Syaikh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi,
sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17.
Nama lengkapnya, Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji Al-Hamid (atau
Al-Syafi'i Al-Asyary Al-Aydarusi Al-Raniri (untuk berikutnya disebut
Al-Raniri). la dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua
di Pantai Gujarat, sekitar pertengahan kedua abad XVI M. Ibunya seorang
keturunan Melayu, sementara ayahnya berasal dari keluarga imigran
Hadhramaut.
Seperti ketidakpastian tahun kelahiran, asal usul keturunan Al-Raniri
pun memuat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, nenek moyangnya adalah
keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy).
Sementara kemungkinan yang lain Al-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd,
orang yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr 'Abdulloh bin Zubair
Al-As'adi Al-Humaydi, seorang mufti Makkah dan murid termasyhur
Al-Syafii.
Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang
lain, kota Ranir sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari
berbagal penjuru dunia.
Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika,
dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas bisnis dan
mencari sumber-sumber ekonomi baru. Di samping itu, mereka juga
berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan
waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka
kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung
Melayu dan Hindia untuk keperluan yang sama.
Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari
satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah
seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu
ketika pamannya, Muhammad Al-jilani bin Hasan Muhammad Al-Humaydi,
datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar
ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq, dan retorika.
Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di kota-kota
pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan
Melayu-Indonesia, lainnya.
Jejak-jejak Intelektual Al-Raniri
Al-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu
agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim,
Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu menjadi pusat studi agama
Islam.
Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan
ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Al-Raniri
menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah
menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah
Nusantara.
Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat dikategorikan telah
menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal
komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal
mula bagi perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di kemudian hari.
Dalam perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat
Rifa'iyyah, yang didirikan oleh Syaikh Achmad Rifai (w. 1183 M). Ia
belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh
Said Abu Hafs Umar bin 'Abdulloh Ba Syaiban dari Tarim, atau yang
dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba
Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat
tahun, seperti Sayyid Umar bin 'Abdulloh Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638),
Syaikh Achmad Ibrahim bin Alan (w. 1624 M), dan Syaikh Rahman Al-Khatib
Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Al-Raniri dibaiat sebagai
khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan tarekat Rifaiyyah di tanah
Melayu. Kendati demikian, Al-Raniri juga memiliki silsilah inisiasi
dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qodiriyyah Maqassari.
Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur-Tengah
dan wilayah anak benua India, Al-Raniri mulai merantau ke wilayah
Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. la datang di
Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H), namun hingga kini
belum diketahui secara pasti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya
memilih Aceh. Pilihan ini diduga karena ketika itu Aceh berkembang
menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan agama Islam di
kawasan Asia Tenggara, yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai
oleh Portugis, Adapun kemungkinan lainnya, Al-Raniri mengikuti pamannya,
Syeikh Muhammad Jailani bin Hasan Muhammad (1588 M).
Tidak hanya itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula kedatangan
Al-Raniri di Aceh. Ada dua keraguan yang menyebabkan hal itu. Pertama,
jika dilihat dari kemahirannya dalam berbahasa Malayu, sebagaimana
ditunjukkan dalam kitab-kitabnya, maka sangat mustahil Al-Raniri baru ke
Aceh pada tahun tersebut. Shirat al-Mustaqim, misalnya, yang berbahasa
Melayu disususn pada tahun 1634, ketika belum menetap di Aceh. Sementara
keraguan kedua, jumlah karya-karyanya yang menyampai 29 buku tidak
mungkin dapat diselesaikan hanya dalam waktu tujuh tahun selama di Aceh
(1637-1644 M).
Dua keraguan inilah yang memperkuat asumsi bahwa sebelumnya Al-Raniri
pernah datang ke Aceh, tetapi waktu itu tidak memperoleh sambutan dan
penerimaaan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda. Dari
sini, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah lain di kawasan ini.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah Kesultanan Aceh ketika Iskandar Muda
berkuasa, ulama yang berpengaruh dan berperan sebagai mufti kerajaan
adalah Syeikh Syamsudin Al-Sumaterani. Pada masa ini paham wujudiyyah
menjadi ajaran resmi kerajaan. Sementara Al-Raniri menyerukan ajaran
Sunni dan menentang paham wujudiyyah jelas kurang mendapat simpati dari
Sultan
Setelah Syeikh Al-Sumaterani meninggal, kemudian disusul pula oleh
Sultan Iskandar Muda dalam beberapa waktu sesudahnya, Al-Raniri memiliki
kesempatan yang lebih baik untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya.
Ketika itu, sultan yang berkuasa, Sultan Iskandar Tsani, menantu
Iskandar Muda, memberikan penghormatan tinggi kepada Al-Raniri dengan
menjadikannya mufti kerajaan. Seperti Al-Raniri, Sultan Iskandar Tsani
juga menentang paham wujudiyyah. Dengan kedudukan dan dukungan seperti
ini, Al-Raniri dengan leluasa dapat memberikan sanggahan terhadap paham
yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh sebelumnya, Syaikh Hamzah Fansuri
dan Syaikh Syamsudin Al-Sumaterani. Tidak hanya itu, Al-Raniri juga
sering menerima permintaan dari sultan untuk menulis kitab-kitab agama,
terutama tentang tasawuf, dalam rangka membatasi pengaruh paham
wujudiyyah di Aceh.
Kedekatan Al-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang cukup luas.
Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Al-Raniri
mengadakan majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham
wujudiyyah guna membahas paham tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir
fatwa Syeikh Al-Raniri dan para ulama istana yang menghukumi kafir
terhadap para pengikut paham wujudiyyah, sehingga boleh dbunuh. Tidak
hanya sampai disini, Al-Raniri dengan penuh semangat menulis dan sering
berdebat dengan para penganut paham panteisme ini dalam banyak
kesempatan. Bahkan, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan sultan.
Dalam berdebat, dengan segala kemahirannya, ia berupaya keras membongkar
kelemahan dan kesesatan paham wujudiyyah yang dianggapnya bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Hadits, seraya meminta para pengikutnya untuk
bertaubat dan kembali pada jalan yang benar (Al-Qur’an dan Hadits).
Namun, kegigihan Al-Raniri ini tidak banyak memenuhi target yang
diharapkan. Sebab para pengikut paham wujudiyyah tetap bersikukuh pada
pendiriannya. Sehingga akhirnya dengan penuh keterpaksaan, mereka harus
dihukum mati. Selain itu, untuk membumihabguskan paham wujudiyyah, maka
kitab-kitab wujudiyyah-nya Harnzah dan Syams Al-Din dibakar di depan
masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Setelah tujuh tahun sebagai mufti kerajaan, pada tahun 1644 Al-Raniri
tiba-tiba kembali ke tanah kelahimnnya, dan tidak kembali lagi ke Aceh.
Ketika itu, Al-Raniri sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab
kelima. Dan selanjutnya, ia perintahkan salah seorang murid dekatnya
untuk menyelesaikan kitab tersebut. Kepulangan Al-Raniri yang secara
mendadak ini menimbulkan. pertanyaan. di kernudian hari.
Pertama, sebagaimana diungkapkan oleh Achmad Daudy dalam bukunya,
Syeikh Nuruddin AI-Raniri, Al-Raniri kembali ke tanah leluhurnya karena
ada ketidaksesuaian dengan kebijakan Sultanah Safiyyat al-Din yang
berencana menghukum bunuh pada orang-orang yang menentang diperintah
oleh seorang pemimpin perempuan. Sebagaimana berkembang dalarn tradisi
masyarakat saat itu dan juga seiring dengan syari'at Islam yang dipahami
masyarakat setempat, perempuan tidak layak jadi penguasa. Achmad Daudy
memperkirakan bahwa Al-Raniri termasuk bagian dari kelompok penentang
tersebut.
Kedua, berdasarkan artikel Takeshi Ito pada tanggal 8 dan 22 Agustus
1643 dilaporkan, bahwa kepulangan Al-Raniri disebabkan karena perdebatan
antara dirinya dengan ulama baru keturunan Minangkabau, Sayf Al-Rijal.
Perdebatan ini terus berlarut-larut karena Al-Raniri selalu menilai
pandangan Sayf Al-Rijal sebagai doktrin "sesat" karena termasuk paham
wujudiyyah. Pada mulanya, Sultanah mengikuti pikiran-pikiran Al-Raniri,
tetapi saat itu pendapat Rijal menemukan momentum terbaiknya di mata
sultanah.
Nampaknya, alasan yang terakhir atas lebih mendekati kebenaran.
Pasalnya, jika Al-Raniri tergabung dalam kelompok oposan yang menentang
Sultanah, bagaimana mungkin Sultanah memberikan banyak kemudahan dan
fasilitas dalam menyelesaikan karya-karyanya, termasuk beberapa waktu
sebelum keberangkatannya. Meski demikian, terlepas apa yang
melatarbelakangi kepulangan Al-Raniri, ia tergolong salah satu ulama
besar yang telah memberikan sumbangsih besar bagi dunia Islam Nusantara,
terutama dalam bidang tasawuf dan fiqh. Bahkan,secara metodologis,
pikiran-pikiran Raniri memiliki keterkaitan dengan kehidupan tradisional
Islam Indonesia.
Banyak perkara menarik mengenai ulama ini, di antaranya kitab fikah
dalam bahasa Melayu yang pertama sekali berjudul ash-Shirath al-Mustaqim
adalah karya beliau. Demikian juga mengenai kitab hadis yang berjudul
al-Fawaid al-Bahiyah fi al-Ahadits an-Nabawiyah atau judul lainnya
Hidaya al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib, adalah kitab membicarkan
hadis yang pertama sekali dalam bahasa Melayu.
Hampir semua penulis menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri
dilahirkan di Ranir, berdekatan dengan Gujarat. Asal usul beliau ialah
bangsa Arab keturunan Quraisy yang berpindah ke India. Tetapi salah
seorang muridnya bernama Muhammad 'Ali atau Manshur yang digelarkan
dengan Megat Sati ibnu Amir Sulaiman ibnu Sa'id Ja'far Shadiq ibnu
'Abdullah dalam karyanya Syarab al-'Arifin li Ahli al-Washilin menyebut
bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah "Raniri negerinya, Syafi'ie nama
mazhabnya, Bakri bangsanya."
Pendidikan asasnya dipercayai diperolehnya di tempat kelahirannya Raniri
atau Rander. Raniri/Rander, sebahagian riwayat mengatakan berdekatan
dengan Kota Surat, dan riwayat lain mengatakan dekat Bikanir,
kedua-duanya di negeri India. Syeikh Nuruddin ar-Raniri berhasil
berangkat ke Mekah dan Madinah dalam tahun 1030 H/1621 M dan di sana
beliau sempat belajar kepada Syeikh Abu Hafash 'Umar bin 'Abdullah Ba
Syaiban atau nama lain ulama ini ialah Saiyid 'Umar al-'Aidrus. Kepada
ulama ini beliau mengambil bai'ah Thariqat Rifa'iyah. Dalam sektor
Thariqat Rifa'iyah itu syeikh yang tersebut adalah murid kepada Syeikh
Muhammad al-'Aidrus. Selain Thariqat Rifa'iyah, Syeikh Nuruddin
ar-Raniri juga pengamal Thariqat Qadiriyah.
Kedatangan Syeikh Nuruddin ar-Raniri buat pertama kalinya ke Aceh
diriwayatkan dalam tahun 1577 M, tetapi ada juga ahli sejarah mencatat
bahawa beliau sampai di Aceh pada tahun 1637 M. Ini bererti setahun
setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda (memerintah dari tahun 1606 M
hingga 1636 M). Syeikh Nuruddin ar-Raniri seakan-akan kedatangan pembawa
satu pendapat baru, yang asing dalam masyarakat Aceh. Setiap sesuatu
yang baru selalu menjadi perhatian dan pengamatan orang, sama ada pihak
kawan atau pun pihak lawan. Fahaman baru yang dibawa masuk oleh Syeikh
Nuruddin ar-Raniri itu ialah fahaman anti atau penolakan tasawuf ajaran
model Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani.
Kedua-dua ajaran ulama sufi itu adalah sesat menurut pandangan beliau.
Syeikh Nuruddin ar-Raniri mendapat tempat pada hati Sultan Iskandar
Tsani, yang walaupun sebenarnya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar
Muda beliau tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas.
Oleh sebab ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh Nuruddin
ar-Raniri menguasai berbagai-bagai bidang ilmu agama Islam,
mengakibatkan beliau sangat cepat menonjol pada zaman pemerintahan
Sultan Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh Nuruddin ar-Raniri naik ke
puncak yang tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana beliau mendapat
sokongan sepenuhnya daripada sultan. Beliau memang ahli dalam bidang
ilmu Mantiq (Logika) dan ilmu Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikah,
Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah penganut Mazhab Syafie, walaupun beliau
juga ahli dalam ajaran mazhab-mazhab yang lainnya. Dari segi akidah,
Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut Mazhab Ahlus Sunnah wal
Jama'ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy'ari dan Syeikh
Abu Manshur al-Maturidi. Pegangannya dalam tasawuf ialah beliau adalah
pengikut tasawuf yang mu'tabarah dan pengamal berbagai-bagai thariqah
sufiyah. Tetapi suatu perkara yang aneh, dalam bidang tasawuf beliau
menghentam habis-habisan
Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Walau
bagaimanapun Syeikh Nuruddin ar-Raniri tidak pernah menyalahkan, bahkan
menyokong Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Abi Yazid al-Bistami, 'Abdul
Karim al-Jili, Abu Manshur Husein al-Hallaj dan lain-lain. Perkataan
yang bercorak 'syathahiyat' yang keluar daripada ulama-ulama sufi yang
tersebut itu tidak pernah beliau salahkan tetapi sebaliknya perkataan
yang bercorak 'syathahiyat' yang berasal daripada Syeikh Hamzah al-
Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani selalu ditafsirkan secara
salah oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Di dalam karyanya Fath al-Mubin
'ala al-Mulhidin, Syeikh Nuruddin ar-Raniri berpendapat bahawa al-Hallaj
mati syahid. Katanya: "Dan Hallaj itu pun syahid fi sabilillah jua."
Padahal jika kita teliti, sebenarnya Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh
Syamsuddin as-Sumatrani itu pegangannya tidak berbeda dengan al-Hallaj.
Ajaran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani
berpunca daripada ajaran Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Syeikh Abi Yazid
al-Bistami, Syeikh 'Abdul Karim al-Jili dalam satu sektor. Dan bahagian
lain juga berpunca daripada ajaran Imam al-Ghazali, Syeikh Junaid
al-Baghdadi dan lain-lain, adalah dipandang muktabar, sah dan betul
menurut pandangan ahli tasawuf. Bahawa ajaran tasawuf telah berurat dan
berakar di kalbi, bahkan telah mesra dari hujung rambut hingga ke hujung
kaki, dari kulit hingga daging, dari tulang hingga ke sumsum
pencinta-pencintanya, yang tentu saja mereka mengadakan tentangan yang
spontan terhadap Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Bahkan kepada siapa saja
yang berani menyalah-nyalahkan pegangan mereka.
Pengikut-pengikut Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin
as-Sumatrani menganggap kedua-dua guru mereka adalah wali Allah, yang
faham terhadap pengetahuan syariat, tarekat, haqiqat dan makrifat.
Mereka beranggapan, walaupun diakui bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri
sebagai seorang ulama besar, yang dikatakan juga telah mengetahui ilmu
tasawuf, namun tasawuf yang diketahui oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu
hanyalah tasawuf zahir belaka. Bahawa beliau hanyalah mengetahui kulit
ilmu tasawuf, tetap tidak sampai kepada intipati tasawuf yang
sebenar-benarnya. Bahawa beliau baru mempunyai ilmu lisan sebagai hujah
belaka, tetapi belum mempunyai ilmu kalbi, yang dinamakan juga dengan
ilmu yang bermanfaat. Oleh itu, wajiblah mereka membela guru mereka yang
mereka sanjung tinggi itu.
Selama menetap di Pahang atau pun setelah beliau pindah ke Aceh, ramai
penduduk yang berasal dari dunia Melayu belajar kepada ulama besar yang
berasal dari India itu, namun sampai riwayat ini saya tulis, belum
dijumpai tulisan yang menyenaraikan nama murid-murid Syeikh Nuruddin
ar-Raniri. Untuk memulakan penjejakan mengenainya di sini dapat saya
perkenalkan hanya dua orang, iaitu: Syeikh Yusuf Tajul
Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati yang berasal dari Makasar/tanah Bugis.
Tidak begitu jelas apakah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati ini belajar kepada
Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu beliau masih di Aceh atau pun Syeikh
Yusuf datang menemui Syeikh Nuruddin ar-Raniri di negerinya, India.
Sementara pendapat lain menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Khalwati
benar-benar dapat berguru kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu masih
di Aceh lagi, dan Syeikh Yusuf Tajul Khalwati menerima bai'ah Tarekat
Qadiriyah daripada Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Yang seorang lagi ialah
Syeikh Muhammad 'Ali, ulama ini berasal dari Aceh.
Pengaruh Al-Raniri
Berdasarkan paparan sebelumnya, Al-Raniri merupakan sosok ulama yang
memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih (ahli hukum),
dan bahkan politisi. Keberadaan Al-Raniri seperti ini sering menimbulkan
banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari salah satu aspek
pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau dinilai sebagai seorang
sufi yang sibuk dengan praktek-praktek mistik, padahal di sisi lain,
Al-Raniri adalah seorang faqih yang memiliki perhatian terhadap
praktek-praktek syariat. Oleh karena itu, untuk memahaminya secara
benar, haruslah dipahami semua aspek pemikiran, kepribadian dan
aktivitasnya.
Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh.
Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri
dalam perkembangan Islam Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan
membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal
ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama
lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di negeri ini, Al-Ranirilah yang
menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan
tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran
doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar. Upaya seperti ini memang
pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, seperti Fadhl Allah
Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil merumuskannya dalam
penjabaran yang sisternatis dan sederhana, malahan membingungkan para
pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani harus memperjelasnya.
Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah
Fansuri dan Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas
garis perbedaan antara Tuhan dengan alam dan makhluk ciptaannya.
Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi
umat Islam, terutama di Nusantara, adalah aqidah. paham immanensi antara
Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan oleh paham wujudi"ah
merupakan praktek sufi yang berlebihan. Mengutip doktrin Asy'ariyyah,
Al-Raniri berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya terdapat
perbedaan (mukhalkfah), sementara antara manusia dan Tuhan terdapat
hubungan transenden.
Selain secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh Rifaiyyah, ia juga
memiliki mata rantai dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qadiriyyah. Dari
tarekat Aydarusiyyah inilah Al-Raniri dikenal sebagai ulama yang teguh
mernegang akar-akar tradisi Arab, bahkan simbol-simbol fisik tertentu
dari budayanya, dalam menghadapi lokal. Tidak hanya itu, ketegasan
Al-Raniri dalam menekankan adanya keselarasan antara praktek mistik dan
syari'at merupakan bagian dari ajaran tarekat Aydarusiyyah.
Dari paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan yang telah
dilakukan oleh Al-Raniri, kecuali mempertegas paham Asy'ariyyah,
memperjelas praktek-praktek syariat, dan sanggahan terhadap paham
wujudiyyah. Di sinilah dibutuhkaan kejelian untuk memandang Al-Raniri
secara utuh, baik kirah, pikiran maupun karya-karyanya. Bahkan, dari
catatan sanggahan Al-Raniri terhadap paham wujudiyyahlah dapat
ditemukan, sejumlah pembaruan terutama dalam hal metodologi. penulisan
ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan argumentasi berikut
referensinya. Dari cara seperti ini pula dalam perkembangannya ditemukan
sejumlah ulama -ulama baru yang belum pernah diungkap oleh
penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran yang baru.
Meski Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam Nusantara,
tetapi hingga kini belum ditemukan para muridnya secara langsung,
kecuali Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam kitabnya, Safinat
al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah diperoleh silsilah tarekat
Qadiriyyah, karena Al-Raniri adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya
saia, bukti ini belum dianggap valid, karena belum diketahui kapan dan
dimana mereka bertemu. Kesulitan lainnya juga akan muncul ketika dicari
hubungan dan jaringan Al-Raniri dengan para ulama lain penyebar agama
Islam di wilayah Nusantara, ataupun para ulama asli Nusantara yang
berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang ada hanyalah kemungkinan
bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para pedatang dari
Nusantara yang kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika
Al-Raniri bermukim di Makkah dan Madinah (1621 M). Pertemuan inilah yang
diduga adanya komunikasi langsung dengan para muridnya dari Nusantara,
termasuk dengan Al-Maqassari.
Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keingianan
mencari hubungan Al-Raniri dengan dunia pesantren di wilayah Nusantara.
Pasalnya, selain tiada literatur yang menunjukkan hal tersebut,
manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan pesantren pun tidak
menunjukkan adanya hubungan tersebut. Meski demikian, bukan berarti
Al-Raniri tidak memiliki keterkaitan sama sekah dengan dunia pesantren.
Setidaknya, peran Al-Maqassari dan para jamaah haji serta para muridnya
di Makkah dan Madinah yang kemudian kembali ke tanah air merupakan
keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan dunia pesantren di
Indonesia.
Ar Raniry di Taman Raja-raja (Bustanussalatin)
Kebesaran Syeikh Nuruddin Ar Raniry, salah satunya terdapat dalam kitab
Bustanussalatin, yang merupakan kitab terkenal mufti kerajaan Aceh
tersebut. Kitab itu ditulis pada tahun 1637 M (1047 H), pada masa
Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Thani.
Dalam kitab itu digambarkan keindahan Taman Ghairah, yakni taman para
raja. Ar Raniry menulis. “Pada zaman bagindalah berbuat suatu bustan,
yaitu kebun, terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka
ditanami berbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar Baginda
bustan itu Taman Ghairah.”
Keindahan Taman Ghairah yang disebutkan dalam kitab Bustanussalatin,
pernah distulis oleh Dr Hoesein Djajaninggrat pada tahun 1961 dalam
bahasa Belanda, kemudian diterjemahkan oleh Aboe Bakar dan Ibrahim
Alfian. Diceritakan, taman gunung (gunongan) di dalamnya sangat memukau.
Taman itu sangat luas dan daliri oleh sungai Darul Isyki, kini dikenal
sebagai Krueng Daroy. Taman itu dipenuhi tumbuhan buang dan buah. Di
dalam taman juga terdapat bangunan-bangunan yang terbuat dari batu
pualam warna-warni, serta tiang-tiang yang terbuat dari tembaga, perak,
dan suasa yang berukir indah. Bangunan yang masih tersisa sampai
sekarang adalah gunongan dan pinto khop.
Dikisahkan dalam Kitab Biustabussalatin, air sungai Darul Isylki sangat
sejuk dan menyehatkan, bersumber dari mata air di bawah jabalul a’la di
arah magrib. Sekarang dikenal sebagai tempat wisata pemandian Mata Ie.
Di pertengahan jalur sungai Darul Isyki ditemukan sebuah pulau kecil
bernama Pulau Sangga Marmar, berlais batu dan dikelilingi karang aneka
warna yang disebut Pancalogam. Ada pula jembatan besar yang indah yang
dinamai Rambut Kamalai.
Diceritakan pula berbagai jenis batu yang dipakai sebagai tarupan tanah
dan lereng, serta tebing sungai, diselingi oleh taman bunga dan berbagai
pohon yang berbuah. Oleh sultan Aceh, taman ini digelar Taman Ghairah.
Begitulah Nuruddin Ar Raniry menggambarkan keindahan dalam
Bustanussalatin. Marwah taman itu bukan saja karena aneka bangunan
mungil yang sesak dengan berbagai material pembangunannya, tapi juga
oleh beragam jenis tanaman bunga dan buah yang membuat keasrian taman
sangat alami.
Bustan as-Salatin ditulis antara tahun 1638-1641 dan terbagi ke dalam tujuh bagian dan terdiri dari empat puluh bab.
Bagian 1 terdiri dari tiga bab, yang membahas tentang Bumi dan ketujuh
petala langit, Nur Muhammad, janji Tuhan terhadap seluruh umat manusia,
arasy (tahta) Tuhan, dan sebagainya.
Bagian 2 membahas tentang sejarah nabi-nabi dan raja-raja. Dua bab
terakhir pada bagian ini ditekankan pada Semenanjung Melaka dan Sumatra.
Bab 12 diadaptasi dari Sejarah Melayu dan diakhiri dengan pembahasan
tentang penobatan Sultan Iskandar Tani yang megah. Bab 13 membahas
tentang sejarah raja-raja Aceh.
Bagian 3 menceritakan tentang para raja yang adil dan wazir yang bijak.
Bagian 4 membatas tentang raja-raja Muslim yang saleh dan para pahlawan Muslim.
Bagian 5 menceritakan tentang raja-raja yang bengis dan para bangsawan yang dungu yang berusaha memberontak kepada raja mereka.
Bagian 6 terdiri dari dua bab dan bercerita tentang orang-orang yang
mulia dan rendah hati serta para pendekar yang gagah berani.
Bagian 7 membahas beragam topik, seperti kebijaksanaan, pengetahuan,
pengertian, ada kaum wanita, dan mencakup juga beberapa cerita hantu
yang ganjil dan menarik.
Ketika menulis Bustan as-Salatin, Nuruddin berusaha keras agar karya ini
dapat menyamai atau bahkan melebihi kitab legendaris Taj as-Salatin—ia
memang gemar berpolemik, seperti yang terlihat dalam karya-karya
polemisnya dengan aliran wujuidyah yang cukup banyak. Karena itulah
tema-tema dalam kedua kitab ini hampir sama, tetapi Nuruddin menambahkan
pembahasan yang luas tentang sejarah lokal. Nuruddin juga berusaha
mengikuti jejak Tas as-Salatin dengan menggunakan bentuk sajak yang
diambil dari khasanah Persia, yaitu syair, seperti terlihat pada bait
dari bab 13 Bagian 2 ini: Ialah perkasa terlalu berani, Turun-temurun
nasab Sultani, Ialah menyunjung inayat rahmani, Bergelar Sultan Iskandar
Tani.
Menilik isinya, Bustan as-Salatin merupakan sebuah gubahan ensiklopedis
yang menggabungkan genre “sejarah universal” dengan “cermin didaktis”.
Karangan ini begitu besar sehingga tidak tersimpan sebuah pun naskah
yang mengandung semua babnya. Biasanya naskah-naskahnya berisi hanya
satu atau dua-tiga bab tertentu.
Bustan memberikan gambaran tentang Aceh pada abad ke-17, walaupun
Nuruddin sama sekali tidak menyebutkan tentang Hamzah Fansuri—tetapi
Nuruddin menyebutkannya dalam beberapa kitab lain. Namun, kitab ini
sering dianggap gagal dan tidak mampu menyamai kebesaran Taj as-Salatin.
Jika dibandingkan, maka Taj as-Salatin adalah sebuah kitab
teologis-etis. Maka yang ditunjukkan oleh kitab ini adalah, bagaimana
hukum Ilahi menegakkan harmoni dunia, yang di dalam kehidupan masyarakat
diwujudkan dalam pemerintahan yang bersendi atas akal dan keadilan.
Perjalanan sejarahnya pun, misalnya dalam hal genealogi raja-raja Iran
sebelum Islam, pada hakikatnya tidak lain merupakan ilustrasi untuk
konsepsi etika yang dirumuskan oleh Bukhari al-Jauhari, sang
pengarangnya. Melalui perumusan itu, bangsa Melayu diberi kemungkinan
untuk masuk ke dalam golongan Islam yang berbudaya.
Adapaun Bustan as-Salatin adalah sebuah kitab yang bersifat
teologis-historis. Di dalamnya dilukiskan gambaran dinamis tentang
penciptaan alam semesta dan kelanjutan proses itu, yaitu sejarah dunia,
namun terutama sejarah dunia Islam. Pada pasal-pasal terakhir bab
sejarahnya, Bustan dengan tegas memasukkan sejarah bangsa Melayu ke
dalam sejarah dunia yang dipaparkan sebelumnya. Dengan demikian ia
seakan-akan menamatkan pekerjaan yang dimulai oleh pengarang Sejarah
Melayu, yang kroniknya dari versi tahun 1612 diketahui dengan baik oleh
Syaikh kelahiran Gujarat ini.
Berdasarkan uraian tersebut, dunia Melayu, melalui sejarahnya yang
bermula dari Iskandar Zulkarnain, mempunyai akarnya di dalam sistem
budaya Islam. Barulah kemudian kepada bangsa Melayu dianjurkan konsepsi
tentang etika sosial, tingkah laku raja-raja dan pembesar-pembesar
negara, seperti yang yang diceritakan dalam Tas as-Salatin, juga tentang
dasar-dasar pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam.
Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniry:
Secara keseluruhan, Nuruddin Ar-Raniri menulis sekitar tiga puluh naskah, di antaranya adalah:
Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniry:
1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim (1634)
2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635)
3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib (1635)
4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (1638)
5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi
6. Kitab Latha’if al-Asrar
7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman
8. Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan
9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
10. Kitab Hill al-Zhill
11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat
12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
14. Kitab Syifa’u’l-Qulub
15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah.
20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh
21. Kitab Kaifiyat al-Shalat
22. Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
24. Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam
25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
29. Kitab Syadar al-Mazid 30. dll
Wafatnya Syaikh
Ada yang berpendapat bahawa beliau meninggal dunia di India. Pendapat
lain menyebut bahawa beliau meninggal dunia di Aceh. Ahmad Daudi,
menulis: "Maka tiba-tiba dan tanpa sebab-sebab yang diketahui, Syeikh
Nuruddin ar-Raniri meninggalkan Serambi Mekah ini, belayar kembali ke
tanah tumpah darahnya yang tercinta, Ranir untuk selama-lamanya.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054 H (1644 M)." Bahawa beliau
meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M. Tetapi
Karel A. Steenbrink dalam bukunya, Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat
berpendapat lain, bahawa hingga tahun 1644 M bererti Syeikh Nuruddin
masih berada di Aceh. Menurutnya terjadi diskusi yang terlalu tajam
antara beberapa kelompok pemerintah: Seorang uskup agung (ar-Raniri) di
satu pihak dan beberapa hulubalang dan seorang ulama dari Sumatera Barat
di pihak lain. Pihak yang anti ar-Raniri akhirnya menang, sehingga
ar-Raniri dengan tergesa-gesa kembali ke Gujarat. Tulisan Karel itu
barangkali ada benarnya, kerana secara tidak langsung Syeikh Nuruddin
mengaku pernah kalah berdebat dengan Saiful Rijal, penyokong fahaman
Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, perkara ini
beliau ceritakan dalam kitab Fath al-Mubin.
Ada pun tempat meninggalnya, H.M. Zainuddin, berbeza pendapat dengan
Ahmad Daudi di atas. Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh Dan Nusantara,
jilid 1, bahawa terjadi pertikaian di istana, dalam perebutan itu telah
terbunuh seorang ulama, Faqih Hitam yang menentang tindakan Puteri Seri
Alam. Dalam pada itu Syeikh Nuruddin diculik orang, kemudian mayatnya
diketemukan di Kuala Aceh. Menurut H.M. Zainuddin pula, bahawa makam
Syeikh Nuruddin itu dikenal dengan makam keramat Teungku Syiahdin
(Syeikh Nuruddin ar-Raniri) terletak di Kuala Aceh.
Dalam masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju, ajaran sufi
tidak menghalang kemajuan yang berasaskan Islam. Sebaliknya masa
pemerintahan Iskandar Tsani, ajaran sufi dianggap sesat, ternyata
kerajaan Aceh mulai menurun. Bantahan terhadap sesuatu pegangan yang
pernah berkembang di dunia Islam perlulah ditangani dengan penuh
kebijaksanaan. Siapa saja yang memegang urusan keislaman janganlah
tersalah penilaian, sering terjadi yang benar menjadi salah, atau
sebaliknya yang salah menjadi benar.