Syekh Magelung Sakti alias Syarif Syam alias Pangeran Soka alias
Pangeran Karangkendal. Konon Syekh Magelung Sakti berasal dari negeri
Syam (Syria), hingga kemudian dikenal sebagai Syarif Syam. Namun, ada
pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari negeri Yaman.
Syarif Syam memiliki rambut yang sangat panjang, rambutnya sendiri
panjangnya hingga menyentuh tanah, oleh karenanya ia lebih sering
mengikat rambutnya (gelung). Sehingga kemudian ia lebih dikenal sebagai
Syekh Magelung (Syekh dengan rambut yang tergelung).
Mengapa ia memiliki rambut yang sangat panjang ialah karena rambutnya
tidak bisa dipotong dengan apapun dan oleh siapapun. Karenanya, kemudian
ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari siapa yang
sanggup untuk memotong rambut panjangnya itu. Jika ia berhasil
menemukannya, orang tersebut akan diangkat sebagai gurunya. Hingga
akhirnya ia tiba di Tanah Jawa, tepatnya di Cirebon.
Muhammad Arifin Syam adalah putra dari kepala bagian pembesar istana
dibawah kekuasaan Raja Hut Mesir, beliau sejak bayi telah ditinggalkan
oleh ayah bundanya kehadirat Allah SWT, dan akhirnya dibesarkan oleh
seorang muslim yang taat, disalah satu kota terpencil bagian negara
Syam.
Nama Arifin Syam sendiri diambil dari kota dimana beliau dibesarkan kala
itu yaitu Negara Syam. Dalam keumuman manusia seusianya, Arifin Syam
dikenal sangat pendiam namun pintar dalam segi bahasa bahkan saking
pintarnya beliau sudah terkenal sejak usia 7 tahun dengan panggilan
sufistik kecil dikalangan guru dan pendidik lainnya. Karena pintar
inilah beliau banyak diperebutkan kalangan guru besar diseluruh negara
bagian Timur Tengah, dan sejak usia 11 tahun beliau telah menempatkan
posisinya sebagai pengajar termuda diberbagai tempat ternama sepeti :
Madinah, Mekkah, Istana Raja Mesir, Masjidil Aqso Palestina dan berbagai
tempat ternama lainnya.
Namun dalam kepribadiannya, beliau banyak dihujat oleh ulama fukkoha,
dikarenakan rambutnya yang semakin hari semakin memanjang tidak terurus,
sehingga dalam pandangan para ahlul fikokkha, Srifin Syam terkesan
bukan sebagai seorang pelajar religius yang mengedepankan makna
tatakrama seorang sufistik agung.
Hal semacam ini bukan karena Arifin Syam tidak mau mencukur rambutnya
yang lambat laun jatuh ke tanah, namun beliau sediri sudah ratusan kali
beriktiar kebelahan dunia untuk mencari orang sakti yang benar-benar
mampu memotonga rambutnya, pasalnya sejak dilahirkan ke alam dunia,
rambut Arifin Syam sudah tidak bisa dipotong oleh sejenis benda tajam
maupun alat lainnya dan kisah ini berlanjut hingga beliau berusia 40
tahun.
di usia 30 tahun beliau diambil oleh Istana Mesir dan menjadi panglima
perang dalam mengalahkan pasukan Romawi dan Tartar, dan dari sinilah
nama beliau mulai mashur dikalangan masyarakat luas sebagai panglima
perang tersakti diantara panglima perang sebelumnya. sebab keumuman
seorang panglima kala itu bisa dilihat dari strategi perangnya dan juga
kelihaiannya dalam memainkan pedang, panah maupun tombak dikancah
peperangan, namun lain dengan Arifin Syam, yang kini sudah bergelar
dengan nama Panglima Mohammad Syam Magelung Sakti, beliau acap kali
tidak membawa pedang maupun tombak dalam memimpin pasukannya, namun
beliau selalu menebaskan rambutnya yang seperti kawat baja disetiap
menghadapi ribuan pasukan musuh sehingga dengan kesaktian rambutnya pula
membuat pasukan musuh pontang panting.
Kisah kesaktian rambutnya mulai mashur di usia 32 tahun dan pada usia 34
tahun beliau bertemu secara yakodho / lahir dengan Nabiyullah Hidir AS
yang mengharuskan beliau mencari guru mursyid sebagai pembimbingnya
menuju maqom kewalian kamil. Kisah pertemuan dengan Nabiyullah Hidir AS
membuat beliau meninggalkan istana Raja Mesir yang kala itu sangat
membutuhkan tenaganya, bahkan bukan hanyaitu beliau pun kerap dinantikan
oleh seluruh muridnya dalam pengena (Waliyullah).
Dengan perbekalan makanan dan ratusan kitab yang dibawanya, Mohammad
Syam Magelung Sakti mulai mengarungi belahan dunia dengan membawa perahu
jukung (Perahu getek) seorang diri, beliau mulai mendatangi beberapa
ulama terkenal dan singgah untuk mengangkatnya menjadikan muridnya,
diantara yang disinggahi beliau antara lain : Syeikh Dzatul Ulum
Libanon, Syeikh Attijani Yaman bagian Selatan, Syeikh Qowi bin Subhan
bin Arsy Bairut, Syeikh Assamargondi bin Zubair bin Hasan India, Syeikh
Muawwiyah As-salam Malaka, Syeikh Mahmud Yerussalem, Syeikh Zakariyya
bin Salam bin Zaab Tunisia, Syeikh Marwan bin Sofyan Siddrul Muta’allim
Campa, dan masih banyak yang lainnya. Namun walau begitu banyaknya para
Waliyullah yang beliau datangi, tidak satu pun dari mereka yang
menerimanya, mereka malah berbalik berkata "Sesungguhnya akulah yang
meminta agar menjadi muridmu wahai sang Waliyullah"
Dengan kekecewaan yang mendalam, Moh. Syam Magelung Sakti mulai
meninggalkan mereka untuk terus mencari Mursyid yang diinginkannya
hingga pada suatu hari beliau bertemu dengan seorang pertapa sakti
bangsa Sanghiyang bernama Resi Purba Sanghiyang Dursasana Prabu Kala
Sengkala di perbatasan sungai selat malaka.
" Datanglah wahai kisanak di pulau Jawa, sesungguhnya disana telah hadir
seorang pembawa kebajikan bagi seluruh Wliyullah, benamkan hati dan
pikiranmu ditelapak kakinya, sesungguhnya beliau mengungguli dari semua
Waliyullah yang ada" Dengan perkataan sang Resi barusan, Moh. Syam
sangat senang mendengarnya dan setelah pamit beliaupun langsung
meneruskan perjalanannya menuju pulau Jawa.
Mungkin pembaca sekalian merasa bingung dengan perkataan Resi tadi yang
menanyatakan "Benamkan hati dan pikiranmu ditelapak kakinya" seolah
perkataan ini terlalu riskan di ucapkan pada seorang yang mempunyai
derajat Waliyullah. Sebelum meneruskan cerita selanjutnya, ada baiknya
dijelaskan terlebih dahulu kata bahasa tadi agar tidak salah tafsir
nantinya…
Dalam pemahaman ilmu tauhid, bahwasannya tingkat ke Walian di bagi
menjadi beberapa bagian dan tingkat tertinggi disini adalah Maqom
Quthbul Mutlak, yang di teruskan dengan Maqom Atmaniyyah, Arba’atul
‘Amadu, Muqoyyad, Autad, Nuqiba, Nujaba ‘ Abdal, Nasrulloh, Rijalulloh
dan lain sebagainya.
Diantara Wali yang ada, semua Waliyullah derajatnya dibawah telapak
Quthbul Muthlak sendiri derajatnya sebagai penerus Rosululloh, yaitu
dibawah ketiak atau pundaknya Nabiyulloh Muhammah SAW (Maqom Qurbah).
Jadi walau Moh. Syam Magelung Sakti pada waktu itu derajatnya sudah
mencapai Waliyullah Kamil, namun dalam hal Maqom, beliau belum ada
apa-apanya dengan Maqom Quthbul Mauthlak yang barusan Misteri bedarkan
tadi. Kami lanjutkan ke cerita semula…
Setelah Moh. Syam sampai dilaut pulau Jawa, beliau akhirnya singgah
disalah satu pedesaan sambil tiada hentinya bertafakkur memohon kepada
Allah SWT, untuk cepat ditemukan dengan Mursyid yang diinginkannya,
tepatnya pada malam jum’at kliwon ditengah heningnya malam yang sunyi
tiba-tiba beliau dikejutkan oleh suara uluk salam dari seseorang
"Assalamu’alaikum Ya Akhi min Ahli Wilyah" lalu beliau pun dengan gugup
menjawabnya " Wa’alaikum salam Ya Nabiyulloh Hidir AS yang telah
membawaku ke pintu Rohmatallil’alamiin.
Lima tahun sudah Ananda mencari riddhoku dan kini ananda telah
mencapainya, datanglah ke kota Cirebon dan temuilah Syarif Hidayatulloh,
sesungguhnya dialah yang mempunyai derajat raja sebagai Maqom Quthbul
Mutkhlak, terang Nabiyulloh Hidir AS, sambil menghilang dari
pandangannya. Dengan semangat yang menggebu beliau langsung mengayuh
jukungnya menuju kota Cirebon yang dimaksud, sedangkan ditempat lain
Syarif Hidayatulloh / Sunan Gunung Jati yang sudah mengetahui kedatangan
Moh. Syam Magelung Sakti lewat Maqomnya saat itu beliau langsung
mengutus uwaknya sekaligus mertuanya Mbah Kuwu Cakra Buana untuk
menjemputnya di pelabuhan laut Cirebon.
Sesampainya ditempat dimana Sunan Gunung Jati memerintahkannya. Mbah
Kuwu tidak langsung menghadapkannya kepada Kanjeng Sunan, melainkan
mengujinya terlebih dahulu, hal semacam ini bagi pemahaman ilmu tauhid
disebut "Tahkikul ‘Ubudiyyah Fissifatir Robbaniah / meyakinkan seorang
Waliyulloh pada tingkat ke Walian diantara hak dan Nur Robbani yang
dipegangnya.
Setelah Moh. Syam sudah berada dihadapan Mbah Kuwu Cakra Buana, beliau
langsung uluk salam menyapanya " wahai kisanak, taukah anda dimana saya
harus bertemu dengan Sunan Gunung Jati? namun yang ditanya malah
mengindahkan pertanyaannya dan balik bertanya.. " sudahkah kisanak
sholat dhuhur, setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh? terang Mbah
Kuwu.
Ditanya seperti itu Moh. Syam langsung mengangguk mengiyakan bahwa
memang dirinya belum melaksanakan sholat dhuhur, lalu Mbah Kuwu
mengambil satu bumbung kecil yang terbuat dari bambu "Masuklah dan
sholat berjamaah denganku" Sambil terheran-heran Moh. Syam mengikuti
langkah manusia aneh dihadapannya yang tak lain adalah Mabh Kuwu Cakra
Buana, masuk kedalam bumbung bambu yang ternyata dalamnya sangat luas
dan bertengger Musholla besar yang sangat anggun, setelah usai sholat
Mbah Kuwu mengajaknya menuju kota Cirebon, namun sebelum sampai
ketempat tujuan atas hawatif yang diterimanya dari sunan Gunung Jati,
Mbah Kuwu memotong rambutnya dan langsung menghilang dari hadapan Moh.
Syam Magelung Sakti. Tahu rambutnya telah terpotong beliau langsung
berkeyakinan bahwa tiada lain manusia tadi (Mbah Kuwu) adalah Sunan
Gunung Jati yang dimaksud. lalu beliaupun memanggilnya tiada henti
hingga keseluruhan pelosok desa.
Kisah terpotongnya rambut Moh. Syam yang kini terkenal dengan sebutan
Syeikh Magelung Sakti kini masih dilestarikan dan menjadi nama desa
hingga kini yaitu di Desa Karang Getas sebelah selatan kantor wali kota
Cirebon dan tahukah anda berapa meter rambut Syeikh Magelung Sakti,
sesungguhnya? yaitu 340 m, atau sepanjang jalan Karang Getas, antara
perbatasan desa Pagongan hingga lampu merah pasar Kanoman. Panjangnya
rambut syeikh Magelung Sakti ini sudah dapat restu dari beberapa ulama
khosois seperti Syeikh Auliya Nur Ali, Syeikh Kamil Ahmad Trusmi, Syeikh
Ahmad Sindang Laut, Syeikh Asnawi bin Subki Gedongan.
Dengan rasa bersemangat Moh. Syam terus mencari keberadaan Sunan Gunung
Jati yang dianggapnya barusan memotong rambutnya, beliau terus berlari
sambil memanggil nama Sunan Gunung Jati terus-menerus, pada suatu tempat
tanpa disadari olehnya, beliau masuk dalam kerumunan orang banyak yang
tak lain sedang dibuka perlombaan memperebutkan putri cantik dan sakti,
Nyimas Gandasari Panguragan. Merasa dirinya masuk gelanggang arena,
Wanita cantik yang tak lain adalah Nyimas Gandasari langsung
menyerangnnya… Merasa dirinya diserang secara mendadak, Moh. Syam
langsung mengelak dan menjauhinya, namun bagaimana dengan Nyimas
Gandasari sendiri yang kala itu sedang diperebutkan para jawara dari
berbagai pelosok daerah. beliau sangat tersinggung dengan menghindarinya
pemuda yang barusan masuk tadi, maka dengan serangan berapi-api Nyimas
Gandasari langsung melipat gandakan tenaganya untuk menglahkan pesaing
yang kini sedang dihadapinya.
Dengan perasaan dongkol, Moh. Syam akhirnya memutuskan untuk melayaninya
dengan bersungguh hati hingga ditengah perjalanan Nyimas Gandasari
sangat kewalahan. Merasa kesaktiannya kalah dibawah pemuda asing yang
kini sedang dihadapinya, maka dengan sesekali loncatan Nyimas Gandasari
berucap "Ya Kanjeng Susuhan Sunan Gunung Jati, Yajabarutihi ila
sulthonil alam, kun fayakun Lailaha Illallah Muhamad Rosululloh" lalu
beliau langsung terbang ke awang-awang dengan maksud agar pemuda tadi
tidak sampai mengejarnya. lain dengan jalan pikiran Moh. Syam waktu itu
setelah beliau mendengar nama Sunan Gunung Jati disebutnya, beliau
tambah berambisi utnuk mencari tahu, maka disusullah Nyimas Gandasari,
hingga sampai tangan kanannya terperangkap.
Merasa dirinya panik Nyimas Gandasari langsung melepaskan tangan Moh.
Syam sambil tubuhnya menukik tajam kebawah. pada saat yang bersamaan
Sunan Gunung Jati yang sedang tafakkur disungai Kali Jaga, kedatangan
Nyimas Gandasari yang wajahnya terlihat pucat pasi dan sambil menuding
kearah depan Nyimas Gandasari, memohon kepada gurunya agar pemuda yang
mengejarnya tidak melihat dirinya. lalu dengan menyelipkan tubuhnya
dibawah bekiak kakinya, kanjeng sunan Gunung Jati berkata pada pemuda
yang barusan datang dihadapannya " Wahai kisanak, anda mencari siapa
ditempat yang sepi seperti ini?" lalu Moh. Syam pun menjawabnya "
Kisanak mohon maaf sesungguhnya saya datang kemari mencari gadis untuk
meminta bantuannya, dimana saya bisa menemui Sunan Gunung Jati?" dengan
tersenyum akhirnya Sunan Gunung Jati melepaskan wujud kecil Nyimas
Gandasari ke wujud semula dan meminta berterus terang dengan apa yang
pernah di ikrarkan sebelumnya, yaitu wajib mematuhi janjinya untuk
menikah dengan orang yang mengalahkan kesaktiannya.
Dengan perjalanan ini akhirnya Moh. Syam berganti nama dengan sebutan
Pangeran Soka dan dipenghujung cerita antara Nyimas Gandasari dan
Pangeran Soka akhirnya berikrar untuk meneruskan perjalanan hidupnya
menuju ilmu tauhid yang lebih matang hingga mereka berdua mufakat
menjalankan nikah bisirri tanpa hubungan badan selayaknya suami istri,
namun akan bersatu dengan nikah hakikiyah di alam surga kelak dengan
disaksikan langsung oleh Sunan Gunung Jati Min Quthbil Mutlak ila
Jami’il Waliyulloh.
Syaikh Magelung Sakti dan Nyi Mas Gandasari
Sosok Syekh Magelung Sakti tidak dapat dilepaskan dari Nyi Mas
Gandasari, yang kemudian menjadi istri beliau. Pertemuan keduanya
terjadi saat Syekh Magelung Sakti yang di kenal juga sebagai Pangeran
Soka, ditugaskan untuk berkeliling ke arah barat Cirebon. Pada saat ia
baru saja selesai mempelajari tasawuf dari Sunan Gunung Jati, dan
mendengar berita tentang sayembara Nyi Mas Gandasari yang sedang mencari
pasangan hidupnya.
Babad Cerbon juga tidak jelas menyebutkan siapakah yang dimaksud sebagai
putri Mesir itu. Namun, menurut masyarakat di sekitar makam Nyi Mas
Gandasari di Panguragan, dipercaya bahwa Nyi Mas Gandasari berasal dari
Aceh, adik dari Tubagus Pasei atau Fatahillah, putri dari Mahdar Ibrahim
bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim. Ia diajak serta oleh Ki Ageng
Selapandan sejak kecil dan diangkat sebagai anak, saat sepulangnya
menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Versi lain menyebutkan bahwa Nyi Mas Gandasari, yang sebenarnya adalah
putri Sultan Hud dari Kesultanan Basem Paseh (berdarah Timur Tengah),
merupakan salah satu murid di pesantren Islam putri yang didirikan oleh
Ki Ageng Selapandan.
Konon, karena kecantikan dan kepandaiannya dalam ilmu bela diri, telah
berhasil menipu pangeran dari Rajagaluh, sebuah negara bawahan dari
kerajaan Hindu Galuh-Pajajaran (yang kemudian menjadi raja dan bernama
Prabu Cakraningrat). Pada waktu itu, Cakraningrat tertarik untuk
menjadikannya sebagai istri. Tak segan-segan ia pun diajaknya
berkeliling ke seluruh pelosok isi kerajaan, bahkan sampai dengan ke
tempat-tempat yang amat rahasia. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan
oleh Pangeran Cakrabuana, orang tua angkat Nyi Mas Gandasari untuk
kemudian menyerang Rajagaluh.
Ki Ageng Selapandan yang juga adalah Ki Kuwu Cirebon waktu itu dikenal
juga dengan sebutan Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwangi
dari Kerajaan Pajajaran), berkeinginan agar anak angkatnya, Nyi Mas
Gandasari, segera menikah. Setelah meminta nasihat Sunan Gunung Jati,
keinginan ayahnya tersebut disetujui Putri Selapandan dengan syarat
calon suaminya harus pria yang memiliki ilmu lebih dari dirinya.
Meskipun telah banyak yang meminangnya, ia tidak bisa menerimanya begitu
saja dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan. Oleh karenanya
kemudian ia pun mengadakan sayembara untuk maksud tersebut, sejumlah
pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa dipersilakan berupaya menjajal
kemampuan kesaktian sang putri. Siapapun yang sanggup mengalahkannya
dalam ilmu bela diri maka itulah jodohnya. Banyak diantaranya pangeran
dan ksatria yang mencoba mengikutinya tetapi tidak ada satu pun yang
berhasil. Seperti Ki Pekik, Ki Gede Pekandangan, Ki Gede Kapringan serta
pendatang dari negeri Cina, Ki Dampu Awang atau Kyai Jangkar berhasil
dikalahkannya.
Hingga akhirnya Pangeran Soka memasuki arena sayembara. Meskipun
keduanya tampak imbang, namun karena faktor kelelahan Nyi Mas Gandasari
pun akhirnya menyerah dan kemudian berlindung di balik Sunan Gunung
Jati.
Namun, Pangeran Soka terus menyerangnya dan mencoba menyerang Nyi Mas
Gandasari dan hampir saja mengenai kepala Sunan Gunung Jati. Tetapi
sebelum tangan Pangeran Soka menyentuh Sunan Gunung Jati, Pangeran Soka
menjadi lemas tak berdaya. Sunan Gunung Jati pun kemudian membantunya
dan menyatakan bahwa tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.
Namun, kemudian keduanya dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati.
Selain berjasa dalam syiar Islam di Cirebon dan sekitarnya, Syarif Sam
dikenal sebagai tokoh ulama yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi pada
zamannya. Ia membangun semacam pesanggrahan yang dijadikan sebagai
tempat ia melakukan syiar Islam dan mempunyai banyak pengikut. Sampai
dengan akhir hayatnya, Syekh Magelung Sakti dimakamkan di Karangkendal,
dan sampai sekarang tempat tersebut selalu diziarahi orang dari berbagai
daerah.
Di situs makam Syekh Magelung Sakti terdapat sumur peninggalan tokoh
ulama tersebut, padasan kramat, depok (semacam pendopo) Karangkendal,
jramba, kroya, pegagan, dukuh, depok Ki Buyut Tersana, dan pedaleman
yang berisi pesekaran, paseban, serta makam Syekh Magelung Sakti
sendiri.
Berjauhan dengan makam suaminya Syekh Magelung Sakti, makam Nyi Mas
Gandasari terdapat di Panguragan, sehingga ia kemudian dikenal juga
sebagai Nyi Mas Panguragan.