahaya khurafat sangatlah besar bagi keselamatan iman dan amal kita baik selama hidup di dunia dan juga di akhirat. Khurafat ada yang dapat mengeluarkan pelakukan dari Islam alias kafir atau murtad, selama tidak ada yang menghalanginya untuk sampai kepada kekafiran itu, seperti ia belum mengetahui.  Bila ini terjadi, maka ia kekal didalam neraka selama-lamanya. Namun ada khurafat itu yang hanya mengurangi kesempurnaan iman yang tetap diancam dengan azab neraka sekalipun tidak untuk selama-lamanya. Diantara bahayanya:

1.     Tidak diterima shalatnya.

Rasulullah saw bersabda:

عَنْ صَفِيَّةَ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً  [رواه مسلم و احمد]

Dari Shafiyah dan sebagian istri Nabi saw, dari Nabi saw bersabda: Barangsiapa datang kepada orang pintar, lalu ia bertanya tentang sesuatu, lalu ia membenarkannya (yang dikatakan orang pintar itu) tidak diterima sholatnya  selama 40 malam“. [HR. Muslim dan Ahmad]

2.     Kafir/Ingkar

Rasulullah saw bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْحَسَنِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  [رواه الترمذي وابن ماجه واحمد والدارمي]

Dari Abu Hurairah dan Hasan ra, dari Nabi saw bersabda: Barangsiapa yang mendatangi dukun atau orang pintar lalu ia membenarkan apa yang dikatan (oleh dukun itu) maka sesungguhnya ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad saw (Alqur’an).   [HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Ad Darimi]

3.     Penghapus ‘amal kebaikan  (pahala).

Apabila menyekutukan Allah, maka lenyaplah seluruh pahala dari amal kebaikan yang pernah dilakukan sebelumnya tanpa terkecuali. Sedangkan dosanya tidak berkurang, bahkan malah bertambah.  Na’uudzu billaahi min dzaalika.

Firman Allah swt :

ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Itulah petunjuk Allah, yang dengannya dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakinya di antara hamba-hambaNya. seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [‎Qs. Al An’aam 6: 88]

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan Sesungguhnya Telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [‎Qs. Az Zumar 39 : 65]

4.     Dosanya tidak diampuni.

Firman Allah swt Qs. An Nisaa’ 4: 48, 116.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [Qs. An Nisaa’ 4: 48]

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَلِمَن يَشَآءُ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. [Qs. An Nisaa’ 4:116]

Dosa syirik tidak diampuni kalau sampai wafat ia tidak pernah bertaubat kepada Allah swt atas kesyirikan yang pernah ia lakukan. Sedangkan kalau ia bertaubat dan tidak melakukan kemusyrikan sampai akhir hayat, Insya Allah dosanya diampuni. Sebagaimana para sahabat yang pernah menyembah berhala, setelah masuk islam, mereka tidak pernah lagi menyekutukan Allah. Bahkan Allah memberi gelar kepada para mereka “Kuntum Khaira Ummah“ (kamu adalah umat terbaik) yang mendapat jaminan dari Rasulullah saw akan masuk surga.

5.     Diharamkan masuk surga, tempatnya adalah neraka dan tidak ada penolong baginya.

Firman Allah swt :

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.“[QS. Al-Maidah:72]

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ 

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.“[QS.Al Maidah:73]
APA YANG HARUS DILAKUKAN

Yang harus kita lakukan ada dua: Pertama: Bagi kita yang pernah terjerumus ke dalam khurafat, maka segeralah bertaubat dari dosa bersar itu sebelum ajal menjemput. Firman Allah swt:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ‎

"Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ‏[‎Qs. Az Zumar 39: 53]

Kedua: Al Fa’l atau At-Tafa’ul (optimis atau rasa penuh harap) yaitu berprasangka baik dan bertawakkal kepada Allah swt.

Sabda Rasulullah saw:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ  [متفق عليه]

Dari Anas bin Malik ra, bahwa Nabi saw bersabda : “Tidak ada ‘Adwa dan Thiyarah, tetapi Al Fa’lmenyenangkan diriku”. Para shahabat bertanya : “Apakah Al-Fa’l itu ? Beliau menjawab : “Yaitu kalimat ‎Thayyibah” (kata-kata yang baik). [‎HR. Muttafaqun ‘Alaih]

عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ قَالَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ مَنْ لَقِيَ اللَّهَ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ قَالَ أَلاَ أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ لاَ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَتَّكِلُوا  [رواه احمد و البخاري]

Dari Anas bin Malik ra, berkata, Bahwa Nabi saw bersabda kepada Muadz bin Jabal. Barangsiapa yang bertemu dengan Allah (mati) sedang ia tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya (Allah), ia masuk surga. Berkata Muadz, Perlukah aku beri tahu hal ini pada orang-orang. Sabda Nabi saw. Jangan. Aku khawatir mereka tergantung hanya kepadanya.[HR. Ahmad dan Bukhari]

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَحْمَدُ الْقُرَشِيُّ قَالَ ذُكِرَتْ الطِّيَرَةُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَحْسَنُهَا الْفَأْلُ وَلاَ تَرُدُّ مُسْلِمًا فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُلْ: اَللَّهُمَّ لاَ يَأْتِي بِالْحَسَنَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ  [رواه ابو داود]

Dari Uqbah bin Amir ra, bahwa Ahmad Al Quraisyi mengatakan bahwa Thiyarah disebut-sebut dihadapan Nabi saw, lalu beliau pun bersabda : “Yang paling baik adalah Al-Fa’l, dan Thiyarahtersebut tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari niatnya. Apabila salah seorang diantara kamu melihat sesuatu yang tidak diinginkan maka supaya berdo’a: “Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Engkau, tidak ada yang dapat menolak keburukan selain Engkau, dan tiada daya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau”. [‎HR. Abu Daud]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ثَلاَثًا وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ [رواه ابو داود]

Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, (beliau mengucapkan) tiga kali, dan tidak ada seorang pun diantara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal itu), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya”.[HR. Abu Daud]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ قَالَ أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ : اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ  [رواه احمد]

Dari Abdullah bin ‘Amr ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang thiyarah (berfirasat buruk) telah mengurungkan hajatnya, maka ia telah berbuat syirik. Para shahabat bertanya, “Lalu apakah sebagai tebusannya ? Beliau menjawab, “Supaya ia mengucapkan: “Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, dan tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tiada sesembahan yang hak selain Engkau”.  [HR. Ahmad]

Berbagai Khurafat Yang Ada Di Masyarakat 

Salah satu contoh mitos yang hingga saat ini masih diyakini adalah mitos tentang Candi Prambanan, asal usul gunung Tangkuban Perahu, asal usul Danau Toba dan beberapa tempat lainnya. Berkaitan dengan mitos candi prambanan, diyakini bahwa candi ini dibuat Bondowoso sebagai syarat untuk menikahi Roro Jonggrang yang meminta seribu candi dalam semalam. Kemudian Bondowoso mengutuk Roro Jonggrang menjadi candi pelengkap keseribu karena menghianti janji. Muncul khurafat dan mitos bahwa pasangan yang datang ke tempat tersebut secara bersama akan terputus hubungannya. Tempat lain yang memiliki khurafat putus hubungan semisalnya adalah Kebon Raya Bogor, Baturaden di Kabupaten Banyumas, dan Air terjun Coban Rondo di Malang.

Adapun contoh khurafat lainnya terkait dengan jodohadalah jangan makan depan pintu nanti jodohnya jauh, jangan makan di tempat tidur nanti jodohnya pemalas, jangan makan menggunakan dua piring nanti istrinya dua, dan jangan nyapu setengah-tengah nanti jodohnya jelek.

Di Indonesia juga memiliki banyak khurafat dan mitos hantu. Banyak nama-nama hantu yang dipercaya sampai saat ini yang masih dipercaya adalah hantu kuntilanak, Sundel Bolong, Tuyul, Pocong, Genderuwo, Wewe gombel dan nama hantu lainnya. Contoh mitos hantu-hantu tersebut adalah Tuyul yaitu dipercaya sebagai makhluk halus yang digambarkan berwujud anak kecil dengan kepala gundul dan berjiwa kerdil, Tuyul dapat diperkerjakan dengan pekerjaan tertentu dan biasanya untuk mencuri uang. Untuk menangkal tuyul, orang memasang yuyu di sejumlah sudut rumah karena tuyul dipercaya menyukai yuyu sehingga ia lupa akan tugas yang dibebankan pemiliknya.

Khufarat dan mitos lain adalah terkait denganbinatang yang dipercaya memiliki kaitan dengan mistis yaitu kucing hitam, burung hantu, anjing hitam, ayam hitam, dan hewan lainnya. Contoh yang terkait dengan kucing hitam, yaitu dipercaya memiliki mistis, dan ada juga yang percaya bahwa keberadaan kucing hitam menunjukan adanya penampakan hantu atau sekedar lewat, juga dipercaya keberadaannya menandakan malapetaka. Sedangkan mitos burung hantu adalah dipercaya sebagai sahabat setan, suaranya dimaknai sebagai tanda datangnya kematian serta berbagai malapetaka lainnya.

Contoh khurafat dan mitos lain adalah terkait tempat-tempat yang dianggap keramat adalah Lawang Sewu Semarang, Alas Purwo, Gunung Merapi dan Alas Roban serta tempat lainnya. Tempat-tempat tersebut dipercaya memiliki keramat dan keangkeran. Sebagai contoh, misalnya pantai selatan yang dianggap angker dan dipercaya banyak dihuni bangsa jin yang dipimpin oleh Ratu Kidul, sehingga ungkapan rasa syukur dan memohon perlindungan dilakukan dengan cara nadranan semacam ruwayatan, mengirim sesajen, sembelihan lalu dikirim ke laut.

Itulah beberapa contoh mitos-mitos yang tersebar di masyarakat. Dan masih banyak mitos lainnya yang sampai saat ini masih diyakini oleh masyarakat yang jahil akan akidah Islam.

Keyakinan pada khurafat dan mitos ini pada hakehatnya adalah pemikiran masyarakat musyrik jahiliyyah. Meraka bersandar kepada khurafat dan mitos sehingga akal sehat mereka rusak dan begitupula teori keilmuan mereka. Sehingga akidah dan muamalah mereka sesat dan menyesatkan karena tidak berlandaskan pada wahyu Allah Ta’ala melainkan pada khurafat dan mitos yaitu cerita-cerita bohong.

Secara umum, penyimpangan utama khurafat dan mitos terletak pada penisbatan terjadinya sesuatu diantaranya musibah, kemudahatan dan kemanfaatan kepada selain Allah Ta’ala, baik tempat, benda, binatang, manusia, dan bangsa jin ataupun yang lainnya. Dan ini bertentangan dengan prinsip dasar Islam, bahwa Allah-lah yang Maha Kuasa dalam menimpakan kemudarahatan dan memberikan kemanfaatan kepada makhluk-makhluk-Nya.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Thagabun ayat 11:

﴿ مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴾

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hadid ayat 22:

﴿ مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ﴾

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Selain menyelisihi penisbatan kejadian alam semesta kepada selain Allah Ta’ala. Kepercayaan terhadap khurafat dan mitos yang direalisasikan dalam bentuk ritual tertentu baik sesajen, ruwatan, dan yang lainnya untuk memohon kebaikan dan meminta perlindungan telah menyimpang dari prinsip dasar Islam yang mengajarkan tauhid yaitu berdo’a, memohon kebaikan dan berlindung dari keburukan hanya kepada Allah Ta’ala semata. Karena hanya Dia-lah yang mampu mendatangkan manfaat dan mudharat.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 106:

﴿ وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ ﴾

“Dan janganlah kamu beribadah kepada yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.”

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ahqaf ayat 5-6:

﴿ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ. وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ﴾

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yangberibadah kepada sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.”

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat Fatir ayat 13:

﴿ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ ﴾

“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.”

Penyelisihan lain dari kepercayaan terhadap khurafat dan mitos adalah keyakinan tanpa dasar ilmu. Padahal Islam adalah agama ilmu. Allah Ta’ala menurunkan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber utama ilmu dalam meniti kehidupan ini dan sebagai hidayah bagi manusia.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 36:

﴿ وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ﴾

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Tapi justru memang sebaliknya, orang-orang musyrik yang percaya kepada khurafat dan mitos menuduh wahyu Allah Ta’ala sebagi mitos (cerita-cerita dusta) belaka. Dan inilah salah satu sebab kekufuran mereka.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Qalam ayat 15 dan al-Muthafifin ayat 13:

﴿ إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ ﴾

“Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala.”

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 24:

﴿ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ قَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ ﴾

“Dan apabila dikatakan kepada mereka “Apakah yang telah diturunkan Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Dongeng-dongengan orang-orang dahulu”

Lebih spesifik lagi, penyimpangan mitos dan khurafat banyak terkait dengan tauhid rububiyyah dan ‎uluhiyyah. Dalam tauhid rububiyyah, ummat Islam harus meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Rabbul-Alamin, Pencipta, Penguasa dan Pengatur alam semesta. Segala yang terjadi pada alam semesta ini adalah atas kehendak dan kekuasaan Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala sebagai Rabb alam semesta maka peribadatan harus diperuntukan hanya kepada-Nya semata termasuk berdo’a, meminta pertolongan, meminta perlindungan, takut, harap dan lain-lain dan inilah yang disebut dengan tauhid uluhiyyah.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 21:

﴿ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴾

“Hai manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”

Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk memurnikan peribadatan kepada Allah Ta’ala karena Dia satu-satunya Rabb yaitu Pencipta manusia seluruhnya. Jadi pengakuan rububiyah Allah Ta’ala mewajibkan pengamalan tauhid uluhiyyah.

Dengan demikian, dapatlah kita pahami bahwa khurafat dan mitos banyak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar Islam. Maka hukum percaya kepada khurafat dan mitos adalah syirik. Adapun klasisikasi syirik akbar atau syirik ashgar tergantung pada jenis khurafat dan mitos serta pengamalan dari kepercayaan tersebut.

Salah satu contoh khurafat yang dikategorikan syirik ashgar adalah: Jangan makan di pintu nanti jodohnya balik lagi, jangan duduk di atas bantal nanti bisulan, atau yang semisalnya. Yaitu perkataan yang dimaksud sebagai nasehat yang baik yang tidak menyelisihi hukum Islam atau tauhid akantetapi diungkapkan dengan kata-kata yang salah dan kata-kata tersebut tidak diyakini kebenarannya, hanya sekedar untuk menakut-nakuti saja. Dan khurafat ini tidak sampai kepada kesyirikan akbar. Allahu a’lam

Adapun salah satu contoh khurafat dan mitos yang dikategorikan syirik akbar seperti keyakinan akan keberadaan Nyi Rodo Kidul sebagai penguasa pantai selatan, meyakini dialah yang menguasai pantai tersebut atau bahkan sampai melakukan ritual nadranan (ruwatan) meminta manfaat dan tolak bala kepada Nyi Roro Kidul. Khurafat dan mitos ini adalah syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Dan termasuk kategori ini jika sudah masuk pada ranah merampah rububiyyah dan uluhiyyah Allah serta menisbatkannya kepada selain Allah. Allahu a’lam

Banyak dampak yang ditimbulkan dari kepercayaan kepada khurafat dan mitos, yaitu: mendatangi tukang sihir dan dukun, pengagungan terhadap Jin dan Setan dan terpengaruh ramalan-ramalan buruk. Dan juga ritual-ritual kesyirikan yang dianggap sebagai penolak bala dan manfaat lainnya seperti ritual sesajen, ruwatan (nadranan), sedekah bumi, kurban untuk makhluk ghaib dan ritual syirik yang lainnya.

Dari pemaparan perihal mitos dan khurafat, maka perlu dipahami bahwa Islam adalah agama tauhid dan melarang semua bentuk kesyirikan. Pemalingan hak rububiyyah, uluhiyyah dan asma wa sifat kepada selain Allah adalah bentuk kesyirikan yang diharamkan dalam Islam.

Adat Bisa Dijadikan Sebagai Hukum

العادة محكمة

“Adat kebiasaan dapat dijadikan pijakan hukum”

Dasar kaidah ini adalah Hadis Mauquf:

ما رأه مسلمون حسنا فهو عند الله حسن (أخرجه أحمد عن إبن مسعود)

“Apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka baik pula di sisi Allah”

Sebagian ulama berpendapat bahwa dasar kaidah di atas adalah Firman Allah, Surat Al-A’raf: 199).

خذ العفو العفو وأمر بالمعروف وأعرض عن الجاهلين

“Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan perintahkanlah dengan sesuatu yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” (QS. Al-A’raf: 199).

Setelah memperhatikan kaidah serta ayat-ayat dan hadist yang menjadi dasar kaidah, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang Ta’rif dari Al-Adaah dan Al-Uruf serta hubungannya dengan hadist.

Menurut Al-Jurjani:

العادة ما استمر الناس عليه على حكم المعقول وعادوا إليه مرة بعد أخرى

“Al-Adaah ialah sesuatu (Perbuataa atau Perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulangnya terus menerus”

Sedangkan Al-Uruf, kebanyakan ulama Fiqih mengartikan sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreatifitas-imajenatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya.

Sedangkan Al-Uruf, terbentuk dari akar kata Al-Muta’araf, yang mempunyai makna “saling mengetahui”. Dengan demikian, proses terbentuknya adat, menurut Muhammad Shidqi adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus. Proses pengulangan inilah yang disebut Al-‘awd wal mu’awadah. Ketika pengulangan itu membuatnya tertanam dalam hati setiap prang, maka ia telah memasuki stadium Al-Muta’araf.

Adapun “Uruf” menurut ulama Ushul Fiqih adalah:

عادة جمهور قوم فى قول او فعل

“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”

Dari definisi-definis di atas dan juga ta’rif yang diberikan oleh ulama-ulama yang lain, dapat dipahami bahwa Al-Uruf dan Al-Adah adalah searti, yang mungkin merupakan perbuatan atau perkataan. Keduanya harus betul-betul berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang sehat serta tabiat yang sejahtera.

Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’, sehingga merupakan yang dimaksud oleh hadis di atas, yaitu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin.

Dengan sendirinya tidak termasuk dalam pengertian “adaah dan uruf di sini, hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan, tidak ada faedahnya sama sekali. Misalnya: Muamallah dengan riba, judi, saling daya memperdayakan, menyabung ayam dan sebagainya. Meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan mungkin bahkan tidak dirasa lagi keburukannya.

Hukum asal adat atau kebiasaan manusia adalah boleh sampai ada dalil yang melarang. Ini kaedah penting dari kaedah fikih yang patut diingat.
Selanjutnya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan di bait syairnya,
 
والأصل في عاداتنا الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة
 
“Hukum asal adat kita adalah boleh selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum bolehnya.“
Para ulama memberikan ungkapan lain untuk kaedah di atas,
الأصل في العادات الإباحة
“Hukum asal untuk masalah adat (kebiasaan manusia) adalah boleh.”
Ibnu Taimiyah berkata,‎
وَالْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ لَا يُحْظَرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَظَرَهُ اللَّهُ

“Hukum asal adat (kebiasaan masyarakat) adalah tidaklah masalah selama tidak ada yang dilarang oleh Allah di dalamnya” (Majmu’atul Fatawa, 4: 196).
Yang dimaksud dengan adat di sini apa?

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
 
وَأَمَّا الْعَادَاتُ فَهِيَ مَا اعْتَادَهُ النَّاسُ فِي دُنْيَاهُمْ مِمَّا يَحْتَاجُونَ إلَيْهِ وَالْأَصْلُ فِيهِ عَدَمُ الْحَظْرِ فَلَا يَحْظُرُ مِنْهُ إلَّا مَا حَظَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

“Adat adalah kebiasaan manusia dalam urusan dunia mereka yang mereka butuhkan. Hukum asal kebiasaan ini adalah tidak ada larangan kecuali jika Allah melarangnya.” (Majmu’atul Fatawa, 29: 16-17)
Kebiasaan manusia yang dimaksudkan adalah makan, minum, berpakaian, berjalan, berbicara, dan kebiasaan lainnya. Kebiasaan tersebut barulah terlarang jika ada dalil tegas, dalil umum, atau adanya qiyas yang shahih.
Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”  (QS. Al Baqarah: 29). 
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan bagi kita segala sesuatu dan itu halal untuk dimanfaatkan dengan cara pemanfaatan apa pun.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَىْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

“Sesungguhnya kesalahan terbesar dari kaum muslimin adalah jika ia bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, namun ia haramkan karena suatu kepentingan” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 2358).‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...