Tingkat kebenaran sejarah tradisional nusantara versi babad memang
banyak dipertanyakan namun karena minimnya sumber valid yang tersisa
pada periode itu tetap saja ia “dielu-elukan”, misal tak kurang dari
seorang H. J. De Graaf.
Sejarah tersebut pada umumnya didominasi oleh catatan penguasa
(pemenang) tentang pergolakan di seputaran 3-A, yakni tahta, harta dan
wanita ---bandingkan dengan 3-G (gold, glory and gospel)--- yang tidak
jarang justru terjadi di antara kalangan dekat sendiri sehingga berbuah
perang saudara dan berdampak pada munculnya catatan tulis ataupun lisan
semacam legenda atau serat tandingan atau katakanlah “dendam budaya”
yang tidak jarang dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk
mempersedap praktek politik devide et impera-nya dan nuansanya masih
terasa hingga sekarang. Dan, fenomena itu terjadi juga pada khasanah
sejarah Pati (baca:Pathi) Jawa Tengah Indonesia.
Dalam versi babad, sejarah Pati beriring-erat dengan Mataram Islam (abad
XVII) bahkan lahir dari rahim yang sama ---ada yang mengatakan
beririsan pula dengan masa Majapahit (1293 hingga 1500 M)---, karenanya
Pati-Mataram Islam (Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningkrat, sekarang)
menorehkan catatan persaudaraan yang hangat, kerjasama
politik-ekonomi-militer yang bermakna dan ironisnya diakhiri dengan
perang saudara yang memilukan.
Sejarah kekuasaan Pati dimulai dari ketika Kerajaan Pajang yang dipimpin
oleh Sultan Hadiwijaya sebagai kelanjutan dari Kerajaan Demak Bintara
menghadapi tuntutan hak Harya Penangsang (Jipang-Bojonegoro) yang merasa
paling legal sebagai pewaris tahta eks Kerajaan Demak itu, meski dalam
prakteknya diskursus hak ini debateble. Sultan Hadi Widjoyo bermaksud
mempertahankannya dan terjadilah perang. Untuk memadamkan
“pemberontakan” ini Sultan Hadiwijaya medeklarasikan sayembara bahwa
siapa yang bisa membunuh Harya Penangsang akan diberi hadiah.
Dan, majulah para tamtama Pajang yang berasal dari Selo Grobogan, yakni
Kyai Penjawi dan Kyai Pemanahan serta Ki Juru Martani sebagai pengatur
strategi dengan menggunakan seorang bocah Danang Sutawijaya sebagai
eksekutornya. Atas keberhasilan itu mereka berdua diberi hadiah alas
(hutan) mentaok (mataram) dan bumi Pati. Pemanahan memilih alas mentaok
plus harta kekayaan dari nadzar Ratu Kalinyamat karena terbalasnya
kematian suaminya oleh Harya Penangsang dan direalisir menjadi Kadipaten
Mataram di bawah Kerajaan Pajang.
Sementara itu, Penjawi mendapatkan bumi Pati yang saat itu sudah
merupakan kota dengan jumlah penduduk 10.000 jiwa, menjadi Kadipaten
Pati juga di bawah Kerajaan Pajang. Sebagai catatan: oleh karena dari
rahim kelahiran yang sama inilah dalam perkembangan hubungan
Pati-Mataram ---meskipun kenyataannya Mataram pada akhirnya justru
mencaplok Pajang sebagai Bapak kandungnya--- pihak Pati selalu
berpendirian bahwa antara Mataram dan Pati secara politik sederajad yang
notabene pendirian ini dipertahankannya hingga titik darah penghabisan.
Awalnya, Kadipaten Pati-Mataram di bawah Kerajaan Pajang hidup rukun
karena setara dan bersaudara (adik-kakak). Namun setelah Mataram yang
bercorak politik luar negeri ekspansionis dan dalam perkembangannya
mampu melumat Kerajaan Pajang yang atasannya itu rupan-rupanya mulai
memandang sebelah mata terhadap Pati. Logikanya barangkali adalah karena
Pati merupakan bawahan Pajang dan semenjak Pajang takluk oleh Mataram,
maka otomatis Pati ialah bawahan Mataram.
Penguasa Mataram setelah Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 M, di
ganti oleh putranya Mas Jolang atau Sultan Anyakrawati kelak terkenal
sebutan Sultan Seda Krapyak. Kemudian setelah Sultan Anyakrawati
meninggal di ganti oleh putranya yaitu Raden Mas Anyokrokusuma. Cucu
Panembahan Senopati ini menjadi Raja Mataram sangat terkenal tahun 1613 –
1645 M.
Penguasa di Kadipaten pati jiga mengalami perubahan. Setelah Adipati
Pragola I wafat karena usia tua, kekuasaan diserahkan putranya yaitu
Adipati Pragola II. Cucu Ki Ageng Penjawi ini memerintah Kadipaten Pati
dengan arif bijaksana sehingga rakyatnya merasa aman sejahtera.
Adipati Pragola II (wasis Djoyo Kusumo) mempunyai istri bernama Raden
Ajeng Tulak atau Ratu Mas Sekar yg merupakan Adik Sultan Agung.
Adipati Pragola II adalah adik ipar Sultan Agung Anyokrokusuma yang
sama-sama merupakan keturunan Prabu Brawijaya Raja Majapahit.
Adipati Pragola II dalam nenjalankan roda pemerintahan di Kadipaten Pati
mendapat dukungan penuh dari enam tumenggung. Ke enam tumenggung
tersebut yaitu, Tumenggung Mangunjaya, Adipati Kenduruan, Tumenggung
Ramananggala, Tumenggung Tohpati, Adipati Sawunggaling, dan Tumenggung
Sindurejo. Mereka telah bersumpah setia untuk membela buni Pati hingga
titik darah penghabisan.
Awal perselisihan dan adudomba
Ketika Mataram sedang memusatkan perhatian menyusun kekuatan untuk
menggempur daerah Surabaya, Adipati Pragola II berselisih dengan
pembesar di Jepara. Perselisihan tersebut hingga memuncak dan sang
Adipati Pragola mengirim ke enam Tumenggung ke Jepara untuk
menyelesaikannya. Keesokan harinya dengan seribu prajurit tempat
kediaman penguasa Jepara di porakporandakan hingga rata dengan tanah.
Patih Jepara Ki Laksamana marah atas peristiwa tersebut dan pergi
melapor ke penguasa Mataram. Ki Laksamana sampai di Mataram di terima
oleh Tumenggung Endranata. Patih Ki Laksana melapor bahwa Adipati
Pragola Pati akan memberontak Mataram.
Pada pisowahan agung di kerajaan Mataram, yg bersamaan dengan hari raya,
dihadiri oleh para punggawa kerajaan dan para pimpinan antara lain dari
Bagelan, Grobogan, Kudus, Kalinyamat, Demak, dan Lasem.
Satu-satunya yg tidak hadir adalah Adipati Pragola II dari Kadipaten
Pati. Ketidak hadiran Adipati Pragola II dalam pisowahan karena alasan
yg sama seperti Adipati Pragola I ayahnya,yang beranggapan bahwa Pati
dan Mataram itu sedrajat.
Mengetahui adik iparnya tidak hadir Sultan Agung marah besar dan
menanyakan pada raden Purbaya,belum sempat menjawab sudah di dahului
oleh Tumenggung Endranata, bahwa Adipati Pragola II akan memberontak
Mataram, bahkan Adipati Pragola II sudah menginventasisasi berbagai
senjata untuk menggulingkan Raja Mataram.
Laporan ini membuat Raja Mataram hati-hati sehingga ia mengirimkan telik
sandi ke Pati, untuk mengetahui sepak terjang Adipati Joyo Kusumo,
laporan yang diterima sesuai dengan apa yang pernah dilaporkan istri
Kyai Demang bahwa Pati sedang menyusun kekuatan. Raja Mataram segera
mengirimkan pasukan ke Pati. Pasukan ini sebenarnya akan dipersiapkan
untuk melawan Surabaya. konsentrasi Mataram sedang disibukan dengan
penumpasan Surabaya.. Tapi dialihkan menuju ke wilayah Pati guna
mencegah terjadinya pemberontakan di wilayah tersebut.
Perang saudara ini bisa dicegah dengan mengadakan perkawinan politik
antara anak Sultan Agung dengan anak Joyo Kusumo, dan ini sangat efektif
untuk meredam pemberontakan di Wilayah Pati. Pasukan Mataram kemudian
dialihkan kembali ke penyerangan Surabaya Disamping itu juga untuk
mencegah terjadinya pemberontakan wilayah, Pati salah satu kekuatan yang
menjadi perhitungan politik Sultan Agung, sehingga harus dipertahankan
supaya tetap mendukung Mataram.
Adi pati Joyo Kusumo gagah berani tampil sebagai pemimpin wilayah
Pantai, mereka mengumpulkan Penguasa Utara di Juana. Bahkan ketika
pengirimin pasukan untuk menyerang Surabaya ia menjadi panglimanya
menggantikan Adipati Sujanapura yang gugur dalam pertempuran. Adipati
Joyo Kusumo juga ikut dalam menumpas Pemberontakan Tuban. bersama Lasem
bahu membahu untuk menundukan kekuatan dan strategi perang Tuban dengan
besar-besaran,. sedangkan palimanya Adipati Martoloyo lebih senang
menunggu musuh daripada menyerang dahuluan. Joyo Kusumo juga pernah
menjadi panglima yang gagah berani. Ia bahu membahu dengan pasukan
Tumenggung Alap-alap
Setelah penyerangan Surabaya selesai, penarikan pasukan kembali ke
wilayahnya masing-masing. Temenggung Endranata mulai kasak-kusuk di
dalam Keraton Mataram, ia menterjemahkan mimpi Sultan Agung, tentang
kedatangan seorang berbaju putih yang mengharuskan menyingkirkan empat
orang terkemuka yang dapat menjadi duri dalam daging di Mataram.
Temenggung Endratara membisikan siapa saja yang menjadi penghalang
Sultan Agung.
Adipati endranata melemparkan isyu bahwa Pati akan mengadakan
penyerangan terhadap Mataram.. Pargola memperluas wilayahnya dengan
mengangkat enam Bupati MangunJaya, Kanduruwan,Raja Menggala, Toh Pati,
Sawunggaling dan Sindurejo. Mereka ia bersumpah sampai titik darah
penghabisan
Kisah awal peperangan
Raja Sultan Agung memanggil beberapa adipati menghadap ke Mataram, Raja
menanyakan kenapa Adipati Pragola tidak menghadap. Temenggung Endranata
menerangkan bahwa Pati tengah menyusun kekuatan dengan penguasa-penguasa
pantai utara, kecuali Demak yang masih setia kepada Mataram, hal ini
membuat murka Sultan Agung.
Akhirnya Sultan Agung memutuskan Pati di serbu. Pati diserbu dari tiga
penjuru, yaitu arah timur, selatan dan barat. Ratusan ribu prajurit
Mataram dikerahkan untuk menghancurkan Pati. Kadipaten Pati memang
dianggap oleh Sultan Agung yg paling kuat karena satu-satunya wilayah yg
belum terkalahkan.
Persiapan dilakukan mulai dari penunjukan para pimpinan, persenjataan,
dan perbekalan selama perang. Sebagai Senapati Mataram untuk menyerang
Pati ditunjuk Tumenggung Alap-alap.
Raja mengatur pasukan sebelah kanan yang dipimpin Adipati Martoloyo
membawai pasukan Mancanegara, pasukan ini bermukim di Pekuwon Juwana
bagian timur.
Pasukan Mataram dari arah selatan dipimpin oleh Pangeran Madura yg
membawahi prajurit Kedu, Begalan dan Pamijen, pasukan ini mendirikan
tenda-tenda perkemahan di kaki Gunung Kendeng sekitar daerah Cengkalsewu
sebelah selatan Pati.
Pasukan dari arah barat dipimpin oleh Pangeran Sumedang (Rangga Gempol)
yang membawahi pasukan khusus berkuda,pasukan ini mendirikan barak di
sekitar wilayah Matraman Margorejo sebelah barat Pati.
Terakhir keluarga Raja yang memimpin pasukan-pasukan Pamejagan mataram.
Pengawal pribadi terdiri dari 2.000 prajurit semua kapendak yang ada
diantara mereka harus mengikuti raja.
Pasukan mengepung melewati Pajang dan Taji sehingga banyak penduduk
berlarian menuju ke Kota Pati. Kadipaten Pati dikepung prajurit dari
segala penjuru, pasukan telik sandi Pati melaporkan bahwa ada gerakan
dari pasukan menuju Pati yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung.
Adipati Pati mengumpulkan rakyatnya yang masih setia untuk berkumpul
menyelenggarakan pesta. Untuk pengikutnya yang setia sebab esok akan
mengadakan pertempuran habis-habisan.
Jalannya Peperangan
Adipati Pragola II mengetahui wilayah Pati sudah di kepung rapat oleh
pasukan musuh.,ia tetap tegar dan tidak akan mundur selangkah pun.
Apalagi seluruh rakyat Pati mendukung untuk mempertahankan kedaulatan
rakyat Pati hingga titik darah penghabisan. Semua prajurit Kadipaten
Pati sudah siap siaga menempati pos-pos pertahanan yg sudah ditentukan.
Para punggawa Kadipaten Pati juga tidak tinggal diam, mereka memimpin
laskar andalan yg terdiri dari prajurit-prajurit terlatih.
Pasukan Pati mengenakan pakaian yang sama hitam-hitam, sedangkan rakyat
berpakaian seadanya. Mereka berkumpul menunggu Adipati Pragola yang
sedang siap-siap, ia mandi, mengenakan baju yang sangat bagus,
melengkapi diri dengan pakaian-pakain pusaka (Kere Wojo), dan jimat
pusaka.
Adipati Pati bersama pasukannya menuju sector kanan, Serangan Pati
ditujukan pada sayap kanan pasukan Mataram yang berada dibawah pimpinan
Matralaya, dalam pasukan itu juga ada Adipati Endranata berada. Pihak
Mataram mengalami kekalahan besar, dihajar dengan pasukanPati dengan
kekuatan penuh, sehingga pasukan Mataram ditarik mundur sampai daerah
perbatasan. Sisa-sisa Pasukan Mataram kocar-kacir menyelamatkan diri,
misalnya Raja Niti, Mangun Oneng dan Kertajaya. Mataram lari ke
Kunduruan, Pasukan Mataram meminta pertimbangan dengan Eyang Kunduruan
agar membantu pasukan Mataram, namun Eyang tidak mau sehingga terjadi
penyerbuan di kenduruan. Eyang Kunduruan telah siap dengan pasukan penuh
ditambah Pasukan dari Adipati Pati. Mereka bahu-membahu memukul Pasukan
Mataram, Pasukan Eyang Kunduruan mengusir Pasukan Mataram sampai di
luar desa.
Melihat kemenangan di tangan Adipati Pati Pragola, dalam pertempuran ini
Temenggung Endranata melarikan diri dan membelot ke Pasukan Pati. Juga
pusat dan sayap kiri pasukan Mataram menderita kerugian besar, Pasukan
Sawung Galing berhasil memporakporandakan pasukan inti Mataram, sehingga
hanya keluarga Raja dengan 2000 pengawal yang masih bertahan.
Adipati Pragola mengobrak-abrik strategi Kalajengking, dia menyerang
Pasukan tengah menuju ke arah Susuhunan. Pasukan Temenggung Singanaru
dihajar habis-habisan sehingga seluruh anak buahnya tewas, Temenggung
Singanaru berlari menyelamatkan diri, ia kehilangan seluruh anak
buahnya, sehingga menimbulkan keadaan darurat.
Pasukan Adipati Pati terlena, setelah memenangkan pertarungan, sehingga
dia menarik pasukan Pati kembali ke markasnya, pengejaran terhadap
Pasukan Mataram hanya sampai di tapal batas saja. Mereka tidak mengejar
lagi karena menduga sisa Pasukan Mataram kembali ke Mataram.
Raja Mataram memerintahkan mundur semua pasukan, untuk menyusun kembali
Pasukan Mataram yang tersisa. Banyak Pasukan Mataram yang kocar-kacir
kehilangan induk semangnya. Sultan Mataram memerintahkan Pasukan Mataram
yang ada di tiga sector, sayap kanan, kiri dan tengah untuk tidak
melakukan serangan, ditahan dulu pasukannya menunggu komando berikutnya.
Raja Mataram di dalam hutan, mengumpulkan para pemimpin pasukan untuk
mengkaji ulang strategi perang, dan untuk menemukan stategi baru untuk
menundukan Pati. kemudian memukul gong pusaka Kiai Bicak, tetapi tidak
berbunyi. Ia kehilangan semangat dan berdoa kepada Allah, setelah itu
gong berbunyi lagi dengan suara nyaring, ini menggobarkan semangat para
prajurit Mataram, yang tadinya sudah mundur. Sekarang mereka maju lagi
untuk bertempur.
Sisa Pasukan Mataram yang bertahan ditapal batas, dan pasukan yang masih
di hutan Jepara, Purwodadi, Kudus bergabung kembali dengan Pasukan
Sultan Mataram, setelah telik sandi menginstruksikan untuk segera
merapat dan bertemu dengan pasukan Sultan Mataram, sambil menunggu
bantuan dari Kerajaan Mataram yang akan menyerbu Surabaya, untuk
dialihkan dahulu membantu Pasukan Mataram yang mau menyerang Pati.
Meskipun demikian, Adipati Pragola masih yakin akan kemenangannya. Ia
mengadakan pembunuhan besar-besaran pada pihak Mataram. Raja Mataram
segera mengirim pasukan tambahan danmengarahkan pengawal dan
keluarganya, yang dipimpin oleh Pangeran Purbaya dan keluarganya. Mereka
merapat bergabung dengan sisa pasukan Mataram dengan menggunakan
strategi kombinasi, mengecoh pertahanan Pati. Pasukan Mataram bergerak
melawan Adipati Kunduruan di daerah Selatan, Prawirataruna, Temenggung
Toh Pati dan Tumenggung Mangunjaya bertahan di arah timur, Tumenggung
Sindurejo dan Raja Menggala bertahan di sector Barat melawan gempuran
Pasukan Tumenggung Alap-alap. sedangkan Pasukan Tumenggung Sawunggaling
kocar-kacir melawan pasukan inti, ia tertangkap Pasukan Mataram dan di
ekskusi ditempat.
Meskipun demikian, Adipati Pragola dengan semangat menyala-nyala maju ke
depan, tetapi Raja Mataram menyerahkan tombak Kiyai Baru kepada Lurah
Kapedak, Naya Derma. Tepat ketika raja sekali lagi memukul gongnya Naya
Derma menusuk Pragola sehingga mengakibatkan luka ringan sebelah kiri.
Pargola jatuh dari kudanya kemudian ia bangkit, dan memacu kudanya
keluar dari kepungan Pasukan Mataram. Dia berlari untuk merawat lukanya,
ditengah jalan kudanya berhenti dan Sang Adipati Wafat di Sendang Sani
pada hari Jum’at Wage tanggal 4 Oktober 1627 M. . Mendengar Adipati
Pragola wafat. Temenggung Endranata dan pasukannya membelot, menganggap
ini suatu alasan untuk kembali ke Pasukan Mataram. Semua pasukan Pati
dimusnahkan, juga mereka yang ditangkap hidup lebih suka memilih mati.
Raja memerintahkan agar jenazah Pragola ditegakan dan jimat-jimatnya
diambil. Melihat percikan darah pada Kiai Baru, raja mengerti bahwa
adiknya terbunuh dengan senjata itu.
Sementera itu Tumenggung Mangunjaya melarikan diri ke dalam istana dan
menyampaikan berita kekalahan kepada para wanita disana juga kepada
empat menteri jaga : Sura Prameya, Rangga Jaladra, Sura Antaka dan
Pengalasan. Mereka bertempur terus sampai mati dengan 200 prajurit yang
masih ada. Ini dilakukan dialun-alun, hanya Mangunjaya yang membawa
berita kekalahan kepada para wanita, mereka cepat berlari meninggalkan
Kadipaten Pati menuju ke Gunung Prawata. Melalui pintu belakang bersama
putra mahkota yang masih muda.
Temenggung Alap-alap dengan beberapa pasukannya mengobrak-abrik Pasukan
Pati, mereka memporakporandakan istana dan menguras habis istana bersama
dengan pengikut-pengikutnya, kekayaannya dirampas dan rumahnya dibakar
diratakan dengan tanah. ia memerintahkan untuk membawa para wanita ke
Mataram.
Sultan Mataram bertemu dengan adiknya yang juga istri Pragola, ia
bertanya kenapa Pati harus memberontak terhadap Mataram, janda Pragola
menceritakan bahwa Sultan Mataram dan Pragola Pati diadu domba oleh
Adipati Endranata. Raja Mataram marah besar, sehingga ia memerintahkan
Martalulut dan Singanegara untuk membunuh Adipati Endranata dan
dipertontonkan ususnya di Pasar Gede.
Adipati Pragolo Djoyo Kusumo sebagai tokoh Pahlawan Sejati Korban Fitnah dari pejabat yang Lalim.
Adipati Pragola II rela berkorban hingga titik darah penghabisan,
Adipati gugur di medan perang untuk mempertahankan wilayah dan
kedaulatan negeri Pati. Namanya harum dikenang dan diagungkan oleh
masyarakat Pati.
Tentu saja, tewasnya Adipati junjungannya yang berarti kehancuran
Kadipaten Pati dapat dimaklumi secara psikologis membawa luka yang
mendalam bagi rakyatnya. Mulai saat itu hingga sekarang sebagai tanda
peringatan atas naasnya Adipati Pragola II yang sangat dihormatinya itu
hari Jumat Wage menjadi hari yang disakralkan oleh (sebagian)
orang-orang Pati.