Sebagai salah satu ilmu keIslaman, Ilmu kalam sangat lah penting untuk
di ketahui oleh seorang muslim yang mana pembahasan dalam ilmu kalam ini
adalah pembahasan tentang aqidah dalam Islam yang merupakan inti dasar
agama, karena persolaan aqidah Islam ini memiliki konsekwensi yang
berpengarah pada keyakinan yang berkaitan dengan bagaimana seseorang
harus meng interpretasikan tuhan itu sebagai sembahannya hingga
terhindar dari jurang kesesatan dan dosa yang tak terampunkan (syirik).
Memang, Pembahasan pokok dalam Agama Islam adalah aqidah, namun dalam
kenyataanya masalah pertama yang muncul di kalangan umat Islam bukanlah
masalah teologi, melainkan persolaan di bidang politik, hal ini di
dasari dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa, titik awal munculnya
persolan pertama ini di tandai dengan lahirnya kelompok-kelompok dari
kaum muslimin yang telah terpecah yang kesemuanya itu di awAli dengan
persoalan politik yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok dengan
berbagai Aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat yang
berbeda-beda.
Dalam pembahasan Ilmu Kalam, kita dihadapkan pada barbagai macam gerakan
pemikiran-pemikiran besar yang kesemuanya itu dapat dijadikan sebagai
gambaran bahwa agama Islam telah hadir sebagai pelopor munculnya
pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat kita jumpai
hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam
sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami
pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al—Quran dan As-Sunnah
dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.
ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM
Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada masa
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan
munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri mereka
karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima Tahkim dalam
menyelesaikan konfliknya dengan muawiyah bin abi Sofyan, gubernur syam,
pada waktu perang siffin. Kelompok ini selanjutnya dikenal dengan
Kelompok Khawarij.
Lahirnya Kelompok Khawarij ini dengan berbagai pendapatnya selanjutnya,
menjadi dasar kemunculan kelompok baru yang dikenal dengan nama
Murji’ah. lahirnya Aliran teologi inipun mengawali kemunculan berbagai
Aliran-Aliran teologi lainnya. Dan dalam perkembangannya telah banyak
melahirkan berbagai Aliran teologi yang masing-masing mempunyai latar
belakang dan sejarah perkembangan yang berbeda-beda.Berikut ini akan
dibahas tentang pertumbuhan dan perkembangan Aliran tersebut berikut
pokok-pokok pikiran nya masing-masing.
A. KHAWARIJ
LATAR BELAKANG KEMUNCULANNYA.
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja
yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Ini yang
mendasari Syahrastani untuk menyebut khawarij terhadap orang yang
memberontak imam yang sah. Berdsarkan pengertian etimologi ini
pula,khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat
Islam.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu
sekte / aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima
arbitrase ( tahkim ), dalam Perang Siffin pada tahun 37 H / 648 M,
dengan kelompok bughat ( pemberontak ) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal
persengketaan khilafah. Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali
dan pasukannya barada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah
sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada
di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula
berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan
pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan
damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok
Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintan itu. Namun,
karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra seperti
Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan Zaid bin Husein
Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar ( komandan
Pasukannya ) untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin
Abbas sebagai delegasi juru damai ( hakam ) nya, tetapi
orang-orangKhawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin
Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan
agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan
perkara berdasarkan Kitab Allah. Keputusan tahkim yakni Ali diturunkan
dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah
menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang-orang
Khawarij.Mereka membelot dengan mengatakan, “Mengapa kalian berhukum
pada manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah.” Imam
Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan
dengan keliru.” Pada sat itu juga orang-orang Khawarij keluar dari
pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Itulah sebabnya Khawarij disebut
dengan nama Hururiah. Kadang-kadang mereka disebut dengan syurah dan
Al-Mariqah.
Dengan arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Hurura. Di Hurura,
kelompok Khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga
kepada Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin yang bernama Abdullah bin
Shahab Ar-Rasyibi.
DOKTRIN-DOKTRIN POKOKNYA.
Di antara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah berikut ini.
Kahlifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam:
Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap
orang Muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersifat adil
dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus dijatuhkan, bahkan dibunuh
kalau melakukan kezaliman.
Khalifah sebelum Ali ( Abu Bakar, Umar, dan Utsman ) adalah sah, tetapi
setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a dianggap
telah menyeleweng.
Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadiarbitrase ( tahkim ), ia dianggap telah menyeleweng.
Muawiyah dan Al Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut Muslim sehingga harus
dibunuh. Yang sangat anarkis ( kacau ) lagi, mereka menganggap bahwa
seorang Muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim
lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung beban harus
dilenyapkan pula.
Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila
tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (
negara musuh ), sedang golongan mereka sendiri berada di dar al-Islam (
negara Islam ).
Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
Adanya wa’ad dan wa’id ( orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka ).
Amar ma’ruf nahi munkar.
Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasabihat (samar).
Qur’an adalah makhluk.
Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum Khawarij
dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori : politik, teologi, dan
sosial.Dari poin a sampai poin g dapat dikategorikan sebagai doktrin
politik sebab membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah
kenegaraan, khususnya tentang kepala negara ( khilafah ).
PERKEMBANGAN KHAWARIJ.
Sebagaimana telah dikemukakan, khawarij telah menjadikan imamah-khilafah
( politik ) sebagai doktrin sentral yang memicu timbulnya
doktrin-doktrin teologis lainnya. Radikalitas yang melekat pada watak
dan perbuatan kelompok Khawarij menyebabkan mereka sangat rentan kepada
perpecahan., baik secara internal kaum Khawarij sendiri, maupun secara
eksternal dengan sesama kelompok Islam lainnya. Para pengamat berbeda
pendapat tentang jumlah sekte yang terbentuk akibat perpecahan yang
terjadi dalam tubuh Khawarij. Al-Baghdadi mengatakan bahwa sekte ini
telah terpecah menjadi 18 subsekte. Adapun, Al-Asyfarayani, seperti
dikutip Baghdadi, mengatakan bahwa sekte ini telah pecah menjadi 22
subsekte.
Terlepas dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-tokoh yang
disebutkan di atas sepakat bahwa subsekte Khawarij yang besar terdiri
dari 8 macam, yaitu :
Al-Muhakkimah.
Al-Azriqah.
An-Nadjat.
Al-Baihasiyah
Al-Ajridah.
As-Saalabiyah.
Al-Abadiyah.
As-Sufriyah.
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat
dosa besar, apakah ia masih dianggap Mukmin ataukah telah menjadi kafir.
Tampaknya, doktrin teologi ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran
mereka, sedangkan doktrin-doktrin yang lain hanya pelengkap saja.
Sayangnya, pemikiran subsekte ini lebih bersifat praktis daripada
teoritis, sehingga kriteria mukmin atau kafirnya sesorang menjadi tidak
jelas. Hal ini menyebabkan – dalam kondisi tertentu – seseorang dapat
disebut mukmin dan pada waktu yang bersamaan disebut sebagai kafir.
Tindakan kelompok Khawarij ini merisaukan hati umat Islam saat itu,
sebab dengan cap kafir yang diberikan salah satu subsekte tertentu
Khawarij, jiwa seseorang harus melayang, meskipun oleh subsekte yang
lain ia masih dikategorikan mukmin. Bahkan, dikatakan bahwa jiwa seorang
Yahudi atau Majusi masih lebih berharga dibandingkan dengan jiwa
seorang mukmin. Kendatipun demikian, ada sekte Khawarij yang agak lunak,
yaitu sekte Nadjiyat dan Ibadiyah. Keduanya membedakan antara kafir
nikmat dan kafir agama. Kafir nikmat hanya melakukan dosa dan tidak
berterima kasih kepada Allah. Orang semacam ini, tidak perlu dikucilkan
dari masyarakat.
B. MURJI’AH
LATAR BELAKANG KEMUNCULAN.
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’ayang bermakna penundaan,
penangguhan, danpengharapan. Kata arja’a mengandung arti pula memberi
harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besaruntuk memperoleh
pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’aberarti pula meletakkan
di belakang atau mengemudikan, yaitu rang yang mengwemudikan amal dari
iman. Oleh karena itu Murji’ah, artinya orang yang menunda penjelasan
kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta
pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan
Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau
arjadikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan
dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga
bertujuan untuk menghindari sektarianisme.Murji’ah, baik sebagai
kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan
kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat
Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin
Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang oleh cucu Ali
bin Abi Thalib , Al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah, sekitar tahun 695.
Watt, penggagas teori ini, menceritakan bahwa setelah 20 tahun kematian
Muawiyah, pada tahun 680, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil.
Al-Mukhtar membwa fahamSyi’ah ke Kuffah dari tahun 685 – 687; Ibnu
Zubayr mengklaim kekhalifahan di Mekah hingga yang berada di bawah
kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja
atau penangguhan ( postponenment ).
Gagasan ini pertama kali digunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin
Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat
pendeknya. Dalam surat itu Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan
mengatakan, “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan
keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang
melibatkan Usman, Ali, dan Zubyr ( seorang tokoh pembelot ke Mekah
).”Dengan sikap politik ini, Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan
umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah
revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta
menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan
Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan si pendosa Usman.
DOKTRIN-DOKTRIN POKOK.
Adapun di bidang teologi, doktrin irjadikembangkan Murji’ah ketika
menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada
perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi
semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan (
mortal and venial sains ), tauhid, tafsir l-Qur’an, eskatalogi,
pengampunan atas dosa besar, kemaksuman Nabi ( the impeccabality of the
Prophet ), hukuman atas dosa ( punishment of sins), ada yang kafir (
infidel ) di kalangan generasi awal Islam, tobat ( redress of wrongs ),
hakikat al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan (
predestination ).
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
Pemberian harapan ( giving of hope)terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran ( madzhab ) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah,Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :
Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari
yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat
kelak.
Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
Meletakkan ( pentingnya ) iman daripada amal.
Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
SEKTE-SEKTE MURJI’AH.
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh
perbedaan pendapat ( bahkan hanya dalam hal intensitas )di kalangan para
pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup
mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah.
Kesulitannya – antara lain – adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran
tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah,
tetapi tidak diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah
Washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah.
Olleh karena itulah, Ash-Syahrastani, seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut :
a. Murji’ah – Khawarij.
b. Murji’ah – Qadariyah.
c. Murji’ah – Jabariyah.
d. Murji’ah – Murni.
e. Murji’ah – Sunni. ( tokohnya adalah Abu hanifah ).
Harun Nasution secara garis besar menglasifikasikan Murji’ah menjadi dua
sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat
berpendirian bahwa pendosa besar tetap mungkin, tidak kafir, tidak pula
kekal dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni
oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah
pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-Rasul-Nya serta apa saja yang datang
dari-Nya secara keseluruhan namun dalam garis besar. Iman ini tidak
bertmbah dan tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal
ini. Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin
Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits.
Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah,
Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan
tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut.
Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan
bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya
secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur bertempat di
dalam hati bukan pada bagian lain pada tubuh manusia.
Shalihiyah, kelompok Abu-hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman
adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Salat
bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman
kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan
haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
Yunusiyah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan perbuatan
maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati
dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan
tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin
Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak
merusak iman seseorang sebagai musyrik ( polithest ).
Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, “Saya tahu Tuhan
melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan
itu adalah kambing ini, “ maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir.
Begitu pula orang yang mengatakan“Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji
ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah itu di India atau tempat
lain.”
C. JABARIYAH
ASAL USUL KEMUNCULAN
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara, yang mengandung arti memaksa
dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai
sifat al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha
Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti
bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk
pertama) setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah ya nisbah),
memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).
Dalam sejarah, tercatat bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham
Jabariyah dikalangan umat Islam adalah al-Ja’ad ibn Dirham.
Pandangan-pandangan ja’ad ini kemudian disebarluaskan oleh para
pengikutnya seperti Salim bin Safwan. Ia mengatakan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia bukan dia yang mengadakan tetapi Allah
sendiri, baik berupa gerakan reflex atau gerak lain yang semacam atau
perbuatan-perbuatan yang kelihatannya dikehendaki atau disengaja,
seperti berbicara, berjalan dan sebagainya. Manusia tidak lain bagaikan
bulu yang ditiup angin, tidak mempunyai gerak sendiri. Dengan demikian,
aliran Jabariyah telah menurunkan derajat manusia kepada tingkatan yang
lebih rendah daripada binatang, bahkan sama dengan tumbuh-tumbuhan.
Mengenai kemunculan paham al-Jabbar ini, para ahli sejarah pemikiran
mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab, digambarkan
bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara
memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan
hidup mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap-sikap
penyerahan diri terhadap alam. Sebenarnya benih-benih al-Jabbar sudah
muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas.
Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini :
Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam
masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka memperdebatkan masalah
tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat
Tuhan mengenai takdir.
Khalfiah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan
mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata : tuhan telah
menentukan aku mencuri. Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan
menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar
memberikan dua jenis hukuman. Pertama, hukuman potong tngan karena
mencuri, kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
Pada pemerintahan Daulah Bani Umayyah, pandangan tentang al-Jabbar
semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya
memberka reaksi yang keras kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham
Jabariyah.
Paparan di ats menjelaskan bahwa bibit paham al-Jabbar telah muncul
sejak awal periode Islam. Namun, al-Jabbar sebagai suatu pola pikir atau
aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa
pemerintahan Daulah Bani Umayyah, yakni oleh kedua tokoh yang telah
disebutkan di atas.
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang menyatakan bahwa
kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh
agama Yahudi bermazhab qurra dan agama Kristen bermazhab yacobt.[38]
Namun, tanpa pengaruh asing itu, paham al-Jabbar akan muncul juga di
kalangan umat Islam. Di dalam Alquran sendiri terdapat ayat-ayat yang
dapat menimbulkan faham ini, misalnya :
Artinya :
Mereka selamanya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki (Q.S. al-An’am : 111)
Artinya :
Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (Q.S. al-Shaffat : 96)
Artinya :
Bukanlah engkau yang melontar ketika melontar (musuh), tapi Allah lah yang melontar mereka (Q.S. al-Anfal : 17)
Ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran
Jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir Jabariyah masih
ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun anjurannya telah tiada.
PARA PEMUKA JABARIYAH DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA
Perlu ditegaskan bahwa paham Jabariyah yang dikemukakan Jahm bin Safwan
itu adalah paham Jabariyah yang ekstrim, dan disebut dengan
istilahal-jabariyah al-khalish. Sementara itu terdapat pula paham
Jabariyah yang moderat, seperti diajarkan oleh Husain Ibn Muhammad
al-Najjar dan Dirar Ibn Amir, dan diberi istilah dengan al-jabariyah
al-mutawasithah.
Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala
perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya
sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau
seseorang mencuri, perbuatan itu bukanlah terjadi atas kehendaknya
sendiri, tapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki
demikian.
Diantara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini :
Jahm bin Safwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Safwan. Ia berasal dari
Khurasan, bertempat tinggal di Kufah ; ia seorang dai yang fasih dan
lincah (orator) ; ia menjabat sebagai sekretaris harits bin Surais,
seorang Mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di Khurasan. Ia
ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan
agama.
Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak usaha yang
dilakukan Jaham yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz
dan Balk.
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut :
1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai
daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2) Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3) Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dengan hati. Dalam hal ini
pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.
4) Kalam Tuhan adalah makhluk, Allah Maha Suci dari segala sifat
dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat.
Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di Akhirat
kelak.
Sa’ad bin Dirham
Al-Sa’ad adalah seorang maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia
dibesarkan di dalam lingkungan orang kristen yang senang membicarakan
teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah
Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang
kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian al-Sa’ad lari ke Kufah
dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada
Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan. Doktrin pokok Sa’ad secara
umum sama dengan pikiran Jahm.
Sedangkan Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia
mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud
dengan kasab (acquisitin). Menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur
(dipaksa oleh Tuhan), tetapi manusia memperoleh perbuatan yang
diciptakan Tuhan.
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat ini adalah berikut ini:
1) al-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad al-Najjar (w. 230 H). para
pengikutnya disebut al-Najjariyah atau al-Husainiyah. Diantara
pendapat-pandapatnya adalah :
a) Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tapi manusia
mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
b) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, akan tetapi Tuhan dapat
saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia
dapat melihat Tuhan.
2) al-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr, pendapatnya tentang perbuatan
manusia sama dengan Husain al-Najjar. Manusia mempunyai bagian dalam
mewujudkan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan
perbuatannya. Secara tegas, dia menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat
ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia
tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu
sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di Akhirat melalui indera keenam.
D. QADARIYAH
ASAL USUL KEMUNCULAN QADARIYAH
Qadariyah mula-mula timbul sekitar rahun 70 H/689 M, di pimpin oleh
Ma’bad al-Juhani al-Bisri dan Sa’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan
Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) dan merupakan penentang
kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam.
Sedangkan menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa
Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan
al-Dimasqy. Sementara itu Ibnu Nabatah sebagaimana dikemukakan oleh
Ahmad Amin berpendapat bahwa paham Qadariyah itu pertama kali muncul
dari seseorang asal Irak yang menganut kristen dan kemudian masuk Islam,
tetapi kemudian masuk kristen lagi. Dari tokoh inilah Ma’bad al-Juhani
dan ghailan al-Dimasqy menerima paham Qadariyah. Ghailan al-Dimasqy
adalah penduduk kota Damaskus, ayahnya seorang yang pernah bekerja pada
Khalifah Utsman bin Affan. Dia dikenal sebagai seorang alim,
mengutamakan hidup zuhud dan takwa serta giat berdakwah mengajak orang
mukmin untuk berpegang pada akidah yang benar : Allah Maha Esa dan Maha
Adil.
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya
kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi,
Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia
tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap
orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu
atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Sedangkan sebagai
aliran dalam ilmu kalam, Qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu
aliran yang memberikan penekanan terhedap kebebasan dan kekuatan manusia
dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar atau qada Tuhan.
Nama atau gelar Qadariyah yang diletakkan kepada golongan ini adalah
pemberian musuh-musuhnya yang tidak dapat menerima paham yang dibawanya
dan juga dikaitakan dengan suatu hadis Nabi :
القدرية مجوس هذه الأمة
Artinya :
Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini.
DOKTRIN-DOKTRIN POKOK
Dalam ajarannya, aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang
amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai
mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk
tidak melaksanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang
menyangkut perbutannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa ada
campur tangan Tuhan.
Selanjutnya Qadariyah, sebagaimana dikemukakan Ghailan berpendapat bahwa
manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan
kekuasaannya sendiri, dan manusia pula yang melakukan atau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri.
Dalam Kitab al-Milal wa al-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan
dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga
perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga
menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas dikupas oleh kalangan
Mu’tazilah, sebab paham ini juga menjadikan salah satu doktrin
Mu’tazilah. Akibatnya, seringkali orang menamakan Qadariyah dengan
Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia
mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian bahwa
nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu (azali). Dalam paham
Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi
alam semesta beserta seluruh isinya sejak azali, yaitu hukum yang dalam
istilah Alquran adalah sunnatullah.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwatidak ada alasan yang tepat untuk
menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan.
Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam.
Banyak ayat Alquran yang mendukung pendapat ini, misalnya surat al-Kahfi
(18) : 29.
Artinya :
Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir.
Dalam surat Ali Imran (3) :165, disebutkan :
Artinya :
Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada perang uhud), padahal
telah mendapat kemenangan dua kali (pada perang badar), lalu kamu
berkata : dari manakah bahaya ini ? katakanlah, sebabnya dari kesalahan
kamu sendiri.
Dalam surat al-Ra’du (13) : 11, disebutkan :
Artinya :
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.
Dalam surat an-Nisa (4) : 111, disebutkan :
Artinya :
Dan barang siapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.
E. MU’TAZILAH
ASAL-USUL KEMUNCULAN
Secara harfiah, kata mu’tazilah berasal dari kataI’tazala yang artinya
berpisah atau memisahkan diri, menjauh atau menjauhkan diri. Secara
teknis istilah mu’tazilah menuju kepada 2 golongan, yaitu :
Muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum
netral politik, khususnya dalam arti bersifat lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama
Mu’awiyah, Aisyah dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang
mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari
pertikaian masalah khilafah.
Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan
khawarij dan murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan
Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa
besar.
Golongan ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wail bin Ata
serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika
Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan Hasan AL-Basri di Mesjid
Basrah, datanglah seorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri
tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al-Basri berpikir, Wasil
mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa
orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
berada diposisi di antara keduanya, tidak mukmin, tidak kafir”. Kemudian
Wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ke tempat lain di
lingkungan mesjid. Di sana Wasil mengulangi pendapatnya dihadapan para
pengikutnya. Dengan adanya hal ini, Hasan Al-Basri berkata: “Wasil
menjauhkan diri dari kita (I’tazalla ‘anna).
AL-USHUL AL-KHAMSAH : 5 AJARAN DASAR DOKTRIN MU’TAZILAH
At-Tauhid
Untuk memurnikan keesaan Tuhan. Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki
sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan dan Tuhan dapat dilihat dengan
mata kepala. Dengan demikian pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah
Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel
pada dzat-Nya.
Al-‘Adl
Tuhan Maha Adil. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik
dan terbaik dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila
tidak mengingkari janji-Nya. Dengan demikian Tuhan terikat dengan
janji-Nya. Orang beriman akan masuk surga dan orang kafir akan masuk
neraka.
Al-Wa’d wa al-Wa’id
Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu
memberi pahal surga bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa
neraka atas orang yang berbuat durhaka.
Al-Manzilah bain Al-Manzilatain
Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik.
Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy An Munkar
Menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran. Ajaran ini menekankan
keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi
logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan
dengan perbuatan baik.
F. SYI’AH
PENGERTIAN
Syi’ah dilihat dari segi bahasa berarti pengikut, pendukung atau
kelompok. Sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslimin
yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya merujuk pada keturunan Nabi
(ahlul-Bait). Point penting dalam syi’ah adalah pernyataan bahwa
petunjuk agama itu bersumber dari ahlul bait. Mereka menolak
petunjuk-petunjuk dari sahabat yang bukan ahlul bait atau pengikutnya.
Ajaran syi’ah berawalan pada sebutan untuk pertama kalinya kepada
pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahlul bait pada masa
Rasulullah SAW hidup. Kejadian-kejadian pada awal munculnya Islam dan
pertumbuhan Islam selanjutnya selama 23 tahun masa kenabian.
Kaum syi’ah ialah orang-orang yang menyokong Ali bin Abi Thalib ra. Ali
telah mempunyai pendukung-pendukung sejak permulaan sesudah wafat
Rasulullah SAW, di antaranya : Jabir Ibnu Abdillah, Huzaifah Ibnu Yaman,
Salman Al Farisi, Abu Zar Al Gifari dan lainnya.
Inti ajaran syi’ah adalah berkisar masalah khalifah. Jadi masalah
politik yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan masalah-masalah
agama.
ASAL-USUL KEMUNCULAN SYI’AH
Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah terdapat dikalangan para ahli.
Syi’ah mulai muncul pada saat akhir pemerintahan Utsman bin Affan
kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib.
Adapun dikalangan tokoh-tokoh syi’ah sendiri terdapat kekacauan
pandangan mengenai awal kemunculan syi’ah ini seperti : Anaubkhati,
tokoh Syi’ah berpendapat bahwa golongan syi’ah itu baru ada setelah Nabi
wafat. Sedangkan Ibnu Nadir berpandangan bahwa golongan syi’ah tidak
terbentuk setelah perang jamal.
Ada pula yang mengatakan bahwa nama “syi’ah”, baru muncul / terkenal
ketika perang siffin antara Ali ra dengan Mu’awiyah dan masih banyak
pendapat lainnya.
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan
dengan masalah pengganti Nabi SAW, mereka menolak dengan tegas
pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Utsman dan menganggap Ali lah yang
lebih berhak menjadi khalifah.
Bukti utama tentang sahaya Ali sebagai pengurus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm.
Syi’ah mendapat pengikut besar pada masa dinasti Amawiyah (Yazid bin
Muawiyah) di masa pemerintahan Yazid cucu Rasulullah Husien dipenggal
kepalanyaoleh Ibnu Ziyad, setelah dipenggal kemudian kepala Husien
dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tongkat Yazid memukul kepala cucu
Rasulullah SAW yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi.
SEKTE-SEKTE SYI’AH
Syi’ah Imamiyah atau syi’ah Itsna ‘Asyariyah
Dinamakan syi’ah Imamiyah karena yang menjadi dasar aqidah mereka adalah
soal Imam (dalam arti khalifah). Syi’ah Imamiyah juga terkenal sebagai
“syi’ah Itsna ‘Asyariah, sebabnya karena mempunyai dua belas Imam saja.
Dua belas yang mereka yakini ialah :
1- Al Imam Al-Murtadha, lahir tahun 23 SH, wafat tahun 40 H (Abul Hasan Ali bin Abi Thalib).
2- Al Imam Azzaky, lahir tahun 2 H, wafat tahun 50 H (Abu Muhammad Hasan bin Ali).
3- Al Imam Sayyidusy Syuhada Sayidina Husain , lahir tahun 3 H, wafat tahun 61 H.
4- Al Imam Zainal Abidin, lahir tahun 38 H, wafat 95 H (Abu Muhammad Ali bin Husien)
5- Al Imam Al-Baqir, lahir tahun 57 H, wafat 114 H (Abu Ja’far Muhammad bin Ali).
6- Al Imam Ash-Shadiq, lahir tahun 83 H, wafat 147 H (Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad).
7- Al Imam Al-Kazhim, lahir tahun 128 H, wafat tahun 183 H (Abu Ibrahim Musa bin Ja’far).
8- Al Imam Ar-Ridha, lahir tahun 148 H, wafat tahun 203 H (Abu Hasan Ali bin Musa)
9- Al Imam Al- Jawwad, lahir tahun 195 H, wafat tahun 220 H (Abu Ja’far Muhammad bin Ali).
10- Al Imam Al-Hadi, lahir tahun 212 H, wafat tahun 254 H (Abdul Hasan Ali bin Muhammad)
11- Al Imam Al-Askari, lahir tahun 232 H, wafat tahun 260 H (Abu Muhammad bin Ali)
12- Al Imam Al-Mahdi, lahir tahun 256 H (Abul Qasim Muhammad bin Hasan).
Syi’ah Zaidiyah
Disebut Syi’ah Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai
Imam yang kelima, putra Imam keempat, Zainal Abidin. Kelompok ini
berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui Muhammad Baqir, putra
Zainal Abidin yang lain, sebagai Imam kelima. Dari nama Zaid bin Ali
inilah, Zaidiyah diambil.
Oleh karena itu, kelompk Syi’ah Zaidiyah tidak menuduh Abu Bakar dan
Umar sebagai perampas hak kekhalifahan yang seyogyanya diperuntukan bagi
Ali. Jadi, kekhalifahan Abu Bakar dan Umar adalah sah menurut mereka
meskipun yang lebih berhak adalah Ali.
Dalam masalah akidah, mazhab Zaidiyah lebih condong kepada Mu’tazilah.
Imam Zaid tokoh pendiri mazhab ini (Zaidiyah) adalah murid dari Washil
bin atha’ yang bapak moyangnya Mu’tazilah. Dalam masalah fiqh mereka
lebih mirip dengan mazhab Syafi’i.
Syi’ah Isma’iliyah
Isma’iliyyah adalah bagian dari aliran Syi’ah Imamiyyah. Dalam sejarah
Islam mereka tercatat pernah berjaya dengan suatu kekuasaan yang besar,
yaitu Dinasti Fatimiyyah di Mesir dan Syam. Nama aliran ini dinisbahkan
kepada Isma’il bin Ja’far al-Shadiq. Ia adalah imam keenam dalam aliran
Imamiyyah dua belas. Imam berikutnya adalah Musa Al-Kazim sebagai imam
ketujuh. Namun aliran Isma’iliyyah menetapkan bahwa imam ketujuh adalah
anaknya yang bernama Isma’il. Mereka mengatakan bahwa hal itu
berdasarkan nash dari ayahnya, Ja’far tetapi Isma’il wafat mendahului
ayahnya. Walaupun Isma’il telah wafat, mereka tetap menerapkan nash itu,
sehingga keimaman terus berlangsung setelah Isma’il wafat. Prinsip
mereka ialah mengamalkan nash itu lebih baik daripada meninggalkannya.
Hal itu tidak mengherankan karena mereka memandang ucapan-ucapan seorang
imam sepenuhnya sama dengan nash-nash syara’ yang wajib dilaksanakan
dan tidak boleh ditinggalkan.
Hak keimaman melalui Isma’il berpindah kepada anaknya Muhammad
al-Maktum. Sejak Muhammad mulailah ada doktrin bahwa para imam
tersembunyi atau tertutup, karena mereka menetapkan bahwa seorang imam
dapat saja tersembunyi dan tetap wajib dipatuhi. Tersembunyinya seorang
imam tidak menghalanginya untuk menjadi imam.
Setelah Muhammad al-Maktum yang menajdi imam berturut-turut ialah
Muhammad al-Habib ibn Muhammad al-Maktum dan anak al-Habib, ‘Abdullah
al-Mahdi yang kemudian menampakkan dirinya di Afrika Utara dan kerajaan
Maghrib. Daulah Fathimiyyah di Mesir timbul setelah Abdullah al-Mahdi
muncul.
Karena menganut paham Syi’ah, para pengikutnya mengalami penderitaan dan
diburu sehingga melarikan diri dari Irak ke Persia, Khurasan dan
kawsan-kawasan Islam lainnya sepertin India dan Turkistan. Di
daerah-daerah itu paham aliran ini bercampur dengan sebagian kepercayaan
Persia kuno dan pemikiran filsafat India. Karena dipengaruhi paham dan
pemikiran-pemikiran itu, banyak penganut aliran Isma’iliyyah yang
menyimpang sehingga mereka banyak mengikuti hawa nafsunya. Itulah
sebabnya muncul kelompok-kelompok baru yang membawa nama aliran
Isma’iliyyah yang sebagiannya masih dalam ruang lingkup pemahaman ajaran
Islam, tetapi sebagian lagi menyimpang karena pahamnya telah tercemar
dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pokok Islam.
Aliran Isma’iliyyah dinamai juga dengan al-Bathiniyyah (al-Bathiyyun)
antara lain karena mereka selalu mengatakan bahwa imam mereka
tesrembunyi, dan selalu tersembunyi sampai munculnya kerajaan mereka di
Maghrib yang kemudian pindah ke Mesir. Sebab lain ialah karena mereka
mengatakan bahwa syari’at itu ada yang lahir dan ada yang bathin.
Masyarakat Islam hanya mengetahui yang lahir, sedangkan imam mengetahui
yang bathin, malah yang lebih mendalam lagi dari itu. Dengan alasan itu
mereka menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ta’wil yang sangat jauh.
Pendapat mereka dalam masalah ilmu lahir dan ilmu bathin ini sama dengan
pendapat aliran Imamiyyah dua belas. Sebagian aliran tasawuf juga
mengadopsi paham ini.
Pendapat-pendapat yang dianut oleh kalangan aliran Isma’iliyyah yang
moderat didasarkan atas tiga teori yang sebagian besar dianut juga oleh
aliran Isma’iliyyah dua belas, yaitu :
Limpahan cahaya Illahi (al-Faidh al-Illahi) dalam bentuk pengetahuan yang dilimpahkan Allah kepada para Imam.
Seorang imam tidak mesti menampakkan diri dan dikenal, tetapi dapat
tersembunyi dan meskipun begitu ia wajib dipatuhi. Ia adalah al-Mahdi
yang akan memberi petunjuk kepada manusia.
Seorang imam tidak bertanggung jawab kepada siapa pun, dan siapa pun
tidak boleh mempersalahkannya ketika ia melakukan suatu perbuatan.
G. KHALAF (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)
1. AL-ASY’ARI
Riwayat Hidup Al-Asy’ari
Namanya Abdul Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ary keturunan dari Abu Musa
Al-Asy’ary salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan
Muawiyah. Al-Asy’ari lahir tahun 260 H / 873 M dan wafat pada tahun 324 H
/ 935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu’tazilah
terkenal, yaitu Al-Jubba’i, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan
mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun dan
tidak sedikit dari hidupnya untuk mengarang buku-buku kemu’tazilahan.
Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari,
kemudian eprgi ke Mesjid Basrah. Di depan orang banyak ia menyatakan
bahwa ia mula-mula mengatakan Qur’an adalah makhluk: Tuhan tidak dapat
dilihat matakepala; perbuatan buruk manusia sendiri yang membuatnya.
(semuanya pendapat aliran Mu’tazilah). Kemudian ia mengatakan: “Saya
tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak
paham-paham orang Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan
kelemahan-kelemahannya”.
Al-Ay’ari meninggalkan aliran Mu’tazilah selain karena merasa tidak puas
terhadap konsepsi aliran tersebut dalam soal-soal al-Ashlah (keharusan
mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan), juga karena ia melihat ada
perpecahan di kalangan kaum Muslimin yang bisa melemahkan mereka, kalau
tidak segera diakhiri. Sebagai seorang muslim yang gairat akan kebutuhan
kaum Muslimin, ia sangat mengkhawatirkan kalau Al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi akan menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah
yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas
pemujaan kekuatan akal pikiran, sebagaimana dikhawatirkan juga akan
menjadi korban sikap ahli hadits anthropomorphist yang hanya memegang
lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya dan hampir
menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan. Melihat
keadaan demikian, maka Asy’ari dan golongan textualist dan ternyata
jalan tengah tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum Muslimin.
Karya-Karyanya
Ia bukan sekedar mengambil jalan tenagh tersebut di atas tetapi juga
ditulisnya dalam kitab-kitabnya agar bisa dibaca orang banyak. Ia
meninggalkan karangan-karangan kurang lebih berjumlah 90 buah dalam
berbagai lapangan. Ia menolak pikiran-pikiran Aristoteles, golongan
materialist, anthropomorphist, Khawarij dan golongan-golongan Islam
lain, akan tetapi sebagian kegiatannya ditujukan untuk menghadapi
orang-orang Mu’tazilah, seperti Jubba’i, Abil Huzail dan lain-lain,
sebagaimana ditujukan terhadap dirinya sendiri sewaktu ia masih menjadi
pengikut Mu’tazilah.
Kitab-kitabnya yang terkenal ada 3, yaitu :
1) Maqalat al-Islamiyah (Pendapat-Pendapat golongan-golongan Islam)
Kitab ini adalah kitab yang pertama kali dikarang tentang
kepercayaan-kepercayaan golongan Islam, dan juga merupakan sumber
terpenting karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab tersebut
dibagi 3 :
a) Berisi pendapat bermacam-macam golongan Islam
b) Tantang pendirian ahli hadits dan sunnah
c) Tentang bermacam-macam persoalan ilmu kalam
2) al-Ibanah an Ushulud Diniyah (Keterangan Tentang Dasar-Dasar Agama)
Kitab ini berisi uraian tentang kepercayaan ahli Sunnah dan dimulainya
dengan memuji Ahmad bin Hanbal dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya.
Uraian-uraian kitab ini tidak tersusun rapi, meskipun menyangkut
persoalan-persoalan yang penting dan banyak sekali.
3) al-Luma (Sorotan)
Kitab ini dimaksudkan untuk membantah lawan-lawannya dalam beberapa persoalan ilmu kalam.
Corak Pemikiran dan Pendapatnya
Al-Ay’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazilah, tidak
dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. Ia
menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal
pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah
disinggung-singgung oleh Rasul merupakan suatu kesalahan.
Sahabat-sahabat Nabi sendiri, sesudah wafat beliau, banyak membicarakan
soal-soal baru dan meskipun demikian mereka tidak disebut orang-orang
yang sesat.
Ia menentang keras orang yang berkeberatan membela agama dengan ilmu
kalam (Thelogy Islam) dan argumentasi pikiran, keberatan mana tidak ada
dasarnya dalam Qur’an maupun hadits.
Ia juga mengingkari orang yang berlebih-lebihan menghargai akal pikiran
yaitu aliran Mu’tazilah. Karena aliran ini tidak mengakui sifat-sifat
Tuhan.
Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan Imam Al-Asy’ari seperti yang
dilukiskan oleh pengikut-pengikutnya sebagai seorang muslim yang ikhlas
membela kepercayaan dan mempercayai isi Qur’an dan Hadits dengan
menempatkannya sebagai dasar (pokok) di samping menggunakan akal
pikiran, di mana tugasnya tidak lebih daripada memperkuat nas-nas
tersebut.
Ada beberapa pendapat Al-Asy’ari, antara lain :
1) Sifat
Pendapat Al-Asy’ari dalam soal sifat terletak di tengah-tengah antara
aliran Mu’tazilah di satu pihak dan aliran Hasywiyah dan Mujassimah di
lain pihak. Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam,
baqa, dan wahdaniyah (Keesaan). Sifat zat lain, seperti sama’, bashar
dan lain-lain tidak lain hanya zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiyah dan
Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk.
Al-Asy’ari dalam pada itu mengakui sifat-sifat Tuhan yang tersebut
sesuai dengan Zat Tuhan sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai
sifat-sifat makhluk. Tuhan mendengar, tetapi tidak seperti kita
mendengar dan seterusnya.
2) Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Menurut aliran Asy’ariyah faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik
bagi manusia (as-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran
Mu’tazilah tidak dapat diterima karena bertentangan dengan paham
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali
ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan
terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran Asy’ariyah tidak menerima
paham Tuhan mempunyai kewajiban.
Karena berpendapat pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa
Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima paham
pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asy’ari sendiri dengan
tegas mengatakan dalam al-Luma bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang
tak dapat dipikul pada manusia.
3) Melihat Tuhan pada hari Kiamat
Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala
dan dengan demikian, mereka menawilkan ayat-ayat yang mengatakan adanya
ru’yat, di samping menolak hadits-hadits Nabi yang menetapkan ru’yat,
karena tingkatan hadits itu menurut mereka adalah Ahad.
Menurut golongan Musyabbihah Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu
dan pada arah tertentu pula. Dengan menempuh jalan tengah antara kedua
golongan tersebut, Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat,
tetapi tidak menurut cara tertentu dan tidak pula pada arah tertentu.
Tuhan dapat dilihat di akhirat, dengan alasan-alasan yang dikemukakannya
ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah
sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat
dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini; karena apa yang
dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat
diciptakan. Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu
tidak mesti berarti Tuhan harus ebrsifat diciptakan.
4) Dosa besar
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari sebagai wakil ahl
As-Sunnah tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah walaupun
melakukan dosa besar seperti berzina dan mencuri. Menurutnya mereka
masih tetap orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki,
sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu
dilakukannya dengan anggapan dibolehkan (halal) dan tidak meyakini
keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan diakhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia
meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari hal itu
ebrgantung kepada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan
dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat
syafa’at dari Nabi Muhammad SAW sehingga terbebas dari siksa neraka atau
kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesuai dengan
ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di
neraka seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap
dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surga.
Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya
mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah, khususnya dalam pernyataan
yang tidak mengafirkan para pelaku dosa besar.
5) Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil
sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala bagi
orang yang baik.
Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah
Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan
keadilan dari visi manusia memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari
visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
Aliran Asy’ari seterusnya menentang faham keadilan yang dibawa
Mu’tazilah. Dengan demikian ia juga tidak setuju dengan ajaran
Mu’tazilah tentang al wa’d wa al-wa’id.
Perkembangan Aliran Asy’ariyah
Pendirian Al-Asy’ari tersebut di atas merupakan tali penghubung antara 2
aliran alam fikiran Islam, yaitu aliran lama (textualist) dan aliran
baru (rasionalist). Akan tetapai sesudah wafatnya, aliran Asy’ariyah
mengalami perobahan yang cepat. Kalau ada permulaan berdirinya
kedudukannya hanya sebagai penghubung antara kedua aliran tersebut, maka
pada akhirnya aliran Asy’ariyah lebih condong kepada segi akal fikiran
semata-mata dan memberinya tempat yang lebih luas daripada nas-nas itu
sendiri.
Mereka sudah berani mengeluarkan keputusan bahwa akal menjadi dasar
naqal (nas) karena dengan akallah kita menetapkan adanya Tuhan, pencipta
alam dan Yang Maha Kuasa. Pembatalan akal fikiran dengan nas berati
pembatalan dasar (pokok) dengan cabangnya yang berakibat pula pembatalan
pokok dan cabangnya sama sekali.
Karena sikap tersebut, maka Ahlus Sunnah tidak dapat menrima golongan
Asy’ariyah, bahkan memusuhinya, sebab dianggap sesat (bid’ah). Kegiatan
mereka sesudah adanya permusuhan ini menjadi berkurang, sehingga datang
Nizamul Muluk (wafat 485 H / 1092 M), seorang menteri Saljuk, yang
mendirikan 2 sekolah terkenal yang namanya, yaitu Nizamiyyah di Nizabur
dan Baghdad, di mana hanya aliran Asy’ariyah saja yang boleh diajarkan.
Sejak itu aliran Asy’ariyah menjadi aliran resmi negara, dan golongan
Asy’ariyah menjadi golongan Ahlus Sunnah.
Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariyah
Suatu utama bagi kemajuan aliran Asy’ariyah, ialah karena aliran ini
mempunyai tokoh-tokoh yang kenamaan, seperti yang telah disinggung di
atas yang mengkonstruksikan ajaran-ajarannya atas dasar filsafat
metafisika. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :
1) Al-Baqillani (wafat 403 H)
2) Ibnu faurak (wafat 406 H)
3) Ibnu ishak al-Isfaraini (wafat 418 H)
4) Abdul Kahir al-Bagdadi (wafat 429 H)
5) Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 478 H)
6) Abdul Mudzaffar al-Isfaraini (wafat 478 H)
7) Al-Ghazali (wafat 505 H)
8) Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9) As-Syihristani (wafat 548 H)
10) Ar-Razi (1149 – 1209 H)
11) Al-Iji (wafat 756 H / 1359 M)
12) As-Sanusi (wafat 895 H).
2. AL-MATURIDI
Biografi Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di
daerah Samarkand wilayah Transoxiana di Asia Tengah daerah yang sekarang
disebut Uzbekistan. Ia dieprkirakan lahir sekitar pertengahan abad ke-3
Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H / 944 M.
Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya
Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada masa
khalifah Al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232 – 274 H / 847 – 861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni
bidang teologi daripada fiqih. Ini dilalukan untuk memperkuat
pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang
pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang
benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan
dalam bentuk karya tulis.
Maturidy semasa hidupnya dengan Asy’ari , hanya dia hidup di Samarkand
sedangkan Asy’ari hidup di Basrah (Iraq). Maturidy adalah pengikut
mazhab Hanafy.
Al-Maturidi mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-soal keprcayaan
kepada pikiranpikiran Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya “al-Fiqh
al-Akbar” dan “al-Fiqh al-Absat” dan memberikan ulasan-ulasannya
terhadap kedua kitab tersebut. Al-Maturidy meninggalkan
karangan-karangan yang banyak dan sebagian besarnya dalam lapangan ilmu
tauhid.
Karya-Karyanya
Di antara karya-karya Maturidi adalah :
1) Kitab Tauhid
2) Ta’wil Qur’an
3) Makhaz Asy’Syara’i
4) Al-Jadl
5) Ushul fi Ashul ad-Din
6) Maqalat fi Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi
7) Radd al-Ushul al-Khamisah li Abu Muhammad al-Bahili
8) Radd al-Imamah li Al-Ba’ad Ar-Rawafid
9) Kitab Radd ‘ala Al-Qaramatah.
10) Risalah fi Al-Aqaid
11) Syarh Fiqh al-Akbar
Ajaran-Ajaran Teologi Al-Maturidi
1) Akal dan wahyu
Dalam pemikirannya Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal,
namun porsi untuk akal lebih banyak. Menurut al-Maturidi mengetahui
Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal.
Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan
ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal
dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanan kepada Allah SWT.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada 3 macam yaitu :
a) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
b) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
c) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
2) Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena seagla
sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan
manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia
memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya.
3) Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut) tetapi perbuatan dan
kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang
sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4) Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashar dan sebagainya.
Pengertian al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari.
Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat,
melainkan melekat pada dzat itu sendiri. Sedangkan Al-Maturidi
berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan
pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah dzat tanpa
terpisah.
5) Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan kelak di
akhirat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Ia
immaterial.
6) Kalam Tuhan
Menurut Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Qur’an sebagai yang tersusun
dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Asy’ari memandangnya dari segi
makna abstrak. Kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya
dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan
sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal.
Pendapat ini diterima al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka
menggunakan istilah hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan
Al-Qur’an. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan
dengan pendapat al-Maturidi, karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan
sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut
al-Maturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.
7) Pengutusan Rasul
Menurut al-Maturidi akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi pengutusan Rasul berfungsi
sebagai sumber informasi. Pandangan al-Maturidi ini tidak jauh berbeda
dengan pandangan Mu’tazilah bahwa pengutusan Rasul itu kewajiban Tuhan
8) Pelaku dosa besar
Orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka
walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan manusia sesuai dengan perbuatannya.
Kekal di dalam neraka adalah untuk orang-orang musyrik .
Kesimpulan
Jadi macam-macam aliran ilmu kalam adalah Khawarij, Murji’ah, Syi’ah,
Jabariyah,Qadariyah, Maturidiyah, Asy’ariyah,Muktazilah. Adanya
macam-macam ini bukan berarti Islam terpecah, tapi hanya salah pemahaman
karena Islam yang telah meluas sampai hampir ke penjuru dunia sehingga
pengawasan dari daerah ke pusat dan juga dalam pengajaran Islam
memperhatikan budaya atau kebiasaan daerah setempat sehingga Islam dapat
diterima di sana.
Sumber referensi
Abdul Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al-Bagdadi. Al-Farq bain Al-Firaq. Al-Azhar. Mesir. 1037.
Abi Al-Fath Muhammad Abd Al-Karim bin Abi Baskar Ahmad Asy-Syahrastani.
Al-Milal wa An-Nihal. Dar Al-Fikr. Libanon. Beirut. t.t..
Ali Mustahafa Al-Ghurabi. Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah wa nasy’atu ‘Ilmi
Al-Kalam Inda Al-Muslimin. Maktabah wa mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa
auladuhu. Haidan Al-Azhar. Mesir. Cet II. 1958.
Harun Nasution. Teologi Islam : Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. UI. Press. Cet I. 1985.
Muhammad Fazlul Rahman Ansari. Konsepsi Masuarakat Islam Modern. Terj. Juniarso Ridwan, dkk. Risalah. Bandung. 1984.
Amir An-Najar. Al-Khawarij : Aqidatan wa fikratan wa falsafatan. Terj. Afif Muhammad dkk. Lentera. Cet I. Bandung. 1993.
Ibrahim Madzkur. Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Thatbiquh. Juz II. Dar Al-Ma’arif. Mesir. 1947.
Nurchalis Madjid, ( Ed. ). Khazanah Intelektual Islam. Bulan Bintang, Cet II. Jakarta. 1985.
Toshihiko Izutsu. The Concept of believ in Islamic Theology. Tiara Wacana. Yogya, cet I. 1994.
Cyril Glasse. The Concise Encyclopedia of Islam.Staceny International. London. 1989.
Departemen Agama RI. Ensiklopedi Islam. 1990.
Ahmad Amin. Fajrul Islam. Jilid I. Islam. Ej. Sriil. Leiden. 1961.
Lihat W. Montgomery Watt. Islamic Philosophy and Theology:An Extended Survey. At Univ. Press. Eidenburgh. 1987.
W. Montgomery Watt. Early Islam: Collected Artecels. Eidenburgh. 1990.
Muhammad Imarah. Tayyarat Al-Fikr Al-Islamy. Dar Asy-Syuruq. Kairo-Beirut. 1991.
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1996), Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI
Press, 1986), cet. IV,
Harun Nasution, Encyclopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 522.
H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1991),
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah li Ashabiha Hasan Muhammad wa Auladihi, t.th),
Abudin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998)
Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
Luwis Ma’luf al-Yusu’i, Al-Munjid, (Beirut: al-Khata’ Hulukiyah, 1945),
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1972), cet. II
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam, (Jakarta: 1990),
Luwis Ma’luf, Al-Munjid Al-Lughah, (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, t.t) cet X,
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), cet. II
Hamid Dabashi, Shi’I islam modern Shi’I Thuoght”dalam John L. Esposito
(Ed), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islam World, Jilid IV,
Oxford University Press, Oxford, 1995,
MH. Alamah Thabathabai, Islam Syi’ah Asal Usul Perkembangannya”. Terj. Djohan Effendi, PT. Grafiti Press, Jakarta, 1989,
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Dan kebudayaan Islam 2″, terj. Prof. Dr.
H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief, PT. Al Husna Zikra, Jakarta,
1995,
Drs. H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994
Muhammad Abu zahrah, Aliran Politik Dan Akidah Dalam Islam, terj. Abd. Rahman dan Ahmad qarib, Logos, Jakarta, 1996,
Ihsan Ilahi Zhahier, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Gerakan Syi’ah, terj. Hafied Salim, PT. Al Ma’arif, bandung, 1985
Muhammad Ali Shabban,Teladan Suci Keluarga Nabi, terj. Adrus H. Alkaf. Ttp, Bandung, 1990
Prof. Dr. HM. Rasyidi, Apa Itu Syi’ah, Media Dakwah, Jakarta, 1996,
Dr. A. Daudy, MA, Kuliah Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997,
Drs. Sudarsono SH, Filsafat Islam, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1997
Agnas Golziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Heri Setiawan, INIS, Jakarta, 1991
Drs. Tgk. H.Z.A Syihab, Akidah Ahlus Sunnah,Bumi Aksara, Jakarta, 1998
Prof. Dr. Imam M. Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam”, Cet: I : 1996.
Ahmad Hanafi, Thelogy Islam (Ilmu Kalam),(Jakarta:Bulan Bintang, 1974),
Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam,(Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995), cet ke-6,
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar,Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2003),
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet.V,
Abu Hasan Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhhlaf Al-Musahllin, Wiesbaden France Steiner Verlag GBHN, 1963, cet II,
Al-Asy’ari, Al Ibanah an Ushul ad-Diyannah, Idarah At-Tiba’ah Al-Mishriyyah,, t.t,
H.AR.Gibb,The Encyclopedia of Islam, Vil.V, E.J. Brill, Leiden, 1960,
Musthafa Al-Maraghi, Al-fath Al-Mubin fi tabaqat Al-Ushuliyyin, Jilid I, An-Nasyr Muhammad Amin wa Syirkah, 1974, cet.II,
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003),.
Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam),(Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
Mahmud Qasim, Fi Ilmi kalam, Maktabah Al-Anglo al-Mishriah, Kairo, 1969