Rasulullah bersabda:
“ hati orang mu’min itu bersih, didalamnya ada pelita yang bercahaya
gemilang. Dan hati orang kafir itu hitam dan terbalik ( AR, Ahmad dan
Thabrani)
Jelas sekali dikatakan oleh rasulullah bahwa hati mukmin, yaitu
orang-orang yang yakin kepada Allah dan Rasul-Nya, bersih dan bersinar
gemilang karena disinari oleh Nur Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hadits lain mengatakan :
“Apabila dikehendaki oleh Allah kebajikan kepada seorang hamba, niscaya
dijadikannya orang itu mendapat pelajaran di hatinya”(HR. Ad Dailami)
Dari hadits ini dapat diambil kesimpulan bahwa hati bisa mendapat pelajaran dari Allah Ta’ala.
Salah satu bentuk pelajaran dari Allah Ta’ala adalah tajamnya firasat
orang mu’min, mereka dengan hatinya disinari oleh cahaya Allah
diberikan “ al fahmu “ ( pemahaman) atau firasat, Tidak setiap umat
Islam bisa mendapatkan “al fahmu”.
اتقوا فراسة المؤمن ، فإنه ينظر بنور الله
“ Hati- hatilah dengan firasat orang yang beriman, karena dia melihat dengan cahaya Allah “
( HR Tirmidzi dengan sanad lemah ,dalam Al Sunan, Kitab : Tafsir, Bab : Tafsir surat Al Hijr ( hadits 3127 )
Pengertian Firasat
Firasat , kalau kita kaji dengan teliti, ternyata terdapat di dalam
ajaran Islam. Dalilnya, selain hadits di atas, adalah beberapa ayat Al
Qur’an yang menyentuh masalah firasat tersebut, diantaranya adalah
firman Allah:
إن في ذلك لآيات للمتوسمين
“ Sesungguhnya pada peristiwa itu terdapat tanda- tanda bagi orang – orang yang “ Al Mutawassimin “( QS Al Hijr : 75 )
Al Mutawasimin menurut pengertian ulama adalah orang-orang yang
mempunyai firasat, yaitu mereka yang mampu mengetahui suatu hal dengan
mempelajari tanda-tandanya.
Sebagaimana firman Allah :
ولو نشاء لأريناكهم فلعرفتهم بسيماهم
“ Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu,
sehingga kamu benar- benar mengetahui mereka dengan tanda- tandanya “ (
Qs Muhammad : 30 )
Allah juga berfirman :
يحسبهم الجاهل أغنياء من التعفف تعرفهم بسيماهم
“ Orang – orang yang bodoh menyangka mereka adalah orang kaya, karena
mereka memelihara diri dari meminta- minta , kamu mengetahui mereka
dengan tanda- tandanya “ ( QS Al Baqarah : 273 )
Walaupun hadits di atas sanadya lemah, namun makna dan artinya tidak
bertentangan dengan ajaran Islam . Banyak hal yang membuktikan bahwa
orang yang beriman mampu memandang sesuatu dengan tepat dan akurat.
Karena Allah memberikan kekuatan kepada orang yang beriman kepada-Nya ,
yang mana hal itu tidak diberikan kepada orang lain.
Kekuatan yang diberikan Allah tersebut, tidak hanya terbatas kepada cara
memandang, melihat, memutuskan suatu perkara ataupun mencarikan jalan
keluar. Akan tetapi, kekuatan tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan
ini. Orang yang beriman mempunyai kelebihan kekuatan dalam bersabar
menghadapi ujian dan cobaan, karena dia yakin bahwa hanya Allah-lah yang
mampu menyelamatkan dan memberikan jalan keluar dari ujian tersebut,
sekaligus berharap dari ujian tersebut, bahwa dia akan mendapatkan
pahala di sisi-Nya dan akan menambah ketinggian derajatnya di akherat
kelak. Apalagi tatkala dia mendengar hadits yang menyatakan :
“ Jika Allah mencintai hamban-Nya , niscaya Dia akan mengujinya “,
tentunya , dia akan bertambah sabar , tabah dan tegar.
Di dalam peperangan, orang yang berimanpun mempunyai stamina dan
keberanian yang lebih, karena mati syahid adalah sesuatu yang
didambakan. Mati mulia yang akan mengantarkannya kepada syurga nan abadi
tanpa harus dihisab dahulu. Belum lagi nilai jihad yang begitu tinggi,
yang merupakan “ puncak “ ajaran Islam, suatu amalan yang kadang, bisa
menjadi wasilah ( sarana ) untuk menghapuskan dosa-dosanya, walaupun
dosa tersebut begitu besar, seperti yang dialami oleh Ibnu Abi
Balta’ahseorang sahabat yang terbukti berbuat salah, dengan membocorkan
rahasia pasukan Islam yang mau menyerang Makkah. Ke-ikut sertaannya
dalam perang Badar, ternyata mampu menyelamatkannya dari tajamnya pedang
Umar ibnu Khottob.
Dalam bidang keilmuan, tentunya keimanan seseorang mempunyai peran yang
sangat urgen di dalamnya. Masalah keilmuan ini ada kaitannya dengan
masalah firasat, yang merupakan pembahasan kita kali ini. Allah
berfirman :
واتقوا الله ويعلمكم الله
“ Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, dan Allah mengajarimu “ ( QS Al Baqarah : 282 )
Ayat di atas menunjukan bahwa barang siapa yang bertaqwa kepada Allah,
niscaya Allah akan mengajarinya( memberikan ilmu kepadanya ).
Di sana juga, terdapat hadits yang mendukung ayat di atas, yaitu hadits yang berbunyi :
“ Barang siapa yang mengajarkan Al Qur’an , niscaya Allah akan mengajarkan sesuatu yang belum ia ketahui “
Artinya : Mengajarkan Al Qur’an adalah salah satu dari kegiatan yang
menambah ketaqwaan atau keimanan seseorang kepada Allah, sehingga dengan
amalan tersebut Allah akan membalasnya dengan mengajarkan kepadanya
sesuatu yang ia belum mengetahuinya.
Salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw pernah berkata : “ Seorang yang
alim melihat fitnah ( kekacauan dan sejenisnya ) sebelum datang, sedang
orang yang jahil melihat fitnah setelah terjadi “ . Maksudnya , bahwa
orang yang alim ( tentunya disertai dengan keimanan dan ketaqwaan kepada
Alah ) mempunyai firasat atau pengetahuan akan sesuatu yang akan
terjadi, sedang orang yang bodoh dan tidak bertaqwa kepada Allah , tidak
mengetahuinya kecuali setelah peristiwa tersebut terjadi. Ini bukan
berarti sang alim tadi mengetahui hal- hal yang ghoib dengan begitu
saja, akan tetapi artinya bahwa dia mengetahuinya dengan tanda- tanda (
firasat ) yang telah diberikan Allah kepadanya, atau tanda-tanda
tersebut telah disebutkan Allah di dalam kitab suci-Nya dan hadits
nabi-Nya.
Beberapa Contoh Firasat yang benar
Sekedar contoh, bahwa seorang alim akan mengetahui runtuhnya suatu
bangsa, atau terjadinya malapetaka mengerikan yang akan menimpa pada
suatu tempat, dengan melihat tanda- tandanya, seperti menyebarnya
perzinaan dengan cara yang terang-terangan, semaraknya riba di bank-
bank dan di pasar- pasar, serta perbuatan –perbuatan sejenis, yang
kesemuanya itu akan mendatangkan murka Allah dan mengakibatkan turun
adzab dari langit. Penyakit “ AIDS ” , yang sampai sekarang belum ada
obatnya, merupakan bukti nyata akan statement di atas. Di tambah muncul
wabah baru yang mengerikan dan pemburu nyawa yang ditakuti oleh semua
orang, yaitu wabah “ SARS “ yang membuat kalang kabut negara- negara
maju. Terakhir penyakit ini, malah menyerang tentara Amerika yang
menjajah Irak.
Terpuruknya bangsa- bangsa yang ada adalah akibat jauhnya mereka dari
ajaran Islam , termasuk di dalamnya negara Indonesia, yang terus –
menerus mengumbar kemaksiatan, meraup harta- harta hasil korupsi dan
menebar kejahatan riba serta memerangi Islam dengan terang- terangan.
Dan sebentar lagi adalah negara Amerika Serikat yang sedang sekarat dan
terpuruk dengan berbagai persoalan dalam dan luar negri . Negara ini
konon telah memberikan lampu hijau bagi kaum homosex untuk mempraktekan
kebejatannya, ini adalah salah satu indikasi bagi “Al-Mutawassimin “ (
orang – orang yang mempunyai firasat ) bahwa negara tersebut telah
berada pada jurang kehancuran.
Allahpun sebenarnya telah memberikan contoh ilmu firasat ini dengan
sangat jelas , sebagaimana yang tertera pada ( Q.S Al Hijr, ayat :75)
diatas. Alur pembicaraan ayat tersebut, ternyata berkenaan dengan
peristiwa atau kemaksiatan yang di lakukan oleh kaum Luth, suatu bangsa
yang pertama kali mengajarkan “ homosex “ kepada manusia, sehingga di
hukum oleh Allah dengan dibaliknya kota Soddom dan dihujani dengan batu-
batu besar.
Sesungguhnya hal itu terdapat tanda- tanda bagi orang – orang yang mempunyai firasat.
Tanda- tanda ( firasat ) yang digunakan oleh seorang yang alim untuk
mengetahui sebuah peristiwa, bukan hanya berupa “ fahisah “ (
kemaksiatan seperti zina dan sejenisnya ) saja, akan tetapi tanda-tanda
itu bisa juga berupa penyelewengan dari manhaj Al Quran secara umum dan
penyelewengan dari disiplin ilmu yang benar, walaupun kadang,
penyelewengan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, seperti : tidak
adanya amar ma’ruf dan nahi mungkar didalam suatu masyarakat, atau
bahkan ada perbuatan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tetapi tidak
dilandasi dengan ilmu syar’I yang benar .Kita lihat umpamanya, Bani
Israel mendapatkan laknat dan adzab dari Allah karena mereka
meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.
Bahkan kesalahanan seorang pemimpin dalam berijtihadpun bisa dijadikan
tanda bagi orang yang mempunyai firasat bahwa hal itu akan menyebabkan
malapetaka. Inilah salah satu bentuk firasat yang dimiliki oleh Ibnu
Umar ra, ketika melepas Husein bin Ali ra – walaupun dengan sangat berat
hati – berangkat ke Iraq untuk memenuhi ajakan penduduk Iraq yang ingin
membai’atnya jadi kholifah , beliau berkata kepadaHusein bin Ali ra:
“ Saya menitipkanmu kepada Allah , wahai orang yang akan terbunuh “.
Firasat Ibnu Umar mengatakan bahwa Husein akan terbunuh dalam perjalanan
menuju Iraq tersebut, ternyata menjadi kenyataan . Terjadilah peristiwa
mengenaskan yang ditulis sejarah dengan lumuran darah , yaitu
pembantaian terhadap Husein ra, cucu Rosulullah saw dan rombongannya di “
Karbela “ , yang akhirnya menimbulkan luka mendalam pada seluruh umat
Islam bahkan menimbulkan fitnah yang berkepanjangan hingga hari ini.
Para sahabat lainnya juga mempunyai firasat yang benar, seperti yang
dimiliki oleh Abu Musa Al Asy’ari ra, ketika melihat perselisihan antara
Muawiyah dan Ali di dalam menentukan sikap terhadap para pembunuh
kholifah Utsman bin Affan. Beliau melihat perselisihan tersebut sebagai
bibit fitnah yang harus dijauhi, sehingga beliau dengan beberapa sahabat
senior lainnya, sepertiSa’ad bin Abi Waqas, Ibnu Umar, Usamah bin Zaid,
Abu Bakroh, Salamah bin Akwah, Abu Huroirah, Zaid bin Tsabit dan
lainnya, menolak untuk ikut campur dalam peperangan antara kedua
kelompok umat Islam tersebut. Dan sikap inilah yang lebih dibenarkan
oleh beberapa ulama “ muhaqiqin “ dari dua kubu lainnya, yaitu kubu Ali
bin Abi Tholib ra dan kubu Muawiyah ra. Walaupun mayoritas Ulama lebih
membenarkan kubu Ali bin Abu Tholib ra, tetapi pendapat tersebut kurang
kuat, karena ada riwayat yang menyatakan penyesalan Ali bin Tholib
terhadap sikap yang beliau ambil di dalam menghadapi fitnah ini, yaitu
setelah perang Siffin yang mengorbankan ribuan putra- putra terbaik umat
Islam itu selesai.
Begitu juga firasat yang dirasakan oleh kholifahUtsman bin Affan ra, ketika seseorang datang menemuinya , beliau mengatakan :
“ Salah satu dari kalian menemuiku , sedang perbuatan zina nampak pada matanya “
Mendengar perkataan tersebut, spontas saja, yang hadir di situ
mengatakan : “ apakah pernyataan tuan tersebut, merupakan wahyu dari
Allah ? “ . Kholifah Utsman menjawab : “ Bukan, akan tetapi itu adalah
firasat yang benar “ .
Juga, sebelum beliau meninggal dunia karena terbunuh, beliau merasakan
bahwa ajalnya telah dekat dan dia akan mati terbunuh, maka beliau
mengambil sikap untuk tidak mengadakan perlawanan ketika segerombalan
orang masuk ke rumahnya, serta menolak bantuan yang di tawarkan oleh
beberapa pengawal dan sahabatnya. Beliau ingin menghindari pertumpahan
darah antara kaum muslimin, yang ujung-ujungnya, beliau jugalah yang
akan menjadi korbannya.
Menentukan Hukum dengan Firasat
Bukan sampai di situ saja, firasatpun kadang bisa digunakan di dalam
memutuskan suatu masalah. Yang perlu diingat kembali, maksud firasat di
sini adalah firasat yang benar, yang merupakan tanda- tanda atau bukti-
bukti yang hanya bisa diketahui oleh orang – orang tertentu dan tentunya
bisa dicerna oleh akal sehat.
Salah contohnya, adalah apa yang dilakukan oleh nabi Allah Sulaiman as,
ketika dua orang perempuan datang kepada nabi Daud as, untuk
menyelesaikan perkara mereka berdua yang masing – masing mempunyai bayi,
salah satu bayi dari keduanya dimakan srigala. Kedua- duanya mengaku
bahwa bayi yang masih hidup adalah bayinya. Tidak ada satupun dari
mereka mau mengalah dan ironisnya lagi, tidak ada tanda satupun untuk
bisa dijadikan bukti dalam perkara tersebut. Setelah berpikir sejenak,
nabi Daud asakhirnya memutuskan bahwa bayi tersebut milik perempuan yang
lebih tua. Apa yang dijadikan dasar oleh nabi Daud as, sehingga
mengambil keputusan tersebut ? Barangkali karena pertimbangan umur, atau
karena Nabi Daud as sejak pertama kali melihat bahwa bayi tersebut
selalu dalam dekapan ( gendongan ) perempuan yang tua. Keadaan seperti
itu dijadikan Nabi Daud as, sebagai dasar pijakan untuk memutuskan bahwa
anak tersebut milik perempuan yang mendekapnya. Dan teori ini
dibenarkan di dalam Hukum Islam.
Namun, ketika kedua perempuan tersebut mendatangi Nabi Sulaiman as, dan
menceritakan duduk perkaranya. Karena tidak ada bukti, Nabi Sulaiman as
berpikir sejenak. Dan tanpa banyak bicara, beliau segera memerintahkan
anak buahnya untuk mengambil pedang. Setelah pedang yang terhunus
tersebut di tangan nabi Sulaiman as, beliau menyarankan agar salah satu
dari dua perempuan tersebut untuk mengalah, sebelum pedang tersebut
diayunkan ke tubuh bayi mungil, untuk kemudian dibagi menjadi dua bagian
supaya adil. Sampai di situ, kedua perempuan tadi tidak bergeming dari
pendiriannya masing-masing. Mereka mengira bahwa nabi Sulaiman tidak
mungkin berbuat setega itu. Namun, ketika perempuan yang lebih muda
melihat Nabi Sulaiman ra, serius dan tidak main- main dengan ancamannya,
serta hendak mengayunkan pedangnya persis di tengah tubuh bayi
tersebut, tiba- tiba dia berteriak : “ Jangan engkau laksanakan wahai
nabi Allah Sulaiman, mudah- mudahan Allah memberikan rohmat kepadamu,
saya nyatakan bahwa bahwa anak tersebut milik perempuan yang lebih tua
dariku “. Mendengar teriakan tersebut, Nabi Sulaiman tersenyum dan tidak
meneruskan rencananya tersebut. Kemudian memutuskan bahwa bayi tersebut
adalah milik perempuan yang lebih muda.
Nabi Sulaiman dalam memutuskan perkara tersebut, telah menggunakan
firasat dan ilmunya bahwa diamnya perempuan yang tua, dan menjeritnya
perempuan yang lebih muda serta tidak sampai hatinya dia menyaksikan
anak tersebut dibelah menjadi dua, merupakan bukti atau tanda yang
sangat kuat bahwa anak tersebut milik perempuan muda . Bahkan bukti-
bukti seperti itu, jauh lebih kuat dari pada sekedar pengakuan perempuan
muda sendiri yang menyatakan bahwa anak tersebut bukan anaknya, tapi
anak perempuan yang lebih tua. Peristiwa ini bisa dilihat di dalam buku
Shohih Bukhori, Kitab ; tentang para nabi, no ( 3427) dan di Shohih
Muslim, Kitab ; peradilan no ( 1720 ) Peristiwa tersebut sangat erat
kaitannya dengan firman Allah :
وداود وسليمات إذ يحكمان في الحرث غذ نفشت فيه غنم القوم وكنا لحكمهم شاهدين ، ففهمناها سليمان وكلا آتيناه حكمة وعلما
“ Dan ingatlah kisah Daud dan Sulaiman, ketika mereka memberikan
keputusan tentang tanaman, karena tanaman tersebut di rusak oleh kambing
–kambing kaumnya , dan Kami adalah menyaksikan apa yang mereka
putuskan. Adapun Sulaiman telah Kami berikan pengertian ( kepahaman )
terhadap hukum yang tepat, Dan masing- masing dari keduanya , Kami beri
hikmah dan ilmu … “ (QS Al Anbiya’ 78-79 )
Dari ayat di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa menentukan putusan
dalam peradilan dengan tanda- tanda seperti itu, merupakan bagian dari “
al fahmu “ ( pemahaman) atau firasat, bukan sekedar ilmu belaka.
Namun , menurut hemat penulis “ al fahmu” atau firasat sebenarnya
tidaklah bertentangan dengan Ilmu Syareat, bahkan “ al fahmu “ sendiri
merupakan bagian dari Ilmu Syareat tersebut. Jadi, ilmu yang disebutkan
Allah di dalam Qs Al Baqarah : 282 di atas,- yang datang karena
ketaqwaan -, termasuk di dalamnya adalah ilmu “ alfahmu “ atau “ firasat
yang benar “ .
Contoh lain, adalah apa yang terjadi pada masa kekholifahan Umar ibnu
Khottob, ketika datang kepadanya seorang perempuan yang memuji sifat
suaminya, seraya berkata : “ Suami saya adalah orang yang paling baik di
dunia ini, dia selalu bangun untuk melakukan sholat malam hingga pagi,
kemudian dia juga puasa pada siang harinya nya hingga malam “. Kemudian
perempuan tersebut tidak sanggup meneruskan perkataannya, karena malu.
Setelah perempuan tersebut pulang, berkata Ka’ab bin Suwar , seorang
qhodi yang cerdas dari kalangan tab’in , kepada Umar : “ Wahai amirul
mukminin, perempuan tadi sebenarnya ingin mengadu kepada tuan “. “
Mengadu tentang apa ? “ , tanya Umar. “ Mengadu tentang kedholiman
suaminya “, jawab Ka’ab. “ Kalau begitu panggil mereka berdua dan kamu
selesaikan masalahnya “, Jawab Umar tegas. “ Saya yang menyelesaikan
urusan mereka, sedang tuan menyaksikannya ? “ tanya Ka’ab ragu. “ Iya,
karena firasatmu dapat membaca sesuatu yang saya tidak memperhatikannya “
, jawab Umar ra. Mendengar hal tersebut Ka’ab menjadi tenang dan mulai
menyelesaikan problematika kedua suami istri tersebut dengan membacakan
firman Allah :
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع
“ Maka hendaklah engkau nikahi wanita- wanita yang engkau senangi : dua , tiga atau empat “ ( QSAn Nisa : 3 )
Kemudian Ka’ab berkata : “ Dengan dasar ayat tersebut, maka ( wahai
suami ) hendaknya engkau puasa tiga hari saja, adapun hari keempat
engkau harus berbuka( tidak puasa ) bersama istrimu, dan hendaknya
engkau sholat malam selama tiga malam saja, dan pada malam keempat,
engkau harus tidur bersama istrimu “.
Umar bin Khottob berdecak kagum, ketika mendengar keputusan yang
diajukan oleh Ka’ab kepada dua orang suami istri tersebut, kemudian
berkata : “ Firasatmu yang kedua ini jauh lebih canggih dari yang
pertama “. Akhirnya , Umar mengangkatnya sebagai qhodhi di kota Basroh.
Dari keterangan di atas, bisa kita ambil kesimpulan bahwa firasat
ternyata terdapat di dalam ajaran Islam, bahkan disebutkan di dalam Al
Qur’an dan Hadits serta dilakukan oleh para sahabat dan para
pengikutnya. Namun yang perlu di catat di sini, bahwa hal itu bukan
berarti setiap orang boleh mengaku bahwa dia mempunyai firasat yang
benar atau bahkan memutuskan sesuatu perkara dengan firasat , walaupun
tanpa ada tanda- tanda atau bukti- bukti yang bisa di pertangungjawabkan
baik secara Hukum Islam , maupun secara logika yang sehat.Karena hadits
diatas, yang mengatakan untuk berhati- hati dengan firasat orang
beriman , ditambah dengan contoh – contoh yang diutarakan di atas ,
telah membuktikan bahwa firasat yang bisa di terima adalah firasatnya
orang yang beriman, yaitu orang yang benar- benar bertaqwa kepada Allah
swt, disertai dengan bekal ilmu syar’I yang mapan.
Hal tersebut, dikuatkan dengan lafadh hadits bagian terakhir yang
berbunyi ( karena dia melihat sesuatu dengan cahaya Allah ) maksud dari :
“dengan cahaya Allah” di sini adalah dengan ketaqwaan dan dengan ilmu.
Karena kalau sekedar mengaku taqwa tanpa bukti, tentunya tidak bisa di
terima pengakuannya, karena salah satu bukti dari ketaqwaan adalah ilmu.
Beribadah tanpa dasar ilmu bagaikan ibadahnya orang Nasrani (Kristen)
yang dicap oleh Allah dengan golongan yang sesat. Seseorang tidak akan
bisa beribadah dan bertaqwa kepada Allah dengan baik dan sempurna, kalau
tidak mempunyai bekal ilmu yang cukup. Sebaliknya kalau hanya berbekal
ilmu saja, tanpa ada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah juga tidak akan
terwujud sebuah cahaya, karena ia termasuk type orang Yahudi yang di
murkai oleh Allah.
Akhirnya, kita mengatakan bahwa firasat yang benar dan yang bisa
dipertanggung jawabkan, apalagi yang bisa digunakan sebagai dasar
pijakan untuk memutuskan perkara, hanyalah dimiliki oleh orang– orang
yang berilmu dan bertaqwa serta beriman.
Semoga Allah menganugrahkan firasat yang benar kepada kita semua. Amien.
Menurut Prof. S.M. Naquib al-Attas, masalah kekeliruan ilmu (corruption
of knowledge) adalah merupakan masalah yang paling mendasar dalam
kehidupan masyarakat modern. (al-Attas, Islam dan Sekularisme, 2010).
Kekeliruan ini muncul akibat menyusupnya paham sekuler yang dibawa oleh
peradaban Barat ke dalam ilmu-ilmu kontemporer. Ilmu yang keliru
melahirkan tindakan manusia yang keliru pula. Inilah yang disebut oleh
al-Attas, pakar Filsafat Sains, sebagai loss of adab, yaitu hilangnya
kemampuan manusia melakukan tindakan yang benar karena bersandar pada
ilmu yang keliru. Tindakan yang keliru ini pada akhirnya bukanlah
memberikan kebahagiaan, melainkan kesengsaraan kepada manusia. Buktinya,
disaat sains dan teknologi sedemikian maju saat ini, umat manusia
bukannya berhasil meraih kebahagiaan. Sebaliknya,
berbagai keresahan dan kekeringan jiwa serta kerusakan alam terus
meruyak. Kerusakan lingkungan, wabah penyakit yang tiada henti, bencana
alam, degradasi moral, kriminalitas, dan peperangan, dating silih
berganti.
Ironisnya, paham sekuler inilah yang banyak dijadikan landasan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan masa kini yang kemudian diajarkan di
sekolah-sekolah. Hampir tidak ada disiplin ilmu alam atau sosial yang
tidak terpengaruh oleh ideologi sekular. Salah satu buktinya adalah
ditolaknya wahyu sebagai sumber ilmu, sehingga semua ilmu ini dibangun
dalam kerangka rasionalisme dan empirisisme.
Ilmu Fisika sebagai ilmu yang sangat penting di era modern juga tidak
lepas dari pengaruh paham sekular ini. Oleh karena itu, Ilmu Fisika
perlu diislamkan. Apanya yang diislamkan?
Saat bicara Islamisasi Fisika, maka harus dimulai dari hal-hal yang
paling asas dari Ilmu Fisika, bukan dari kulit luarnya. Islamisasi Ilmu
Fisika bukanlah mengislamkan teori Newton atau teori relativitas
Einstein sehingga menghasilkan suatu teori gerak baru yang Islami.
Islamisasi juga bukan berarti mencocokkan al-Qur’an dengan temuan fisika
modern terkini. Misalnya, mengaitkan teori Big Bang dengan al-Qur’an
surat al-Anbiya’ ayat 30 yang berbicara tentang penciptaan alam semesta.
Islamisasi yang dimaksud dalam hal ini adalah Islamisasi filsafat sains
yang melatarbelakangi lahirnya teori-teori fisika tersebut. Hal ini
karena teori-teori fisika tidaklah lahir dari ruang kosong, tapi
berangkat dari suatu sandaran metafisika mengenai hakikat alam semesta.
Sebagaimana telah disebut di atas, sandaran metafisika sains modern yang
paling utama adalah paham sekular. Menurut Prof. Naquib al-Attas, salah
satu dimensi dari sekularisasi adalah penghilangan pesona alam
(disenchantment of nature). Artinya, alam hanyalah materi yang tidak
memiliki makna spiritual. Oleh karena itu manusia berhak
memperlakukannya sesuai dengan kemauan manusia. Dari sini kita dengan
mudah mengidentifikasi mengapa masalah kerusakan lingkungan merupakan
masalah paling pelik di abad modern.
Sekularisasi juga telah menyebabkan penelitian fisika hanya menyibukkan
diri dengan fenomena lahiriah (empiris) dan melepaskan kaitannya dengan
Realitas Mutlak (Tuhan). Islamisasi tidak mempermasalahkan formulasi
F=ma dalam teori gerak Newton, tetapi tafsiran filsafat sains yang
menganggap dinamika alam sebagai sesuatu yang mekanistik. Layaknya
mesin, alam bekerja sendiri berdasarkan mekanisme sebab dan akibat
sehingga menegasikan kehadiran Tuhan. Sekiranya Tuhan memang ada
(sesuatu yang diragukan oleh banyak fisikawan dunia), Ia tidak punya
peran dan kendali terhadap kejadian-kejadian di alam. Lalu manusialah
yang kemudian menjadi tuhan yang mengendalikan alam. Di sinilah manusia
mencabut unsur metafisika religius dari ilmu fisika.
****
Berbeda dengan paham sekular, semua konsep Islam dibangun dalam
kaitannya dengan Tuhan. Oleh karena itu semua urusan di dalam Islam
adalah religius. Demikian juga pandangan-Islam mengenai alam. Di dalam
Islam, alam bukanlah sekedar materi tanpa makna, melainkan tanda (ayat)
dari kehadiran dan kebesaran Allah. Oleh karena itu ketika seseorang
meneliti dan mempelajari fisika ia berarti sedang berusaha mengenal
Tuhannya. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran 191 :
Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan
berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya
berkata, “Wahai Tuhan kami, tidaklah engkau ciptakan semua ini dengan
sia-sia, maha suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”
Ayat di atas menegaskan bahwa kegiatan ibadah (mengingat Allah) berjalan
bersamaan dengan kegiatan penelitian alam (memikirkan penciptaan langit
dan bumi). Sedangkan ujung dari kedua kegiatan ini adalah mengenal
semakin dekat dan mengenal Allah SWT. Pada titik inilah fisika dan
metafisika Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
(tauhid).
Oleh karena itu di dalam Islam tidak dikenal istilah “fisika untuk
fisika”, artinya penelitian fisika bukanlah untuk sekedar kesenangan
memecahkan misteri alam. Itu sebabnya di sepanjang sejarah Islam kita
tidak mengenal ada ilmuwan Muslim yang menjadi anti Tuhan setelah
menguasai ilmu fisika, atau ilmu apa pun, karena landasan mempelajarinya
berangkat dari keimanan dan pengabdian kepada Allah. Bahkan, para
ilmuwan di dunia Islam masa lalu biasanya juga dikenal sebagai orang
yang faqih dalam ilmu agama.
Sebaliknya di Barat, tidak sedikit ilmuwan yang semakin tahu tentang
alam semakin meragukan keberadaan Tuhan, bahkan menjadi anti Tuhan.
Laplace, seorang ahli astronomi Perancis abad ke-18, ketika ditanya
Napoleon tentang pemeliharaan Tuhan terhadap alam semesta menjawab,
”Yang Mulia, saya tidak menemukan dimana tempat pemeliharaan Tuhan itu.”
Sementara Hawking, fisikawan yang dianggap paling tahu soal kosmologi,
sampai sekarang pun masih saja bertanya apakah alam ini memiliki
Pencipta, dan kalau ada apakah Ia juga mengatur alam semesta (Brief
History of Time).
Di negeri Muslim seperti Indonesia, walaupun tidak sampai meragukan
Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama. Sekularisasi
telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split personality) dalam
diri ilmuwan tersebut. Hal itu karena visi sekular selalu memandang
realitas secara dikotomis. Sains adalah sains, sedangkan agama adalah
agama. Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubungannya
dengan sains yang rasional dan empiris.
Inilah perbedaan utama antara pandangan Islam dan sekular. Melalui
sekularisasi, Ilmu Fisika diceraikan dari metafisika Islam. Sedangkan
Islamisasi adalah mengembalikan metafisika Islam sebagai ruh Ilmu
Fisika, sehingga ilmu ini menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah,
bukan semata-mata memuaskan keingintahuan manusia terhadap alam.