Sungguh berbeda kondisi para remaja di zaman ini dengan zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Remaja masa kini tenggelam dengan
tsunami pergaulan bebas dan weternisasi. Perilaku mereka tak lagi
meneladani sang Rasulullah namun Boys Band dan artis-artis semisal
Justin Bieber. Tak sampai disitu, wabah “alay” pun menjangkiti, lebih
parah lagi diantara mereka ada yang bangga bertingkah seperti banci.
Sungguh tak akan selesai mengungkap kebobrokan remaja di zaman ini, maka
sudah saatnya para remaja mulai memperbaiki diri. Lihatlah apa yang
dilakukan dua remaja ketika perang Badar di zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kedua pemuda yang masih belia ini mempunyai kisah hidup yang tidak
pernah terpikir atau terbesit di dalam benak siapapun. Pertama adalah
Muadz bin Amr bin Jamuh, usianya baru empat belas tahun. Sementara yang
kedua adalah Muawwidz bin Afra’, usianya baru tiga belas tahun. Akan
tetapi, dengan penuh antusias keduanya bergegas ikut serta bergabung
bersama pasukan kaum muslimin yang akan berangkat menuju lembah Badar.
Kedua pemuda belia ini memiliki nasib baik karena tubuh keduanya
terlihat kuat dan usianya terlihat relatif lebih dewasa. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. menerima keduanya masuk dalam skuad
pasukan kaum muslimin yang akan berperang melawan kaum musyrikin pada
perang Badar. Meskipun usia mereka masih sangat muda belia, tetapi
ambisi mereka jauh lebih hebat dan lebih besar daripada ambisi para
orang tua atau kaum lelaki yang lain.
Di sini mari kita dengarkan bersama penuturan dari seorang sahabat yang
mulia Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. seperti yang terdapat di
dalam Shahih Al-Bukhari. Abdurrahman Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan
sikap dan tindakan yang sangat ajaib dari kedua pemuda pemberani ini!
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan :
“Pada perang Badar, saya berada di tengah-tengah barisan para Mujahidin.
Ketika saya menoleh, ternyata di sebelah kiri dan kanan saya ada dua
orang anak muda belia. Seolah-olah saya tidak bisa menjamin mereka akan
selamat dalam posisi itu.”
Kedua pemuda belia itu adalah Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin
Afra’ Radhiyallahu ‘anhuma. Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu
sangat heran melihat keberadaan kedua anak muda belia ini di dalam
sebuah peperangan yang sangat berbahaya seperti perang Badar.
Abdurrahman merasa khawatir mereka tak akan mendapatkan bantuan atau
pertolongan dari orang-orang di sekitar mereka berdua, disebabkan usia
keduanya yang masih muda.
Lalu Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya dengan penuh takjub :
“Tiba-tiba salah seorang dari kedua pemuda ini berbisik kepada saya,
‘Wahai Paman, manakah yang bernama Abu Jahal?” Pemuda yang mengatakan
hal ini adalah Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu Ia berasal
dari kalangan Anshar dan dirinya belum pernah melihat Abu Jahal
sebelumnya. Pertanyaan mengenai komandan pasukan kaum musyrikin, sang
lalim penuh durjana di Kota Mekkah dan “Fir’aun umat ini”, menarik
perhatian Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. Lantas ia pun bertanya
kepada anak muda belia tadi, “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak
kamu lakukan terhadapnya?”
Sang pemuda belia itu menjawab dengan jawaban yang membuat Abdurrahman
bin Auf Radhiyallahu ‘anhu tak habis pikir! Muadz bin Amr bin Jamuh
Radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci maki
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah yang jiwa saya
dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya, pupil mata saya tidak akan
berkedip memandang matanya hingga salah seorang di antara kami terlebih
dahulu tewas (gugur).”
Ya Allah, betapa kokoh dan kuatnya sikap anak muda belia ini! Seorang
anak muda belia yang tinggal di Madinah Al-Munawwarah. Ketika ia
mendengar bahwa ada orang yang mencaci maki baginda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Mekkah yang jaraknya hampir 500 km
dari tempat tinggalnya, bara api kemarahan berkobar di dalam hatinya
dan semangat ingin membela baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam membara di dalam jiwanya.
Ia pun berikrar untuk melakukan sesuatu yang bisa membela keyakinan,
harga diri dan tempat-tempat suci agamanya. Dan kesempatan itu datang
kala perang berkecamuk, yakni ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa
Abu Jahal menuju lembah Badar. Maka ia pun berikrar bahwa ia sendiri
yang akan membunuhnya.
Sungguh, pemuda belia ini benar-benar bersumpah bahwa jika ia melihat
Abu Jahal, maka ia tidak akan membiarkannya begitu saja hingga salah
seorang dari mereka meninggal dunia. Ia tidak merasa cukup hanya dengan
tercapainya cita-cita ikut serta dalam perang Badar dan melakukan tugas
mulia yang dibebankan kepadanya.
Tidak merasa cukup hanya dengan memenuhi mimpinya dengan membunuh
seseorang dari pasukan kaum musyrikin saja. Akan tetapi, yang menjadi
ambisi utamanya, impian masa depannya, target dan tujuan hidupnya;
adalah ia harus membunuh si durjana dan si lalim ini (Abu Jahal).
Meskipun tebusannya, ia akan mati syahid di jalan Allah.
Subhanallah! Sebenarnya, ia boleh saja – tidak ada orang yang akan
mencelanya – berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan membunuh
salah seorang dari kalangan kaum musyrikin dan menyerahkan urusan
membunuh komandan pasukan kaum musyrikin yang lalim ini kepada salah
seorang pahlawan Islam terkemuka, atau salah seorang ahli perang yang
sudah diketahui kemampuan dan kemahirannya dalam bertempur. Akan tetapi,
ambisi dan obsesi utamanya laksana ingin sampai ke puncak bangunan yang
tinggi menjulang.
Tentunya, hal ini bukan satu sikap yang biasa. Ini adalah satu sikap
yang benar-benar menakjubkan. Bahkan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu
‘anhu sendiri menuturkan, “Saya pun merasa takjub akan hal itu.” Namun
rasa takjub dan keheranan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu belum
berhenti sampai di situ. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu
bukan satu-satunya anak muda belia yang jarang ditemukan di
tengah-tengah barisan pasukan kaum muslimin. Ia punya teman sejawat yang
saleh dan seusia atau sedikit lebih muda darinya. Anak muda ini juga
bersaing dengannya dalam hal yang sama.
Sungguh saat ini, umat begitu merindukan sosok remaja seperti Muadz bin
Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ yang siap membinasakan Abu Jahal
abad ini
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Seorang pemuda belia
yang lain (Muawwidz bin Afra’Radhiyallahu ‘anhu) menghentak saya dan
mengatakan hal yang serupa.” Lalu Abdrurahman melanjutkan kisahnya,
“Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di tengah-tengah
kerumunan orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian melihat orang itu
ia adalah orang yang baru saja kalian tanyakan kepadaku!”
Melihat Abu Jahal, darah amarah kedua pahlawan belia ini pun membara.
Tekad bulat mereka semakin mantap untuk merealisasikan tugas yang sangat
mulia, yang senantiasa bergeliat dalam mimpi dan benak pikiran meraka.
Sekarang, mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh
Radhiyallahu ‘anhu ketika ia menggambarkan situasi yang sangat
menakjubkan tersebut, seperti yang terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dan
di dalam kitab Ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Saya mendengar
kaum musyrikin mengatakan, ‘tidak seorang pun dari pasukan kaum muslimin
yang dapat menyentuh Al-Hakam (Abu Jahal)’.” Saat itu , Abu Jahal
berada di tengah-tengah kawalan ketat laksana pohon yang rindang.
Abu Jahal, sang komandan terkemuka dari bangsa Quraisy datang dalam
iring-iringan para algojo dan orang-orang kuat laksana hutan lebat.
Mereka melindungi dan membelanya. Ia adalah simbol kekufuran dan
komandan pasukan perang, sehingga sudah pasti jika pasukan batalyon
terkuat di kota Mekkah dikerahkan untuk melindungi dan membelanya.
Di samping itu, kaum musyrikin juga saling menyerukan, “Waspadalah,
jangan sampai pemimpin dan komandan kita (Abu Jahal) terbunuh!” Mereka
mengatakan, “Tidak seorang pun musuh yang dapat menyentuh Abul-Hakam
(Abu Jahal)!”
Meskipun Abu Jahal dilindungi sedemikian rupa dan pengawalannya begitu
ketat, namun hal itu tak menghalangi Muadz bin Amr bin Jamuh
Radhiyallahu ‘anhu untuk tetap membulatkan tekadnya, melaksanakan
tugasnya, serta merealisasikan cita-cita suci di dalam hidupnya.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Ketika saya
mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin membulatkan tekad. Saya
memfokuskan diri untuk mendekatinya. Ketika tiba waktunya, saya langsung
menghampirinya dan memukulkan pedang kepadanya hingga setengah kakinya
(betis) terputus.”
Subhanallah! Hanya satu sabetan pedang dari tangan anak muda belia ini, betis seorang lelaki (Abu Jahal) putus dalam sekejap.
Tanyakanlah kepada para dokter atau tim medis yang pernah melakukan
operasi pemotongan, betapa sulitnya melakukan hal tersebut! Coba pula
tanyakan kepada para pahlawan dan ahli perang yang bergelut di medan
pertempuran yang dahsyat, betapa sangat sulitnya hal itu dilakukan!
Wahai generasi muda Islam! Apa sebenarnya yang kita bahas sekarang?
Apakah kita berbicara mengenai tingkatan kepahlawanan dalam perang yang
ideal? Ataukah gambaran keberanian yang sangat fantastis? Ataukah seni
keahlian perang yang paling indah? Ataukah kekuatan tenaga? Ataukah
ketajaman daya pikir dan insting? Ataukah kejujuran dalam berjihad, niat
yang ikhlas, dan keinginan yang kuat? Ataukah sebelum semua itu, dan
yang paling penting kita bicarakan adalah tentang taufik (pertolongan)
Allah ‘azza wa jalla kepada para mujahidin di jalan-Nya. Allah azza wa
jalla berfirman :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
[Al-Ankabut : 69]
Wahai generasi muda Islam! Pemuda belia ini baru berusia empat belas
tahun. Dirinya mampu memotong betis Abu Jahal hanya dengan satu pukulan
saja. Padahal Abu Jahal berada dalam perlindungan dan pengawalan yang
sangat ketat dari pasukan kaum musyrikin.
Ia benar-benar telah merealisasikan mimpinya selama ini. Hati
sanubarinya terasa damai, dan ia telah berhasil membalas dendam
kesumatnya demi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi,
apakah semua itu dilakukan begitu saja tanpa pengorbanan?!
Hal itu sangat mustahil! Tentunya taruhannya harus ditebus dengan darah.
Sebab, pohon kejayaan dan kemuliaan tidak akan tumbuh berkembang selain
dengan darah-darah para Mujahidin dan Syuhada.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pada perang itu
(Badar), anaknya (Abu Jahal), Ikrimah -pada waktu itu ia masih musyrik –
menebas lengan saya dengan pedangnya hingga hampir terputus dan hanya
bergantung pada kulitnya saja.”
Tangan pemuda belia itu hampir terpisah dari tubuhnya, hanya bergantung
pada kulitnya saja. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu
kehilangan lengan tangannya di jalan Allah!
Namun di atas semua itu, berputus asakah ia? Menyesalkah ia? Apakah ia
merasa bahwa ia telah melakukan tindakan yang salah? Apakah ia berharap,
seandainya ia tidak ikut dalam medan perang serta hidup dengan selamat
dan damai di Madinah, sehingga dirinya terhindar dari luka penderitaan,
dan cacat?
Wahai generasi muda Islam! Semua itu sedikit pun tak pernah terbesit
dalam benaknya. Justru yang menjadi ambisinya pada saat-saat seperti ini
adalah ia harus meneruskan perjalanan jihadnya di jalan Allah Ta’ala.
Sebab, masih banyak musuh yang memerangi umat islam dan orang-oarng
ikhlas harus segera membela dan berjuang meskipun hanya dengan satu
tangan.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya,
“Pada hari itu, saya benar-benar berperang seharian penuh. Tangan saya
yang hampir putus itu hanya bergelantungan di belakang. Dan ketika ia
menyulitkan saya, saya pun menginjaknya dengan kaki, lalu saya
menariknya hingga tangan saya terputus.”
Ia justru memisahkan tangan dari jasadnya agar bisa mengobarkan jihad
dengan bebas dan leluasa! Subhanallah! Lantas, di mana teman pesaingnya
untuk membunuh si durjana dan si lalim kelas kakap itu? Di mana Muawwidz
bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu?
Mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh ra. tentang teman pesaingnya ini :
“Lalu Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu melintas di hadapan Abu
Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan
pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan
nafas terakhirnya.”
Maksudnya, Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu juga berhasil
merealisasikan tujuan dan cita-citanya. Ia menebas Abu Jahal dengan
pedang di kala ia berada di tengah-tengah kerumunan para pengawal dan
pelindungnya. Namun, ia berhasil memukul Abu Jahal hingga membuatnya
terjungkal ke tanah seperti orang yang tak berdaya, tetapi ia masih
mempunyai sisa-sisa nafas terakhir. Seperti yang sudah kita ketahui,
bahwa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu datang untuk menghabisi
nyawa Abu Jahal.
Demikianlah keadaaannya. Kedua pahlawan cilik ini berlomba-lomba dan
bersaing untuk menghabisi si durjana, yang pada akhirnya mereka mendapat
nilai seri!
Coba perhatikan! Dalam rangka apa mereka bersaing?
Lantas keduanya datang menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Masing-masing mengatakan, “Saya telah membunuh Abu Jahal, wahai
Rasulullah!”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka
berdua sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim,
“Apakah kalian telah menghapus (bercak darah yang menempel pada) pedang
kalian?“ mereka berdua menjawab, “Belum.” Maka beliau melihat kedua
pedang pahlawan cilik tersebut. Lantas beliau bersabda, “Kalian berdua
telah membunuhnya.” RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menyimpulkan bahwa kedua pahlawan- belia itu memperoleh nilai yang sama
dan seri.
Subhanallah! Apakah sampai di sini saja kisah kepahlawanan kedua pemuda
belia ini? Belum, wahai generasi muda Islam! Namun, kisah mereka masih
terus berlanjut pada babak berikutnya.
Kita telah menyaksikan bahwa Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu
harus rela kehilangan tangannya sebagai harga mati dari perjuangan,
kejujuran, dan kebulatan tekadnya. Lantas apa yang telah dipersembahkan
oleh Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu? MuawwidzRadhiyallahu ‘anhu
telah mempersembahkan seluruh jiwanya. Sehingga ia memperoleh mati
syahid di jalan Allah!
Pahlawan tangguh yang masih muda belia ini – usianya baru tiga belas
tahun – terus melanjutkan petualangan jihad dan perjuangannya setelah ia
mempersembahkan perjuangan yang sangat berharga hingga terbunuhnya Abu
Jahal. Akan tetapi, ia tidak merasa puas hanya dengan perjuangan sebatas
itu. Meskipun hasilnya bisa dibanggakan, namun ia terus berjuang dan
maju menerjang musuh hingga memperoleh mati syahid di jalan Allah, yang
padahal usianya masih sangat muda belia.
Wahai generasi muda, biginilah simbol kejayaan dan kemuliaan! Dan
beginilah persaingan yang hakiki. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَفِيْ ذلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” [Al-Muthaffifin : 26]
Ketahuilah wahai para pemuda, betapa leluasa Abu Jahal abad ini mencaci
hingga memerangi umat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Jahal
abad ini telah menghina syari’at i’dad dan jihad yang Allah Ta’ala
perintahkan dengan sebutan keji; “tindak pidana terorisme.” Mereka
tuding semangat menegakkan daulah islamiyah dan khilafah sebagai paham
radikal. Mereka hinakan para ulamamuwahhid dengan menghakiminya lewat
hukum thaghut. Mereka menawan para mujahidin dan membantainya sesuka
hati. Bahkan yang lebih “gila” lagi, mereka fitnah gerakan jihad
dibiayai lewat bisnis narkoba (narcoterrorism).
Masih adakah remaja yang mendidih darahnya menyaksikan kezhaliman
tersebut? Sungguh saat ini, umat begitu merindukan sosok remaja seperti
Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ yang siap membinasakan
Abu Jahal abad ini. Wallahu a’lam bis Shawab.