Cikal Bakal Sukapura
Cikal bakal Kabupaten Tasikmalaya berasal dari Umbul Surakerta dengan
ibukotanya Dayeuh Tengah. Daerah ini sekarang menjadi nama sebuah desa
yang termasuk ke dalam Kecamatan Salopa, kira-kira 5 km sebelah Timur
Kecamatan Sukaraja. Pada waktu itu, penguasa Negara Surakerta bernama
Sareupeun Cibuniagung. Ia memiliki seorang puteri tunggal yang bernama
Nyai Punyai Agung (Ageng). Nyai Punyai Agung menikah dengan Entol Wiraha
yang menggantikannya menjadi penguasa Surakerta. Dari perkawinan
tersebut lahirlah Wirawangsa, yang berkuasa di Surakerta menggantikan
ayahnya.
Sewaktu Wirawangsa berkuasa, Surakerta statusnya menjadi umbul. Umbul
Surakerta termasuk wilayah Priangan yang dipegang oleh Dipati Ukur
Wangsanata.
Ketika Dipati Ukur diperintah Sultan Agung untuk menyerang Batavia
bersama-sama tentara Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Bahurekso,
Dipati Ukur membawa sembilan umbul, di antaranya, Umbul Surakerta,
Wirawangsa. Tetapi Dipati Ukur gagal dalam penyerangan itu. Ia bersama
sebagian tentaranya mengundurkan diri ke Gunung Pongporang yang terletak
di Bandung Utara dekat Gunung Bukitunggul. Tindakannya dianggap oleh
Mataram sebagai pemberontakan sehingga Dipati Ukur dikejar-kejar tentara
Mataram.
Karena tindakan Dipati Ukur itu dianggap membahayakan, Sultan Agung
memerintahkan untuk menangkapnya hidup atau mati dengan suatu
perjanjian, bahwa barangsiapa yang berhasil menangkap Dipati Ukur akan
diberi anugerah. Pada waktu itu yang menjadi bupati wedana di Priangan
sebagai pengganti Dipati Ukur adalah Pangeran Rangga Gede, dan diminta
untuk menangkap Dipati Ukur, tetapi tidak berhasil karena dia meninggal
pada waktu menjalankan perintah itu.
Dipati Ukur tertangkap di daerah Cengkareng sekarang oleh tiga umbul
Priangan Timur, kemudian dibawa ke Mataram, dan oleh Sultan Agung
dijatuhi hukuman mati. Ketiga umbul yang ikut menangkap Dipati Ukur
adalah Umbul Surakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala,
dan Umbul Sindangkasih Ki Somahita. Ketiga umbul tersebut juga
menangkap delapan umbul lainnya yang biluk (setia) kepada Dipati Ukur.
Atas jasanya, ketiga umbul tersebut diangkat menjadi mantri agung di
tempatnya masing-masing. Ki Wirawangsa diangkat menjadi mantri agung
Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, Ki Astamanggala diangkat
menjadi mantri agung Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun,
dan Ki Somahita menjadi mantri agung Parakanmuncang digelari Tumenggung
Tanubaya.
Setelah diangkat menjadi mantri agung Sukapura, kota kabupaten pun
dipindahkan dari Dayeuh Tengah di Sukakerta ke Leuwi Loa (wilayah desa
Sukapura) daerah Sukaraja sekarang, terletak di tepi sungai Ciwulan.
Oleh karena ibukota pindah ke Sukapura, nama kabupaten pun disebut
Kabupaten Sukapura. Perubahan nama Leuwi Loa menjadi Sukapura
berdasarkan alasan karena di Leuwi Loa didirikan pura yang bermakna
‘kraton’ dan suka bermakna ‘asal’ atau ‘tiang’. Jadi, sukapura bermakna
jejernya karaton karena di tempat inilah berdirinya bupati Sukapura yang
pertama.
Karena kekuasaan Sultan Agung Mataram begitu luas sepertihalnya masa
keemasan Majapahit tempo dulu. Maka seluruh Pulau Jawa pun ada dibawah
kendali dan perintahnya. Hingga pada suatu ketika datang perintah dari
Sultan Agung kepada Bupati di tatar Pasundan yg pusat pemerintahannya
berada di Sumedang, agar mempersiapkan pasukan untuk menyerang Sumenep
Madura.
Maka Bupati Sumedang beserta pasukannya berangkat untuk menyerang
Sumenep di Madura. Namun tugas yg diemban oleh Bupati Sumedang untuk
menaklukan Sumenep Madura gagal selanjutnya Bupati Sumedang dibuang
kedaerah terpencil yaitu Gajahmati.
Sultan Agung lalu menitahkan pada Dipati Ukur untuk menggantikan kedudukan Pangeran Sumedang menjabat sebagai Bupati.
Setelah Dipati Ukur menjabat sbg Bupati di Tatar Pasundan yg pusat
pemerintahannya di Sumedang lalu Sultan Agung menugaskan Dipati Ukur
untuk bersama-sama pasukan Banureksa menyerang VOC yg berpusat di
Jayakarta.
Pada tahun 1628 terjadi penyerangan pertama pasukan gabungan menyerang
Belanda di Jayakarta. Dari darat dipimpin oleh Dipati Ukur sementara
dari lautan dipegang oleh pasukan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur
dibawah komando Banureksa, Pasukan gabungan itu bergerak bagaikan air
bah.
Tugas yg diemban Dipati Ukur untuk mengusir Belanda dari tanah Jawa
gagal selanjutnya Dipati Ukur melarikan diri bersama tiga orang Wadana
yaitu Wadana Saunggantung, Wadana Taraju dan Wadana Malangbong. Mereka
menghindar dari hukuman Sultan Agung sehingga kursi kepemimpinan di
Sumedang kosong selama 9 Bulan.
Untuk menghindari kekosongan kepemimpinan tsb maka Sultan Agung mengangkat Raden Wirawangsa menjabat sbg Bupati.
Awal terbentuknya Sukapura
Terbentuknya Pemerintahan di Sukapura, berkaitan erat dengan kemunduran
serta kehancuran dari kejayaan Majapahit di Jawa Timur. Karena berawal
dari sanalah cikal bakalnya Sukapura.
Kabupatian Sukapura sezaman dengan kerajaan dan kebesaran Mataram dengan rajanya “Sultan Agung Hanyokro Kusumo”.
Pemerintahan Sukapura terbagi dalam tiga Periode yakni :
1. Periode Sukapura 1632 – 1628
2. Periode Manonjaya 1829 – 1901
3. Periode Tasikmalaya 1901 - Sekarang
Kabupaten Sukapura berdiri dan diresmikan setelah selesai Perang Dipati
Ukur yg tertuang dlm Piagam Sultan Mataram tepatnya tanggal 26 Juli
1632.
Yg menjadi Bupati pertama pd wkt itu adalah Rd. Wirawangsa. Diangkatnya
menjadi Bupati karena beliau mampu merendam dan menghentikan Perang
Dipati Ukur, setelah menjadi Bupati nama beliau diganti menjadi Rd.
Tumenggung Wiradadaha ke 1, nama tersebut mengandung arti :
Wira adalah Prajurit (satria) dan Dadaha = Penuh keberanian
Setelah menerima gelar kehormatan dan pengukuhan jabatan sbg Bupati maka
beliau mengalihkan pusat pemerintahannya dari Sumedang ke Sukakerta
tepatnya di Leuwi Loa (belakang Kecamatan Sukaraja Sekarang) dan diberi
nama Sukapura yg mengandung arti : Suka = Tiang dan Pura = Negara
Piagam Pengangangkatan Ngabehi Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura. (dari Sultan Agung)
“Penget serat piagem ingsoen soeltan kagadoeh dening ki ngabehi
Wirawangsa kang satija maring ingsoen, soen djenengaken mantra agoeng
Boepati Soekapoera, wedana kalih welas desane wong tigang atoes, ikoe
kang kawerat dening ki wadana sarta soen pradikaken satoeroe (na) ne lan
soen titipaken ngoelon ing Banten ngalor ing Tjirebon, adja na kang
ngaribiroe sakarepe….. Titi serat piagem, kang anoerat dina senen
tanggal ping sanga sasi moekaram taoen djim akir, kang anoerat abdaning
ratoe poen nitisastra.
Terjemahan : Dengan piagam ini Sultan (Mataram) mengangkat Ngabehi
Wirawangsa yg setia kpd Sultan menjadi mantra agung Bupati Sukapura,
membawahi 12 kepala desa dengan penduduk 300 jiwa. Daerah itu emnjadi
daerah perdikan sampai dengan keturunannya yg dititipkan ke Banten dan
Cirebon. Jangan ada yg mengganggu….. Ini surat piagam ditulis tanggal 9
Muharram tahun jimakhir oleh abdi Ratu Nitisastra.
1. Bupati Sukapura kesatu (1632-1674)
Diantara Bupati yg dipercaya di tatar Pasundan oleh Sultan Agung pd masa
itu hanya Raden Wirawangsa, krn beliau setia pada Sultan Agung, berani
dan sakti serta cakap dlm pemerintahan sehingga disayang oleh Raja dan
dihormati oleh rakyatnya dan yg lbh menakjubkan dari semua itu
pemerintahan Sukapura dibebaskan dari segala bentuk upeti atau pajak
untuk Mataram.
Raden. Wirawangsa menjabat Bupati Sukapura pd th. 1632 – 1674. Beliau dibantu oleh Raden Dewi Munigar sbg Penasehat Utama.
Rd. Dewi Munigar adalah seorang wanita yg arif, bijaksana serta sakti,
beliau mempunyai keistimewaan dlm pandangan batin, sehingga bila Raden
Wirawangsa mempunyai kesulitan dlm mengelola Negara atw mempunyai
masalah mk beliau meminta petunjuk pd Rd. Dewi Munigar.
Disamping penasehat. Raden Wirawangsa dibantu oleh dua org Patih yakni
Patih Raden Singadinata dan Wiradinata yg lbh dikenal dgn nama Mbah
Jenggot.
Raden Wirawangsa sangat cakap dlm mengendalikan roda pemerintahan
sehingga dipuji oleh Sultan Agung dan mendapat gelar Raden Tumenggung
Wiradadaha yg artinya Prajurit yg gagah perkasa berani dlm membela
keadilan dan kebenaran.
Sultan Agung memberi amanat kpd Raden Wirawangsa :
“Wahai Wirawangsa aku titipkan Sukapura kpdmu untuk engkau pimpin dan
engkau olah menjadi Negara yg makmur, subur serta gemah ripah loh
jinawi, maka nsaling fitnah untuk mencapai tujuan, hiduplah kalian
dengan rukun, aman dan damai karena awal serta akhir akan dialami oleh
anak dan cucumu serta turunan Sukapura karena esok atau lusa SUKAPURA
NGADAUN NGORA yg artinya Negara Sukapura akan lebih maju, maju dlm
segala hal baik pertanian ataupun pembangunan untuk mencapai
kesejahteraan hidup”. Demikianlah wejangan dari Sultan Agung Raja
Mataram yang Adil dan Bijaksana.
Raden Tumenggung Wiradadaha memimpin Negara Sukapura dengan 12 Wilayah
Kawedanaan dgn adil dan Bijaksana sehingga Negara Sukapura menjadi
Negara yg Aman, makmur dan rakyatnya cukup sandang serta cukup pangan.
Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama. Yang dapat
menggembirakan hati Kanjeng Bupati bukan sekedar kabupaten saja namun
terlebih lagi adalah negara (Sukapura) dengan isinya dimerdekakan oleh
Kanjeng Sultan Agung hingga tujuh turunan. Dengan kemerdekaan ini,
rakyat tidak perlu membayar upeti setiap tahun kepada Mataram, sehingga
tidak memberatkan rakyat. Wilayah yang dimerdekakan berjumlah 12 yaitu :
1. Sukakerta,
2. Kalapa Genep
3. Linggasari
4. Parakan Tilu (Pameungpeuk)
5. Parung
6. Karang
7. Bojong Eureun
8. Suci (Garut bagian Timur)
9. Panembong (Garut)
10. Cisalak (Subang bagian Selatan)
11. Nagara (kandang wesi / Batuwangi)
12. Cidamar (Cidaun / Sindangbarang)
Sepertinya Kanjeng Sultan Agung belumlah merasa cukup membalas budi
kesetiaan Kanjeng Bupati, maka oleh beliau selain ke 12 wilayah diatas,
diberikan tambahan 3 wilayah lagi dari 9 wilayah yang disita dari Dipati
Ukur, wilayah tersebut adalah :
1. Saunggantang
2. Taraju
3. Malangbong
Jumlah 15 wilayah tersebut terdiri dari 300 desa dengan 890 kepala
keluarga yang diperkirakan masing-masing mempunyai 5 anggota keluarga.
Selain dari itu Kanjeng Bupati tidak habis-habisnya dihormati meskipun
oleh masyarakat yang tidak termasuk dalam wilayahnya. Bila ada seseorang
yang mempunyai keunggulan, akan ditanyakan anak siapakah itu dan dari
mana asalnya.
Agar tidak penasaran hatinya dan agar menjadi bahagia, untuk menjawab
pertanyaan itu maka, inilah sejarah Kanjeng Bupati Wiradadaha I.
==========================================
Kanjeng Sunan Seda Krapyak atau Panembahan Hanyokowati (Sultan Mataram
II) mempunyai putera bernama Pangeran Kusuma Diningrat, pada masa itu
karena belum ada sekolah seperti sekarang maka orang yang ingin mendapat
pengetahuan pada umumnya melakukan pengembaraan dengan tujuan untuk
menjadi pimpinan yang bijaksana, pada akhirnya Pangeran Kusuma Diningrat
sampai di tanah Sunda (Priangan) di kampung Cibadak Kecamatan
Singaparna sekarang.
Setelah menetap beberapa lama mempunyai istri yang bernama RA Sudarsah
puteri Pangeran Rangga Gempol cucu Pangeran Geusan Ulun Sumedang dan
kemudian mempunyai 5 putera dimana putera yang terakhir bernama
Sareupeun Cibuniagung. Sareupeun Cibuniagung mempunyai putera bernama
Dalem Wiraha yang menjadi Umbul di Sukakerta dan beristri Nyai Ageung
puteri dari Sareupeun Sukakerta yang ibunya adalah keturunan Galuh
(Imbanegara). Kemudian berputera Rd. Wirawangsa alias Rd. Tumenggung
Wiradadaha Ke I, Bupati Sukapura pertama.
Jika kita menyelusuri Genealogy Kaum Bangsawan Sukapura, mereka ada yang
berasal dari keturunan Tumenggung Wiradadaha (Wirawangsa), sebagian
lagi adalah keturunan dari Raden Suryadiwangsa (Suryadiningrat I).
Kedua leluhur kaum bangsawan Sukapura ini, memiliki garis silsilah sebagai berikut :
Tumenggung Wiradadaha (Wirawangsa)
Tumenggung Wiradadaha (Wirawangsa) bin Raden Entol Wiraha bin Pangeran
Kusumah Diningrat bin Kanjeng Ratu Padjang (Permaisuri Panembahan
Hanyokrowati) binti Sayyid Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Sayyid
Abdurrahman (Jaka Tingkir) bin Sayyid Shihabudin (Ki Ageng Pengging) bin
Sayyid Muhammad Kebungsuan (Handayaningrat) bin Maulana Husain Jumadil
Kubro bin Syeikh Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Azmatkhan
bin Sayyid Abdul Malik Al-Muhajir bin Sayyid ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin
Syeikh Muhammad Shohib Mirbath
Disebutkan bahwa Tumenggung Wiradadaha (Wirawangsa) adalah keturunan
dari Raden Suryadiwangsa (Suryadiningrat I), dan ada juga yang
menyebutkan sebagai keturunan dari Panembahan Senapati Mataram
(Panembahan Senapati adalah salah seorang zuriat dari Syeikh Muhammad
Shohib Mirbath).
Dengan demikian, bisa dikatakan Para Bangsawan Sukapura (Tasikmalaya),
adalah keturunan dari Syeikh Muhammad Shohib Mirbath, yang merupakan
seorang ulama dari Hadramaut (Yaman).
Sementara Silsilah Syeikh Muhammad Shohib Mirbath, sampai kepada Rasulullah adalah :
Syeikh Muhammad Shohib Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib
Baiti Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin
‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin Muhammad
An-Naqib bin ‘Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Husain Asy-Syahid bin Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasululloh SAW.
==========================================
Selama tanah Sukapura menjadi wilayahnya, Kanjeng Bupati Wiradadaha Ke I
dengan ponggawa-ponggawanya tidak henti-hentinya berjuang untuk
kesejahteraan dan kemakmuran negara. Begitupun dengan rakyatnya
memandang kepada Beliau sebagai Bapak Pelindung . Maka, Rakyat dan
Pimpinannya selalu sejalan dan saling mengerti kemauan masing2 sehingga
negara Sukapura pada saat itu peribahasa Negara Loh Jinawi rea ketan rea
keton sugih dunia teu aya kakarungan, tur aman tina banca pakewuh dapat
dicapai. Allah yang maha penguasa, pengasih dan penyayang, hanya dari
Allah lah tidak ada barang atau kekayaan yang langgeng/kekal, serta
masing-masing sudah ditentukan kodrat. Kabupaten Sukapura yang sedang
menikmati kebahagiaan, mendadak suram citranya. Yang menjadi penyebab
adalah meninggalnya Kg. Dalem Wiradadaha I, pengayom negara Sukapura,
Bupati yang telah mengorbankan dirinya dalam peperangan demi negara
serta isinya, telah berpulang ke alam baka. Jenazah Kg. Bupati
dimakamkan di Pasir Baganjing, oleh sebab itu setelah wafat beliau
sering disebut “Dalem Baganjing”. Lamanya memegang tampuk ke-bupatian
adalah 42 tahun dan pada saat wafat meninggalkan 28 putra/putri.
Penggantinya adalah putra nomer 3 bernama Rd. Jayamanggala.
BUPATI Ke – II 1674
Sewaktu Rd. Jayamanggala menjadi Bupati pada tahun 1674, namanya menjadi
Rd. Tumenggung Wiradadaha II, namun amat disayangkan sifat beliau serta
budi dan kegagahannya tidak sempat disumbangkan kepada tanah air,
karena sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak
sakit dan kemudian wafat. Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun
langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda dan dimakamkan di Pasir Huni
kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem
Tambela”. Kanjeng Bupati meninggalkan 8 putra/putri, namun karna belum
ada yang pantas untuk menggantikannya, kekuasaannya diteruskan oleh
adiknya bernama R. Anggadipa, putra ke 4 dari Kg. Dalem Wiradadaha I.
1674-1723
BUPATI Ke – III
Sukapura ceria, jalan-jalan dihias, disetiap perempatan dibangun gapura
dan dihiasi, setiap gapura dihiasi oleh daun beringin, mangle serta
bubuai. Apalagi disekitar bangunan kaprabon yang megah sudah penuh
hiasan yang membuat keceriaan itu ialah tiada lain, yaitu pelipur hati
Sukapura beserta isinya karna pengganti Bupati II adalah Putra ke IV
dari Kg. Bupati Wiradadaha I, bernama R. Anggadipa. Pada saat dilantik
R. Anggadipa diganti namanya R. Tumenggung Wiradadaha III. Cara memimpin
negara serta perhatian pada rakyatnya mengikuti Kg. Dalem Wiradadaha I,
namun sesuai dengan tabiat beliau yang kuat ke-Islamannya karena sedari
kecil beliau menuntut ilmu ke Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel
Mohji, dari Pamijahan yang dikeramatkan dan terkenal sampai kini. Dengan
begitu keadaan seisi Sukapura pada zaman itu selain Kg. Bupati
mensiarkan agama Islam, beliau juga mengikuti syariat Nabi Muhamad
S.A.W., buah pemikiran serta apa yang dimiliki Kg. Bupati, negara
bertambah tenteram raharja, dengan dibantu 4 putra yang setia kepada Kg.
Wiradadaha III. Ke 4 putra masing-masing diberi kepangkatan patih
dengan kewajiban yang berbeda :
1. Dalem. Joedanagara, tugasnya menjaga keamanan negara.
2. R. Anggadipa II yang bernama Dalem Abdoel, tugasnya memajukan
pertanian dan irigasi yang manfaatnya dapat dirasakan sampai sekarang,
sawah-sawah yang berhasil dibuka yang terkenal sampai kini, yaitu Leuwi
Budah dan Koleberes dikecamatan Sukaraja sekarang, irigasi yaitu di
Pamengpeuk, Sukapura yaitu Irigasi Cibaganjing dan Ciramajaya di
Mangunreja.
3. R. Somanagara, tugasnya adalah sesuai dengan namanya, yaitu mengurus dan mengatur administrasi negara.
4. R. Indrataroena, tugasnya adalah mengurus dan mengatur keuangan negara.
Kg. Bupati Wiradadaha III, selain terkenal kekayaannya, pengetahuan
serta ilmunya juga terkenal dengan banyak putra-putri, karena
putra-putrinya saja ada 62. Itulah sebabnya beliau disebut “Dalem
Sawidak”. Sewafatnya Kg. Bupati Wiradadaha III diganti oleh putra ke II
bernama Rd. Soebamanggala.
1723-1745
BUPATI Ke – IV
Setelah R. Soebamanggala mengganti Ayahnya, namanya diganti menjadi R.
Tumenggung Wiradadaha IV. Beliau terkenal sebagai Bupati penghulu atau
pemimpin agama, karna sedari kecil beliau berguru kepada Panembahan Wali
Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji di Pamijahan, kecamatan Karangnunggal.
Berkuasanya beliau tidak lama karena keburu wafat, jenazahnya dimakamkan
tidak jauh dari makam Syech Abdoel Mohji oleh karena itu dirinya
disebut “Dalem Pamijahan”. Selama Kg. Dalem menjabat sebagai bupati
semua berjalan lancar dan mulus, namun sayangnya tidak mempunyai
keturunan sebagai pengganti beliau. Keempat patih yang tersebut diatas
masing-masing tidak bersedia menerima jabatan bupati, pada saat
bermusyawarah saudara yang paling tua, yaitu Patih I bernama R.
Joedanagara memberikan saran kepada saudara lainnya, yaitu mengingat
serta mengikuti batinnya, tidak akan ada satu turunanpun diantara para
saudara yang akan mampu menerima tampuk kebupatian Sukapura, kecuali
dari turunan R. Anggadipa II alias “Dalem Abdoel”, Patih II, karna
dirinyalah yang banyak berjasa kepada Sukapura serta isinya pada zaman
beliau. Setelah para saudara mendengarkan saran Dalem Joedanagara mereka
tidak ragu lagi, langsung mengangkat R. Demang Setjapati putra Kg.
Dalem Abdoel yang sejak kecil diasuh oleh Kg. Dalem Wiradadaha IV.
1745-1747
BUPATI Ke – V
Setelah R. Demang Setjapati memegang tampuk ke-bupatian namanya berganti
menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha V, namun nama tersebut lebih
termasyur dengan Kg. Dalem Tumenggung Setjapati, yang merupakan nama
yang didapat dari buyut Ibu bernama R. Demang Setjapati I, putra dari
Sunan Batuwangi yang termasyur menjadi Senopati di Mataram. Beliau
menjadi Bupati tidaklah lama karena wafat, kemudian digantikan oleh
Putra ke II, yaitu R. Djajanggadiredja.
1747-1765
BUPATI Ke – VI
Nama R. Djajanggadiredja diganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha VI.
Pada zaman beliaulah Sukapura mulai mendekatkan diri dengan Kompeni
(VOC). Alasannya karena beliau ingat pada pesan Kg. Sultan Agung bahwa
kemerdekaan Sukapura hanya sampai pada turunan ke 7, jadi beliau merasa
tidak akan lama lagi Kompeni akan menguasai seluruh tanah Priangan.
Setelah beliau berselisih pendapat dengan para patihnya beliau
mengajukan pengunduran diri, kemudian menjadi Begawan dikampung Ciwarak,
Distrik Mandala zaman dulu. Patih yang tidak sejalan dengan bupati
dicopot kepangkatannya dan dibuang ke Selong (Ceylon/Srilangka).
1765-1807
BUPATI Ke – VII
Setelah Kg. Bupati Wiradadaha VI mengundurkan diri, oleh Sri P.K.T.
Petrus Albertus van der Parra (1761-1775), kedudukannya digantikan oleh
putra sulungnya, yaitu R.Djajamanggala ke II yang diganti namanya
menjadi Kg. Dalem Wiradadaha VII, karena pada saat itu Kompeni sudah
berkuasa diseluruh tanah Priangan, pada saat itu beliau baru berusia 18
tahun, dalam menjalankan pemerintahan dengan restu Kompeni beliau
didampingi oleh Kg. Eyang dari Ibu (R. Ayu Ganda Wiresa), yaitu Dalem
Tumenggung Wiratanoebaja, Regent Parakanmuncang ke III, sampai beliau
berumur 22 tahun. Pada saat pemerintahan Kompeni Kabupaten Sukapura
berada dibawah Keresidenan Cirebon. Sewaktu pimpinan ada dibawah
Residennya, yaitu Peter de Beck, ia mengetahui bahwa Kg. Dalem
Wiradadaha VII, seorang Bupati yang ahli mengatur negara, oleh karena
itu beliau diberi gelar Adipati. Pada saat menerima gelar tersebut, Kg.
Bupati teringat pada kebaikan hati Kg. Eyang Bupati Parakanmuntjang ke
III, yang sudah membimbing dan mendampingi pada saat beliau masih kecil.
Untuk itu, pada saat beliau dilantik menjadi Adipati pada tahun 1800,
namanya diganti R. Adipati Wiratanoebaja. Pada tahun 1807, Kg. Adipati
Wiratanoebaja wafat jenazahnya dimakankan di Pasir Tando, meninggalkan
putra-putri sebanyak 37.
1807-1811 dan 1814-1837
BUPATI Ke – VIII
Setelah Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat pada tahun itu juga diganti oleh
putranya yang ke 5, bernama R. Demang Anggadipa atau Kg. Dalem
Wiradadaha VIII, serta pada tahun yang sama, kabupaten Sukapura
dipindahkan dari Leuwi Loa ke daerah Desa Sukapura di wilayah Kecamatan
Sukaraja sekarang. Karena prestasinya, ditahun 1815 oleh Resident Walken
Berg, Kg. Bupati dianugerahkan gelar Adipati. Tugas Kg. Bupati tiada
lain adalah memajukan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan mengolah
tanah agar negara tidak kekurangan pangan. Namun pada masa itu, sesuai
dengan permintaan pemerintah (Belanda) sawah-sawah harus ditanami tarum
(pohon nila). Kemauan beliau yang begitu keras, permintaan tersebut
tidak dipenuhi oleh Kg. Bupati, karena khawatir rakyatnya akan
kekurangan pangan. Bagai timun melawan durian, akhirnya Kg. Bupati
diturunkan dari tahta, dan tanah Sukapura sampai mulai dari Ciwulan ke
barat, digabungkan ke kabupaten Limbangan (Garut).
Meskipun begitu Kg. Bupati tidak kecewa dan penasaran, karena beliau
merasa sudah puas berkorban untuk kepentingan negara serta rakyatnya.
Setelah berhentinya Kg. Wiradadaha VIII, Kabupaten Sukapura diganti
pimpinan oleh Kg. Dalem Surjadilaga yang termasyur dengan sebutan “Dalem
Taloen”, keturunan leluhur Sumedang. Latar belakang pemerintah Belanda
mengangkat Kg. Dalem Taloen, tiada lain adalah karna jasa-jasanya
terhadap pemerintah Belanda, maka tidak diragukan lagi bahwa permintaan
menanam tarum (pohon nila) di tanah Sukapura pasti akan terlaksana.
Setelah dua tahun lamanya Kg. Dalem Taloen bertahta di kabupaten
Sukapura, beliau memohon untuk dipulangkan ke Sumedang, karena tidak
dapat memenuhi permintaan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda terus
berusaha untuk melaksanakan tujuannya, akhirnya Sukapura diserahkan ke
Kg. Bupati Limbangan (Garut), dengan permintaan agar kebun tarum tetap
dilaksanakan. Inipun tidak tercapai, karena beliau tidak sanggup
memenuhi apa yang diinginkan oleh pemerintah Belanda. Pada akhirnya
terpikir oleh pemerintah Belanda, bahwa permintaannya tidak akan
terlaksana, karena tidak sesuai dengan kemauan rakyat.
Singkat cerita, pemerintah Kabupaten Sukapura dibawah Kg. Dalem
Limbangan (Garut), bermusyawarah dengan Kg. Dalem Sukapura (Wiradadaha
III) yang telah diberhentikan, memohon agar Sukapura sebelah barat
ditanami tarum (pohon nila) dan dibangun pabrik-pabriknya dengan
perjanjian (persyaratan), bahwa bilamana pekerjaan telah berhasil, tanah
Sukapura akan dikembalikan lagi. Tanpa menunggu lagi, rakyat Sukapura
dengan keikhlasannya bersama memenuhi permintaan pimpinannya (Wiradadaha
VIII), dalam waktu singkat kebun tarum (pohon nila) berikut
pabrik-pabrik selesai ditanami dan dibangun tanpa kekurangan suatu
apapun. Sesuai dengan janji, pemerintahan yang pada masa itu dipegang
oleh P.K.T. Johanes Graff van den Bosch (1830-1833), Kg. Dalem
Wiradadaha VIII diangkat kembali sebagai Bupati dan tanah-tanah yang
pernah diserahkan ke Limbangan (Garut) dikembalikan lagi kecuali, Suci
dan Panembong. Baru saja Kg. Bupati mengatasi suatu masalah, timbul
masih lain yang menggangu ketenangan hatinya. Adik Kg. Bupati bernama R.
Wiratanoewangsa yang menjadi Patih di kabupaten Cipejeuh, diberhentikan
dari jabatannya karena berbeda pendapat dengan Dalem Cipejeuh. Merasa
sudah pupus harapannya, R. Wiratanoewangsa secepatnya kembali ke
Sukapura, memasrahkan dirinya kepada kakaknya. Sementara pemerintah
Belanda bermaksud membangun gudang garam di Banjar, Kalipucang dan
Pangandaran. Meskipun pembangunan telah dicoba untuk dilaksanakan, namun
tidak terlaksana, karena selain terserang wabah penyakit, pada zaman
itu daerah tersebut masih angker. Yang berkuasa atas daerah tersebut
yaitu Pangeran Kornel (Bupati Sumedang), karena merasa bimbang dengan
belum terlaksana permintaan pemerintah Belanda, secepatnya memanggil
putranya bernama Kg. Tumenggung Koesoemahjoeda agar pembangunan
gudang-gudang tersebut dapat terlaksana.
Singkatnya Kg. Dalem Koesoemahjoeda menerima permintaan ayahnya, lalu
ingat pada R. Wiratanoewangsa dan merasa bahwa pemberhentiannya itu oleh
kakaknya, yaitu Dalem Cipejeuh tidaklah terlalu berat kesalahannya.
Dengan maksud meringankan beban dan menebus dosa kakaknya yang telah
menghukum orang yang tidak berdosa, setelah memohon izin dan restu
kepada ayahnya, yaitu Kg. Pangeran Kornel, lalu Kg. Dalem Koesoemahjoeda
mengunjungi P.K.T. Besar (Belanda), menyampaikan agar permintaan
pembangunan gudang garam di 3 tempat itu diserahkan kepada Patih
Cipejeuh yang telah diberhentikan, dengan persyaratan, bila pembangunan
gudang-gudang tersebut selesai dalam waktu 6 bulan, R. Wiratanoewangsa
akan diberikan tanah dari Galuh sampai Sumedang sebanyak 6 distrik,
yaitu
1. Pasir Panjang,
2. Banjar,
3. Kawasen,
4. Kali Peucang
5. Cikembulan
6. Parigi
Setelah Kg. Dalem Koesoemahjoeda diizinkan oleh Sri P.K.T. Besar, ia
segera menyampaikan kepada R. Wiratanoewangsa melalui perantaraan Kg.
Pangeran Kornel, agar permintaan pemerintah Belanda tersebut
dilaksanakan oleh Kg. R. Wiratanoewangsa. Seterimanya perintah tersebut,
R. Wiratanoewangsa segera berangkat ke wilayah yang akan dibangun
gudang-gudang tersebut. Sesuai persetujuan Kg. Pangeran Kornel, dalam
waktu yang telah ditetapkan, gudang di 3 tempat itu selesai tanpa
kekurangan suatu apapun. Tidak lama kemudian, R. Wiratanoewangsa
diangkat kembali menjadi Patih dan diberi gelar Tumenggung, menguasai 6
distrik tersebut dan namanya-pun diganti menjadi R. Tumenggung
Danoeningrat.
Adapun tempat tinggalnya, membangun wilayah baru dikampung Tembong
Gunung (Kali Manggis), yang telah selesai diberi nama Nagara
Harjawinangun pada tahun 1832. Pada masa itu, R. Tumenggung Danoeningrat
memohon kepada pemerintah Belanda agar mengizinkan kakaknya (Wiradadaha
VIII) untuk kembali memimpin negara, serta tanah miliknya diserahkan
kepada kakaknya dan dia dijadikan Patihnya. Dengan bertambah luasnya
kekuasaan yang dipegang Kg. Dalem Wiradadaha VIII, kabupaten Sukapura
dari wilayah Desa Sukapura Kecamatan Sukaraja dipindahkan ke wilayah
Harjawinangun. Lama kelamaan Kg. Bupati merasa bahwa wilayah
Harjawinangun kurang cocok sebagai pusat pemerintahan, maka pada tahun
1832 dipindahkan lagi ke sebelah tenggara pusat pemerintahan, yaitu di
wilayah Pasir Panjang yang diberi nama “Manonjaya”. Sebelum pembangunan
pusat kota selesai, Kg. Adipati Wiradadaha VIII pada tahun 1837 wafat.
Beliau menjadi bupati selama 30 tahun meninggalkan putra-putri 14.
Jenazahnya dimakamkan di suatu gunung disebelah selatan kota Manonjaya
yang disebut Tanjung Malaya.
1837-1844
BUPATI Ke – IX
Sepeninggalan Kg. Adipati Wiradadaha VIII, pada tahun itu juga R.
Tumenggung Danoeningrat menjadi bupati, namun tidak sampai mendapat
gelar atas kebijaksanaannya, karena pada tanggal 4 Januari 1844, wafat.
Putra-putrinya ada 13, jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya.
1844-1855
BUPATI Ke – X
Yang menjabat bupati kemudian adalah putra sulungnya yang bernama R.
Ranggawiradimanggala, yang kemudian namanya diganti menjadi Kg. R.
Tumenggung Wiratanoebaja, yang mengikuti nama dari buyut Kg. Dalem
Parakanmuntjang ke III. Menjabat sebagai bupati selama 12 tahun kemudian
wafat tanggal 6 Juni 1855, jenazahnya di Tanjung Malaya, dan tidak
mempunyai putra-putri. Setelah wafat, Kg. Dalem sering disebut “Dalem
Soemeren”. Jabatan kemudian diserahkan ke adiknya yang bernama R.
Tanoewangsa.
1855-1875
BUPATI Ke – XI
Pada hari Selasa tanggal 11 September 1855, R. Ranggatanoewangsa
dilantik dan diganti menjadi R. Wiratanoebaja. Ditahun 1872 mendapat
gelar Adipati dan diganti namanya menjadi R. Adipati Wiraadegdaha. Pada
masa beliau, pemerintah mulai memberlakukan aturan pajak tanah yang
dimusyawarahkan oleh 7 Bupati di seluruh Priangan ditahun 1869; yang
dipimpin oleh komisaris Jendral P.K.T. Otto van Rees (Gubernur Jendral
Hindia Belanda; 1884-1888). Setelah hasil musyawarah dikirimkan ke 2 e
Kamer, pada bulan Juli 1871, peraturan pajak tanah di Priangan
diberlakukan. Jasa Kg. Bupati kepada negara serta isinya sangatlah besar
dibanding yang lainnya, bukan hanya dari segi kesejahteraan negara
tetapi juga dari segi penyempurnaan adat serta tata krama dan juga besar
jasanya dalam memajukan pembangunan. Uraian hasil-hasil yang dicapai
itu dicatat dalam isi sejarah Sukapura oleh R. Kertinagara alias R.
Abdoelah Saleh.
Sinom
Salin rupana nagara, tina rajinna Bupati putus sagala aturan, keras
marentahna abdi, tur cecet ngolah nagari, nimbulkeun hasil jeung untung,
atawa nyalin aturan, ngalengitkeun tata aki, nu katimbang kurang pantes
ku anjeunna.
Saperti tata jeung basa, réa nu leungit diganti, basa kula jadi kaula,
diganti ku jisim abdi, atawa ku simkuring, ari jawab nu disaur, baheula
mah jaman kuna kaulan mungguh lalaki, eta kitu ngawalon ka para menak.
Sarta laguna lalambat, sorana pating celengking, harita disalin ku
“kah”, sarta teugeug henteu ngelik, panganggo nya kitu deui, baheula mah
jaman sepuh, para istri menak-menak, baju jubah ninggang bitis,
dikekemben ngalempay panjang ka tukang.
Ari istri piluaran, lamun marek ka Bupati, makena karembong dua, dipake
apok sahiji, nu hiji nyalindang nyampir, dina taktak kagugusur,
karembong Damayu modang, atawa cinde palangi, teu dibaju awakna tembong
ngaliglag.
Ari sinjangna nu lumrah, batik Tegal jeung Ciamis, nu pangalusna
Tembaya, ari ménak nu kapilih, batik sawud dasar muslim, wedal Sukapura
pencut, anu potong dalapan, ditambiran boéh mori, ari nyaba tara tinggal
kanjut kundang.
Ari mungguh pamegetna, panganggona menak kuring, sinjang gincu sabuk
Jamblang, nyoren duhung tebeh gigir, raksukan senting purikil, poleng
atawa cit salur, nu pangalusna Madras, sarta tara nganggo lapis ari lain
midang, atawa angkat mah.
Udeng wedal Sukapura, batik hideung sawunggading, mun soga Goenawidjaja,
atawa gambir saketi, modang beureun ngatumbiri, dasar koneng hurung
ngempur, carécét poleng Banggala, nganggo ambar tinggarawing, digamparan
lilingga tanduk bubutan.
Mungguhing di cacah-cacah, totopong balangkréng sisi, sabuk sateng
nyorén gobang, totopong dipasang tegil, baju kamsol make kancing, emas
hurung tinggalebur, carécét jimpo kasar, digantelan catut beusi, ali
loklak dudukuy Beulah kalapa.
Éta kabeh tata huma, ku Kanjeng dalem disalin, ku tata cara ayeuna,
malah imah ge disalin, baheula jaman aki, suhunan panjang dijagul,
wangkilas sapanjang imah, hawuna dijero bumi, sayang hayam rimbil
sakuriling imah.
Sareng sajaba ti éta, réa deui nu disalin, tata atanapi basa, sumawonten
pakem hasil, saperti untungna bumi, atawa pertikel laku, teu
kirang-kirang wehwelna, mepeling ka abdi-abdi, sumawonna pangolahna
kauntungan.
Nalika jaman harita, sagala banget diungkil, saban tahun tambah-tambah,
jakat, cuké ku kumisi, nyekapan ka para abdi, nu baku kagungan untung,
dalah para warga-warga, sepuh-anom pakir-miskin, sadayana rata sami
kapasihan.
Begitulah cerita tentang beliau, namun bagi orang yang berhasil itu
banyak gangguan dan yang iri. Pada tahun 1875 beliau mendapat musibah
yang disebabkan oleh peraturan pajak tanah sampai diberhentikan dengan
hormat. Untuk beberapa tahun beliau tidak diperkenankan tinggal di
tempat kelahirannya tetapi di tempatkan di Bogor dan diberi pensiun f.
300 setiap bulannya. Itu sebabnya Kg. Dalem sering disebut “Dalem
Bogor”. Ditahun 1908 Kg. Dalem Bogor diperkenankan kembali ke Manonjaya,
hingga beliau wafat di tahun 1912. Jenazahnya dimakamkan di Tanjung
Malaya.
1875-1901
BUPATI – XII
Setelah berhentinya Kg. Dalem Adipati Wiraadegdaha ditahun 1875,
jabatannya diganti oleh adiknya yang bernama R. Demang Danoekoesoemah,
patih Manonjaya dan setelah menjabat bupati namanya diganti menjadi R.
Tumenggung Wirahadiningrat. Beliau adalah Bupati terakhir di kabupaten
Manonjaya, beliau juga termasuk Bupati yang rajin, sabar, adil,
bijaksana, termasyur sebagai Bupati yang paling baik. Jasa beliau oleh
pemerintah ditahun 1893 diberi gelar Adipati, tahun 1898 mendapat
“Bintang Payung Kuning” dan ditahun 1900 dianugrahkan bintang “Oranje
Nassau”. Itulah sebabnya sering disebut “Dalem Bintang”. Pada tahun itu
juga beliau mendapat surat perintah resmi untuk memindahkan kabupaten ke
Tasikmalaya, namun sepertinya dari pesan leluhur ada peribahasa
“Galunggung Ngadek Tumenggung”, beliau tidak ada maksud menduduki
kabupaten baru, sebab sudah melewati gelar Tumenggung, maka secara
mendadak setelah menerima surat perintah itu beliau jatuh sakit sampai
wafat.
1901-1908
BUPATI Ke – VIII
Dengan berhentinya Kg. Adipati Wirahadiningrat pada tahun 1901,
kedudukannya digantikan oleh putra saudaranya yaitu putra Kg. Dalem
Bogor yang bernama R. Rangga Wiratanoewangsa, Patih Manonjaya. Setelah
memegang jabatan Bupati namanya diganti menjadi R. Tumenggung Prawira
Adiningrat. Pada tanggal 1 oktober 1901, Kg. Dalem dipindahkan
Kabupatennya ke Tasikmalaya, namun tetap disebut Kabupaten Sukapura.
Beliau menjabat bupati hanya selama 7 tahun dan tidak lama sejak
mendapat gelar “Aria”, ditahun 1908 beliau wafat, ketika sedang berobat
di Cianjur. Itu sebabnya mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Aria”.
1908
BUPATI XI
Setelah wafatnya Kg. Aria, yang menjabat sebagai Bupati Sukapura pada
tanggal 23 Agustus 1908, adalah putra sulungnya yang bernama R.A.
Wiratanoeningrat. Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat pada saat sebelum
menjadi Bupati Sukapura, menjabat Sebagai Wedana wilayah Ciheulang. Pada
tahun 1901 kabupaten Sukapura mengalami perubahan besar, yaitu wilayah
Mangunreja serta Tasikmalaya sebagian ditiadakan. Dari wilayah
Mangunreja yang dimasukkan ke Sukapura hanya diwilayah Mangunreja,
Dedetaraju, Sukaraja, Karang dan Parung. Sisanya yaitu wilayah Cikajang,
Batuwangi, Kandangwesi, Nagara digabungkan ke kabupaten Limbangan
(Garut). Dari wilayah Tasikmalaya yang masuk ke Sukapura hanyalah
wilayah Tasikmalaya, Ciawi, Indihiang dan Singaparna. Sedangkan wilayah
Malangbong dibagikan ke dua kabupaten, yaitu sebagian ke kabupaten
Limbangan (Garut) dan sebagian ke kabupaten Sumedang.
Pada tahun 1910 daerah dibawah kabupaten ini tinggal 14 distrik. Pada
tahun 1913 nama Kabupaten Sukapura diganti Menjadi Tasikmalaya hingga
kini. Daerah bawahannya tinggal 10 wilayah. Atas putusan
Bestuurservorming pada tahun 1925, Tasikmalaya menjadi ibukota
Keresidenan Priangan Timur, tetapi pada tahun 1931 Keresidenan itu
mengalami perubahan lagi. Dengan kejadian tersebut sering timbul
pertanyaan apakah itu pertanda yang menyebabkan “Sukapura Ngadaun
Ngora”. Agak sulit untuk menjawab pertanyaan ini, namun bila mengingat
kepada cerita para sepuh dahulu yang menyebutkan; Bila Rawa Lakbok
dengan hutan belantaranya sudah menjadi sawah, negara akan pindah ke
Banjar. Yang merubah Rawa Lakbok dan hutan belantaranya menjadi
persawahan yang amat luas adalah Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat.
Atas jasa beliau rawa yang luasnya kurang lebih 30.000 ha, hutan yang
begitu lebatnya sekarang telah menjadi persawahan yang begitu suburnya.
Meskipun sekarang ditempat bekas Rawa Lakbok dan Hutan belantaranya itu
belum ada batu marmer yang ditulis dengan huruf emas, yang bertuliskan
nama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat, namun akan selalu teringat oleh
rakyat yang mendapatkan penghasilan dari sawah yang sebelumnya adalah
rawa, itu tidak akan hilang untuk selama ratusan tahun. Anak cucu rakyat
yang mendapatkan kesejahteraan dari jasa Kg. Bupati akan mengetahui
dari cerita nenek dan kakeknya bahwa yang membuka Rawa Lakbok serta
hutan belantaranya bernama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat, Bupati
keturunan leluhur Sukapura, dan penuturan cerita itu terus disampaikan
secara turun-temurun. Selain karena tersohor membuka Rawa Lakbok,
sebenarnya masih banyak lagi jasa Kg. Bupati kepada rakyatnya, yaitu
membuka persawahan, perkebunan yang ada di Banjar, Kawasen, Padaherang,
Pamarican, atau ringkasnya cerita bahwa tempat-tempat yang tadinya masih
rawan serta hutan belantara sekarang atas jasa Kg. Bupati yang tidak
pernah mengingat kepada kesusah-payahannya, merubah semua itu menjadi
persawahan hijau dan perkebunan palawija yang luas dan bermanfaat pada
kehidupan rakyatnya di wilayah bawahan beliau. Tidak hanya sampai disitu
perhatian beliau kepada rakyatnya, kesemua itu juga dijaga oleh beliau
dari bahaya yang akan merusak pertanian, yaitu membasmi segala binatang
perusak. Meneliti kehidupan rakyatnya bukan hanya dengan cara pertanian,
tetapi juga dengan jalan memajukan bermacam koperasi dagang dari batik,
tenun, anyaman dan peternakan. Malah dari usaha memajukan peternakan
kuda dan sapi, beliau mendirikan perkumpulan yang dinamai “Sangiang
Kalang” dan “Lembu Andini”. Untuk menolong segala keperluan yang
membutuhkan modal, beliau membentuk suatu perkumpulan yang tidak asing
lagi bagi semua orang, yaitu “Pakoempoelan Doeit Hadiah” (PDH),
perkumpulan ini pada saat buku ini ditulis telah mencapai f 70.000
lebih. Dengan pengumpulan dana dari perkumpulan ini, bukan hanya
digunakan untuk menolong orang yang membutuhkan modal untuk berdagang
dan bertani saja, namun juga digunakan untuk menolong orang yang ingin
melanjutkan sekolah di sekolah menengah dan sekolah atas.
Diantaranya ada yang telah diberikan bantuan untuk yang sedang
bersekolah di Geneescundige Hooge School di Betawi dan di Militaire
Academi di Breda. Meningkatkan pendidikan kerakyatanya itu tidak saja
kepada pendidikan duniawi, namun juga pada keagamaan. Bukan hanya
puluhan, namun ratusan madrasah yang pernah didirikan oleh kiai-kiai
yang dipelopori oleh Kg. Bupati. Untuk menyatukan para kiai agar selalu
sejalan dan setujuan, oleh beliau diikat dalam suatu perkumpulan yang
diberi nama “Idharu Biatil Muluki Wal Umaro”, yang artinya tunduk pada
pimpinan, patuh pada pemerintah serta jajarannya. Anggota dari
perkumpulan tersebut ada 1.350 kiai, belum termasuk lagi yang bukan
golongan kiai. Untuk keperluan rakyat agar memudahkan dan melancarkan
hubungan mata pencahariannya, Kg. Bupati tidak berdiam diri, secara
seksama membangun beberapa jembatan-jembatan. Diantara jembatan yang
termasyur :
1. Jembatan Gantung Kawat jalan ke Ciwarak
2. Jembatan Gantung Kawat jalan ke Linggasari
3. Jembatan Gantung Kawat jalan ke Talegong
4. Jembatan Gantung Kawat jalan ke Leuwi Budah-Tanjung
5. Jembatan Gantung Kawat jalan ke Cigugur
6. Jembatan bambu beralas besi di Mangunjaya (sangat disayangkan
jembatan ini tidak sampai selesai karena diterjang banjir kali Ciseel).
Selain itu, beliau pernah bermaksud pula untuk membangun suatu rumah
fakir miskin Islam yang dibiayai dari sebagian pendapatan zakat fitrah
untuk fakir miskin, yang biasanya dikumpulkan dari orang-orang setahun
sekali, namun karena terpikirkan oleh beliau, aturan ini tidak
bermanfaat bagi fakir miskin, sebab sumbangan dari perorangan itu tidak
akanmencukupi.Atas jasa Kg. Bupati yang begitu besarnya, pemerintah
tidak ragu, berdasarkan surat P.K.T. Goepernoer Djendral tanggal 21
Agustus 1920, No. 1, diberi gelar “Adipati”, ditambah lagi surat P.K.T.
Besar tanggal 24 Agustus 1922, No. 39, beliau menerima bintang dalam
“Officer de Order van Orangje Nassau” dan menurut surat Goepernoemen
tanggal 21 Agustus 1926, No, 13, diberikan lagi “Gele Songsong”.
Kebijaksanaan Kg. Bupati didalam keunggulannya mengolah negara,
berdasarkan surat-surat seperti dibawah ini :
23 Agustus 1908-23 Agustus 1933
Pada masa inilah selama 25 tahun Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat
menjabat sebagai Bupati. Melihat pada kebijaksanaan beliau sebagaimana
yang telah dianugerahkan oleh berbagai kehormatan yang tersebut diatas
tadi, tepat sekali seumpama nama beliau dicatat didalam arsip
Pemerintahan Hindia Belanda, diperuntukan bagi putra-putranya yang
beliau sayangi. Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat dilahirkan pada
tanggal 19 Febuari 1878, di Nanggrang, wilayah Taraju. Ibunya bernama R.
Ajoe Ratna Puri. Putri sulung dari Kg. Dalem Tumenggung Aria Prawira
Adiningrat (Dalem Aria), bupati ke XIII, cucu Kg. Dalem Adipati
Wiraadegdaha (Dalem Bogor), buyut Kg. Dalem Tumenggung Danoeningrat
bupati IX. Nama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat ialah Aom Saleh.
Sepeninggal Kg. Ibu, pada usia 8 bulan, beliau diasuh oleh eyang sepupu,
Kg. Dalem Adipati Wirahadiningrat (Dalem Bintang) bupati ke XIII,
sewaktu usianya 8 tahun pada saat ayahnya Kg. Dalem Aria menjadi wedana
di Jampang Wetan, disekolahkan disekolah Belanda di Sukabumi selama 2
tahun, kemudian dipindahkan kesekolah Belanda di Bogor. Setelah 2 tahun
lamanya belajar disekolah itu, saat umur 12 tahun beliau lalu masuk
kesekolah menak (Hoofden-School) di Bandung sampai tahun 1896. Menurut
surat residen Priangan Schappen tanggal 5 April 1897, No. 2932/8, beliau
ditugaskan sebagai Joeroe Serat Controluer Bandung Utara, dan kurang
lebih 3 tahun, juga berdasarkan surat Kg. Resident yang tersebut diatas
tertanggal 5 Oktober 1901, No. 12937/8, menerima pengangkatan menjadi
asisten wedana di Andir, wilayah Ujung Berung Barat, daerah Bandung.
Setelah kurang lebih 7 tahun memegang jabatan tersebut diatas,
berdasarkan surat Goepernemen tertanggal 12 Febuari 1908, No. 28, beliau
menerima pengangkatan menjadi wedana di wilayah Cihelang daerah
Sukabumi. Hanya 7 bulan beliau menjabat diwilayah tersebut, dengan
keputusan pemerintah yang telah dijanjikan dalam pembangunan, mengolah
serta mengatur urusan pemerintahan, maka berdasarkan surat Goepernement
tertanggal 23 Agustus 1908, No. 2, beliau diangkat menjadi Bupati di
Sukapura. Istri beliau, bernama Rd. Ayoe Radja Pamerat, dilahirkan pada
tanggal 3 Januari 1893. Ibunya bernama R. Ayoe Tedja Pamerat, putri R.
Djajadiningrat, pensiunan wedana Jampang; cucu Kg. Dalem Adipati
Martanagara, bupati Bandung; buyut Kg. Dalem Koesoemahjoeda, wilayah
kabupaten Sumedang.Sapa hingkang dasaraken becik, ora wurung benjang
manggih harja sarta saturun-turunne, yén kalakon dadi agung, begitulah
nasehat dari kiai Ageng Sela ketika memberikan nasehat kepada putra dan
cucunya. Nasehat itu tidak menyimpang sedikitpun dari ajaran keagamaan
menurut Kg. Dalem Koesoemahjoeda (buyut Kg. Dalem Istri turunan dari
Ibu), yang telah memberikan kasih sayang tanpa pamrih kepada Kg. Dalem
Tumenggung Danoeningrat, buyut Adipati Wiratanoeningrat, menurut apa
yang telah tersirat dalam pesan para kanjeng bupati ke VIII dan IX.
Sampai kepada waktu penyusunan sejarah ini putra-putri Kg. Dalem Adipati
Wiratanoeningrat ada 19, yang nama-namanya adalah sebagai berikut.
1. Nyi R. Roekiah (Juag Nana), isteri Kg. Dalem Tumenggung A. Soeria Nata Atmadja.
2. Nyi R. Tarqijah (Juag Enggah), isteri R. Tjintaka.
3. R. Djaelani.
4. Nyi R. Soehaemi (Juag Tatan), isteri R. Hilman Djajadiningrat.
5. Nyi R Siti Fatmah Koeraesin (Juag Dadan)
6. R. Achmad Moh. Harmaen (Aom Herman).
7. R. Moh. Ali (Aom Mali).
8. R. Moh. Fatah Djoebaedi (Aom Edy).
9. R. Moh. Hasan Rahmat.
10. R. Moh. Husein Rahmat (Aom Tiki).
11. Nyi R. Djoebaedah (Juag Djamdjam).
12. Nyi R. Siti Rahmah (Juag Siti rahmah)
13. Nyi R. Koerniasih (Juag Ade).
14. R. Abdul Kadir (Aom Kadir).
15. Nyi R. Siti Roekiah.
16. R. Abdoel Moehjidin (Aom Moehji).
17. R. Abdoellah (Aom Abdoellah).
18. R. Sapei (Aom Sapei).
19. R. Abdoellah Solichin (Aom Solichin).
Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat mempunyai 9 adik yang nama-namanya adalah sebagai berikut;
1. R. Ajoe Radjamirah, isteri R.Rg. Danoeatmadja Wadana Pansiun Limbangan
2. R. Rg. Prawiraadiningrat (Aom Rio), Wadana Lurahgung)
3. R. Kd. Wiratanoewangsa (Aom Tjoetjoe), Wadana Cilimus
4. R. Prawiraadiningrat (Aom Dikdik), Controleur Resident gentschapsbedrijven Sukabumi
5. R. Ponpon Prawiraadiningrat
6. R. Soele Prawiraadiningrat
7. Agan Tjitjih
8. R. Tjentén
9. R. Daroes
1938-1944
BUPATI Ke – XV
Setelah bupati ke XIV wafat digantikan oleh R. Tumenggung Wiradipoetra
paman misan dari bapak, putra Dalem Bintang. Pengangkatan Bupati
berdasarkan surat dari pemerintah No. 16. Diberi gelar Adipati, beristri
R. Bentang Radja saudari misan dari bapak, yaitu putra Dalem Bogor.
1944-1947
BUPATI Ke – XVI
Berdasarkan permintaan Kg. Dalem Adipati Wiradipoetra untuk berhenti dan
pensiun, kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama R. Tumenggung
Aria Soenarya (sebelumnya Bupati Ciamis), putra dari bupati ke XII, R.
Tumenggung Wirahadiningrat.
1947-1949
BUPATI Ke – XVII
Dengan kepindahan R. Tumenggung Aria Soenarya ke Bandung, maka jabatan
bupati digantikan lagi oleh R. Tumenggung Wiradipoetra (adalah bupati
Sukapura ke XV). Pada tahun 1949 Dalem Wiradipoetra mengajukan pensiun.