Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah
tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga
lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah.
Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum,
sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal
lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan
pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan
orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian
Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif
tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam
mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai
derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia,
sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia
dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama
kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan
ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan
Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka
melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam
menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum
Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu
sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul
[Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan
Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama).
Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran
madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu
kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya
sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi
tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama
Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan
pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di
madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang
benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga
dogmatis.
Dari segi bahasa, istilah kalam berarti al-qaul (pembicaraan). Namun
dalam tradisi keilmuan, Wolfson, berpendapat bahwa istilah ini dipakai
sebagai terjemahan kata logos, yakni fikiran yanng terkandung dan
menjadi dasar bagi suatu perkataan, pembicaraan, dan argumen. Pendapat
Wolfson ini sebenarnya telah menggambarkan ajaran dasar Islam tentang
penggunaan pikiran, baik secara badani dan bataini. Jika dalam aspek
malan badani, rumusan berdasarkan pada penggunaan pikiran dan pemahaman
mendalam yang di sebut al-fiqh, dalam aspek batini, argumen yang
digunakan juga berdasar pada pikiran disebut Kalam.
Kajian Islam terbagi kepada berbagai bidang ilmu yang antara lain adalah
ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tawhid, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Ilmu
kalam membahas tentang Tuhan, rasul-rasul, wahyu, akhirat, iman dan
hal-hal yang berkaitan dengan itu. Ilmu kalam disebut juga ilmu
usuluddin, ilmu ‘aqa’id, dan teologi. Dalam mengkaji
dan membahas materi ilmu kalam ini terdapat bermacam-macam cara
memahaminya di kalangan umat Islam. Paham yang lahir dari suatu cara
memahami materi ilmu kalam ini dalam bahasa Arab disebur firqah yang
jamaknya firaq. Firqah dalam bahasa Indonesia disebut aliran.
Aliran-aliran dalam ilmu kalam disebut dalam bahasa Arab al-firaq
al-Islamiyah.
Sebab-sebab lahirnya Ilmu Kalam
Agak aneh kiranya kalau dikatakan bahwa dalam Islam, sebagai agama,
persoalan yang pertama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan
dalam bidang teologi. Tapi persoalan politik ini meningkat menjadi
persoalan teologi. Dapat ditelusuri dalam sejarah islam dalam fase
perkembangan pertama. Ketika nabi Muhammad mulai menyiarkkan
ajaran-ajaran islam yang beliau terimah dari Allah SWT. di mekkah. kota
ini memiliki system kemasyarakatan yang terletak dibawah pimpinan suku
bangsa Quraisy. Kekuasaan sebenarnya terletak dalam tangan kaum pedagang
tinggi. Kaum pedagang tinggi ini, untuk menjaga kepentingan-kepentingan
mereka, mempunyai rasa solidaritas kuat yang kelihatan efeknya dalam
perlawanan mereka terhadap nabi Muhammad dan pengikutnya sehingga mereka
terpaksa meninggalkan Mekkah pergi ke yasrib di tahun 622 M.
Jadi seperti yang kita ketahui bersama bahwa nabi dalam berdakwa itu
mempunyai tantangan dari berbagai pihak, terutama dari suku Quraish
sendiri. Sampai-sampai nabi dicari dan akan dibunuh. Dalam dakwa nabi
pertama dimekkah nabi Muhammad berdakwa dengan cara sembunyi-sembunyi
setelah nabi menerimah wahyu yang kedua kemudian mulai berdakwa secara
terang-terangan. Yang tentunya tantangan yang dihadapi nabi semakin
banyak.
Dapat dikatakan yang melatar belakangi sejarah munculnya
persoalan-persoalan kalam adalah disebabkan faktor-faktor politik pada
awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh kemudian digantikan oleh Ali
menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering
dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), merupakan pangkal
pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya
bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam
sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga
hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar
itu.
Suasana masyarakat di Yasrib berlainan dengan dengan suasana di mekkah.
Kota ini bukan kota pedagang tapi kota petani. Yang terdiri dari bangsa
Arab dan yahudi. Bangsa arab terdiri dari dua suku bangsa yaitu
Al-khazraj dan Al-aus Antara kedua suku bangsa ini terdapat persaingan
untuk menjadi kepala dalam masyarakat madinah. Dalam sejarah nabi
memperdamaikan antara suku al-khazraj dan al-aus . Dan membuat
perjanjian yang dikenal dengan piagam madinah.
Selama di Mekkah Nabi Muhammad hanya mempunyai fungsi kepala agama, dan
tak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik yang
ada disana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Sebaliknya di Madinah,
Nabi Muhammad, di samping menjadi kepala agama juga menjadi kepala
pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi
di kota itu. Sebelum itu madinah tak ada kekuasaan politik.
Ketika nabi Muhammad SAW. masih hidup semua persoalan agama dapat
ditanyakan kepada beliau secara langsung. Dan jawaban dari persoalan
tersebut dapat diperoleh secara langsung dari Rasulullah. Para sahabat
dan kaum muslimin percaya dengan sepenuh hati, bahwa apa yang diterimah
dan disampaikan oleh nabi adalah berdasarkan wahyu Allah, dengan
demikian, tak ada keraguan sedikitpun terutama kebenaranya. Jadi dapat
dikatakan bahwa segala permasalahan yang timbul yang belum jelas dasar
hukumnya semuanya ditanyakan kepada Nabi Muhammad.
Dalam masalah aqidah atau teologi, umat islam pada masa nabi SAW, tidak
terjadi perpecahan atau pengelompokan mereka semua bersatu dalam masalah
aqidah, sampai pada masa kedua pemerintahan khalifah khulafa
al-rasyidin, yakni pada masa pemerintahan khalifa Abu Bakar as-siddik
dan khalifah Umar bin khatab. Karena pada masa setelahnya umat islam
telah terusik nafsuhnya untuk mengambil pemahaman secara sepihak menurut
versi kelompoknya dalam masalah islam.
Akan tetapi Ketauhidan di Zaman Bani Umayyah masalah aqidah menjadi
perdebatan yang hangat di kalangan umat islam. Di zaman inilah lahir
berbagai aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan
Mu’tazilah. Pada zaman Bani Abbas Filsafat Yunani dan Sains banyak
dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat.
Kaum Muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain
tanpa mereka menggunakan senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu
bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan dengan
argumentasi-argumentasi filosofis tersebut.
Sesudah wafatnya Rasulullah Saw, kaum muslimin berkumpul di Saqifah bani
Sâ’adah untuk memilih khalifah pengganti Rasulullah Saw. Pertemuan
tersebut dihadiri oleh dua partai besar, yaitu Anshar dan Muhajirin. Di
antara pendukung partai Anshar adalah Saad bin Ibadah, Qais bin Saad dan
Habab bib Mundzir. Partai Anshar menginginkan agar khalifah dipilih
dari golongan mereka. Menurutnya, golongan Anshar adalah orang-orang
yang membantu perjuangan Rasulullah Saw. dalam pengembangan dakwah Islam
dari Madinah. Merekalah yang memberikan tempat bagi Rasulullah dan kaum
muhajirin setelah pindah dari Makkah ke Madinah.
Sementara Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah
menginginkan agar khalifah dipilih dari partai mereka. Bagi mereka,
orang pertama yang membantu perjuangan Rasulullah Saw., disamping itu,
mereka masih kerabat dekat dengan Rasulullah Saw., Abu Bakar al-Shidiq
lebih memilih Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab sebagai khalifah. Namun
Umar dan Abu ubaidah justru lebih mengedepankan Abu Bakar al-Shiddiq
dengan alasan karena beliau orang yang ditunjuk Rasulullah sebagai imam
shalat ketika Rasul sakit. Basyir bin Saad yang berasal dari suku
Khazraj melihat bahwa perselisihan antara dua kubu tersebut jika
dibiarkan dapat mengakibatkan perpecahan dikalangan umat Islam.
Untuk menghindari hal itu, ia angkat bicara dan menerangkan kepada para
peserta sidang bahwa semua yang dilakkan kaum muslimin, baik dari partai
Muhajirin ataupun Anshar hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt. Tidak
layak jika kedua partai mengungkit-ungkit kebaikan dan keutamaan
masing-masing demi kepentingan politik. Kemudian Basyir bin Saat membait
Abu Bakar al-Shidiq. Sikap Basyir dikecam oleh Habban bin Mundzir dari
partai Anshar. Ia dianggap telah menyalahi kesepakatan Anshar untuk
memilih khalifah dari partainya. Namun Basyir menjawab, “Demi Allah
tidak demikian. Saya membenci perselisihan dengan suku yang memang
memiliki hak untuk menjadi khalifah. Mayoritas suku Aus dari partai
Anshar mengedepankan Saad bin Ibadah sebagai khalifah. Namun kemudian
Asyad bin Khudair yang juga dari suku Aus berdiri membaiat Abu Bakar. Ia
menyeru pada para hadirin untuk mengikuti jejaknya. Merekapun bangkit
ikut membaiat dan memberikan dukungan pada Abu Bakar al-Shidiq.
Terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama umat Islam.
Dalam pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulannya bahwa masing-masing
suku atau golongan mengiginkan penganti nabi Muhammad sebagai khalifa
adalah berasal dari golongan mereka, terutama dari suku ansahr dan
muhajirin yang merasa berhak untuk menjadi penganti khalifah. Abu Bakar
al-Shidiq lebih memilih Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab sebagai
khalifah. Namun Umar dan Abu ubaidah justru lebih mengedepankan Abu
Bakar al-Shiddiq. Akhirnya melalui kesepakatan Terpilihlah Abu Bakar
sebagai khalifah pertama umat Islam. Kemudian abu bakar digantikan umar
ibn alkhatab, dan umar digantikan oleh usman bin affan, dan usman
digantikan oleh ali bin abi thalib.
Pada masa pemerintahan dua khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, roda
pemerintahan berjalan dengan baik dan kehidupan politik dapat dikatakan
cukup tenang. Perubahan ini bermula ketika Umar bin khatthab r.a. merasa
khawatir hal tersebut akan terjadi. Di antara hal-hal yang paling
ditakuti ketika hampir ajalnya ialah bahwa penggantinya akan mengadakan
perubahan politik yang telah diikuti sejak masa Rasulullah saw. Sampai
masanya sendiri, yaitu yang berhubungan dengan perlakuan terhadap
kabilah-kabilah dan suku-suku mereka sendiri, sanak kerabat serta
keluaraga mereka. Itulah sebabnya ia memanggil calon-calon penggantinya
sebanyak tiga orang, yaitu Usman, Ali, dan Sa’aad abi waqqash r.a.,
kepada mereka satu-persatu ia pesankan, seandainya ia yang menggantikan
kedudukan Umar, agar tidak mengangkat kaum kerabatnya sebagai penguasa
atas kaum muslimin.
Tatkala Umar bin Khatthab mendapat tikaman, dia menyerahkan masalah
kenegaraan kepada enam orang sahabat. Semua sahabat yang enam sama-sama
enggan untuk menjadi khalifah hingga akhirnya mereka berhasil memilih
Usman bin Affan. Usman bin Affan sama sekali belum pernah berambisi
untuk memegang kendali kekuasaan itu. Saat dia dibaiat sebagai khalifah,
dia telah berusia tujuh puluh tahun. Masa pemerintahan Usman dipenuhi
dengan penaklukan-penaklukan daerah-daerah sebagai penyempurna
penaklukan di masa pemerintahan Umar.
Utsman bin affan termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya.
Kaum keluarganya terdiri dari orang aristocrat mekkah yang karena
pengalaman dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi.
Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam pemimpin administrasi
deerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang bertambah banyak masuk ke
bawah kekuasaan islam.
Pada masa pemerintahan dua khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, roda
pemerintahan berjalan dengan baik dan kehidupan politik dapat dikatakan
cukup tenang. Namun, pada masa khalifah Utsman keadaan mulai berubah
terutama pada paruh kedua dari 12 tahun masa pemerintahannya. Secara
pribadi, khalifah Utsman bin affan tidak berbeda dengan khalifah
pendahulunya. Namun, keluarganya dari bani umayah terus mendorongdan
utsman sendiri lemah menghadapi rongrongan serta ambisi dari keluarga
terebut sehinnga ia terpaksa memberikan berbagai fasilitas kepada
mereka.
Ahli sejarah menggambarkan Usman bin affan sebagai orang yang lemah dan
tak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh
itu. Ia mengangakat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada
kekuasaan islam . gubernur- gubernur yang diangkat Umar ibn al-khatab,
khalifah yang terkenal kuat dan tak memikirkan kepentingan keluarganya,
dijatuhkan oleh usman. Tindakan-tindakan politik yang dijalankan usman
ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya.
Setelah Islam meluas ke mana-mana, tiba-tiba di akhir masa pemerintahan
Usman, terjadi suatu persoalan yang ditimbulkan oleh tindakan Usman yang
kurang mendapat simpati dari sebagian pengikutnya. Tindakan Usman yang
kurang sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu, di antaranya ialah
kurang pengawasan terhadap beberapa pejabat penting dalam pemerintahan,
sehingga para pelaksana di lapangan tidak bekerja secara maksimal,
diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya. Pada
saat pemerintahannya, Usman sedikit demi sedikit mulai menunjuk
kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada
mereka keistimewaan-keistimewaan lain yang menyebabkan timbulnya
protes-protes dan kritikan-kritikan rakyat secara umum.
Selanjutnya Berkobarlah fitnah besar di tengah kaum muslimin yang
dikobarkan oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang
pura-pura masuk Islam. Dia kemudian menaburkan keraguan di tengah
manusia tentang akidah mereka dan mengecam Usman dan para gubernurnya.
Dia dengan gencar mengajak semua orang untuk menurunkan Usman dan
menggantinya dengan Ali sebagai usaha menabur benih fitnah dan benih
perpecahan.
Kebijakan politik Utsman yang merangkul sanak keluarga ini menimbulkan
rasa tidak simpatik terhadap dirinya. Para sahabat yang semula menyokong
Utsman, setelah melihat sikap dan tindakan yang kurang tepat itu, kini
mulai menjauh darinya. Sementara itu, perasaan tidak senang muncul pula
di daerah-daerah. Terutama di mesir, sebagai reaksi tidak senang
terhadap dijatuhkannya Umar bin al-ash dari jabatan gubernurnya untuk
digantikan oleh Abdullah bin sa’ad bin abi sarah, salah seorang keluarga
utsman.sekitar lima ratus orang berkumpul dan kemudian bergrak menujuh
Madinah untuk melakukan protes. Kehadiran para pelaku aksi protes ini
akhirnya berakibat fatal bagi diri khalifah Utsman, ia terbunuh oleh
pemuka akibat protes tersebut .
Dari penjelasan diatas dapat di simpulkan bahwa usman bin affan dalam
menjalankan pemerintahannya kurang mementingkan kemaslahabatan umat, dan
lebih mementingkan kepentingan dari keluarganya. Hal ini meninbulkan
kurang simpatinya umat islam terhadap dirinya. Kebijakan politiknya yang
nepotisme menyebabkan ia dijatuhkan dari kekhalifaan yang sah. Dalam
sejarah bahwa usman bin affan terbunuh oleh masa pemberontak. Setelah
terbunuhnya Usman, kaum muslimin memilih Ali untuk menjadi pemimpin
mereka. Para sahabat mendesaknya agar bisa keluar dari kemelut yang
menimpa mereka. Disinilah awal munculnya perpecahan.
Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera
ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah, terutama Talha dan Zubeir dari mekah yang mendapat sokongan
dari Aisyah. Tantangan dari Aisyah –Talhah-Zubeir ini di patahkan Ali
dalam pertempuran yang terjadi diIrak tahun 656. Tahlah dan Zubeir mati
terbunuh dan aisyah dikirim kembali ke mekkah. Tantangan kedua datang
dari Muawiah Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat bagi Usman.
Sebagaimana halnya Tahlah dan Zubeir , ia tak mau mengakui Ali sebagai
khalifah . Ia menuntut kepada ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh
Usman, bahkan ia menuduh ali turut campur dalam soal pembunuhan itu.
Salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak mesir, yang datang ke
madinah dan kemudian membunuh Usman adalah Muhamad Ibn abi Bakr,anak
angkat dari Ali Ibn Abi Talib. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan
keras terhadap pemberontak-itu ,bahkan muhamad Ibn Abi Bakr diangkat
menjadi Gubernur Mesir.
Karena tuntutan ini tidak mendapat serius akhirnya Muawiyah lebih lanjut
menuduh Ali terlibat paling tidak melindungi para pelaku pembunuhan
khalifah Utsman. Pembangkangan Muawiyah ini rupanya juga berakhir pada
bentrokan senjata. Peperangan yang terjadi antara pasukan khalifah Ali
dan pasukan Muawiyah dalam sejarah Islam dikenal dengan perang shiffin.
Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di siffin,
tentara Ali dapat mendesak tentara Muawiyah sehingga yang disebut
terakhir dapat dipastikan akan kalah dan bersiap-siap meninggalkan medan
pertempuran. Akan tetapi tangan kanan Muawiyah, Amr Ibn al-ash yang
terkenal sebagai orang yang licik, meminta berdamai dengan mengangkat
Al-Qur’an ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya
menerimah tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan
mengatasnamakan arbitrase.
Sebagai pengantara diangkat dua orang: ‘Amr ibn al-ash dari pihak
Muawiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka,
kelicikan Amr mengalahkan perasaan taqwa Abu Musa. Sejarah mengatakan
antara keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang
bertentangan , Ali dan Muawiyah. Tradisi mengatakan bahwa Abu Musa
al-Asy’ari , sebagai yang tertua terlebih dahulu berdiri mengemukakan
kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan
itu. Berlainan dengan apa yang telah di setujui, Amr Ibn al-ash,
mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan
al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Muawiyah.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin al-ash, utusan dari pihak
Muawiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa , tidak di
setujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan
yang terjadi saat itu tidak dapat di putuskan melalui tahkim. Putusan
hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam
Al-qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum
Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah)
menjadi semboyang mereka. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah
berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah
Islam , mereka terkenal dengan nama khawarij, yaitu orang yang keluar
dan memisahkan diri atau secerders. Di luar pasukan yang membelot Ali,
ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang
kemudian memunculkan kelompok syi’ah.
Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi
Muawiyah yang legal menjadi khalifah sebenarnya hanyalah Ali sedangkan
Muawiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk
kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya
telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau
putusan ini ditolak Ali dan tak mau meletakan jabatannya, sampai ia mati
terbunuh di tahun 661 M.
Dari uraian diatas dapat di simpulkan , bahwa ketika Ali bin abi thalib
di baiat menjadi khalifah pengganti usman bin affan keadaan Negara dalam
keadaan kacau atau tidak stabil akhirnya mempengaruhi pemerintahannya
selanjutnya. Salah satu persoalan yang sedang dihadapi adalah peristiwa
pembunuhan usman bin affan. Saat Ali bin Abi thalib menjadi khalifah,
Muawiyah yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan Usman bin Affan
yaitu sama-sama dari bani Umayah menuntut agar supaya Ali mencari siapa
pembunuh Usman Bin Affan dan menghukumnya. Tetapi permintaan itu tidak
mendapat tanggapan yang serius dari ali. Akhirnya terjadilah pertempuran
antara Ali dan Mu’awiyah yang merujuk pada perang siffin yang berakhir
dengan peristiwa tahkim atau arbitrase.
Kelompok khawarij pada mulanya memendang Ali dan pasukannya berada di
pihak yang bener kerena Ali merupakan khalifah sah yang dibai’at
mayoritas umat islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah
karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan estimasi
khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenengan pada peperangan itu,
tetapi karena Ali menerimah tipu licik ajakan damai Muawiyah, kemengan
yang hampir diraih itu menjadi raib.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok
muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu.
Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli Qurra seperti
Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi dan Zaid bin Husein
Ath-Tha’I, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan
pasukannya) untuk menghentikan pasukannya.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin
Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)nya, tetapi orang-orang
khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal
dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim
Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan
kitab Allah. Keputusan tahkim , yakni Ali diturunkan dari jabatannya
sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah menjadi
khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang-orang khawarij. Mereka
membelot dengan mengatakan, “mengapa kalian berhukum kepada manusia.
Tidak ada hukum selain hukum yang ada disisi Allah.” Imam Ali menjawab,
“itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru.”
Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan
langsung menuju Hurura. Persoalan- persoalan yang terjadi dalam lapangan
politik sebagaimana digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa
kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi.
Harun nasution melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul
adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti
siapa yang telah keluar dari islam dan siapa yang masih tetap dalam
islam. Khawarij sebagaimana telah disebutkan, memandang bahwa
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Muawiyah,
Amr bin Al-ash, Abu Musa al-Asy’ari, adalah kaf,ir berdasarkan firman
Allah pada surat Al-Ma’idah ayat 44.
Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam yaitu:
1) Aliran khawarij, menegaskan bahwa orangyang berdosa besar adalah
kafir, dalam arti telah keluar dari islam atau tegasnya murtad dan wajib
dibunuh.
2) Aliran murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih
tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal
itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3) Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerimah kedua pendapat diatas. Bagi
mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetepi bukan pula mukmin.
Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa
arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain (posisi di
antara dua posisi).
Dalam islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama
Qadariyah dan jabariyah. menurut Qadariyah, manusia mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun jabariyah,
berpendapat sebaliknya manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
berkehendak dan perbuatannya. Aliran Mu’tajilah yang bercorak rasional
mendapat tantangan keras dari golongan tradisional islam, terutama
golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut majhab Ibn Hambal. Mereka yang
menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang
di pelopori Abu Al-hasan Al-Ash’ari (935 M). Di samping Ash’ariyah,
timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang
aliran Mu’tajilah . aliran ini di dirikan oleh Abu Mansur Muhammad
Al-Maturidi (w.944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi
Al-maturidiyah.
Dari pembicaraan kaum khawarij tentang iman dan kufur yang dihubungkan
dengan pelaku tahkim dan pelaku dosa besar , berbagai persoalan kalam
lain terus bermunculan dan berkembang sehingga pada masa dinasti bani
abbasiyah , masa khalifah Al-Mamun lahirlah disiplin ilmu yang terkenal
dengan nama ilmu kalam. Disiplin ilmu ini diberi nama ilmu kalam karena
antara lain: masalah yang hangat dibicarakan dan diperselisihkan oleh
para mutakalimin pada masa pertama adalah masalah kalam Allah, Al-Qur’an
atau dalam rangka memperkuat pendapat para mutakalimin (ahli ilmu
kalam). Cara pembuktian para mutakalimin itu di namai ilmu kalam. Ilmu
kalam sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal di masa Nabi
Muhammad. Maupun pada masa sahabatnya. Nanti ilmu ini dikenal pada
masa-masa berikutnya, terutama setelah banyak orang membicarakan tentang
kepercayaan terhadap alam ghaib (metafisika). Aliran-aliran Khawarij,
Murji’ah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah.
Adapun yang masih ada sampai sekarang adalah aliran Asy’ariyah dan
Maturidiyah yang keduanya disebut Ahlussunah wal-jama’ah.
Persoalan teologi dalam umat islam memang bukan merupakan persoalan yang
muncul sebagai teologis. Namun persoalan-persoalan teologi dalam umat
islam muncul dikarenakan isu persoalan politik yang melahirkan peristiwa
pembunuhan utsman bin Affan sebagai khalifah umat islam yang sah pada
waktu itu. Dan dalam peristiwa pembunuhan tersebut yang terlibat
langsung dalam umat islam.
Memang fakta sejarah menunjukan persoalan pertama yang muncul dikalangan
umat islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecah dalam beberapa
firqah (kelompok atau golongan) adalah persoalan politik dari masalah
ini kemudian lahir sebagai kelompok dan aliran teologi dengan pandangan
dan pendapat yang berbeda.
Dari uraian diatas timbul sebuah pertanyaan kenapa sebab kemunculan ilmu
kalam adalah persoalan politik?. Jawabanya karena nabi Muhammad
disamping menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan. Jadi
tidak mengherangkan kalau masyarakat madinah pada waktu wafatnya Nabi
Muhammad sibuk memikirkan penganti beliau untuk memimpin Negara yang
baru lahir itu, sehingga penguburan jenazah Nabi Muhammad menjadi
persoalan kedua bagi mereka. Sehingga timbulah soal khalifah, soal
pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara. Dan mengapa urusan
pemakaman jenazah Rasululloh menjadi soal kedua, karena pada saat itu
terjadi kekosongan kepala Negara dan juga masalah siapa yang akan
memimpin mengenai penguburan Jenazah Beliau.
Faktor-faktor munculnya Ilmu Kalam
Ada dua faktor yang menybabkan munculnya aliran dalam ilmu kalam, yaitu:
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah factor yang muncul dari dalam umat Islam sendiri yang dikarenakan:
a. Adanya kepentingan kelompok atau golongan
Kepentingan kelompok pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu
aliran, sangat jelas, di mana Syi’ah sangat berlebihan dalam mencintai
dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan Khawarij sebagai kelompok yang
sebaliknya.
b. Adanya kepentingan politik
Kepentingan ini bermula ketika ada kekacauan politik pada zaman khalifah
Usman bin Affan yang menyebabkan wafatnya beliau, kepentingan ini
bertujuan sebagai sumber kekuasaan untuk menata kehidupan. Karna Faktor
politik juga dapat memunculkan madzhab-madzhab pemikiran di lingkungan
Umat Islam, khususnya pada awal perkembangannya. Maka persoalan imamah
(khilafain), menjafi persolan tersendiri dan khas yang menyebabkan
perbedaan pendapat, bahkan perpecahan di lingkungan umat Islam.
Permasalahan ini dimulai ketika ketika Rasulullah meninggal dunia serta
peristiwa terbunuhnya usman dimana antara golongan yang satu dengan yang
lain saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar.
Berkenaan dengan itu, ulama, antara lain ‘Amir al-Najjar berkesimpulan
bahwa penyebab tumbuh dan berkembangnya aliran kalam adalah pertentangan
dalam bidang politik, yakni mengenai imamah dan khilafah.
c. Adanya pemahaman dalam Islam yang berbeda
Perbedaan ini terdapat dalam hal pemahaman ayat Al-Qur’an, sehingga
berbeda dalam menafsirkan pula. Mufasir satu menemukan penafsiranya
berdasarkan hadist yang shahih, sementara mufasir yang lain penafsiranya
belum menemukan hadist yang shahih. Bahkan ada yang mengeluarkan
pendapatnya sendiri atau hanya mengandalkan rasional belaka tanpa
merujuk kepada hadist.
d. Mengedepankan akal
Dalam hal ini, akal digunakan setiap keterkaitan dengan kalam sehingga
terkesan berlebihan dalam penggunaan akal, seperti aliran Mu’tazilah.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah Faktor yang muncul dari luar umat islam,
Disamping faktor internal mendorong dan mempengaruhi kemnculan
persoalan-persoalan kalam juga ada faktor eksternal berupa paham-paham
keagamaan non muslim tertentu yang mempengaruhi dan ikut mewarnai
sebagian paham di lingkungan umat islam. Seperti:
a. Akibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam. Paham keagamaan
non-islam yang dimaksudkan adalah paham keagamaan yahudi dan nasrani,
yang mengatakan bahwa sejak islam tersebar luas, terjadi kontak dengan
lingkungan lokalnya. Di Syiria misalnya, pemikiran islam mulai
dipengaruhi oleh pemikiran Kristen Hellenistik, dan di Irak dipengaruhi
oleh doktrin-doktrin Gnostik. Demikian pula pandangan Goldziher orang
jerman yang ahli ketimuran dan ahli islam, sebagaimana dikutip oleh Abu
Bakar aceh, yang mengatakan bahwa banyak ucapan dan cara berfikir
kenasranian dimasukkan ke dalam hadits-hadits yang dikataakan berasal
dari Nabi Muhammad.
b. Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Muktazilah, perkara
utama yang mereka tekankan ialah mempertahankan Islam dan menolak hujah
mereka yang menentangnya. Negeri-negeri Islam terdedah dengan semua
pemikiran-pemikiran ini dan setiap kelompok berusaha untuk membenarkan
pendapatnya dan menyalahkan pendapat kelompok lain. Orang-orang Yahudi
dan Nasrani telah melengkapkan diri mereka dengan senjata ilmu Falsafah,
lalu Muktazilah telah mempelajarinya agar mereka dapat mempertahankan
Islam dengan senjata yang telah digunakan oleh pihak yang menyerang.
c. Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logik), hingga
memaksa mereka untuk mempelajarinya supaya dapat menolak
kebatilan-kebatilan (keraguan-keraguan) yang ada di dalam ilmu
berkenaan.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
Pada masa Nabi Muhammad SAW, umat islam bersatu, mereka satu akidah,
satu syariah dan satu akhlaqul karimah, kalau mereka ada perselisihan
pendapat, diatasi dengan wahyu dan pada saat itu tidak ada peselisihan
diantara mereka. Sebab kemunculan ilmu kalam di picu oleh persoalan
politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang
berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifaan Ail bin Abi Thalib.
Keteganggan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib memuncak menjadi
perang siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim atau arbitrase.
Sikap Ali yang menerimah tipu muslihat Amr bin Al-ash utusan dari pihak
Mu’awiyah dalam tahkim tidak di setujui oleh sebagian tentaranya. Mereka
memendang bahwa Ali telah berbuat salah sehingga meninggalkan
barisannya. Dalam sejarah islam, mereka terkenal dengan nama khawarij.
Yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. Adapula sebagian besar yang
tetep mendukung Ali.mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok
syi’ah .
Adapun factor yang mempengaruhi munculnya ilmu kalam yaitu factor internal dan factor eksternal.
Faktor internal adalah factor yang muncul dari dalam umat Islam sendiri seperti:
a) Adanya kepentingan kelompok atau golongan
b) Adanya kepentingan politik
c) Adanya pemahaman dalam Islam yang berbeda Perbedaan ini.
Dan faktor eksternal adalah faktor yang muncul dari luar agama islam antara lain:
a) kibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam
b) Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Muktazilah, perkara
utama yang mereka tekankan ialah mempertahankan Islam dan menolak hujah
mereka yang menentangnya.
c) Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logik), hingga
memaksa mereka untuk mempelajarinya supaya dapat menolak
kebatilan-kebatilan (keraguan-keraguan) yang ada di dalam ilmu
berkenaan.