“Bukan orang Bekasi namanya kalau dia tidak kenal KH. Noer Ali“. ya itu
adalah ungkapan yang sering saya dengar dari para orang tua dulu. Sosok
beliau sangat terkenal dimata orang bekasi karena ia menjadi ikon
kebanggaan masyarakat betawi (khususnya di Karawang-Bekasi) pada masa
revolusi. Beliau terkenal dengan sebutan “Singa Karawang Bekasi” atau
ada juga yang menyebutnya “si Belut Putih”.Saya memang tidak banyak tau
tentang sejarah beliau. Saya hanya dapat kisahnya dari para orang tua.
Beliau adalah seorang ulama dan pemimpin pada zaman revolusi.
Bagi orang Bekasi, sosok pahlawan ini tidak perlu di pertanyakaan
kontribusnya bagi rakyat Bekasi. Semua orang yang mengaku penduduk asli
Bekasi pasti mengenal Beliau. Beliau adalah KH Noer Ali seorang Pahlawan
Nasional sekaligus seorang ulama besar di daerah Bekasi dan Karawang.
Konon katanya beliau selalu lolos dari tangkapan belanda saat di kepung.
Sehingga orang orang memberikan julukan kepada beliau adalah si belut
putih. Sedangkan julukan lainnya adalah Singa Karawang sebab atas
keberaniannya melawan para penjajah Belanda tanpa ada rasa takut maupun
gentar sedikitpun. KH Noer Ali adalah seseorang yang sangat peduli
kepada pendidikan, cerdas, berani dan sangat di hormati oleh lingkungan
sekitarnya. Kisah perjuangan seorang KH Noer Ali telah menginspirasi
banyak orang tak terkecuali pujangga besar Chairil Anwar yang
menciptakan sebuah puisi untuk KH Noer Ali dengan judul Karawang Bekasi.
Salah satu jasa KH Noer Alie yang rakyat bekasi rasakan manfaatnya
sampai sekarang adalah pembangunan dan pembukaan akses jalan secara
besar–besaran antara kampung Ujung Malang, Teluk Pucung, dan Pondok
Ungu.
Dalam setiap jalan yang dibangun beliau tidak pernah mengeluarkan biaya
untuk pembebasan tanah warga, tetapi apabila itu merupakan instruksi
dari Engkong Kiai, semua warga dengan sukarela dan ikhlas akan
mewakafkan, dan beliau terjun langsung memimpin gotong-royong
pengerjaannya pada pertengahan tahun 1941. Ketika terjadi Agresi Militer
Juli 1947 KH. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di
Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak
menggunakan nama TNI. KH. Noer Alie pun kembali ke Jawa Barat dengan
berjalan kaki dan mendirikan sekaligus menjadi Komandan Markas Pusat
Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Untuk menunjukkan
bahwa pertahanan Indonesia masih eksis.
KH Noer Alie memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung
Karekok, Rawa Gede dan Karawang untuk membuat bendera merah-putih ukuran
kecil yang terbuat dari kertas. Ribuan bendera tersebut lalu
ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan tujuan
membangkitkan moral rakyat bahwa ditengah-tengah kekuasaan Belanda masih
ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan. Aksi herois
tersebut membuat Belanda terperangah dan mengira pemasangan bendera
merah-putih tersebut dilakukan oleh TNI. Belanda langsung mencari Mayor
Lukas Kustaryo (Laskar Pejuang Bekasi), karena tidak ditemukan Belanda
marah dan membantai sekitar empat ratus orang warga sekitar Rawa Gede.
Pembantaian yang terkenal dalam laporan De Exceseen Nota Belanda itu
disatu sisi mengakibatkan terbunuhnya rakyat, namun disisi lain para
para petinggi Belanda dan Indonesia tersadar bahwa disekitar Karawang,
Cikampek, Bekasi dan Jakarta masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan
citra Belanda kiat terpuruk karena telah melakukan pembunuhan keji
terhadap penduduk yang tidak bedosa.
Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang
kemudian bergabung dengan MPHS (Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah).
Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang melintang antara
Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung ke kampung lain,
menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Setelah kejadian tersebut,
saat ini saya bisa menikmati kemerdekaan yang telah di perjuangkan oleh
KH Noer Ali dan para pejuang lainya sehingga tercipta Bekasi yang
nyaman, Bekasi yang aman dan Bekasi yang ihsan. Terima Kasih KH Noer
Ali, engkau telah memperjuangkan tanah air kami dari para penjajah.
Siapa sebenarnya KH Noer Alie?
Ia lahir di Desa Ujung Malang, Babelan, Bekasi pada 15 Juli 1914. Noer
Alie adalah anak keempat dari sepuluh bersaudara pasangan Anwar bin Layu
dan Maimunah binti Tarbin. Tanda-tanda kepahlawanannya sudah terlihat
sejak kecil. Suatu saat, ia pernah ditanya, apa cita-citanya di dunia.
“Ingin membangun perkampungan surga,” jawab Noer Alie kecil.
Ia memiliki semangat belajar yang tinggi. Di usianya yang masih di bawah
lima tahun, ia telah mampu menghapal surat –surat pendek dalam
Al-Qur’an yang diajarkan oleh kedua orangtua dan kakaknya. Pada usia
tujuh tahun, Noer Alie mengaji pada guru Maksum di kampung Ujung Malang
Bulak. Pelajaran yang diberikan oleh gurunya lebih dititikberakan pada
pengenalan dan mengeja huruf Arab, menyimak, menghafal dan membaca
Juz-amma serta menghafal dasar – dasar Rukun Islam, Rukun Iman, tarikh
para nabi, akhlak dan fikih.
Dua tahun kemudian, Noer Alie kecil mendapat guru baru bernama Mughni,
masih di Ujung Malang. Ia mendapatkan pelajaran-pelajaran alfiah atau
tata bahasa Arab, Al-Qur’an, tajwid, nahwu, tauhid dan fiqih.
Saat beranjak remaja, Noer Alie pindah ke Klender. Ia mondok di sebuah
pesantren dan menuntut ilmu pada guru Marzuki. Noer Alie remaja
mempelajari kitab kuning (kitab Islam Klasik ) sebagai inti pendidikan.
Di samping itu, ia juga belajar cara menunggang kuda dan berburu bajing,
hewan pemakan buah kelapa yang dianggap sebagai hama.
Ketika usianya 20 tahun, ia pergi ke Mekkah. Di sana, ia menuntut ilmu
di Madrasah Darul Ulum. Semangat belajarnya yang tinggi membuat ia
berguru pada beberapa ulama di lingkungan Masjidil Haram, antara lain
pada Syeikh Alie Al-Maliki (hadits); Syeikh Umar Hamdan (kutubusittah:
hadits yang diriwayatkan oleh enam perawi: Buchori, Tarmizi, Abu Daud,
Nasa’i dan Ibnu Majah ); Syeikh Ahmad Fatoni (fikih, dengan kitab Iqna
sebagai acuan); Syeikh Mohamad Amin al-Quthbi (ilmu nahwu, qawati/sastra
), badi’/mengarang, tauhid dan mantiq/ ilmu logika yang mengandung
filsafah Yunani, dengan kitab Asmuni sebagai acuan); Syeikh Abdul Zalil
(ilmu politik); Syeikh Umar Atturki dan Syeikh Ibnu Arabi (hadits dan
ulumul Qur’an).
Selama di negeri orang, ia aktif berorganisasi. Salah satunya, dengan
menjadi anggota pelajar Islam dari Jepang, sebagai Ketua Persatuan
Pelajar Betawi (PBB), dan aktif di Perhimpunan Pelajar – Pelajar
Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo) dan Perhimpunan
Pelajar Indonesai Melayu (Perindom).
Noer Alie muda memutuskan kembali ke Tanah Air pada 1939 setelah
mendapat kabar negerinya ditindas kaum penjajah. Sebuah pesan penting
disampaikan Syeikh Alie Al – Maliki padanya. “ Ingat, jika bekerja
jangan jadi penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya
akan ridho dunia akhirat.” Pesan itu terus terngiang di benaknya hingga
tiba di Indonesia.
Ulama Pejuang
Setibanya di Tanah Air, Noer Alie membuat gebrakan dengan mendirikan
madrasah. Suami Siti Rahmah binti Mughni itu lalu menghimpun kekuatan
umat, di antaranya membangun jalan tembus Ujung Malang – Teluk Pucung
pada 1941.
Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu – waktu bangsa Indonesia harus
bertempur secara fisik, Noer Alie menyalurkan santrinya ke dalam Heiho
(pembantu prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung.
Salah seorang santrinya, Marzuki Alam, dipersilakan mengikuti latihan
kemiliteran Pembela Tanah Air (Peta).
Saat Rapat Ikada digelar pada pada 19 September 1945 di Monas, Noer Alie
datang dengan mengendarai delman. Nama Noer Alie kian dikenal di
kalangan pejuang saat Bung Tomo meneriakkan namanya beberapa kali dalam
siaran radionya di Surabaya, Jawa Timur.
Pada bulan November 1945, KH Noer Alie membentuk Laskar Rakyat. Seluruh
badal (pasukan) dan santrinya diperintahkan menghentikan proses
belajar-mengajar untuk mendukung perjuangan. Ia kemudian mengeluarkan
fatwa: “Wajib hukumnya berjuang melawan penjajah.” Dalam waktu singkat,
Laskar Rakyat berhasil menghimpun sekitar 200 orang yang merupakan
gabungan para santri dan pemuda sekitar Babelan, Tarumajaya, Cilincing,
Muaragembong. Mereka dilatih mental oleh KH Noer Alie dan secara fisik
dilatih dasar-dasar kemiliteran oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
Bekasi dan Jatinegara.
Akhir 1945, dibentuk kesatuan bersenjata yang berafiliasi kepada partai
politik. Saat itu, Abu GhozAlie sebagai komandan resimen Hizbullah
Bekasi (badan pejuangan Partai Majelis Sjuro Muslimin Indonesia/
Masjumi) menunjuk KH Noer Alie sebagai komandan Batalyon III Hizbullah
Bekasi.
Setelah Agresi Militer Pertama Belanda pada 1947, KH Noerl Alie
mengadakan musyawarah darurat di Karawang. Itu dilakukan karena ia tidak
rela melihat negerinya terus dijajah. Hasil musyawarah itu memutuskan
untuk mengirim KH Noer Alie bersama lima orang rekannya menemui Panglima
Besar Jenderal Soedirman di Jogjakarta.
Sesampai di Jogjakarta, rombongan KH Noer Alie diterima oleh Letnan
Jenderal Oerip Soemohadjo karena Jenderal Soedirman tidak berada di
tempat. KH Noer Alie diminta untuk melakukan perlawanan secara
bergerilya. Ia kemudian mendirikan Hizbullah - Sabilillah pusat dengan
nama Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah ( MPHS ) yang diketuai langsung
oleh dirinya.
Pada 10 Januari 1948, Mohammad Moe’min, Wakil Residen Jakarta dari pihak
Republik Indonesia, mengangkat KH Noer Alie sebagai Koordinator
(Pejabat Bupati) Kabupaten Jatinegara. Namun jabatan pemerintahan yang
seharusnya dimulai pada 15 Januari 1948 tidak berlangsung lama, karena
pada 17 Januari 1948 terjadi Perjanjian Renville yang mengharuskan
tentara Indonesia di Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah dan Banten. KH
Noer Alie memilih hijrah ke Banten dengan membawa 100 orang pasukan dari
Kompi Syukur.
Ketika perlawanan bersenjata mulai mereda, pada 1949 KH Noer Alie
memilih berjuang di lapangan sipil. Ia diminta membantu Muhammad Natsir
sebagai anggota delegasi Republik Indonesia Serikat di Indonesia dalam
konperensi Indonesia – Belanda.
Dalam kesempatan tersebut, KH Noer Alie sempat membahas kelanjutan
perjuangan dengan tokoh – tokoh nasional di Jakarta, seperti Muhammad
Natsir, Mr. Yusuf Wibisono, Mr. Muhammad Roem, Muhammad Syafe;I dan KH
Rojiun, dan kemudian ia diminta untuk menyalurkan aspirasi polotiknya,
bergabung dalam partai Masjumi.
Pada Januari 1950, KH Noer Alie bersama teman – teman dan anak buahnya,
seperti R. Supardi, Madnuin Hasibuan, Namin, Taminudin, Marzuki Hidayat,
Marzuki Urmani, Nurhasan Ibnuhajar, A. Sirad, Hasan Syahroni dan
Masturo membentuk Panitia Amanat Rakyat. Pada 17 Januari 1950, Panitia
Amanat Rakyat itu kemudian menghimpun sekitar 25.000 rakyat Bekasi dan
Cikarang di Alun – Alun Bekasi. Mereka mendeklarasikan resolusi yang
menyatakan penyerahan kekuasaan pemerintah Federal kepada Republik
Indonesia. Pengembalian seluruh Jawa Barat kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dan KH Noer Alie bersama Lukas Kustaryo menuntut agar nama kabupaten
Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Tuntutan tersebut diterima
oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir, sehingga pada 15 Agustus 1950
terbentuklah Kabupaten Bekasi di Jatinegara, serta selanjutnya
dimasukkan ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat.
Ulama Kharismatik
KH Noer Alie dikenal dengan sebutan “Engkong Kiai.” Jika ia berjalan,
tidak ada seorang pun, baik pejalan kaki atau pun yang memakai
kendaraan, yang berani mendahuluinya. Mereka lebih cenderung untuk
memilih jalan lain atau melompati got sebagai jalan pintas apabila
terpaksa harus mendahului Engkong Kiai.
Pada zamannya, tidak ada akses jalan yang rusak di sekitar desa, karena
apabila terjadi kerusakan jalan dan diketahui oleh KH Noer Alie, aparat
pemerintah akan langsung buru – buru memperbaikinya, mengingat besarnya
jasa beliau terhadap pembangunan, terutama di wilayah Bekasi.
Salah satu karya fenomenal yang berhasil diwujudkan oleh KH Noer Alie
adalah pembangunan dan pembukaan akses jalan secara besar – besaran di
sekitar Desa Ujungharapan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi.
Semua warga dengan sukarela dan ikhlas akan mewakafkan tanahnya jika
yang meminta KH Noer Alie. Ia pun tak segan untuk turun langsung
bergotong-royong bersama warga membangun jalan seperti saat pelebaran
Gang Perintis pada 1980.
Jasa-jasanya itulah yang akhirnya membuat ia dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional dan bintang Maha Putra Adipradana oleh pemerintah Republik
Indonesia pada 2006. Penghargaan lainnya adalah dengan menjadikan nama
“Singa Karawang-Bekasi” itu sebagai nama jalan di sepanjang Kalimalang
menuju Jakarta.
KIAI HAJI NOER ALIE (Alm) TOKOH PEJUANG DARI BEKASI JAWA BARAT
Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana Pada tanggal 3
November 2006, atas nama Presiden RI (Kepres RI No. 085/TK/Tahun 2006)
menganugerahkan gelar `Pahlawan Nasional` dan `Bintang Mahaputera
Adipradana` kepada Alm. Kiai Haji Noer Alie tokoh pejuang dari Bekasi
Jawa Barat,