Sebelum abad ke 18, Madura terdiri dari kerajaan-kerajaan yang saling
bersaingan, akan tetapi sering pula bersatu dengan melaksanakan politik
perkawinan. Di antaranya kerajaan-kerajaan tersebut adalah Arosbaya,
Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Di samping itu kerajaan-kerajaan di Madura berada dibawah supermasi dari
kerajaan yang lebih besar yang kekuasaannya berpusat di Jawa. Antara
tahun 1100-1700, kerajaan-kerajaan itu berada dibawah supermasi kerajaan
Hindu di Jawa Timur, kerajaan-kerajaan Islam dipesisir Demak dan
Surabaya serta kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Pada suatu ketika, karena Pangeran Ronggosukowati usianya telah lanjut,
maka mahkota kerajaan Pamekasan diserahkan kepada anak selirnya, yaitu
Pangeran Purbaya. Pada saat itu putra mahkota telah ada, namun belum
cukup umur untuk dinobatkan menjadi raja. Meski demikian, ia masih
bersedia menjadi penasihatnya. Peristiwa alih kekuasaan dalam keraton
Pamekasan ini terjadi pada tahun 1615.
Beberapa tahun sebelum Pamekasan berganti kepemimpinan, tepatnya pada
tahun 1613, Sultan Agung bertahta di Keraton Mataram. Sultan Agung
memiliki ambisi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Selain memperluas
daerah kekuasaan, Sultan Agung juga ingin mengusir pasukan Belanda dari
bumi Nusantara. Pencapaian Kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan
Sultan Agung antara lain dengan menaklukkan wilayah Kalimantan pada
tahun 1622 dan menduduki wilayah Madura pada tahun 1624.
Kegagalan Kerajaan Mataram Menyerang Pulau Madura
Para penguasa di Madura masih merupakan satu keluarga. Oleh karena itu
mereka bersatu padu dalam menghadapi pasukan Mataram. Pangeran
Ronggosukowati meskipun sudah berusia lanjut, masih turun ke medan
perang untuk mendampingi putranya berperang. Pangeran Ronggosukowati
berperan memberi petunjuk-petunjuk kepada pasukan Pamekasan yang akan
bergabung dengan pasukan Sumenep, Madegan, Blega, Arosbaya dan Kadipaten
Mlojo.
Pada tahun 1624 Kerajaan Mataram mengirim ribuan pasukan untuk mendarat
di pantai barat pesisir Bangkalan. Pasukan perang Kerajaan Mataram
dipimpin oleh Panglima Perang Pangeran Suyono dan Pangeran Slorong.
Puluhan ribu prajurit Mataram siap tempur, mulai bergerak dari laut
menuju darat. Dari kapal-kapal, bermunculan kerumunan barisan prajurit
yang turun. Mereka segera memasang strategi penyerbuan kolosal.
Di pihak lain, Kerajaan Madura yang sudah mendengar adanya pergerakan
puluhan ribu pasukan Mataram tak kalah siap dan sigapnya. Mereka pun
membentuk strategi pertahanan dan pola serbu yang kuat demi membendung
amuk gelombang prajurit Mataram.
Mereka menghimpun satuan-satuan khusus di beberapa sudut mati.
Masing-masing satuan memiliki kemampuan personel yang terlatih. Dan
masing-masing prajurit juga terlatih sebagai prajurit yang siap tempur
dalam perang individu. Satu orang prajurit dipersiapkan khusus mampu
menghadapi sepuluh prajurit sekaligus.
Beberapa lama menunggu dengan kesabaran penuh, komandan pasukan segera
memberi instruksi semua satuan segera bergerak ke posisi sudut yang
telah ditentukan. Tak ayal, penempatan pasukan dengan satuan-satuan yang
terpisah, menjadikan halaman pertama Kerajaan seperti kosong dan
lengang. Tak tampak gerakan aneh sebagaimana ketika sebuah Kerajaan akan
diserang.
Komandan pasukan Mataram dengan hati-hati memerintahkan bagian pengintai
segera mencari tahu keadaan pasti yang sedang terjadi. Ia sudah mencium
adanya ketidakberesan suasana yang tampak lengang dan adem-ayem.
Khawatir terjadi serangan dadakan, ia memutuskan menyatukan semua
pasukan tempur dalam satu gerak.
Menurut perkiraannya, jika prajurit-prajurit Madura menyerang mendadak,
maka ia tinggal memberi satu instruksi yang membuat pasukannya menyerbu
dengan kekuatan penuh tanpa memberikan pasukan Madura sempat bernapas.
Ya, cukup dengan strategi satu kali serang maka pasukan lawan akan
serta-merta lebur.
Dari pasukan khusus pengintai, ia mendapatkan informasi penting
pergerakan pasukan Madura yang terpusat tak jauh dari Istana Kerajaan
Madura. Mereka ternyata sudah siap-siap menunggu kedatangan pasukan
Mataram yang dibawanya. Karena itu, ia memberangkan satu pasukan
melakukan taktik penyerbuan pertama sebagai pancingan. Sebab, jika
menyerang langsung dengan kekuatan penuh, justru sangat berbahaya. Bisa
saja, Kerajaan Madura sudah menyiapkan pasukan lain yang tidak terpantau
pasukan khusus pengintai.
Karena itu, ia berharap pasukan pemancing dapat membuat pasukan Madura
lengah. Sehingga, mereka dapat mengeluarkan semua kekuatannya. Dengan
begitu, ia masih bisa menghitung seberapa kekuatan pasukan yang dimiliki
Kerajaan Madura. Dan, betul saja. pancingan tersebut cukup berhasil.
Serbuan pertama menyebabkan pasukan Kerajaan Madura benar-benar seperti
keluar dari sarang.
Segera setelah pasukan pertama datang menyerbu, beberapa pasukan lain
bermunculan dari sudut berbeda. Pasukan pemancing kemudian terkunci.
Mereka tak bisa leluasa bergerak. Mereka terkepung di tengah-tengah
sudut. Kondisi tersebut membuat komandan pasukan Mataram bernapas lega.
Setelah melihat semua pasukan Madura sudah keluar gelanggang, baik yang
berada di titik tersembunyi, maupun yang berada di titik terlihat,
akhirnya ia melihat waktu yang tepat untuk melakukan penyerang
penghancur. Ia memerintahkan semua pasukan menyerang serentak. Puluhan
ribu pasukan Mataram kemudian bergerak seperti gelombang laut mendatangi
pasukan Madura yang hampir memenangkan pertempuran. Sekali libas,
pasukan Madura luluh lantak. Panglima Perang Mataram tersenyum puas.
Meski demikian, sungging senyum kemenangan itu tak berlangsung lama.
Sebab, sejurus kemudian dari sudut awal pasukan Mataram datang, muncul
gerakan pasukan yang lain. Belum sempat sepenuhnya menyadari apa yang
sedang terjadi, beberapa pasukan juga muncul di sudut-sudut berbeda.
Pasukan Mataram yang tenggelam dalam aura kemenangan terpaku tak
percaya.
Pasukan-pasukan yang datang dari banyak sudut itu bagaikan lesatan anak
panah yang tiba-tiba muncul begitu saja depan mata. Pasukan Mataram yang
telanjur tidak siap situasi menjadi kelagapan. Formasi tempur para
prajurit belum disiapkan, tetapi prajurit Madura yang muncul bak anak
panah itu sudah langsung membidik.
Terlebih, Panglima Perang mereka yang masih terheran-heran tidak sempat
membentuk strategi pertahanan yang baru dengan cepat. Prajurit Mataram
pun kocar-kacir. Walau pun jumlah pasukan gelap Madura tidak sebanyak
jumlah pasukan Mataram yang puluhan ribu, namun daya tempur pasukan
Madura cukup kuat melakukan strategi penyerangan yang terarah.
Tanpa adanya perintah baru, puluhan ribu Mataram seperti terkunci dan
masing-masing bergerak sendiri melakukan reflek pertahanan. Panglima
Perang Mataram makin tak awas, ketika sebuah tim satuan prajuri
mengepungnya dengan rapat. Tak memberinya jeda bernapas.
Ia mati-matian berusaha membelah kepungan sehingga bisa mengambil
peluang keluar kepungan. Sayangnya, prajurit yang mengepung tersebut tak
hanya lihai dalam beladiri, namun juga mahir membentuk strategi
pengepungan yang membuat lawan yang tangguh sulit bertahan.
Sadar bahwa membiarkan prajurit-prajuritnya tanpa panduan, semakin
membuyarkan konsentrasi pertahanan Panglima. Terlebih, di saat sebuah
lemparan tombak tak sanggup ia tepis. Ia mengaduh. Tombak itu terlalu
dalam tertancap. Ia berusaha tidak terkapar. Tubuhnya lalu limbung ke
kiri dan ke kanan. Setelah itu, ia tak lagi bangun-bangun. Ia tewas.
Kematian sang Panglima Perang menyurutkan semangat dan nyali pasukan
Mataram. Pasukan yang tersisa segera kembali ke laut, menaiki kapal dan
kembali ke Mataram. Selamat dari kehancuran akibat serangan
besar-besaran Kerajaan Mataram, menjadikan Madura semakin awas dan
waspada serangan lanjutan.
Saat mendapati kenyataan bahwa pemimpin perang mereka telah tewas, maka
pasukan Mataram mundur sambil membawa jenazah para pemimpinnya ke tengah
laut. Dari tempat ini mereka mengirimkan utusan untuk melaporkan kepada
Sultan Agung di pusat Pemerintahan Kerajaan Mataram. Sultan Agung
sangat berang saat mendengar bahwa kedua panglima perang andalan Mataram
terbunuh dalam pertempuran dengan pasukan Madura yang banyaknya 6.000
orang.
Keraton Mataram Mengirim Panglima Juru Kiting Untuk Menaklukkan Madura
Untuk membalas kekalahan itu, Sultan Agung memerintahkan kepada panglima
perang yang sudah berusia lanjut bernama Panglima Juru Kiting. Panglima
Juru Kiting terkenal dengan julukan Macan Mataram. Panglima Juru Kiting
memang secara fisik sudah tua namun kemampuannya dalam menghadapi musuh
masih bisa diandalkan.
Dalam peristiwa penyerangan Madura itu Juru Kiting tidak kenal ampun.
Sengaja beliau dikirim bersama ribuan pasukan Mataram. Pasukan perang
Mataram dibawah pimpinan Panglima Juru Kiting bergabung dengan sisa-sisa
pasukan Mataram yang berada di tengah lautan untuk menaklukkan Madura.
Pada tahun 1624, Panglima Juru Kiting bersama pasukannya mendarat di
pantai Madura Barat. Meraka akan membalas kematian rekan-rekannya yang
gugur pada tahun 1923. Untuk itu, ia tidak langsung melakukan serangan.
Panglima Juru Kiting menyebarkan mata-mata terlebih dulu. Pada saat itu,
pasukan Madura yang semula bersatu, ternyata menjaga daerahnya
masing-masing sehingga Panglima Juru Kiting lebih mudah menghadapi
mereka.
Sebelumnya telah diceritakan awal mula serangan Kerajaan Mataram ke
Madura. Dalam pertempuran yang dahsyat di Madura barat, kedua pihak
mengalami banyak kerugian, baik jiwa maupun harta. Akhirnya, serangan
pasukan Mataram yang kekuatannya berlipat ganda itu tidak dapat ditahan
oleh pasukan Madura barat. Adipati Mlojo terbunuh di medan perang.
Adipati Blega melarikan diri tetapi kemudian ia tertangkap pasukan
Mataram dan dibunuh di Jurang Rejo. Pangeran Mas Raja di Arosbaya
melarikan diri ke Bantam. Oleh Sultan Bantam, ia diserahkan kepada
Sultan Agung di Mataram kemudian dibunuh.
Pasukan Sumenep mempertahankan diri dengan keberanian yang tiada
tandingannya. Karena musuh yang dihadapinya itu sangat besar, maka
banyak pasukannya yang gugur. Untuk mensiasati keadaan ini, Raja Sumenep
Raden Abdullah yang bergelar Pangeran Cokronegoro I, yaitu menantu
Pangeran Ronggosukowati, pergi melaporkan kepada Sultan Demak. Namun
malang nasibnya, sesampai di Palakaran Sampang, Pangeran Cokronegoro I
ditangkap dan dibunuh oleh pasukan Mataram.
Sedangkan Raden Bugan, yaitu putranya yang masih berumur 3 tahun sempat
dilarikan dan kemudian diserahkan kepada Sultan Cirebon oleh
pengikutnya. Raden Bugan dikirimkan ke Mataram untuk diberi pelajaran
adat istiadat keraton. Pada akhirnya, Raden Bugan diperintahkan ke
Sumenep untuk menduduki jabatan Bupati disana.
Perang Puputan Menghabisi Riwayat Keluarga Kerajaan Madura
Di Pamekasan, Juru Kiting mendapat perlawanan hebat dari pasukan yang
dibentuk oleh Pangeran Ronggosukowati. Dalam pertempuran mereka tak
mengenal mundur walau selangkahpun. Para prajurit pria di depan, sedang
para wanitanya di belakang. Sebab bila ada pria di belakang, maka ia
berarti lari dari medan perang. Untuk itu, wanita yang ada di
belakangnya segera membunuhnya. Seluruh rakyat ikut berjuang dengan
ketat, lebih baik mati daripada hidup di jajah.
Rakyat Keraton Pamekasan pantang mundur walaupun kekuatan musuhnya
berlipat ganda. Dalam pertempuran itu, diantara mereka banyak yang
gugur, termasuk Pangeran Ronggosukowati beserta para isterinya, Pangeran
Purbaya, Pangeran Jimat serta para abdi keraton. Oleh karena itu,
peristiwa penyerangan pasukan Mataram ke Pamekasan disebut juga Perang
Habis-habisan yang dalam bahasa Jawa sama artinya dengan puputan. Dengan
demikian, perang besar di Madura ini dikenal juga dengan Perang
Puputan.
Raden Praseso Menjadi Penguasa Kerajaan Madura
Pada waktu itu, semua penguasa Madura gugur karena serangan dari
Kerajaan Mataram. Satu-satunya keturunan Raja Madura yang masih hidup
selain Raden Bugan adalah Raden Praseso yang masih di bawah umur. Raden
Praseso dibawa dan diserahkan oleh Panglima Juru Kiting kepada Sultan
Agung di Mataram. Ia diambil sebagai anak angkat, kemudian setelah
dewasa diambil menantu. Perkawinan Raden Praseso dengan putri Sultan
Agung tidak berjalan lama karena isterinya meninggal dalam usia muda
sebelum memiliki anak.
Raden Praseso pada akhirnya diangkat Sultan Agung menjadi Raja Madura
dengan gelar Pangeran Cakraningrat I. Ia berhak mengangkat para bupati
di seluruh Madura dengan persetujuan Sultan Agung. Salah satu
diantaranya adalah Pangeran Megat Sari, menantu Pangeran Cakraningrat I
sendiri yang menjadi Bupati Pamekasan. Pangeran Megat Sari menempati
Keraton Mandiraras yang dibangun oleh Pangeran Ronggosukowati pada tahun
1530.
Untuk mengenang kepahlawanan Pangeran Ronggosukowati, di tempat
peristirahatannya dibuatkan prasasti berupa kayu berukir. Prasasti ini
menggambarkan pembangunan, kepahlawanan, kebijaksanaan, rela berkorban
dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun salah seorang yang
pernah membaca prasasti itu adalah seorang arkeolog berkebangsaan
Belanda yang mengarsiteki Museum Trowulan, namanya Prof. Maglene Watson,
pada tahun 1929. Ia sangat kagum dan terharu atas kebesaran jiwa,
patriotisme, kewibawaan dan keluhuran budi Pangeran Ronggosukowati
pendiri kota Pamekasan.