Kita tidak asing lagi denganSyekh Hamzal al-Fansuri. Beliau dikenal
sebagai salah satu perlopor sastra melayu. Puisi-puisinya banyak
diperbincangkan dan menjadi rujukan sastrawan-sastrawan setelahnya.
Syeikh Hamzah Fansuridiakui salah seorang pujangga Islam yang sangat
populer di zamannya (Abad 16 dan 17), sehingga kini namanya menghiasi
lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya
tercatat sebagai tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di
Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.
Syeikh Hamzah al-Fansuri, kiranya namanya di Nusantara di kalangan Ulama
dan Sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis
sejarah Islam mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya syeikh
Syamsuddin Sumatrani adalah termasuk tokoh sufi yang sefaham dengan
al-Hallaj. Faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain.
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan
budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad
ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus yang tercantum
di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu
suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus,
sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara
kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan
dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari
negeri-negeri jauh.
Tempat lahir Hamzah Fansuri juga menimbulkan perselisihan faham. Pada
umumnya para sarjana berpendapat bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di
Barus, sebuah bandar yang terletak di pandat Barat Sumatera Utara
diantara Singkel dan Sibolga. Ia berasal dari keluarga Fansuri, yang
telah turun temurun berdiam di Fansur. Fansuri adalah nama yang
diberikan pelaut zaman dahulu kala. Tetapi menurut Syed Muhammad Naguib
al-Attas, Hamzah Fansuri dilahirkan di Syahri Nawi, yaitu Ayuthia,
Ibukota Siam yang didirikan pada tahun 1350. Syed Muhammad al-Attas
sampai kepada kesimpulan berdasarkan dua lirik syair Hamzah Fansuri yang
berbunyi:
“Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi”
Terdapat beberapa kata kunci yang dapat memberikan petunjuk tempat
kelahirannya, yaitu “wujud” dan “Syahr Nawi”. Al-Attas merujuk kepada
“wujud” sebagai keberadaan (laghir) Hamzah Fansuri. Ide ini membawanya
kepada keyakinan bahwa meskipun orang tuanya berasal dari Barus, Hamzah
lahir di Syahr Nawi, sebuah nama tua dari kota Ayuthia.
Professor Dreweas tidak setuju dengan tafsiran pada dua lirik di atas.
Menurut Drewes, mendapat wujud berarti mendapat ajaran tentang
wujudiyah. Kota Syahri Nawi pada paruh kedua abad ke-16 adalah kota
dagang yang banyak dikunjungi oleh pedagang Islam dari India, Paris,
Turki dan Arab. Sedah tentu banyak ulama juga tinggal di bandar ini, dan
di bandar inilah Hamzah berkenalan dengan ajaran wujudiyah yang
kemudian dikembangkannya di Aceh.
Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Kudus, Banten, Johor,
Siam, India, Persia, Irak, Mekkeh dan Madinah. Seperti sufi lainnya,
pengembaraannya bertujuan untuk mencari ma’rifat Allah SWT. Setelah
Hamzah fansuri mendapat pendidikan di Singkel dan beberapa tempat
lainnya di Aceh, beliau meneruskan perjalanannya ke India, Persia dan
Arab. Karena itu beliau fasih berbahasa Melayu, Urdu, Parsi dan Arab.
Dipelajari ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, akhlaq, mantik, sejarah, bahasa
Arab dan sastranya. Ilmu-ilmu itu pula beliau ajarkan dengan tekun
kepada murid-muridnya di Banda Aceh, Geugang, Barus dan Singkel. Beliau
membangun dan memimpin pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel
sebagaimana abangnya Syekh Ali Fansuri membangun dan memimpin pesantren
di Simpangkiri Singkel, pesantren Simpangkanan merupakan lanjutan dari
Simpangkiri.
Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah
tokoh Wujudiyah (penganut paham Wahdatul Wujud). Ia dianggap sebagai
guru Syamsuddin as-Sumatrani. Bersama dengan muridnya ini, Hamzah
Fansuri dituduh menyebarkan ajaran-ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniry,
ulama yang paling berpengaruh di istana Sultan Iskandar Muda. Ar-Raniry
menyatakan didalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani termasuk ajaran kaum zindiq dan
panteis. Ribuan buku karangan penulis Wujudiyah ditumpuk dihadapan
Masjid Raya Kutaraja untuk dibakar sampai musnah.
Hamzah Fansuri adalah seorang ahli tasawuf, zahid dan mistik yang
mencari penyatuan dnegan al-khaliq dan menemunya dijalan kasih Allah
atau Isyk. Bertujuan mengenal inti sari ajaran tasawuf, ia lama
mengembara; misalnya ke Baghdad, kota yang menjadi pusat tarekat
Qadariyah, kemudian juga ke kota suci Mekkah dan Madinah, serta Kudus di
Jawa. Pernyataan ini tersirat dalam syair berikut:
“asalnya manikan tiada kan layu
Dengan ilmu dunia dimanakan payu"
Syekh Hamzah Fansuri menggunakan kata payu (bahasa Jawa) tampak sekali
bahwa Syekh menguasai bahasa Jawa. Syair ini menepis keragu-raguan bahwa
kunjungan Syekh ke Kudus bukan sekedar bermakna simbolis. Drewes
membantah pendapat diatas yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri pernah
mengembara dari Barus ke Kudus. Menurutnya, Hamzah Fansuri tidak pernah
mengatakan bahwa dia pernah menempuh perjalanan dari Barus ke Kudus.
Agaknya Hamzah Fansuri mencapai penyatuannya dengan al-khaliq yangsudah
lama dicita-citakannya sepulang dari Kudus, yaitu selama ia tinggal di
Syahri Nawi, sebuah kampung kecil dan terpenting, kampung ini terletak
ditengah hutan. Menurut Hamzah Fansuri disinilah ia mengalami keadaan
fana, menemui wujud dirinya yang sejati dan seakan-akan dilahirkan
kembali. Karena itu, didalam puisi-puisinya terkadang menyebut dirinya
sebagai anak Fansur-Barus dan terkadang anak Syahr-Nawi.
Pada zaman Sultan Alauddin Riayat Syah dan Sultan Iskandar Muda, yaitu
ketika Hamzah Fansuri menulis karya-karyanya, tasawuf sedang menjadi
semacam kegemaran atau bahkan gaya hidup masyarakat. Hamzah Fanzuri yang
berpendidikan tinggi dan telah mendapat pencerahan jiwa, disana-sini
melihat akibat-akibat tersebarnya gaya hidup yang agak dangkal itu.
Dalam salah satu syairnya, dia mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat pada
hamba-Nya dari pada Hablil Warid atau urat nadi leher, menyindir
anak-anak muda dan orang-orang tua yang tiba-tiba menjadi sufi dan seia
sekata maju kehutan belantara mencari Tuhan. Hamzah Fansuri merasa gusar
bukan saja karena setiap orang mengaku dirinya berhak memasuki rahasia
tasawuf yang sejati. Ia terlebih-lebih mengecam orang-orang yang masih
menempuh ajaran yoga dalam usaha mereka untuk mengenal al-Haq dan
orang-orang kolot yang menduduki jabatan berpengaruh di istana Sultan
dan memandang sufi sebagai murtad.
Hamzah Fansuri telah berhasil mngukir sejarah pribadinya dalam khazanah
pembaharuan keislaman di dunia Islam. Karya-karyanya telah berhasil
membuka dan memperluas wawasan berpikir umat Islam terhadap berbagai
disiplin ilmu yang dikuasainya. Hamzah Fansuri telah berusaha
mengungkapkan semua ajaran melalui karya sastra dan mistis Islami dengan
kedalaman isi dan pesan yang gagal sangat mengagumkan. Kepeloporan
Hamzah Fansuri dibidang sastra ini diakui oleh pakar Belandan Valentjin
yang pernah datang ke Aceh, dimana ia menyatakan bahwa Hamzah Fansuri
telah berhasil dengan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau
melalui syair-syairnya.
Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh pemikiran mistiko falsafi yang demikian
tinggi, maka ajarannya tidak hanya berarti pada maqam ma’rifah
sebagaimana kaum mistiko-sunni, akan tetapi melampauinya ke tingkat
paling puncak yaitu merasakan kebersatuan diri dengan Tuhan yang disebut
itthad.
Aspek lain dari Hamzah Fansuri ialah kepedulian sosialnya, khususnya
yang berkaitan dengan perbedaan strata sosial antara para budak dan tuan
mereka.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya
Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, ada pendapat yang menemukan makam
beliau di Ujong Pancu Aceh, ada juga di subulussalam aceh, dan ada juga
pendapat, makam Hamzah ada di Babul Ma'la, yakni komplek mpemakaman
"elit" di Makkah. ia dibaringkan dalam satu komplek besama dengan
Khatijah, Aishay, Fatimah dan keluarga nabi dan sahabatnya yang lain.
ini disebabkan kebesaran dan pengaruhnya di Arab pada masa itu (abat
XV).
Dari syair dan dari namanya sendiri sudah sekian lama berdominasi di
Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunan mereka pantas
digelari Fansur. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri, ayah
dari Abdur Rauf Singkel Fansuri. Pada ahli cenderung memahami dari syair
bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahrmawi, tapi tidak ada
kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahrmawi itu. Ada
petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada
sarjana yang menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh
nama Syamawi.
Kiranya namanya di Nusantara di kalangan ulama dan sarjana penyelidik
keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat
bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani
adalah dengan al-Hallaj, faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain
adalah seirama. Syeikh Hamzah Fansuri diakui seorang pujangga Islam yang
sangat populer di zamannya, sehingga kini namanya menghiasi
lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya
tercatat sebagai tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di
nusantara dari abadnya hingga ke abad kini. Dalam buku-buku sejarah
mengenai Aceh namanya selalu diuraikan dengan panjang.
Kehadiran Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya sebagai seorang ulama
tasawuf, cendekiawan dan sastrawan terkemuka tetapi juga telah
berpartisipasi sebagai pembaharu didalam bidang kerohanian, keilmuan,
filsafat dan bahasa. Kritik-kritik Syekh Hamzah Fansuri terhadap
perilaku politik para penguasa dan perilaku moral orang kaya yang sangat
tajam, menunjukkan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang
intelektual yang berani dimasanya. Kritik-kritik Syekh juga ditujukan
kepada ahli-ahli tarekat yang mengamalkan praktekl yoga yang sesat dan
jauh dari amalan syari’at.
Karya-karyanya
Hamzah Fansuri menghasilkan karya tulis yang banyak, akan tetapi
karya-karya tulisnya itu bersama karya-karya tulis Syamsuddin Sumatrani,
dibinasakan (dibakar) berdasarkan perintah Sultan Iskandar Sani atau
anjuran Huruddin al-Riniri, mufti dan penasehat agama di Istana Sultan
tersebut
Di antara syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku
yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku
syairnya antara lain :
Syair Burung Pingai
Syair Dagang
Syair Pungguk
Syair Sidang Faqir
Syair Ikan Tongkol
Syair Perahu
Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
Syarbul ‘asyiqiin
Al-Muhtadi
Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun
berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat
atau orientalis barat maupun sarjana setempat, yang banyak membicarakan
tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib
dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh R.O Winstedt yang diakuinya
bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang
tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed
Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri
secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas
Leiden dan Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang
Syeikh Hamzah Fansuri antaranya :
The Misticum of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968
Puisi-puisi penyair sufi biasanya tidak lengkap tanpa disertai
tanda-tanda kesufian seperti, faqir, asyiq dan lain sebagainya. Tanda
serupa ini kita jumpai di dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri. Di antara
tanda kesufian yang banyak ditemukan di dalam syair-syair Hamzah Fansuri
ialah anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani,
ungkas quddusi, dan kadang-kadang digunakan dengan nama pribadinya
seperti Hamzah Miskin, Hamzah Gharib dan lain-lain.
Paradoks
Salah satu ciri penting yang melekat pada karya-karya penyair mistik
atau sufistik sejak dahulu ialah ungkapan-ungkapan yang mengandung
paradoks, dalam tradisi sufi bentuk-bentuk ungkapan paradoks muncul
pertama kali dalam ucapan-ucapan teofani (yathiyat) bayazid, al-Hallaj,
al-Miffaru, Ibn ‘Arabi dan lain-lain. Di dalam syair-syairnya Hamzah
Fansuri sering menampilkan ucapan-ucapan syathyat bayazid dan al-Hallaj,
dua wira sufi yang diteladaninya. Ucapan-ucapan terkenal kedua sufi itu
ialah “subhani!” (terpujilah daku) dan “Ana al-Haqq” (aku ialah
kebenaran kreatif). Selain berfungsi memadatkan pengucapan puitik,
kutipan ucapan syathiyat ini memberikan suasana ekstase atau kegairahan
mistik dan juga untuk mengukuhkan tafsir sufistik penyair terhadap
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits qudsi yang terdapat di dalam bait-bait
sebelumnya, misalnya di dalam ikatan-ikatan yang menggambarkan
pengalaman fana penyair.
Sabda rusul Allah Nabi kamu
Lama’a Allah sekali waqtu
Hamba dan Tuhan menjadi satu
Inilah ‘arif bernama tahu
Kata Bayazid terlalu ali
Subhani maa’zamasha’ni
Inilah ilmu sempurna fani
Jadi senama dengan hayy al Baqi
Kata mansur penghulu asyiq
aitu juga empunyai nathiq
Kata ini siapa la’iq
Mengatakan diri akulah khaliq
Dengarkan dirimu hai orang yang kamil
Jangan menuntut ilmu yang bathil
Tiada bermanfaat kata yang jahil
Ana’al haqq mansur itulah washil
Hamzah Fansuri terlalu karam
Ke dalam laut yang maha dalam
Berhenti angin ombaknya padam
Menjadi sultan pada kedua laman
Syeikh Hamzah Fansuri Sebagai Pembaharu
Syeikh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan
terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor bagi perkembangan
kebudayaan Islam, sumbangannya sangat besar. Di bidang keilmuan Syeikh
telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian
sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Syeikh muncul,
masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan
sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau
Persia. Di bidang sastra Syeikh mempelopori pula penulisan puisi-puisi
filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan puisi-puisinya
sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya.
Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di bawah
bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri.
Di samping itu Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil meletakkan
dasar-dasar puitika dan estetika melayu yang mantap dan kukuh. Pengaruh
estetika dan puitika yang diasaskan oleh Syeikh Hamzah Fansuri di dalam
kesusasteraan Indonesia dan Melayu masih kelihatan sampai abad ke-20.
Khususnya di dalam karya penyair pujangga baru seperti Sanusi Pane, dan
Amir Hamzah, sastrawan-sastrawan Indonesia angkatan 70-an danarto dan
Sutardi Calzoum Buchiri berada di dalam satu jalur estetik dengan Syeikh
Hamzah Fansuri.
Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk
dapat diingkari apabila kita mau berjujur. Pertama, sebagai penulis
pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh Hamzah Fansuri
telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar
lingua Franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan
yang canggih dan modern. Dengan demikian kedudukan bahasa Melayu di
bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan
mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang
sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca
syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan
tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses
Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan
Islamisasi pemikiran dan kebudayaan, di dalam 32 ikat-ikatan syairnya
saja terdapat kurang lebih 700 kata ambilan dari bahasa Arab yang bukan
saja memperkaya perbendaharaan kita bahasa Melayu, tetapi dengan
demikian juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam di dalam berbagai
bidang kehidupan ke dalam sistem bahasa dan budaya melayu.
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri
telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika
keruhanian, kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika
terlihat di dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah
risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli
tasawuf nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri memberi tafsir dan
takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan
landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika,
epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah
tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu,
tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan
cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya
sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf
yang dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya
Ajaran Wujudiyah
Peranan penting Syeikh Hamzah Fansuri dalam sejarah pemikiran dunia
Melayu Nusantara bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi puisinya
yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan
pengembaraan spiritualnya. Salah satu karya penting dari Syeikh Hamzah
Fansuri adalah Zinat al-Wahidin yang ditulis pada akhir abad ke-16
ketika perdebatan sengit antara faham wahdatul wujud sedang berlangsung
dengan tegang di Sumatera. Teks ini diyakini oleh para peneliti sebagai
kitab keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Syeikh Hamzah
Fansuri juga dikenal sebagai seorang pelopor dan pembaharu melalui
karya-karya Rubba al-Muhakkikina, Syair Perahu dan Syair Dagang.
Kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para
bangsawan dan orang-orang kaya menempatkannya sebagai seorang
intelektual yang berani pada zamannya
Sebagai seorang tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri pernah memperlihatkan
dalam karya-karyanya bahwa Syeikh mempunyai hubungan dengan tasawuf yang
berkembang di India pada abad ke-16 dan 17. Syeikh Hamzah Fansuri
langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia
sebelum abad ke-16. Bayazid dan al-Hallaj merupakan tokoh idola Syeikh
Hamzah Fansuri di dalam cinta (‘isyq) dan ma’rifat, dipihak lain Syeikh
sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibnu ‘Arabi serta Iraqi untuk
menopang pemikiran kesufiannya. Hubungan Syekh Hamzah Fansuri dengan
para penulis jarang sekali memperoleh perhatian para sarjana tasawuf di
Indonesia. Padahal selain Ibnu ‘Arabi pemikir sufi yang banyak memberi
warna pada pemikiran wujudiyah. Syeikh ialah Fakhruddin Iraqi. Seringnya
Syeikh menyebut dan mengutip lama’at lama’at karya Iraqi,
memperlihatkan adanya perhatian istimewa antara pandangannya dengan
pandangan Iraqi
Yang selalu disangga oleh orang tentang ajaran Hamzah Fansuri ialah
karena faham “wahdatul wujud”, “hulul”, “ittihad” karenanya terlalu
mudah orang-orang mengecapnya sebagai seorang zindiq, sesat, kafir, dan
sebagainya. Ada orang yang menyangka bahwa beliau adalah pengikut faham
syi’ah, ada juga yang mempercayai bahwa ia adalah bermadzab syafi’i di
bidang fiqih, dalam pegangan tasawuf, beliau pengikut thariqat Qadiriyah
yang dibangsakan kepada Syeikh Abdul Qodir Jailani
Walaupun pemikiran wujudiyah telah berakar lama di dalam pemikiran para
sufi sebelum abad ke13 seperti Hallaj, Imam al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi,
namun pemakaian istilah wahdatul wujud sebagaimana kita kenal sekarang
ini bukan berasal dari Ibn ‘Arabi, istilah tersebut mula-mula
dikemukakan oleh Qunawi setelah melakukan tafsir yang mendalam atas
karya-karya Ibn ‘Arabi. Istilah Wahdatul Wujud (dari mana istilah
wahdatul wujud berasal) dikemukakan untuk menyatakan bahwa keesaan Tuhan
(tauhid) tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan
pengetahuannya yang berbagai di alam fenomena (alam al-khalq). Tuhan
sebagai dzat mutlak satu-satunya di dalam keesaannya memang tanpa sekutu
dan bandingan, dan karenanya Tuhan adalah transenden (tanzih). Tetapi
karena dia menampakkan wajah-Nya serta ayat-ayat-Nya di seluruh alam
semesta dan di dalam diri manusia, maka Dia memiliki kehadiran spiritual
di alam kejadian. Kalau tidak demikian maka dia bukan yang zakir dan
yang batin, sebagaimana al-Qur’an mengatakan, dan kehampirannya kepada
manusia tidak akan lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Karena
manifestasi pengetahuannya berbagai-bagai dan memiliki penampakan zakir
dan batin, maka di samping transenden dia juga immanen (tashbih).
Dasar-dasar gagasan wujudiyah semacam inilah yang dikembangkan Iraqi.
Dikatakan bahwa Rahman merupakan perhimpunan sekalian ibarat, artinya
hakikat dari sekalian ma’lumat (yang diketahui) yakni segala
ciptaan-Nya. Tanpa rahman-Nya tak mungkin segala sesuatu itu memperoleh
kewujudan, dan itulah sebabnya dikatakan bahwa wujud rahman-Nya
merupakan hakikat segala barang ciptaan. Menurut Ibn ‘Arabi, sebelum
bermulanya penciptaan, di dalam kesendiriannya Tuhan merenung dan
melihat (syuhud) ke dalam dirinya dan tampaklah pengetahuannya yang tak
terhingga dan masih merupakan perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfi),
di dorong oleh cintanya terbitlah kehendaknya untuk dikenal, maka dia
menciptakan dan dengan demikian dia dikenal. Ciptaan-Nya adalah
pemakluman (ma’lumat) dari pengetahuannya yang melalui mereka Dia
dikenal.
Zinat al-Wahidin
Kitab ini agaknya merupakan ringkasan ajaran wahdatul wujud yang telah
diasakan oleh Ibn ‘Arabi, Sadruddin Qunawi, Fakhrudin Iraqi dan Abdul
Karim al-Jilli. Di dalamnya diuraikan pula cara-cara mencapai makrifat
menurut disiplin keruhanian tarekat Qadariyah. Ini tidak sukar
dibuktikan karena di dalam syairnya Syeikh Hamzah Fansuri menyatakan
bahwa telah dibaitkan di dalam tarekat tersebut di Shahr Nawi dan
sekembalinya dari Makkah, Yerussalem, Baghdad, dan Gujarat, Syeikh
bertambah masyhur sebagai ahli tasawuf dan guru keruhanian. Kitab ini
disusun di dalam tujuh bab.
Bab V ini merupakan bab penting, sebab di dalamnya Hamzah Fansuri
menguraikan prinsip-prinsip antologi wujudiyah, yaitu mengenai tajalli
zat Tuhan. Hamzah Fansuri menerjemahkan tajalli sebagai ‘kenyataan’ dan
penunjukkan, maksudnya penampakan pengetahuan Tuhan melalui penciptaan
alam semesta dan isinya. Penciptaan secara menurun tersusun dari lima
martabat, yaitu dari atas ke bawah, dari yang tertinggi ke yang terendah
sesuai peringkat keruhanian dan luas sempit sifatnya, dari yang umum
kepada yang khusus. Zat Tuhan disebut lata’ayyun, yakni tiada nyata. Di
sebut lata’ayyun karena akal pikiran, perkataan, pengetahuan dan
makrifat manusia tidak akan sampai kepadanya. Pandangan ini didasarkan
pada hadits Nabi “tafakkaru fi khalq-i’l-laah-i wa laa tafakkaruu fii
dzaat-i’l-laah” (pikirkan apa saja yang diciptakan Tuhan tetapi jangan
pikirkan tentang zatnya.
Walaupun zat tuhan itu lata’ayyun namun dia ingin dikenal, maka dia
mencipta alam semesta dengan maksud agar dirinya dikenal “kehendak
supaya dikenal” inilah yang merupakan permulaan tajalli Ilahi. Sesudah
tajalli dilakukan maka dia dinamakan ta’ayyun yang berarti “nyata”.
Keadaan ta’ayyun inilah yang dapat dicapai oleh pikiran, pengetahuan dan
makrifat.
Ta’ayyun zat Tuhan terbagi ke dalam empat martabat :
Ta’ayyun awwal, kenyataan Tuhan dalam peringkat pertama yang terdiri
dari ilm (pengetahuan), wujud (ada), syuhud (melihat / menyaksikan) dan
nur (cahaya). Dengan adanya pengetahuan maka dengan sendirinya Tuhan itu
Alim (mengetahui atau maha tahu) dan ma’lum (yang diketahui). Karena
dia itu wujud maka dengan sendirinya dia ialah yang mengada, yang
mengadakan atau yang ada, karena cahaya maka dengan sendirinya dia
adalah yang menerangkan (dengan cahayanya) dan yang diterangkan (oleh
cahayanya).
Ta’ayyun tsani (dikenal juga dengan ta’ayyun ma’lum), kenyataan Tuhan
dalam peringkat kedua, yakni kenyataan menjadi yang dikenal atau
diketahui. Pengetahuan atau ilmu Tuhan menyatakan diri dalam bentuk yang
dikenal atau yang diketahui, pengetahuan yang dikenal disebut al-ayan
al-tsabitah, yakni kenyataan segala sesuatu. Al-A’yan al-tsabitah juga
disebut Suwar al-Ilmiyah, yakni bentuk yang dikenal, atau al-haqiqah
al-asyya, yakni hakikat segala sesuatu di alam semesta dan ruh idlafi,
yakni ruh yang terpaut.
Ta’ayyun tsalits, kenyataan Tuhan dalam peringkat ketiga ialah ruh manusia dan makhluk-makhluk.
Ta’ayyun rabi’ dan khamis, kenyataan Tuhan dalam peringkat keempat dan
kelima adalah penciptaan alam semesta, makhluk-makhluk, termasuk
manusia, penciptaan ini tiada berkesudahan dan tiada berhingga, ila mala
nihayat-a lah-u.
Hamzah Fansuri menerjemahkan perkataan wajh sebagai zat, yaitu at yang
telah ber-ta’ayyun. Adapun Tuhan itu mutlak, karena itu Ibn Arabi
menyebut dia sebagai wajib al-wujud, yaitu wujud yang Qa’im sendirinya,
sedangkan alam semesta disebut sebagai mumkin al-wujud, wujud yang
mungkin atau nisbi karena adanya tergantung kepada wujud mutlak yaitu
wajib al-wujud. Hamzah Fansuri memang mengikuti Ibn ‘Arabi, yang
mengatakan bahwa wujud mutlak sebagai sebab hakiki dari segala kejadian
merupakan wujud yang keberadaannya mutlak diperlukan, wajib al-wujud li
dzatih.
Menurut Hamzah Fansuri alam semesta dan isinya berasal dari Allah, bukan
dari ‘tiada’ pulang kepada ‘tiada’, tapi dari ada pulang kepada ada.
Dengan ‘ada’ yang dimaksudkan ialah ‘pengetahuan’ atau ilmu Tuhan. Dia
mengutip ayat al-Qur’an untuk menopang pendapatnya “innamaa amruhuu
idzaa araada syai’an an yaquululahnu kunfa-yakuun” (sesungguhnya tatkala
Dia berkehendak kepada sesuatu maka dia pun berkata, “jadilah kau!”
maka segala sesuatu itu pun menjadi [tercipta].
Dengan menganalisis secara cermat istilah dan konsep kunci semacam itu,
serta istilah dan konsep dalam bahasa Melayu dan melakukan perbandingan
dengan istilah-istilah yang sama dengan bahasa Arab, Yunani, Persia, dan
Sansekerta dalam karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri dan tokoh-tokoh lain
yang serupa, dan periodesasi proses Islamisasi dan intensifikasi
pandangan dunia Islam di kalangan masyarakat Melayu Indonesia melalui
metafisika tasawuf, guna membumikan solusinya tersebut. Al-Attas
menyediakan landasan teoritis dan langkah praktis. Pada daratan
teoritis, ia dengan brilliant merekontruksi konsep metafisika,
epistemologi, dan filsafat pendidikan Islam dengan merujuk pada tradisi
pemikiran Islam dalam bidang kalam, filsafat, dan tasawuf.
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri merupakan awal kelahiran literatur
Islam dalam bahasa Melayu, selain itu ia tercatat sebagai orang pertama
kali memperkenalkan puisi dalam bentuk syair ke dalam sastra Melayu.
Beliau juga ulama pertama yang membawa Aceh atau Asia Tenggara ke faham
Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) yang berasal dari Ibn Arabi. Hamzah
Fansuri memang sering menunjukkan tasybih (kemiripan) antara Tuhan
dengan alam ciptaan-Nya, tetapi ia tidak lupa menunjukkan Tanzih
perbedaan esensial, antara keduanya. Oleh karena itu tidaklah tepat
pagam wahdatul wujud Syeikh Hamzah Fansuri ini divonis sesat atau
divonis sebagai paham pantheisme, seperti yang dipahami sebagian ahli
atau ulama.
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang ahli bahasa. Bahasa yang
dikuasainya adalah bahasa Arab, bahasa Farsi, dan bahasa Melayu. Dan
bahwa beliau menulis kitab-kitab tasawufnya memakai kitab-kitab bahasa
Arab dan Farsi sebagai buku telaahnya. Keahliannya di bidang bahasa
adalah hasil dari pengembaraannya yang jauh, dia pernah sampai ke
berbagai negeri di Timur tengah utamanya Makkah dan Madinah.
Negeri-negeri Nusantara yang pernah di jalaninya seperti Pahang, Kedah,
Banten dan Jawa. Pengembaraannya adalah pengembaraan jasad dan rohani.
Hazmah Fansuri Sebagai Pembaru
Syekh Hamzah Fansuri bukan hanya sebagai seorang ulama tasawuf dan
sastrawan terkemuka, tapi juga perintis dan pelopor. Sumbangannya sangat
besar bagi perkembangan kebudayaan Islam, khususnya dibidang
kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa dan sastra. Di dalam hampir semua
bidang ini, Syekh juga seorang pelopor dan pembaru. Kritik-kritiknya
yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan
dan orang-orang kaya yang menemparkannya sebagai seorang intelektual
yang berani pada zamannya. Karena itu, tidak mengherankan apabila
kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Syekh dan para
pengikutnya. Salah satu akibatnya ialah, baik Hikayat Aceh maupun Bustan
as-Salatin dua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah
Sultan Aceh, tidak sepatah katapun menyebutnya namanya, baik sebagai
tokoh spiritual maupuan sastra.
Dibidang keilmuan Syekh telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau
keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya
Syekh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah
agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis didalam
bahasa Arab atau Persia. Dibidang sastra, Syekh mempelopori pula
penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam. Kedalaman
kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman
ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan ke-18
kebanyakan berada dibawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syekh
Hamzah Fansuri.
Dibidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah
pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika kerohanian.
Kepiawaian Syekh dibidang hermeneutika terlihat didalam Asrar al’Arifin,
sebuah risalah tasawuf penting berbobot yang pernah dihasilkan oleh
ahli tasawuf nusantara. Disitu Syekh memberi tafsir dan takwil atau
puisinya sendiri, dengan nalisis yang tajam dengan landasan pengetahuan
yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistimilogi dan
estetika.